Ciri-Ciri Aqidah Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah
Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah memiliki ciri-ciri khusus. Adapun ciri-ciri itu dapat dijelaskan
sebagai berikut.
[1] Sumber pengambilannya
bersih dan akurat. Hal ini karena aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berdasarkan
Kitab dan Sunnah serta Ijma’ para Salafush Shalih, yang jauh dari keruhnya hawa
nafsu dan syubhat.
[2] Ia adalah aqidah yang
berlandaskan penyerahan total kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab aqidah ini
adalah iman kepada sesuatu yang ghaib. Karena itu, beriman kepada yang ghaib
merupakan sifat orang-orang mukmin yang paling agung, sehingga Allah memuji
mereka :“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak
ada keraguan padanya ; petunjuk bagi orang yang bertakwa, (yaitu) mereka yang
beriman kepada yang ghaib”. [Al-Baqarah : 2-3]. Hal
itu karena akal tidak mampu mengetahui hal yang ghaib, juga tidak dapat berdiri
sendiri dalam memahami syari’at, karena akal itu lemah dan terbatas.
Sebagaimana pendengaran, penglihatan dan kekuatan manusia itu terbatas,
demikian pula dengan akalnya. Maka beriman kepada yang ghaib dan menyerah
sepenuhnya kepada Allah adalah sesuatu yang niscaya.
[3] Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah aqidah yang sejalan dengan fithrah dan logika yang benar, bebas
dari syahwat dan syubhat.
[4] Sanadnya bersambung
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat, tabi’in dan para
imam, baik dalam ucapan, perbuatan maupun keyakinan. Ciri ini banyak diakui
oleh para penentangnya. Dan memang -Alhamdulillah- tidak ada suatu prinsip pun dari
aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak memiliki dasar Al-Qur’an dan
As-Sunnah atau dari Salafus Shalih. Ini tentu berbeda dengan aqidah-aqidah
bid’ah lainnya.
[5] Ia adalah aqidah yang
mudah dan terang, seterang matahari di siang bolong. Tidak ada yang rancu,
masih samar-samar maupun yang sulit. Semua lafazh-lafazh dan maknanya jelas,
bisa dipahami oleh orang alim maupun awam, anak kecil maupun dewasa. Ia adalah
aqidah yang berdasar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan dalil-dalil
Al-Qur’an dan As-Sunnah laksana makanan yang bermanfaat bagi segenap manusia.
Bahkan seperti air yang bermanfaat bagi bayi yang menyusu, anak-anak, orang
kuat maupun lemah.
[6] Selamat dari kekacauan,
kontradiksi dan kerancuan. Betapa tidak, ia adalah bersumber kepada wahyu yang
tak mungkin datang kepadanya kebatilan, dari manapun datangnya. Dan kebenaran
tidak mungkin kacau, rancu dan mengandung kontradiksi. Sebaliknya, sebagiannya
membenarkan sebagian yang lain. Allah berfirman : “Kalau sekiranya Al-Qur’an
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak
di dalamnya” [An-Nisaa : 82]
[7] Mungkin di dalamnya
terdapat sesuatu yang mengandung perdebatan, tetapi tidak mungkin mengandung
sesuatu yang mustahil. Dalam aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada hal-hal yang
di luar jangkauan akal, atau tidak mampu dipahami. Seperti seluruh masalah
ghaib, adzab dan nikmat kubur, shirath, haudh (telaga), surga dan neraka, serta
kaifiyah (penggambaran) sifat-sifat Allah. Akal manusia tidak mampu memahami atau
mencapai berbagai persoalan di atas, tetapi tidak menganggapnya mustahil.
Sebaliknya ia menyerah, patuh dan tunduk kepadanya. Sebab semuanya datang dari
wahyu, yang tidak mungkin berdasarkan hawa nafsu.
[8] Ia adalah aqidah yang
universal, lengkap dan sesuai dengan setiap zaman, tempat, keadaan dan umat.
Bahkan kehidupan ini tidak akan lurus kecuali dengannya.
