Saturday, February 28, 2015

Perspektif Lain dari Wahabi

Kamis, 26 Februari 2015, 04:00 WIB
Tanggapan Positif Terhadap Tulisan Ali Mustafa Yaqub " Titik Temu NU-Wahhabi"
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Septiawan Ardiansyah/Penuntut Ilmu, Majelis Nashirusunnah Depok, Jawa Barat
Menurut sejarah, walau sebagian masih ada yang menafikan kenyataan ini, istilah Wahabi dibuat fobia oleh sebagian kita. Lalu, nisbah sebenarnya siapa Wahabi yang mestinya patut dijadikan fobia itu?

Kelompok (firqah) yang menyimpang sebagaimana diklaim Mohammad Khoiron (Wahabi dan NU Sama?), mestinya lebih tepat kepada sekte Wahhabiyah yang sudah ada sejak abad ke-2 H di Afrika Utara, dipelopori Abdul Wahhab bin Rustum.

Nama Wahhabiyah adalah nisbah kepadanya—pecahan dari sekte Wahbiyah Ibadhiyah yang berpemahaman Khawarij—nisbah kepada pendiri awalnya, yaitu Abdullah bin Wahb ar-Rasibi (Lihat Al Farqu Bainal Firaq Al Baghdadi, hlm 80-81, lihat juga Al Khawarij, Tarikhuhum Wa Araauhum Al I’tiqadiyah Wa Mauqif Al Islam Minha, Dr Ghalib bin ‘Ali ‘Awaji, hlm 95).

Khawarij secara harfiah berarti "Mereka yang keluar". Istilah umum ini mencakup kelompok dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib lalu menolaknya. Dinamakan Khawarij karena keluarnya mereka dari Dinul Islam dan pemimpin kaum Muslim. Mereka memang mudah mengafirkan kaum Muslim yang tak sependapat dengan mereka.



Sementara itu, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dilahirkan pada 1115 H/1703 M di Jazirah Arab. Bila ditilik dari lahirnya saja sudah berbeda 10 abad. Namun, istilah Wahabi yang marak justru berkembang pada zaman Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mestinya, dapat saja disebut sebagai Muhammadiyah. Lalu, mengapa istilah itu tidak dipakai?

Bukankah nama aslinya adalah Muhammad dan Abdul Wahhab itu nama ayahnya? Kerancuan ini seolah agar dianggap sama saja Wahabi yang kedua dengan Wahabi yang pertama. Hal ini terkesan menjadi sentimen tersendiri jika tidak disebut antipati mendalam yang kurang bijak dalam menilai siapa Muhammad bin Abdul Wahhab sebenarnya.

Di sinilah perspektif lain tentang Wahabi berkembang. Sepengetahuan penulis, Wahabi ke-2 yang difobiakan ini mengikuti Alquran dan Sunah dengan manhaj (cara beragama) salafuna shalih berpemahaman para sahabat. Yang dimaksud adalah tiga generasi Islam permulaan (generasi Rasulullah SAW dengan para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in) itulah yang kerap disebut as-Salafus Shalih. (HR-Bukhari, No 3650).

Para ulama tafsir menyimpulkan, mereka adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat, dan paling mengetahui dalam memahami Islam. Mereka juga para pendahulu yang memiliki kesalehan tertinggi (as-salafu ash-shalih). Inilah yang dinamakan dakwah salafiyah.



Selain itu, dakwah ini adalah pelopor gerakan islah (reformasi) yang muncul menjelang masa kemunduran Islam. Dakwah salafiyah ini juga menyerukan agar akidah Islam dikembalikan pada asalnya yang murni dan menekankan pada pemurnian arti tauhid dari syirik, khurafat, dan bid’ah dengan segala manifestasinya. Maka, di antara prinsip dakwah salafiyah yang dinisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahab (1703 –1791 M).


