Sunday, February 15, 2015

Titik Temu Wahabi-NU

Friday, 13 February 2015, 14:00 WIB
Banyak orang terkejut ketika seorang ulama Wahabi mengusulkan agar kitab-kitab Imam Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, diajarkan di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah Islam di Indonesia. Hal itu karena selama ini dikesankan bahwa paham Wahabi yang dianut oleh pemerintah dan mayoritas warga Arab Saudi itu berseberangan dengan ajaran Nahdlatul Ulama yang merupakan mayoritas umat Islam Indonesia.

Tampaknya selama ini ada kesalahan informasi tentang Wahabi dan NU. Banyak orang Wahabi yang mendengar informasi tentang NU dari sumber-sumber lain yang bukan karya tulis ulama NU, khususnya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Sebaliknya, banyak orang NU yang memperoleh informasi tentang Wahabi tidak dari sumber-sumber asli karya tulis ulama-ulama yang menjadi rujukan paham Wahabi.

Akibatnya, sejumlah orang Wahabi hanya melihat sisi negatif NU dan banyak orang NU yang melihat sisi negatif Wahabi. Penilaian seperti ini tentulah tidak objektif, apalagi ada faktor eksternal, seperti yang tertulis dalam Protokol Zionisme No 7 bahwa kaum Zionis akan berupaya untuk menciptakan konflik dan kekacauan di seluruh dunia dengan mengobarkan permusuhan dan pertentangan.

Untuk menilai paham Wahabi, kita haruslah membaca kitab-kitab yang menjadi rujukan paham Wahabi, seperti kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan termasuk kitab-kitab karya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang kepadanya paham Wahabi itu dinisbatkan. Sementara untuk mengetahui paham keagamaan Nahdlatul Ulama, kita harus membaca, khususnya kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy'ari yang mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kami telah mencoba menelaah kitab-kitab karya Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan membandingkannya dengan kitab-kitab karya Imam Ibnu Taymiyyah dan lain-lain. Kemudian, kami berkesimpulan bahwa lebih dari 20 poin persamaan ajaran antara Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dan imam Ibnu Taymiyyah. Bahkan, seorang kawan yang bukan warga NU, alumnus Universitas Islam Madinah, mengatakan kepada kami, lebih kurang 90 persen ajaran Nahdlatul Ulama itu sama dengan ajaran Wahabi.

Kesamaan ajaran Wahabi dan NU itu justru dalam hal-hal yang selama ini dikesankan sebagai sesuatu yang bertolak belakang antara Wahabi dan NU. Orang yang tidak mengetahui ajaran Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, maka ia tentu akan terkejut. Namun, bagi orang yang mengetahui Wahabi dari sumber-sumber asli Wahabi, mereka justru akan mengatakan, "Itulah persamaan antara Wahabi dan NU, mengapa kedua kelompok ini selalu dibenturkan?" [dalangnya syi'ah, alwi shihab dkk, red. lamurkha ]

Di antara titik-titik temu antara ajaran Wahabi dan NU yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan itu adalah sebagai berikut. Pertama, sumber syariat Islam, baik menurut Wahabi maupun NU, adalah Alquran, hadis, ijma, dan qiyas. Hadis yang dipakai oleh keduanya adalah hadis yang sahih kendati hadis itu hadis ahad, bukan mutawatir. Karenanya, baik Wahabi maupun NU, memercayai adanya siksa kubur, syafaat Nabi dan orang saleh pada hari kiamat nanti, dan lain sebagainya karena hal itu terdapat dalam hadis-hadis sahih.