[9] Ia adalah aqidah yang
stabil, tetap dan kekal. Ia tetap teguh menghadapi berbagai benturan yang terus
menerus dilancarkan musuh-musuh Islam, baik dari Yahudi, Nashrani, Majusi
maupun yang lainnya. Ia adalah akidah yang kekal hingga hari kiamat. Ia akan
dijaga oleh Allah sepanjang generasi. Tak akan terjadi penyimpangan,
penambahan, pengurangan atau penggantian. Betapa tidak, karena Allah-lah yang menjamin
penjagaan dan kekalannya. Ia tidak menyerahkan penjagaan itu kepada seorangpun
dari mahluk-Nya, Alah berfirman : “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan
Al-Qur’an dan Kamilah yang akan menjaganya”. [Al-Hijr : 9]
[10] Ia adalah sebab adanya
pertolongan, kemenangan dan keteguhan. Hal itu karena ia adalah aqidah yang
benar. Maka orang yang berpegang teguh kepadanya akan menang, berhasil dan
ditolong. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Akan
senantiasa ada sekelompok dari umatku yang membela kebenaran, yang tidak akan
membahayakan mereka orang yang merendahkan mereka sampai datangnya keputusan
Allah, dan mereka dalam keadaan demikian”. [Hadits Riwayat Muslim 3/1524]. Maka
barangsiapa mengambil aqidah tersebut, niscaya Allah akan memuliakannya dan
barangsiapa meninggalkannya, niscaya Allah akan menghinakannya. Hal itu telah
diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah. Sehingga, ketika umat Islam
menjauhi agamanya, terjadilah apa yang terjadi, sebagaimana yang menimpa Andalusia
(Spanyol) dan yang lain.
[11] Ia mengangkat derajat
para pengikutnya. Barangsiapa memegang teguh aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
semakin mendalami ilmu tentangnya, mengamalkan segala konsekwensinya, serta
mendakwahkannya kepada manusia, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya,
meluaskan kemasyhuranya serta keutamaannya akan tersebar, baik sebagai pribadi
maupun jama’ah. Hal itu karena akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah akidah
terbaik yang sesuai dengan segenap hati dan sebaik-baik yang diketahui akal. Ia
menghasilkan berbagai pengetahuan yang bermanfaat dan akhlak yang tinggi.
[12] Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah kapal keselamatan. Maka barangsiapa berpegang teguh dengannya,
niscaya akan selamat. Sebaliknya barangsiapa meninggalkannya, niscaya tenggelam
dan binasa.
[13] Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah aqidah kasih sayang dan persatuan. Karena, tidaklah umat Islam
itu bersatu dalam kalimat yang sama di berbagai masa dan tempat kecuali karena
mereka berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebaliknya,
mereka akan berpecah belah dan saling berselisih pendapat jika menjauh darinya.
[14] Aqidah Ahlus Suannah
wal Jama’ah adalah aqidah istimewa. Para pengikutnya adalah orang-orang
istimewa, jalan mereka lurus dan tujuan-tujuannya jelas.
[15] Ia menjaga para
pengikutnya dari bertindak tanpa petunjuk, mengacau dan sikap sia-sia. Manhaj
mereka satu, prinsip mereka jelas, tetap dan tidak berubah. Karena itu para
pengikutnya selamat dari mengikuti hawa nafsu, selamat dari bertindak tanpa
petunjuk dalam soal wala’ wal bara’ (setia dan berlepas diri dari orang lain),
kecintaan dan kebencian kepada orang lain. Sebaliknya, ia memberikan ukuran
yang jelas, sehingga tidak akan keliru selamanya. Dengan demikian ia akan
selamat dari perpecahan, bercerai berai dan kesia-siaan. Ia akan tahu kepada
siapa harus membenci, dan mengetahui pula hak serta kewajibannya.
[16] Ia akan memberikan
ketenangan jiwa dan pikiran kepada pengikutnya. Jiwa tidak akan gelisah, tidak
akan ada kekacauan dalam pikirannya. Sebab akidah ini menghubungkan antara
orang mukmin dengan Tuhannya. Ia akan rela Allah sebagai Tuhan, Pencipta, Hakim
dan Pembuat Syari’at. Maka hatinya akan merasa aman dengan takdir-Nya, dadanya
akan lapang atas ketentuan-ketentuan hukum-Nya, dan pikirannya akan jernih
dengan mengetahui-Nya.
