Thursday, September 4, 2014

Trilogi Kisah Iran dan Daulah Shafawi: Republik Syiah Iran, Daulah Shafawi Modern [ bagian 3 ]

Trilogi Kisah Iran dan Daulah Shafawi: Republik Syiah Iran, Daulah Shafawi Modern (3/3)
BY HADI · APRIL 15, 2014
Trilogi Kisah Iran dan Daulah Shafawi, Republik Syiah Iran, Daulah Shafawi Modern (3.3)0
Telah kita simak di tulisan-tulisan sebelumnya bagaimana Daulah Shafawiyah didirikan, ideologi yang mereka sebarkan, dan kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan terhadap umat Islam di negaranya maupun di dunia secara umum. Di era modern ini, ada sebuah negara yang mengusung ideologi sama dengan Daulah Shafawi yakni ideologi Syiah, negara tersebut menamakan diri mereka dengan Republik Islam Iran.
Terletak di geografi yang sama dengan pusat pemeritanhan Daulah Shafawi, Iran berusaha menggantikan peranan kerajaan Syiah di abad pertengahan itu dengan mengaplikasikan kebijakan keluarga Shafawi di era modern ini. Pada tulisan ketiga ini, topik utamanya adalah tentang siapakah yang memerintah Iran. Dengan mengetahui siapakah yang memerintah Iran, akhirnya penulis serahkan kepada para pembaca menggeliat dalam daya kritisnya mendudukkan posisi Iran di dunia Islam atau bahkan politik internasional.
Khomeini Pemimpin Revolusi
Pada tahun 1979, Khomeini memimpin revolusi Syiah di Iran yang menggulingkan diktator Syah Pahlevi. Dengan jatuhnya Syah Pahlevi, tokoh utama Syiah ini menduduki posisi tertinggi di tanah Persia tersebut. Khomeini memiliki kekuasaan sebagai tokoh politik dan juga memegang otoritas penuh dalam permasalahan agama, bisa Anda bayangkan betapa besarnya kekuasaan yang dipegang Khomeini. Namun ternyata kekuasaan yang dimilikinya tidak membuatnya lebih baik dari Syah Pahlevi, bahkan Khomeini lebih diktator dibanding pendahulunya ini.
Pada masa pemerintahannya, Khomeini memunculkan sebuah konsep baru dalam tatanan negara Iran, ia menamakan konsep dengan wilayatul faqih. Wilayatul faqih adalah sebuah otoritas yang semestinya disandang oleh imam ma’shum (yang terjaga dari dosa). Orang-orang Syiah meyakini kema’shuman Ali bin Abi Thalib, kedua putranya Hasan dan Husein, kemudian para imam dari keturunan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma yang mereka sebut dengan imam yang dua belas. Namun, pada masa imam ke-11, Imam Hasan al-Askari wafat pada tahun 260 H, ia wafat dalam keadaan tidak ada seorang yang disebut imam ma’shum. Syiah pun berpecah menjadi banyak kelompok karena permasalahan ini. Di antara kelompok tersebut adalah Syiah Itsna Asyariyah (Syiah 12 imam).
Syiah Itsna Asyariyah meyakini bahwa Imam al-Askari menunjuk anaknya yang masih kecil, yang usianya belum genap 5 tahun, sebagai imam ma’shum penerusnya. Kemudian imam ke-12 memasuki sebuah ruangan bawah tanah dan menghilang. Orang-orang Syiah 12 imam meyakini bahwa sang imam masih berada di tempatnya dan akan keluar di akhir zaman kelak. Dialah yang disebut Mahdi al-Muntazhar (sang Mahdi yang ditunggu). Menurut keyakinan Syiah tidak diperbolehkan mendirikan negara, menunjuk pemimpin, menegakkan syiar-syiar agama, berjihad, dll. tanpa adanya komando dari Imam Mahdi yang masih ditunggu kehadirannya. Nah di sinilah wilayatul faqih hasil ijtihad dari Khomeini memainkan peranannya.