Kedua, sebagai konsekuensi menjadikan ijma sebagai sumber syariat Islam, baik Wahabi maupun NU, shalat Jumat dengan dua kali azan dan shalat Tarawih 20 rakaat. Selama tinggal di Arab Saudi (1976-1985), kami tidak menemukan shalat Jumat di masjid-masjid Saudi kecuali azannya dua kali, dan kami tidak menemukan shalat Tarawih di Saudi di luar 20 rakaat. Ketika kami coba memancing pendapat ulama Saudi tentang pendapat yang mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat itu sama dengan shalat Zhuhur lima rakaat, ia justru menyerang balik kami, katanya, "Bagaimana mungkin shalat Tarawih 20 rakaat itu tidak benar, sementara dalam hadis yang sahih para sahabat shalat Tarawih 20 rakaat dan tidak ada satu pun yang membantah hal itu." Inilah ijma para sahabat. [ persoalan ini tidak prinsipil, masalah furu'bisa dibicarakan baik-baik sebagai saudara seiman. red ]

Ketiga, dalam beragama, baik Wahabi maupun NU, menganut satu mazhab dari mazhab fikih yang empat. Wahabi bermazhab Hanbali dan NU bermazhab salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Baik Wahabi (Imam Ibnu Taymiyyah) maupun NU (Imam Muhammad Hasyim Asy’ari), sama-sama berpendapat bahwa bertawasul (berdoa dengan menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh) itu dibenarkan dan bukan syirik.
Kendati demikian, Imam Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, mensyaratkan bahwa dalam berdoa dengan tawasul menyebut nama Nabi Muhammad SAW atau orang saleh, kita tetap harus yakin bahwa yang mengabulkan doa kita adalah Allah SWT, bukan orang yang namanya kita sebut dalam tawasul itu. Wahabi dan NU sama-sama memercayai adanya karamah para wali (karamat al-awliya) tanpa mengultuskan mereka.

Memang ada perbedaan antara Wahabi dan NU atau antara Imam Ibnu Taymiyyah dan Imam Muhammad Hasyim Asy’ari. Namun, perbedaan itu sifatnya tidak prinsip dan hal itu sudah terjadi sebelum lahirnya Wahabi dan NU.

Dalam praktiknya, baik Wahabi maupun NU, tidak pernah mempermasalahkan keduanya. Banyak anak NU yang belajar di Saudi yang notabenenya adalah Wahabi. Bahkan, banyak jamaah haji warga NU yang shalat di belakang imam yang Wahabi, dan ternyata hal itu tidak menjadi masalah. Wahabi dan NU adalah dua keluarga besar dari umat Islam di dunia yang harus saling mendukung. Karenanya, membenturkan antara keduanya sama saja kita menjadi relawan gratis Zionis untuk melaksanakan agenda Zionisme, seperti tertulis dalam Protokol Zionisme di atas. Wallahu al-muwaffiq. 

Ali Mustafa Yaqub
Ulama NU, guru besar di bidang hadits, anggota komisi Fatwa MUI,  sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal
[ beliau sangat keras penentangannya terhadap sekte sesat syi'ah]
Buku Ajaran Madzhab Imam asysyafii Yang Di Tinggalkan, penulis Firanda Andirja Abidin, Lc. M.A., penerbit Nashirussunnah
http://khittahnu.blogspot.com/2013/01/profil-sang-ulama-besar-kyai-h-hasyim.html


Untuk konteks Indonesia sekarang ini, yang paling berkepentingan membenturkan antara "Wahabi" dan NU adalah pihak SYIAH. 
SYIAH sebagai minoritas di Indonesia berusaha mencari muka dengan mengetengahkan "persamaan kultural" mereka dengan NU.
Saya juga sepakat bahwa stigma buruk pada "Wahabi" lebih banyak disebabkan oleh oknum-oknumnya.
 
Lha, sebagai manusia berakal: apakah kita akan menilai sebuah ajaran HANYA dengan melihat oknumnya, atau memahami teks-teks ajaran itu langsung dari sumbernya?
 
Bahasa lainnya: Jika "Wahabi" dicitrakan buruk dan "Anti Wahabi" dicitrakan santun lan bijaksana: Apakah kita lebih tertipu (lagi) dengan PENCITRAAN daripada membaca langsung dari sumbernya?
Jangan lupa, banyak orang Barat masuk Islam karena membaca langsung al-Qur'an, bukan karena melihat perilaku mayoritas Umat Islam yang mungkin masih jauh dari al-Qur'an dan al-Sunnah.
Saya sangat setuju dengan tulisan Kyai Ali Mustafa Yaqub di atas!
 