[17] Tujuan dan amal
pengikut aqidah ini mejadi selamat. Yakni selamat dari penyimpangan dalam
beribadah. Ia tidak akan menyembah selain Allah dan akan mengharapkan kepada
selain-Nya.
[18] Ia akan mempengaruhi
prilaku, akhlak dan mua’malah. Aqidah ini memerintahkan pengikutnya melakukan
setiap kebaikan dan mencegah mereka melakukan setiap kejahatan. Ia
memerintahkan keadilan dan berlaku lurus serta mencegah mereka dari kezhaliman
dan penyimpangan.
[19] Ia mendorong setiap
pengikutnya bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam segala sesuatu.
[20] Ia membangkitkan jiwa
mukmin agar mengagungkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab ia mengetahui bahwa
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah haq, petunjuk dan rahmat, karena itu mereka mengagungkan
dan berpegang teguh pada keduanya.
[21] Ia menjamin kehidupan
yang mulia bagi pengikutnya. Di bawah naungan aqidah ini akan terwujud keamanan
dan hidup mulia. Sebab ia tegak atas dasar iman kepada Allah dan kewajiban
beribadah kepada-Nya, dan tidak kepada yang lain. Dan hal itu -dengan tidak
diragukan lagi- menjadi sebab keamanan, kebaikan dan kebahagiaan dunia-akhirat.
Keamanan adalah sesuatu yang mengiringi iman. Maka, barangsiapa kehilangan
iman, ia akan kehilangan keamanan. Allah berfirman : “Orang-orang yang beriman
dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka
itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk”. [Al-An’am : 82]. Jadi orang-orang yang bertakwa dan beriman
adalah mereka yang memiliki kemanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna
pula, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, orang-orang musyrik dan
pelaku maksiat adalah orang-orang yang selalu ketakutan. Mereka senantiasa
diancam dengan berbagai siksaan di setiap saat.
[22] Aqidah ini menghimpun
semua kebutuhan ruh, hati dan jasmani.
[23] Mengakui akal, tetapi
membatasi perannya. Ia adalah aqidah yang menghormati akal yang lurus dan tidak
mengingkari perannya. Jadi, Islam justru tidak rela jika seorang muslim
memadamkan cahaya akalnya, lalu hanya bertaklid buta dalam persoalan aqidah dan
lainnya. Meskipun begitu, peran akal tetaplah terbatas.
[24] Mengakui perasaan
manusia dan membimbingnya pada jalan yang benar. Perasaan adalah sesuatu yang
alami pada diri manusia dan tak seorangpun manusia yang tidak memilikinya.
Aqidah ini adalah aqidah yang dinamis, tidak kaku dan beku, ia mengaku adanya
perasaan manusia serta menghormatinya, tetapi bukan berarti ia mengumbarnya.
Sebaliknya ia meluruskan dan membimbingnya sehingga menjadi sarana perbaikan
dan pembangunan, tidak sebagai alat perusak dan penghancur.
[25] Ia menjamin untuk
memberi jalan keluar setiap persoalan, baik sosial, politik, ekonomi,
pendidikan atau persoalan lainnya.
Dengan aqidah ini, Allah telah
menyatukan hati umat Islam yang berpecah belah, hawa nafsu yang bercerai berai,
mencukupkan setelah kemiskinan, mengajari ilmu setelah kebodohan, memberi
penglihatan setelah buta, memberi makan dari kelaparan dan memberi mereka
keamanan dari ketakutan.
[Tasharrufan (saduran) dari
Mukhtasar Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,
Buletin AN NUR Thn. IV/No. 139/Jum’at I/R.Awal 1419H]
Karakteristik Pengikut
Ahlussunnah Wal Jama’ah
[1]. Hanya bersumber kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka senantiasa menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah
sebagai sumber pengambilan, baik dalam ibadah, akidah, mu’amalah, sikap maupun
akhlak. Setiap yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka menerima dan
menetapkannya. Sebaliknya, setiap yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah mereka menolaknya, tak peduli siapa pun yang berpendapat dengannya.
[2]. Menyerah kepada
nash-nash syara’, serta memahaminya sesuai dengan pemahaman As-Salafus Shalih.