Di antara yang disarikan dari buku Al Mausu’atul Muyassaroh Fil Adyaan Wal Madzahibil Muaashiroh, WAMY, hlm 227–232: senantiasa merujuk kepada Alquran dan Sunah yang sahih dalam masalah akidah; berpegang teguh pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah sesuai pemahaman para sahabat; menyerukan pada pemurnian tauhid; menetapkan tauhid asma dan sifat-sifat Allah tanpa tamsil (perumpamaan), takyif (pencocokan), dantakwil (interpretasi); menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.

Tak mengafirkan
Dakwah salafiyah sejatinya juga tidak mengafirkan seorang pun dari kaum Muslim, kecuali bila orang itu melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Karena, ada sabda Rasulullah SAW, "Barang siapa yang berkata kepada saudaranya (Muslim), 'Wahai kafir', maka pengafiran ini akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Jika dia benar dalam pengafirannya (maka tidak mengapa), tapi jika tidak, ucapan itu akan kembali kepadanya." [HR al-Bukhari).

Jadi, perkataan Syekh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Najdi (kakak kandung Muh bin Abd Wahab) dalam kitab al- Shawaiq al-Ilahiyah fi al-Raddi ‘ala al- Wahabiyah poin ke-4 yang Mohammad Khoiron kutip bahwa "Muhammad bin Abdul Wahab mengafirkan lawan polemik dan umat Islam yang tidak sejalan dengannya" perlu dikaji ulang. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya yang lain, Mushlih Mazhlum, hlm 48-50 menyebut bahwa kakaknya menurut beliau telah rujuk dan bertobat akan perkataannya itu. Hal ini telah dikatakan juga oleh Ibn Ghonnam, Ibn Bisyr, dan Dr Muh bin Saad as-Syuwair dalam makalahnya "Sulaiman bin Abdul Wahhab Syaikh Muftaro ‘Alaihi" yang dimuat di majalah Buhuts Islamiyyahedisi 60/Tahun 1421 H.

Dan, tuduhan lain bahwa "ilmu fikih dianggap setan berupa manusia karena bisa berbuat syirik" itu di kitab mana? Di kitabnya, Majmu’ah Muallafat Syaikh: 5/11, 12, dibantah tuduhan itu sebagaimana dalam suratnya kepada penduduk Qashim, beliau memberikan isyarat terhadap tuduhan musuh bebuyutannya (Ibnu Suhaim) dan berlepas diri dari tuduhan itu.

"Allah mengetahui orang tersebut telah menuduhku yang bukan-bukan, bahkan tidak pernah terbetik dalam benakku, di antaranya dia mengatakan bahwasanya aku mengatakan, ‘Manusia sejak 600 tahun silam tidak dalam keislaman, aku mengafirkan orang yang bertawasul kepada orang-orang saleh, aku mengafirkan al-Bushiri, aku mengafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah'. Jawabanku terhadap tuduhan ini, ‘Mahasuci Engkau ya Rabb kami, sesungguhnya ini kedustaan yang amat besar."

Idealnya sebagai Muslim terus haus mempelajari agama ini dari sumber asli, Alquran dan as-Sunah menurut pemahaman para sahabat. Dan, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab ini ialah mujadid pelopor dakwah Suni yang lurus dan murni.

Sebagai kesimpulan, dakwah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum termasuk dalam firqah Khawarij, mudah mengafirkan pelaku maksiat (dosa besar), membangkang dan memberontak terhadap pemerintah Islam, dan keluar dari jamaah kaum Muslim. Termasuk kategori ini adalah Khawarij generasi awal (Muhakkimah Haruriyah) dan sempalannya, seperti al-Azariqah, ash-Shafariyyah, dan an-Najdat—ketiganya sudah lenyap—dan al-Ibadhiyah—masih ada hingga kini.

Maka, bisa saja Khawarij muncul di sepanjang masa, bahkan betul-betul akan muncul pada akhir zaman, seperti kelompok sesat nan keji, ISIS, yang marak diberitakan saat ini. (HR al-Bukhari No 6930, Muslim No 1066).