· 14 · February 13 at 4:04pm


99 Persen Pemahaman dan Pemikiran Sama, Arab Saudi Hormati KH. Hasyim Asyari
Kamis, 1 Jumadil Awwal 1436 H / 19 Februari 2015 23:20 wib
Hampir satu abad lebih, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asyari telah memberikan peringatan kepada umat Islam Ahlu Sunnah wal Jama'ah di Tanah Air mengenai pergerakan-pergerakan yang melenceng dari agama Islam.
Salah satu pesan almarhum yang kebanyakan publik tidak tahu ialah perihal penolakannya terhadap ajaran atau pergerakan Syiah. Persisnya sebelum revolusi Iran meletus, almarhum sudah memberitahukannya. Yang kemudian ia abadikan melalui banyak tulisan dan dicetak dalam bentuk buku.
"Dalam sekian banyaknya buku yang ditulis, beliau jelas sekali menentang Syiah. Persis sebelum revolusi Iran meletus," ucap KH. Ali Mustafa Yakub mengutip salah satu buku karya beliau yang disampaikan untuk wartawan voa-islam.com beberapa waktu yang lalu.
Ia juga mengatakan bahwa hampir 19 hingga 30 buku karya almarhum KH. Hasyim Asyari yang di dalamnya membicarakan dan menentang keberadaan Syiah. Tidak hanya Syiah Imamiyah, Syiah Zaidiyah pun ia tentang, sekalipun diketahui moderat.
"Hampir 19 hingga 30 buku yang menantang Syiah," tambahnya.  Beliau pun mengapresiasinya.
Namun, bukan hanya Kiai Ali yang mengapresiasi keberanian dan kebenaran yang diciptakan KH. Hasyim Asyari perihal Syiah. Arab Saudi pun yang mendapat "cap" Wahabi oleh beberapa kalangan Nahdiyin angkat topi kepada almarhum. Bahkan menurut Kiai Ali, beberapa buku ciptaan almarhum Hasyim Asyari memiliki banyak persamaan, yaitu hampir 90 persen ajaran dan pemahamannya dengan Arab Saudi.
"Atas pemikiran beliau, Saudi Arabia mengapresiasi sangat tinggi untuk KH. Hasyim Asyari. Merespons positif. Sembilan puluh persen pesan-pesan atau ajaran beliau ternyata sama seperti apa yang dijalankan oleh negara yang kaya minyak tersebut," aku beliau setelah mendapat perhatian khusus dari salah utusan Arab Saudi pada acara di salah hotel di Jakarta, malam (11/02/2015).
Untuk itu, Imam Besar Masjid Istiqlal ini mengusulkan agar buku-buku karya KH. Hasyim Asyari disebarluaskan ke sekolah-sekolah dan pesantren di seluruh Indonesia. Agar masyarakat NU khususnya, dan umumnya masyarakat paham bahwa beliau dan Arab Saudi "satu" pemahaman dan ajaran. Terutama perihal menentang keberadaan Syiah. 


bagaimana "tanggapan syi'aher Alwi Shihab.....

peternak “kambing hitam jahiliyah” wahabi ??!! [ gemar menuding wahhabi/penghina ( sifat ) Allah, al-Wahhab dan pengadu domba NU-Wahhabi]?? 


