Dewasa ini marak pengakuan
dari berbagai pihak yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sehingga
menyebabkan adanya kerancuan dan kebingungan dalam persepsi banyak orang
tentang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu
?
Jawab :
Mengetahui siapa Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah adalah perkara yang sangat penting dan salah satu bekal yang
harus ada pada setiap muslim yang menghendaki kebenaran sehingga dalam
perjalanannya di muka bumi ia berada di atas pijakan yang benar dan jalan yang
lurus dalam menyembah Allah Subhaanahu wa Ta’aala sesuai dengan tuntunan
syariat yang hakiki yang dibawa oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
empat belas abad yang lalu.
Pengenalan akan siapa
sebenarnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah ditekankan sejak jauh-jauh hari oleh
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya ketika beliau
berkata kepada mereka :
افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Telah terpecah orang–orang
Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah
orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan
terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan
ia adalah Al-Jama’ah ”. Hadits shohih dishohihkan oleh oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh
Muqbil dalam Ash-Shohih
Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain -rahimahumullahu-.
Demikianlah umat ini akan
terpecah, dan kebenaran sabda beliau telah kita saksikan pada zaman ini yang
mana hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditakdirkan oleh Allah
Subhaanahu wa Ta’aala Yang Maha Kuasa dan merupakan kehendak-Nya yang harus
terlaksana dan Allah Subhaanahu wa Ta’aala Maha Mempunyai Hikmah dibelakang hal
tersebut.
Syaikh Sholeh bin Fauzan
Al-Fauzan -hafidzahullahu-menjelaskan hikmah terjadinya perpecahan dan perselisihan tersebut
dalam kitab Lumhatun ‘Anil
Firaqcet. Darus Salaf hal.23-24 beliau berkata :
“(Perpecahan dan perselisihan-ed.) merupakan hikmah dari Allah Subhaanahu wa
Ta’aala guna menguji hamba-hambaNya hingga nampaklah siapa yang mencari
kebenaran dan siapa yang lebih mementingkan hawa nafsu dan sikap fanatisme.
Allah berfirman :
الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam miim. Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : “Kami
telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguhnya Kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah Maha Mengetahui orang-orang
yang benar dan sungguh Dia Maha Mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS. Al-‘Ankab ut : 29 / 1-3).
Dan Allah Subhaanahu wa
Ta’aala berfirman :
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلاَّ مَن رَّحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأَمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu
(keputusan-Nya) telah ditetapkan : “Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka
Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya ” . (QS. H ud : 10 / 118-119)
وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“ Dan kalau Allah
menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu
janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. Al-‘An’ am : 6 / 35).”
Dan Allah ’Azza wa Jalla Maha Bijaksana
dan Maha Merahmati hambaNya. Jalan kebenaran telah dijelaskan dengan
sejelas-jelasnya sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam :
قَدْْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah
meninggalkan kalian di atas petunjuk yang sangat terang malamnya seperti waktu
siangnya tidaklah menyimpang darinya setelahku kecuali orang yang binasa”. Hadits Shohih dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalul
Jannah.
Dan dalam hadits ‘Abdullah
bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- :
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ ] وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ [
“Pada suatu hari Rasulullah r menggaris
di depan kami satu garisan lalu beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”.
Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu
beliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada
syaithon menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca (ayat) : “Dan sesungguhnya
ini adalah jalanKu maka ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti
jalan-jalan (yang lain) maka kalian akan terpecah dari jalanNya”. (QS. Al ‘An’am : 6 / 153 )” .
Diriwayatkan oleh : Abu Daud
Ath-Thoy alisy dalamMusnadnya no. 244, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnahno.11, Sa’id bin
Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalamAl-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7dan dalam Al-Mawarid no 1741, Al-Hakim dalamMustadraknya 2/348, Asy-Syasyi dalam Musnadya 2/48-51 no.535-537, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/263 dan Al-Lalaka’i dalam Syarah Ushul
I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/80-81. Dan
hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.
Adapun penamaan Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah ini akan diuraikan dari beberapa sisi :
Pertama :
Definisi Sunnah.
Sunnah secara lughoh (bahasa) :
berarti jalan, baik maupun jelek, lurus maupun sesat, demikianlah dijelaskan
oleh Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab 17/89 dan Ibnu An-Nahhas.