Mereka menyerah kepada nash-nash syara, baik mereka memahami hikmahnya maupun
tidak. Mereka tidak menghakimi nash-nash tersebut dengan akal mereka, tetapi
mereka menghakimi akal mereka dengan nash-nash syara’.
[3]. Itiba’ dan meningglakan
ibtida’. Mereka tidak mendahului perkataan Allah dan Rasul-Nya, tidak
meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka
juga tida rela jika seseorang meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
[4]. Mereka memperhatikan
Al-Qur’an, baik dalam hal hafalan, bacaan maupun penafsiran. Juga perhatian
dengan Al-Hadits, baik dalam hal dirayah (matan, isi hadits) maupun riwayah
(pembawa hadits).
[5]. Mereka senantiasa
berdalil dengan sunnah shahihah dan meninggalkan pembedaan antara hadits
mutawatir dengan ahad, baik dalam hukum maupun aqidah.
[6]. Mereka tidak memiliki
imam yang diagungkan, yang mereka ambil seluruh ucapannya kecuali Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka mereka menimbangnya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, jika ia sesuai
dengan keduanya maka diterima, dan jika tida maka di tolak.
[7]. Mereka adalah orang
yang paling mengerti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
mengetahui petunjuk, amal, ucapan dan ketetapan-ketetapannya. Karena itu,
mereka adalah orang yang paling mencintai beliau dan paling setia mengikuti
sunnahnya.
[8]. Mereka masuk ke dalam
Islam secara keseluruhan dan beriman kepada Al-Qur’an secara keseluruhan pula
[Al-Baqarah : 208].
[9]. Para pengikut Ahlus
Sunnah mengagungkan para As-Salafush Shalih, meneladani dan menjadikan mereka
sebagai teladan. Mereka melihat bahwa jalan para As-Salafus Shalih adalah jalan
yang paling selamat, paling mengetahui dan paling bijaksana.
[10]. Mereka memadukan
antara nash-nash tentang suatu persoalan dan mengembalikan al-mustasyabih (nash
yang belum jelas) kepada al-muhkam (yang telah jelas ketentuannya), yang dengan
demikian mereka bisa mencapai kebenaran dalam masalah tersebut.
[11]. Mereka memadukan
antara ilmu dan ibadah. Ini berbeda dengan selain mereka yang terkadang sibuk
beribadah dengan meninggalkan ilmu, atau sebaliknya.
[12]. Mereka memadukan
antara tawwakal kepada Allah dengan ikhtiar, mereka tidak mengingkari perlunya
ikhtiar, sehingga tetap berusaha, tapi pada saat yang sama mereka tidak
menggantungkan kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”
Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah
pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali
kamu bersikap lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu
berkata, ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau
begitu’, tetapi katakanlah, ‘Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa
yang Dia kehendaki’. Karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka (pintu) perbuatan
setan”. [Hadits Riwayat Muslim 8/56 No. 2664 dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu].
[13]. Memadukan antara
kekayaan harta dengan sikap zuhud terhadapnya. Para pengikut Ahlus Sunnah wal
Jama’ah tidak mengingkari orang yang memiliki kekayaan harta yang melimpah.
Sebaliknya mereka memandang, setiap orang harus memenuhi kebutuhan dirinya dan
orang yang ada di bawah tanggung jawabnya, dan tidak menggantungkan kepada
orang lain. Tetapi, hendaknya tidak menjadikan dunia sebagai puncak harapan dan
keinginannya. Mereka juga tidak boleh membenci orang yang lebih menerima dan
rela terhadap yang sedikit dari kesenangan dunia. Sebab mereka berpendapat,
zuhud letaknya di hati, yakni meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi
akhiratnya. Sedangkan orang yang lapang kekayaannya, tetapi ia meletakkannya di
tangan dan tidak di hati, dan menyedekahkannya kepada fakir miskin, maka itu
adalah karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Dan
itulah keadaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf dan para
sahabat lainnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar radiyallahu ‘anhum.