KH Ali Mustafa Yaqub: “Jangan Beri Kesempatan Orang Syiah Bicara di Masjid Istiqlal
Kewenangan memberikan izin tamu-tamu internasional untuk berceramah di Masjid Istiqlal Jakarta dipegang oleh Ketua Badan Pengelola Pelaksana Masjid Istiqlal, langsung dalam pengawasan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) RIJAKARTA (SALAM-ONLINE): Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Prof Ali Mustafa Yaqub mengatakan ceramah ulama Syiah di Masjid Istiqlal sudah masuk dalam kategori membahayakan NKRI.
“Memang benar, ada ulama Syiah dari Iran yang memberikan ceramah di Masjid Istiqlal hari Jumat kemarin. Cuma yang mempunyai wewenang untuk memberikan izin itu bukan saya, tetapi Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal di bawah pengawasan Kementerian Agama,” kata Kiai Mustafa saat dimintai konfirmasi olehhidayatullah.com, Sabtu (22/11/2014).
Menurutnya, ceramah salah satu ulama Syiah asal Iran di Masjid Istiqlal hari Jumat (21/11/2014) lalu telah membuat keresahan kalangan Islam.
Ia membenarkan bahwa acara itu diadakan di Masjid Istiqlal pada hari Jumat kemarin. Ketika itu ia sedang ada urusan ke Pontianak. Awalnya informasi yang ia terima ada dua tamu, satu Imam Masjid Kubah (Madinah), satunya lagi dari Irak. Setelah tiba dari Pontianak baru Kiai Musthofa tahu bahwa yang ceramah itu justru dari Iran, bukan dari Irak.
Kepada hidayatullah.com Kiai Mustafa mengatakan bahwa ia sudah berulangkali memberikan masukan kepada Badan Pengelola Pelaksana Masjid Istiqlal untuk tidak memberikan kesempatan kepada ulama Syiah berceramah di Masjid Istiqlal karena hal itu hanya akan menimbulkan kontroversi, kecuali hanya untuk melaksanakan shalat saja.
“Silakan memberikan izin kepada tamu dari Iran (orang-orang Syiah, red) untuk melaksanakan shalat di Masjid Istiqlal, tapi jangan sampai memberikan kesempatan berceramah karena akan membahayakan umat Islam,” tegasnya mengulang nasihatnya yang diberikan kepada Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal Jakarta.
Apalagi menurut Kiai Mustafa, sudah jelas bahwa Syiah sendiri merupakan ancaman terbesar yang membahayakan umat Islam, khususnya NKRI. Jadi jangan sampai memberikan kesempatan kepada orang-orang Syiah untuk angkat bicara berceramah di Masjid Istiqlal.
Hanya saja nasihatnya sering tidak diindahkan. Apalagi, kewenangan memberikan izin tamu-tamu internasional untuk berceramah di Masjid Istiqlal Jakarta dipegang oleh Ketua Badan Pengelola Pelaksana Masjid Istiqlal, langsung dalam pengawasan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) RI, ujar Kiai Ali Mustafa. (hidayatullah.com)
salam-online Redaksi Salam-Online – Ahad, 30 Muharram 1436 H / 23 November 2014 07:18

Komunitas ‘Aswaja Garis Lurus’ Ajak Teladani Ketegasan Pendiri NU
Rabu, 26 November 2014 - 05:00 WIB
Komunitas ini dibangun guna meneruskan estafet perjuangan KH. Hasyim Asy’ari yang ia kenal merupakan figur kiai NU yang tegas, Sejumlah habaib, kiai muda dan aktivis Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), pada Ahad (24/11/2014) lalu mengadakan silaturahim Nasional di Hotel Utami Surabaya untuk menyikapi berbagai kondisi yang dialami umat Islam secara keseluruhan dan umat Aswaja di Indonesia secara khusus.
KH. Luthfi Bashori Alwi, yang memimpin pertemuan nasional tersebut menegaskan bahwa para hadirin yang datang ke Silaturahim Nasional ini memiliki tujuan sama yaitu memperjuangkan Aswaja dari aliran-aliran yang menggerogoti.
Beliau menyebut komunitas ini dengan nama “Aswaja Garis Lurus”, karena perjuangannya untuk meluruskan aliran-aliran di luar Aswaja sekaligus meluruskan intern Aswaja yang bengkok, jelas Kiai Lutfi menerangkan alasan pentingnya pertemuan ini.
“Ada yang mengaku Aswaja tetapi condong kepada aliran sesat yang diimpor. Ini garis bengkok yang harus diluruskan,” tambahnya.