Syekh Muhammad Abdul Wahhab (Ahlus Sunnah wal Jamaah) berkata dalam salah satu kitabnya, "Segala puji dan karunia dari Allah serta kekuatan hanyalah bersumber dari-Nya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan hidayah kepadaku untuk menempuh jalan lurus, yaitu agama yang benar; agama Nabi Ibrahim yang lurus, dan Nabi Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Alhamdulillah aku bukanlah orang yang mengajak kepada ajaran sufi, ajaran imam tertentu yang aku agungkan atau ajaran orang filsafat. Tetapi, aku mengajak hanya kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kepada Sunah Rasul-Nya yang telah diwasiatkan kepada seluruh umatnya. Aku berharap tidak menolak kebenaran jika datang kepadaku."


Adapun tuduhan buruk kepada dakwah Syekh Muhammad Abdul Wahhab berasal dari (sebagian) tokoh agama yang tidak suka dakwah salafiyah yang tegas ini. Mereka memutarbalikkan kebenaran. Yang hak dikatakan bathil, begitu pula sebaliknya.

Mereka masih yakin jika mendirikan bangunan dan masjid di atas kuburan, bertawasul doa meminta bantuan kepada mayit, dan semisalnya masih bagian dari ajaran Islam. Dan barang siapa yang mengingkarinya, akan dianggap membenci orang-orang saleh dan para wali. Hal ini yang keliru. Bisa karena kejahilan, bisa juga karena taklid buta akan ajaran nenek moyang dan qila wa qala (katanya-katanya) yang tak mendasar.

Mereka tak siap menerima tegasnya hadis larangan berbagai macam bid’ah dengan masih mempertahankan akar tradisi budaya yang tak mau dihilangkan walau itu menyelisihi sunah. Atau karena beda pemahaman akan bid’ah dan cara beragamanya.

Maka itulah, barang siapa ingin mengetahui secara utuh pemikiran dan ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, ada baiknya lebih objektif lagi membaca kitabnya, seperti Kitab Tauhid, Kasyfu as-Syubhat, Usul ats-Tsalatsah. Janganlah kita gegabah menuduh atau mengklaim sesuatu yang bisa jadi belum benar keabsahannya. Karena, bisa jadi kita terjebak, sadar atau tidak sadar, pada dosa fitnah. Wallahu ta’ala a’lam.

http://republikaco.xzlyv.mobi/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/02/25/nkc4re-perspektif-lain-dari-wahabi


Sekilas keduanya nampak sama. Namun, latar belakang lahirnya kedua istilah itu sungguh bertolak belakang 180 derajat. Istilah salafi lahir sebagai identifikasi sebuah gerakan pemurnian Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Kata salaf sendiri berarti “yang terdahulu”. Dalam hal ini pengertian salaf (yang terdahulu) adalah generasi Sahabat Nabi, Tabiin, dan Tabiut Tabiin. Pengertian itu merujuk kepada sebuah hadis Nabi SAW yang berbunyi, “Sebaik – baik generasi adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian sesudahnya lagi, kemudian sesudahnya lagi”. Jadi, salafiyah adalah ajaran Islam yang merujuk kepada Al-Qur’an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih (tiga generasi awal). Orang – orang yang mengikuti ajaran salafiyah disebut dengan salafi.