[14]. Mereka memadukan
antara khauf (takut), raja’ (harap) dan hubb (cinta), bahkan mereka berpendapat
bahwa antara ketiganya tidaklah bertentangan. [As-Sajdah : 16]. Dalam hal ini
terdapat ucapan yang mashur dari para salaf : “Siapa yang menyembah Allah hanya
dengan cinta maka dia adalah zindiq, dan siapa yang menyembah Allah hanya
dengan perasaan takut maka dia adalah haruri (Khawarij), dan siapa yang
menyembah Allah hanya dengan harapan dia adalah Murji’. Sedang yang menyembah
Allah dengan takut, cinta daan harapan maka dia adalah mukmin sejati”.
[15]. Mereka memadukan
antara kasih sayang dan lemah lembut dengan sikap keras dan kasar. Ini berbeda
dengan selain golongan mereka yang berlaku keras atau lemah lembut dalam setiap
kesempatan. Ahlus Sunnah wal Jama’ah senantiasa menempatkan sesuatu pada
tempatnya, menurut maslahat dan tuntutan kondisi.
[16]. Mereka memadukan
antara akal dengan perasaan. Akal mereka jernih, perasaan mereka jujur dan
ukuran yang mereka gunakan tepat. Mereka tidak mengalahkan akal atas perasaan
atau sebaliknya, tetapi mereka memadukan antara keduanya dengan sesempurna
mungkin. Perasaan mereka kuat, tetapi dikendalikan oleh akal, dan akal
dikendalikan oleh syari’at : “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki”. [An-Nur : 35]
[17]. Keadilan merupakan
keistimewaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang paling agung. Mereka adalah orang
yang paling adil, dan orang-orang yang paling berhak menta’ati firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah”. [An-Nisaa’ : 135]. Bahkan jika
kelompok-kelompok lain bertikai maka mereka akan meminta keputusan hukum kepada
Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[18]. Amanah ilmiah. Di
antara bentuk amanah ilmiah yaitu ketika menukil sesuatu, mereka tidak
memalsukan atau memutarbalikkan fakta. Jika mereka menukil dari orang yang
berbeda pendapat dengan mereka, maka mereka menukilnya dengan sempurna, tidak
mengambil apa yang sesui dengan pendapatnya dan meninggalkan yang lain. Dan
mereka tidak berfatwa atau memutuskan hukum kecuali berdasarkan apa yang mereka
ketahui.
[19]. Mereka adalah kelompok
moderat dan pilihan. Allah berfirman : “Dan demikian (pula) kami menjadikan
kamu, umat yang moderat dan pilihan”. [Al-Baqarah : 143]. Sikap moderat Ahlus
Sunnah wal Jama’ah tampak dalam banyak hal, baik dalam hal aqidah, hukum,
perilaku, akhlak maupun lainnya. Mereka adalah kelompok pertengahan, antara
yang berlebih-lebihan dan yang meremehkan.
[20]. Tidak berselisih dalam
masalah-masalah prinsip aqidah. Para As-Salafush Shalih tidak berselisih dalam
suatu persoalan prinsip-pun dalam agama, juga tidak dalam prinsip-prinsip
aqidah. Dalam masalah Asma’ dan Sifat-sifat Allah misalnya, pendapat mereka
adalah satu. Pendapat mereka juga sama dalam masalah iman, defenisi dan
berbagai persoalannya, dalam masalah takdir juga dalam masalah-masalah prinsip
lainnya.
[21]. Mereka meninggalkan
perseteruan dalam masalah agama, serta menjauhi orang-orang yang suka
berseteru. Sebab perseteruan akan mengakibatkan fitnah, perpecahan, fanatisme
buta dan hawa nafsu.
[22]. Perhatian untuk
menyatukan kalimat umat Islam pada kebenaran. Mereka sangat peduli bagi
kesatuan umat Islam, menghilangkan sebab-sebab pertikaian dan perpecahan. Sebab
mereka mengetahui, persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab. Dan
karena Allah memerintahkan persatuan dan melarang perselisihan. Allah berfirman
: “Dan berpegang lah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai”. [Ali-Imran : 103].