Komunitas yang akan ia bangun jelas Kiai asal Singosari ini pada prisipnya meneruskan estafet perjuangan KH. Hasyim Asy’ari yang ia kenal merupakan figur kiai NU yang tegas terhadap kemungkaran akidah.
“Syiah Zaidiyah yang oleh para sebagian ulama sebelumnya masih ada beda pendapat, tapi oleh Kiai Hasyim Asyari dinilai haram untuk diikuti warga NU,” tambahnya. Karena itu, Kiai Luthfi mengharapkan komunitas ini tidak ragu-ragu mengikuti ciri khas perjuangan (Alm) Kiai Hasyim Asyari.
“Ternyata, KH. Hasyim Asy’ari adalah kiai yang luar biasa tegas. Saya pernah berkesempatan masuk ruang perpustakaan pribadinya. Dari risalah-risalah yang beliau tulis, saya temukan kita seperti ini tidak ada apa-apanya dengan ketegasan beliau.”Kata Kiai Luthfi, ketegasan Kiai Hasyim inilah yang harus diteruskan perjuangannya.
Silaturahim “Aswaja Garis Lurus” ini akan merumuskan bentuk-bentuk perjuangan sesauai dengan garis pemikiran pendiri NU.
Silaturahim Nasional yang dihadiri oleh 75 peserta dari berbagai kota di Indonesia selanjutnya membentuk komisi-komisi untuk menangani isu-isu dan permasalahan dihadapi. Seperti komisi liberalisme, Syiah, Wahabi [baca tulisan Prof.DR.KH. Ali Mustafa Yakub MA diatas], pendidikan, dan media.

Aswaja NU: Perbedaan Sunni-Syiah Terlalu Banyak
Kamis, 29 Januari 2015 - 08:56 WIB
Menurut Muhammad Idrus Ramli dari ASWAJA Centre, hasil dialog menunjukkan banyak perbedaan mendasar dibanding persamaannya

Sebagaimana diketahui, “Dialog Terbuka Aswaja NU – Syi’ah” yang diselenggarakan hari Senin (26/01/2015) dihadiri pembicara dari pihak Aswaja NU adalah Muhammad Idrus Ramli  (Jember), sedangkan dari pihak Syi’ah Abdullah Uraidhi  (Jakarta) dan Abdillah Ba’abud (Malang), keduanya lulusan Iran.]
Menurut Muhammad Idrus Ramli dari ASWAJA Centre, hasil dialog menunjukkan banyak perbedaan mendasar dibanding persamaannya.
“Perbedaan Sunni dengan Syiah terlalu banyak daripada persamaannya, sebab bukan hanya dalam aqidah yang berbeda, dalam bidang ibadah juga sangat berbeda. Orang Syiah yang mengkafirkan sahabat, mencaci istri Rasul, meyakini tahrif Quran, dll,” ujarnya.

Perbedaan Syiah dan Sunni Masuk Wilayah Ushul
Senin, 3 November 2014 - 10:42 WIB
Syiah dinilai banyak dusta dan memelintir sejarah, khususnya tentang para Sahabat Nabi; Abu Bakar, Umar dan Usman.
Perbedaan antara Sunni (Ahlus Sunnah) dan Syiah adalah menyakut masalah ushul (pokok/dasar) dalam ajaran agama. Bukan perbedaan masalah furu’ (cabang).
“Perbedaan Syiah dengan Ahlu Sunnah masuk dalam ushul.Selain itu, sudah masuk ke ranah ‘pertentangan’ terhadap ajaran Islam sesungguhnya,” demikian kutipan yang disampaikan Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Pusat, Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam Launching dan Bedah Buku “Teologi dan Ajaran Syi’ah Menurut Referensi Induknya”di Hotel Sofyan Betawi Jl. Cut Meutia No. 9 Menteng Jakarta Pusat Ahad (02/11/2014).
Ia juga menyampaikan, bahwa ajaran Syiah banyak dusta dan memelintir sejarah, khususnya tentang para Sahabat Nabi. Misalnya saja jika Ali adalah penentang kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Usman.
“Dusta. Faktanya Ali membaiat seluruh sahabat, tegasnya.
Ia mengutip pernyataan-pernyataan kebencian kaum Syiah kepada Sahabat-Sahabat Nabi. Salah satunya Sahabat Umar Ibn Khatab.
“….andaikan aku masuk surga lalu bertemu Umar di sana, maka aku akan minta kepada Allah agar aku dipindahkan ke neraka,” demikian kata Hamid buku “Teologi dan Ajaran Syi’ah Menurut Referensi Induknya.*