Wilayatul Faqih
Khomeini membuat wilayatul faqih yang ia anggap memiliki fungsi yang sama dengan funsi imamah (kepemimpinan para imam) di saat mereka ada –mendirikan negara, mengangkat pemimpin, dll.-. Imamah juga memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kenabian. Kenabian terbatas oleh waktu-waktu tertentu sedangkan imamah terus belangsung hingga sekarang. Dari sini, muncul klaim yang lancang dari Khomeini dalam bukunya al-Hukumah al-Islamiyah, ia mengatakan, “Salah satu hal yang penting dalam madzhab kami bahwa para imam memiliki kedudukan yang tidak dicapai oleh seorang malaikat yang paling mulia dan nabi-nabi yang diutus.”. Maksudnya imam kami lebih mulia dari malaikat yang paling mulia sekalipun semisal Jibril dan lebih mulia dari para nabi-nabi termasuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, ketaatan kepada wilayatul faqih adalah ketaatan yang mutlak. Doktrin ini benar-benar menjadikan kekuasaan Khomeini adalah kekuasaan yang absolut lebih dari diktator Syah Pahlevi bahkan lebih diktator dari diktator-diktator Arab semisal Husni Mubarak, Muamar Kadafi, Sadam Husein, dll. karena kebijakan wilayatul faqih adalah kebijakan para imam ma’shum atau bahkan kebijakan Tuhan, melanggarnya berarti melanggar perintah imam ma’shum atau perintah Tuhan. Tidak ada seorang diktator pun semisal nama-nama di atas menyebutkan bahwa melanggar perintah mereka berarti melanggar perintah Tuhan. Tidak heran, ulama-ulama Syiah yang menjabat di wilayatul faqih termasuk Khomeini digelari “ayatollah” sebagai legalisasi kebijakan-kebijakan dan image di mata rakyat. Agar kediktatoran wilayatul faqih sedikit tertutupi, maka ditunjuklah seorang presiden yang dikesankan sebagai pemimpin Negara Iran.
Sebagai contoh bahwa presiden Iran tidak memiliki otoritas terhadap negaranya dan wilayahtul faqih lah yang memiliki peranan. Pasca revolusi, Iran dipimpin oleh Presiden Bani Sadr. Ia memenangkan pemilu dengan mendapatkan 78,9 %. Ia bukanlah seorang mullah (pemuka agama), ia seoarang ekonom lulusan dari Universitas Sorbone, Paris, Perancis. Dengan suara yang begitu besar Bani Sadr mengira ia akan begitu leluasa menenutkan kabinetnya. Namun suara kemenangan yang begitu besar itu tidak berarti apa-apa, Sadr tidak memiliki daya dan upaya sedikit pun menentukan kebijakan pemerintahannya. Setiap permasalahan kecil maupun besar haruslah sesuai dengan yang digariskan oleh Khomeini sang pemimpin revolusi. Satu tahun menjabat sebagai presiden Iran, Bani Sadr pun dilengserkan oleh parlemen. Ini nasib seorang presiden yang tidak sejalan dengan Khomeini dan wialyatul faqihnya walaupun suaranya pendukungnya luar biasa besar, 78,9%.
Ahlussunnah di Masa Republik Syiah Iran
Ahlussunnah di Iran memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan Ahlussunnah di masa Daulah Shafawi. Mereka mengalami penyiksaan, dijebloskan ke penjara, dan dibunuh, mereka yang bebas pun hidup layaknya di penjara tidak memiliki kebebasan. Semua itu dengan sebab mereka seorang Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni.
Di Teheran, ibu kota Iran, tidak ada satu pun masjid Ahlussunnah yang diperkenankan untuk didirikan, padahal ada 7 juta orang Sunni yang berdomisili di kota ini. Sedangkan orang-orang Nasrani saja memiliki 12 gereja dan Yahudi diizinkan membangun 4 tempat ibadah di ibu kota negeri para mullah ini (Ahwal Ahlussunnah fi Iran, Hal. 45-73).
Demikianlah ketika ideologi Daulah Shafawi dan Iran saat ini sama, maka kebijakan yang dilakukan pun akan sama yang membedakan hanyalah cara penerapannya karena menyesuaikan perkembangan zaman.
Sumber: islamstory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com