Makna secara lughoh itu
terlihat dalam hadits Jarir bin ‘Abdullah. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ سْنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي الإِْ سْلاَمِ سُنُّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ
“Siapa yang membuat sunnah
yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya
setelahnya dan siapa yang membuat sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan
dosa orang yang melakukannya setelahnya”. Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shohih nya no.1017.
Lihat Mauqif Ahlis Sunnah Min Ahlil Bid’ah Wal Ahwa`i 1/29-33 dan Manhaj Ahlus Sunnah
Wal Jam a’ah Wa Manhajul Asya’irah Fi Tauhidillah I/19.
Adapun secara istilah :
Sunnah mempunyai makna khusus dan makna umum. Dan yang diinginkan di sini
tentunya adalah makna umum.
Adapun makna sunnah secara
khusus yaitu makna menurut istilah para ulama dalam suatu bidang ilmu yang
mereka tekuni :
Para ulama ahli hadits
mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak.
Para ulama ahli ushul fiqh
mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau,
pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang
beliau tinggalkan.
Para ulama fiqh memberikan
definisi sunnah sebagai hukum yang datang dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wasallam di bawah hukum wajib.
Adapun makna umum sunnah
adalah Islam itu sendiri secara sempurna yang meliputi aqidah, hukum, ibadah
dan seluruh bagian syariat.
Berkata Imam Al-Barbahary :
“Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah Islam dan
tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya” (lihat : Syarh As-Sunnah hal.65 point 1).
Berkata Imam Asy-Sy athiby
dalam Al-Muwafaq ot 4/4 : “(Kata sunnah) digunakan sebagai kebalikan/lawan dari bid’ah maka
dikatakan : “Si fulan di atas sunnah” apabila ia beramal sesuai dengan tuntunan
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang sebelumnya hal tersebut mempunyai nash
dari Al-Qur’an, dan dikatakan “Si Fulan di atas bid’ah” apabila ia beramal
menyelisihi hal tersebut (sunnah)”.
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fat aw a 4/180 menukil
dari Imam Abul Hasan Muhammad bin ‘Abdul Malik Al-Karkhy beliau berkata :
“Ketahuilah… bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam
dan mengupayakan untuk menempuh jalannya dan ia (sunnah) ada 3 bagian :
perkataan, perbuatan dan aqidah”.
Berkata Imam Ibnu Rajab -rahimahullahu ta’ala- dalamJami’ Al-‘Ulum Wal Hikam hal. 249 : “Sunnah adalah
jalan yang ditempuh, maka hal itu akan meliputi berpegang teguh terhadap
apa-apa yang beliau r berada di atasnya dan para khalifahnya yang mendapat
petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Dan inilah sunnah yang
sempurna, karena itulah para ulama salaf dahulu tidak menggunakan kalimat
sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal yang tersebut di atas”. Hal
ini diriwayatkan dari Hasan, Al-Auza’iy dan Fudhail bin ‘Iyadh”.
Demikianlah makna sunnah
secara umum dalam istilah para ‘ulama -rahimahumullah- dan hal itu adalah jelas bagi siapa yang melihat karya-karya para
ulama yang menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnahdimana akan terlihat bahwa mereka menginginkan makna sunnah secara umum
seperti :
Kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi
‘Ashim.
Kitab As-Sunnah karya Imam
Ahmad.
Kitab As-Sunnah karya Ibnu
Nashr Al-Marwazy.
Kitab As-Sunnah karya
Al-Khallal.
Kitab As-Sunnah karya Abu
Ja’far At-Thobary.
Kitab Syarh As-Sunnah karya Imam
Al-Barbahary.
Kitab Syarh As-Sunnah karya
Al-Baghawy.
dan lain-lainnya.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah 1/29-35, Haqiqatul Bid’ah1/63-66 dan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Wa Manhajul Asya’irah 1/19-23.
Kedua : Makna
Ahlus Sunnah.
Penjelasan makna sunnah di
atas secara umum akan memberikan gambaran tentang makna Ahlus Sunnah (pengikut
sunnah-ed.).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 3 hal.375 ketika memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah
orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang
terdahulu yang pertama dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik”.
Berkata Ibnu Hazm dalam Al-Fishal jilid 2 hal.