Apa beda Salafiyah dengan Ahlus Sunnah?
Secara umum umat Islam awam mengartikan Ahlus Sunnah sebagai :
1. Golongan mayoritas
2. Golongan yang selamat, dalam artian bukan salah satu dari 72 golongan yang terancam api neraka sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis terkenal tentang perpecahan umat.
3. Lawan dari Syiah. Dewasa ini media kerap mengartikan Ahlus Sunnah (pengikutnya disebut Sunni) sebagai semua lawan dari kaum syiah. Padahal, kalau kita cermati pihak – pihak yang berlawanan dengan Syiah sangat banyak dengan aqidah yang berbeda – beda pula.
4. Paham yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hasan al Asy’ary(Asy’ariah) dan Abu Mansur al Maturidi (Maturidiah). Definisi keempat ini banyak tertulis di pelbagai buku Pendidikan Agama Islam SMA dan Perguruan Tinggi. Salah satu buku terkenal yang menyatakan demikian adalah “Teologi Islam”  karya Dr. Harun Nasution.
Dari beberapa definisi di atas, hanya poin nomor 3 yang benar. Adapun poin 4 yang banyak diamini oleh kalangan akademisi jelas salah 100%. Paham Asy’ariah yang oleh masyarakat luas dikenal sebagai Ahlus Sunnah, justru berasal dari pemikiran Imam Abu Hasan al Asy’ari ketika beliau mengalami pergolakan batin dalam mencari kebenaran. Akhirnya Imam Abu Hasan al Asy’ari bertobat  dan kembali kepada ajaran Islam sebagaimana dipahami generasi salafus shalih.  ajaran paham Asy’ariah yang terkenal adalah :
1.  membatasi sifat Allah dengan 20 sifat wajib sebagaimana kita kenal seperti wujud, qidam. baqa’, mukhalafatu lil khawaditsi, dst. Penetapan yang demikian tidak pernah dilakukan oleh kalangan Sahabat Nabi yang paling memahami ajaran Islam.
2. mentakwilkan beberapa sifat Allah, seperti “tangan ” Allah ditakwilkan menjadi kekuasaan Allah, “wajah” Allah ditakwilkan sebagai Ilmu Allah, dan sebagainya. Pentakwilkan semacam ini tidak pernah dilakukan oleh para Sahabat Nabi yang telah ditetapkan Rasulullah sebagai generasi terbaik. Para Sahabat Nabi mengimani semua sifat – sifat Allah tanpa mentakwilkan, meniadakan, menanyakan bagaimana, serta menyerupakan dengan makhluk. Dengan kata lain mereka meyakini, benar bahwa Allah memiliki tangan, wajah sebagaimana telah dinyatakan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah, namun tangan Allah, wajah Allah tidak sama dengan makhluk. Mahasuci Allah dari hal yang demikian.
Terminologi Ahlus Sunnah baru populer setelah abad III Hijriah, untuk membedakannya dengan berbagai sekte menyimpang semisal Khawarij, Syiah, Muktazilah, Jabariyah, dan Qadariyah. Dengan kata lain terminologi
Ahlus Sunnah digunakan sebagai penegasan tentang ajaran Islam murni sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para Sahabat.
Seiring perjalanan waktu kian banyak berbagi pergerakan Islam, partai, organisasi yang mengklaim berazaskan Ahlus Sunnah. Namun faktanya, tak sedikit dari berbagai kelompok tersebut yang dalam aqidahnya, metodologinya, atau tujuan dakwahnya melenceng dari ajaran Ahlus Sunnah yang sesungguhnya. Sebuah ormas besar yang mengklaim sebagai penggerak dakwah Ahlus Sunnah, nyatanya ormas tersebut lebih banyak melestarikan berbagai ajaran syirik, bid’ah, dan pengkultusan terhadap kyai yang amat bertentangan dengan ajaran Ahlus Sunnah itu sendiri. Oleh karena itu, untuk membedakan Ahlus Sunnah yang sungguhan dengan Ahlus Sunnah yang hanya sebatas lebel digunakanlah istilah Salafiyah. Jadi, salafiyah hakekatnya merupakan sebutan lain dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah untuk membedakannya dari Ahlul Bid’ah Wal Jamaah.
Apa beda Salafi dengan Wahabi?
Istilah Wahabi dinisbatkan kepada Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab at Tamimi, seorang ulama besar dari Hijaz yang berjuang menegakkan tauhid memberantas kesyrikan di semenanjung Arabia. Dilihat dari penyebutannya saja istilah ini sudah rancu, lantaran kata wahabiyah justru mengacu pada ayah Syaikh Muhamad at Tamimi sebagai penggerak dakwah yang bernama Abdul Wahab. Jika mau fair, harusnya dakwah beliau disebut Muhamadiyah sesuai dengan nama tokohnya. Akan tetapi jika nama itu yang digunakan, maka tujuan pemunculan istilah tersebut sebagai alat penggiring opini negatif terhadap dakwah beliau takkan pernah terwujud.
Dapat dipastikan istilah wahabiyah sengaja dimunculkan oleh pihak – pihak yang tak menyenangi dakwah beliau baik dari kalangan kafir maupun dari kalangan kaum muslimin itu sendiri. Tak cukup dengan sekedar penciptaan opini, musuh – musuh dakwah tauhid bahkan menciptakan sejarah palsu tentang dakwah beliau . Wahabi selalu diidentikkan dengan kekerasan, kebrutalan, dan jejak berdarah. Saat ini pun, ketika terjadi teror yang mengguncang tanah air sebagian orang langsung menuduh wahabi sebagai biang keroknya. Apalagi bila pelakunya memiliki identitas jenggot, jidat hitam, celana ngatung, dan istrinya bercadar. Tuduhan itu sungguh tak berdasar.Pasalnya, dalam berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama yang dicap wahabi, justru menyerukan kepada kaum muslimin untuk mentaati pemerintahnya. Tak main – main. Taat terhadap penguasa merupakan salah satu pilar aqidah. Bahkan, Saudi Arabia yang dicap sebagai tempat tumbuh berkembangnya wahabiyah justru sering menjadi sasaran teror Al Qaida.
Sebetulnya penyebutan istilah wahabi dengan konotasi negatif bukan barang baru di tanah air. Dulu, di masa pemerintahan Hindia Belanda, istilah tersebut juga dimunculkan untuk memberi stigma negatif  para da’i yang menolak taklid terhadap mazhab dan menolak pelestarian adat istiadat yang berbau kesyirikan. Para da’i yang acapkali diberi stigma wahabi kala itu adalah mereka yang tergabung dalam organisasi Muhammadiyah, Persis, dan Al Irsyad.
Jadi, apa beda salafi dengan wahabi?  Perbedaannya adalah pada asal muasal pemunculan istilah tersebut. Istilah Salafi dimunculkan sebagai identitas atas sebuah dakwah tauhid yang menyeru kepada umat untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih. Sedangkan, istilah wahabi dimunculkan oleh musuh – musuh dakwah tauhid baik dari golongan kafir maupun kaum muslimin sendiri yang kian resah lantaran dakwah ini semakin berkembang dari hari ke hari. Siapakah golongan umat Islam yang tak menghendaki dakwah tauhid ini berkembang pesat menyinari hati para insan?