Bedah Buku “Teologi dan Ajaran Syiah”
Perbedaan Sunni – Syiah Cukup Banyak, Sampai Tataran Konsep Syariah
Ahad, 1 Februari 2015 - 05:50 WIB
“Media-media mainstream tidak banyak yang mengerti Syiah. Kita baca jika ada berita konflik Sunni-Syiah, media mainstream tidak mencari sebab, tapi mereka manampilkan akibanya saja.”
Orang Sunni yang mengatakan Ahlus Sunnah sama dengan Syiah seharusnya melihat bagaimana Syiah itu menilai tentang Ahlus Sunnah. Kenyataannya, mereka membenci Ahlus Sunnah.
Demikian salah satu pernyataan  KH. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi pada acara bedah buku “Teologi dan Ajaran Syiah Menurut Referensi Induknya”, Jum’at (30/01/2015) di Hotel Elmi Surabaya.
“Dalam buku ini kita beberkan Syiah secara ilmiah apa adanya dari syari’ah sampai akidah,” tegas putra pendiri Pesantren Gontor tersebut.
Hamid menilai perbedaan Ahlus Sunnah dengan Syiah cukup banyak. Tidak hanya akidah yang telah jelas itu, tetapi sampai pada tataran konsep-konsep syariahnya berbeda.
“Syiah itu berbeda  dari beberapa sisi. Seperti tentang isu tahrif al-Qur’an, Sahabat Nabi Shallallhu ‘Alaihi Wassalam dan syariat. Mereka misalnya, mengkafirkan semua Sahabat kecuali tiga”, tambahnya.
Dalam keterangannya, Hamid mempertanyakan kampanye Syiah yang mengajak bersatu dengan Ahlus Sunnah.
“Kenapa Syiah sekarang mau menyama-nyamakan dengan Ahlus Sunnah. Sementara di sana (Iran – pen)  mereka justru membeda-bedakan. Jumlah Sinagog Yahudi lebih banyak dengan jumlah masjid Sunni, kata direktur INSISTS itu.
Bagi Hamid, buku-buku induk Syiah perlu diungkap.
Katanya, semakin banyak ajaran Syiah yang diungkap, masyarakat mulai memahami bahwa teologi Syiah menyimpan kebencian terhadap pengikut Nabi Shallallhu ‘Alaihi Wassalam, yaitu Ahlus Sunnah.
Pernyataan Hamid itu ditegaskan oleh Idrus Ramli dari Aswaja Center PWNU Jawa Timur itu.
“Kita menyampaikan apa adanya tentang Syiah. Bahwa Syiah mengandung bid’ah. Dalam bid’ah Syiah itu ada yang dhalal (sesat) dan ada yang sampai pada kekufuran,” ujar pakarnya.
“Jika kita baca kitab-kitab Syiah, akan ditemukan mengaku sendiri bahwa Tuhan Syiah tidak sama dengan Tuhan yang disembah orang Sunni. Itu seperti dikatakan sendiri oleh Ni’matullah al-Jazairi,” ujar kiai alumni pesantren Sidogiri Pasuruan ini.
Idrus Ramli dalam kesempatan ini banyak menerangkan tentang Ahlul Bait yang sering dijadikan Syiah sarana kampanye.
“Yang membela dan mencintai Ahlul Bait adalah Ahlus Sunnah bukan Syiah. Ahlus Sunnah memasukkan istri nabi sebagai Ahlul Bait, sedangkan Syiah meyakini istri nabi bukan Ahlul Bait. Syiah ini merusak Ahlul Bait”, tambahnya.
Idrus menilai Syiah tidak layak mengaku pengikut Ahlul Bait apalagi pecintanya. Sebab, Syiah sebenarnya tidak punya sanad ke Ahlul Bait.
“Justru sebaliknya, semua imam madzhab dalam Ahlus Sunnah pernah berguru kepada Ahlul Bait. Seperti imam Hanafi, Maliki, Syafi’i belajar ke ulama dari Ahlul Bait Sunni tegas kiai asal Jember.
Sementara pemateri ketiga disampaikan oleh Henri Shalahuddin, MA. Henri yang juga editor bukut tersebut berpendapat bahwa ajaran Syiah itu banyak yang aneh-aneh dan tidak rasional.
“Memang, kalau baca fatwa-fatwa dan kitab mereka, banyak sekali yang aneh”, ujarnya.
Dalam keterangannya ia menampilkan gambar-gambar dan scan kitab dalam slide yang atraktif.
Dalam bedah buku ini juga dihadiri oleh Dr. Adian Husaini dan Herry Mohammad, redaktur senior Majalah Gatra.
Menanggapi keterangan Henry, menurut Adian, meski banyak ajaran yang aneh tapi yang lebih aneh di Indonesia banyak yang suka keanehan.
Logika mereka juga terlalu rendah untuk didebat.
“Jangan terlalu melayani mereka. Kita perlu bentengi Sunni”, tegas Adian
Karena itu saran Adian, kita tidak hanya sampai membeberkan keanehan-keanehan itu saja namun sudah saatnya harus menyadarkan Syiah.
“Sekarang kita perlu bentuk dai-dai muda yang bisa menyadarkan Syiah. Kita ajari mahasiswa misalnya untuk bisa mensunnikan kembali Syiah,” ujarnya.
Herry Mohammad dalam kesempatan ini mengapresiasi buku yang diterbitkan (Institute for Study of Islamic Thought and Civilization) INSISTS itu.
“Ini satu-satunya buku di Indonesia tentang Syiah yang disajikan secara ensiklopedis dengan bahasa ilmiah,” kata wartawan senior ini.
Kata dia, kita mencari tema-tema pokok Syiah apa saja bisa didapatkan di buku ini.
Secara khusus, buku ini kata Herry diharapkan bisa menjadi rujukan utama memahami Syiah. Terutama untuk para insan media.
“Media-media mainstream tidak banyak yang mengerti Syiah. Kita baca jika ada berita konflik Sunni-Syiah, media mainstream tidak mencari sebab, tapi mereka manampilkan akibanya saja.”
Padahal, baginya, media harus tahu penyebab utama terjadinya gesekan Syiah tersebut.
Bedah buku ini diselenggarakan oleh Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya bekerja sama dengan INSISTS dan MIUMI Jawa Timur.
Buku Teologi dan Ajaran Syiah Menurut Referensi Induknya merupakan kumpulan artikel ilmiah yang ditulis oleh delapan belas penulis. Mengupas seluk-beluk ajaran Syiah dengan merujuk kepada referensi induk mereka.*