[23]. Mereka adalah
orang-orang yang memiliki wawasan yang luas, pandangan yang jauh ke depan,
paling lapang dada dalam soal perselisihan dan paling teguh memegang berbagai
peringatan. Mereka tidak risih menerima kebenaran dari siapapun, juga tidak
malu untuk kembali kepadanya. Selanjutnya, mereka tidak memaksakan orang lain
mengikuti ijtihad mereka, tidak mengatakan sesat orang-orang yang
menyelisihinya, dan tidak menjadi sesak dada mereka karena persoalan
ijtihadiyah, yang di situ banyak orang berbeda paham. Termasuk tanda keluasan
wawasan mereka yaitu mereka jauh dari fanatik, taklid buta dan hizbiyah.
[24]. Mereka adalah
orang-orang yang memiliki akhlak terpuji, rendah hati, penuh kasih sayang dan
toleran. Dan mereka selalu mengajak kepada akhlak baik dan perbuatan terpuji.
[25]. Mereka senantiasa
berdakwah kepada Allah dengan hikmah, pelajaran yang baik dan perbedaan dengan
cara yang baik pula.
[26]. Mereka adalah ghuraba,
orang-orang yang memperbaiki apa yang dirusak menusia dan selalu berbuat baik
saat manusia lain rusak.
[27]. Mereka adalah Firqatun
Najiyah, yang selamat dari berbagai bid’ah dan kesesatan di dunia ini dan
selamat pula dari siksa Allah kelak di akhirat.
[28]. Mereka adalah Thaifah
Manshurah (kelompok yang menang), karena Allah senantiasa bersama mereka menolong
dan meneguhkan mereka.
[29]. Mereka tidak setia
atau memusuhi kecuali berdasarkan agama. Mereka tidak memenangkan hawa
nafsunya, juga tidak marah karenanya. Semua kesetiaan dan kebenciannya hanyalah
semata-mata karena Allah.
[30]. Selamat dari sikap saling
mengkafirkan satu sama lain. Ahlus Sunnah hanya membantah dan menjelaskan
kebenaran kepada orang yang berselisih dengan mereka. Ini berbeda dengan
kelompok lain seperti Khawarij yang senang berselisih, menyesatkan dan
mengkafirkan.
[31]. Hati dan lisan mereka
selamat dari mencerca shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebaliknya, hati mereka dipenuhi kecintaan kepada para sahabat, lisan mereka
senantiasa basah memuji, karena Ahlus Sunnah berpendapat bahwa para shahabat
adalah sebaik-baik generasi sebagaimana dinyatakan Allah dan Rasul-Nya.
[32]. Mereka selamat dari
keragu-raguan, keguncangan dan kontradiksi. Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
orang-orang awam di antara mereka. Berbeda dengan ahli kalam atau kelompok
lainnya. Ar Razi, misalnya, salah seorang pembesar ilmu kalam yang karena
kebingungan dan keguncangannya, dalam salah satu syairnya mengatakan : ” Dan
akhir dari usaha para ilmuwan adalah kesesatan”. Bandingkanlah hal itu dengan
ucapan Umar bin Abdul Aziz : “Di pagi hari aku tidak merasakan kegembiraan
kecuali dalam qadha’ dan qadar”.
[33]. Selalu mengecek ulang
berita-berita yang datang dan tidak gampang men-genalisir hukum. Mereka tidak
mudah menghukumi fasik, kafir atau tuduhan-tuduhan lain tanpa bukti dan
asalan-alasan nyata.
[34]. Mereka mendapatkan
berita gembira saat datangnya kematian, karena keimanan dan istiqamah mereka
dalam keimanan tersebut. [Fush-shilat : 30].
[35]. Kebaikan mereka di
lipat gandakan dan derajat mereka ditingkatkan, hal itu karena aqidah mereka
benar dan iman mereka kuat.
Karena semua hal di atas
tidak berarti Ahlus Sunnah adalah orang-orang maksum. Tetapi manhaj (jalan) dan
jama’ah mereka adalah yang maksum. Jika Ahlus Sunnah memiliki kesalahan
kelompok lain lebih banyak, dan jika kelompok lain memiliki keutamaan dan ilmu
maka keutamaan dan ilmu Ahlus Sunnah lebih sempurna dan lengkap.
Karena itulah, menjadi
sesuatu yang niscaya agar kita meniti manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[Saduran dari Mukhtashar
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,
Buletin Dakwah An Nur Thn IV/No.140/ Jum’at II/R.Awal 1419H]
Sumber :
Maret 16, 2011