Kaum liberalis yang memang selalu mengeluarkan fatwa – fatwa super nyeleneh seperti bolehnya seorang muslimah menikahi pria di luar Islam, bolehnya menghadiri perayaan Natal (ingat 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus, melainkan kelahiran Dewa Matahari dalam mitologi romawi. Saking kentalnya pengaruh kultur Romsawi dalam ajaran Kristen, sampai – sampai hari sabat yang harusnya jatuh hari sabtu diganti dengan hari minggu yang merupakan hari kelahiran Dewa Matahari. Sun=matahari, day=hari, Sunday=hari matahari), dsb
Kalangan penyembah kubur, pengkultus kyai, dan semacamnya. Bila dakwah tauhid berkembang, para kyai(Tidak semua kyai, namun memang ada kyai jenis ini) akan kehilangan kedudukannya, penghasilannya, dan  kewibawaannya. Mengapa? Kyai (ada yang merangkap dukun) tak lagi mendapat amplop dari orang – orang yang meminta doanya dalam berbagai acara bid’ah, dan orang – orang yang meminta jimat darinya dengan bayaran mahal. Praktek para kyai ini tak ubahnya seperti kelakuan para pendeta yang menjual surat pengampunan dosa sebelum terjadinya Reformasi Protestan.
Demikianlah sedikit tentang perbedaan latar belakang lahirnya terminologi salafi dan wahabi, yang banyak orang keliru dalam menyikapinya
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Muhammad Karyono, 01 January 2012, dalam
http://sejarah.kompasiana.com/2012/01/01/beda-salafi-dengan-wahabi/)