ASWAJA Garis Lurus: Pemerintah Bisa Larang Aktivitas Syiah 
[ seperti Malaysia dan Brunei Larang Keberadaan Syiah ]
Ahad, 15 Februari 2015 - 13:27 WIB
Pemerintah bisa melarang berkembangnya Syiah serta segera menutup segala aktifitas yang berafiliasi kepada ajaran Syiah.
Pejuang Ahlus Sunnah (ASWAJA) Garis Lurus, yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islami Singosari Malang, KH. Luthfi Bashori Alwi mengatakan peristiwa penyerangan gerombolan pembela Syiah terhadap jama’ah majelis Az-Zikra adalah bukti Syiah merupakan berbeda dengan Ahlus Sunnah.
“Islam Indonesia adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sesuai peninggalan Wali Songo,” kata KH Luthfi kepada hidayatullah.com, Sabtu (14/02/2015).
Karena itu, menurutnya, karena Indonesia adalah Negara Ahlu Sunnah, lebih baik penganut Syiah bisa bergabung dengan Negara Syiah, di Iran.
“Di sanalah Syiah menjadi agama resmi bagi negara Iran,” tegas KH Luthfi yang juga Ketua Komisi Hukum dan Fatwa MUI Malang.
Demi keutuhan NKRI sebagai Bumi Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berdaulat, maka kata KH Luthfi sudah seharusnya pemerintah baik pusat maupun provinsi lebih mendahulukan kepentingan ketentraman umat Islam mainstream.
Langkah yang bisa dilakukan pemerintah antara lain dengan cara melarang berkembangnya Syiah di Indonesia serta segera menutup segala aktifitas yang berafiliasi kepada ajaran Syiah,” tutup murid Syeikh Muhammad Alawi al-Maliki, Makkah al-Mukarrama ini.*