281 : “Dan Ahlus Sunnah -yang kami sebutkan- adalah ahlul haq (pengikut
kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah (pengikut perkara-perkara baru
dalam agama), maka mereka (ahlus sunnah) adalah para sahabat -radhiyallahu ‘anhum- dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan di
kalangan tabi’in kemudian Ashhabul Hadits dan siapa yang mengikuti mereka dari
para ahli fiqh zaman demi zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang
mengikuti mereka dari orang awam di Timur maupun di Barat bumi -rahmatullahi ’alaihim- ”.
Dan Ibnul Jauzy berkata
dalam Talb is Iblis hal.21 : “Tidak ada keraguan bahwa ahli riwayat dan hadits yang mengikuti
jejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan jejak para sahabatnya mereka
itulah Ahlus Sunnah karena mereka di atas jalan yang belum terjadi perkara baru
padanya. Perkara baru dan bid’ah hanyalah terjadi setelah Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya”.
Berkata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fataw a 3/157 :”
Termasuk jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mengikuti jejak-jejak Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam secara zhohir dan batin dan mengikuti jalan
orang-orang terdahulu yang pertama dari para (sahabat) Muhajirin dan Anshar dan
mengikuti wasiat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam tatkala berkata :
“Berpeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat
petunjuk dan hidayah setelahku berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah
dengan gigi geraham kalian dan berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru
karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.”
Dan beliau berkata dalam Majmu’ Fataw a 3/375 ketika
memberikan defenisi tentang Ahlus Sunnah : “Mereka adalah orang-orang yang
berpegang teguh dengan kitab Allah dan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan apa-apa yang disepakati oleh generasi dahulu yang pertama dari
kaum Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik”.
Dan di dalam Majmu’ Fatawa 3/346 beliau
berkata : “Siapa yang berkata dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ maka ia
termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah“.
Berkata Abu Nashr As-Sijzy :
“Ahlus Sunnah adalah mereka yang kokoh di atas keyakinan yang dinukil kepada
mereka olah para ulama Salafus Sholeh -mudah-mudahan
Allah Subhaanahu wa Ta’aala merahmati mereka – dari Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam atau dari para sahabatnya -radhiyallahu ‘anhum- pada apa-apa yang tidak ada nash dari Al-Qur’an dan dari Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam , karena mereka itu -radhiyallahu ‘anhum- para Imam dan kita telah diperintahkan mengikuti jejak-jejak mereka
dan sunnah mereka, dan ini sangat jelas sehingga tidak butuh ditegakkannya
keterangan tentangnya”.
(Lihat : Ar-Raddu ‘ Ala Man Ankaral Harf hal.99)
Maka jelaslah dari
keterangan-keterangan di atas dari para Imam tentang makna penamaan Ahlus
Sunnah bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang menerapkan Islam secara
keseluruhan sesuai dengan petunjuk Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya
berdasarkan pemahaman para ulama salaf dari kalangan para sahabat, tabi’in dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik .
Dan tentunya merupakan suatu
hal yang sangat jelas bagi orang yang memperhatikan hadits-hadits Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam akan disyariatkannya penamaan Ahlus Sunnah
terhadap orang-orang yang memenuhi kriteria-kriteria di atas.
Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam menyatakan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah -radhiyallahu ’anhu- :
صَلَّى لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُ مُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah sholat
bersama kami sholat Shubuh, kemudian beliau menghadap kepada kami kemudian
menasehati kami dengan suatu nasehat yang hati bergetar karenanya dan air mata
bercucuran, maka kami berkata : “Yaa Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat
perpisahan maka berwasiatlah kepada kami”. Maka beliau bersabda : “Saya
wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat walaupun
yang menjadi pemimpin atas kalian seorang budak dari Habasyah (sekarang
Ethopia) karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian maka ia akan
melihat perselisihan yang sangat banyak maka berpegang teguhlah kalian kepada
sunnahku dan kepada sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk,
gigitlah ia dengan gigi geraham dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang
baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah .”. Hadits shohih dari seluruh
jalan-jalannya.
Dan masih banyak lagi dalil yang
menunjukkan hal di atas. Wallahu a’lam.
Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/36-37, 47-49, Haqiqatul Bid’ah 1/63-66, 268-269 dan Manhaj Ahlus Sunnah 1/19-20, 24-27.
Ketiga : Definisi
Jama’ah.
Jama’ah secara lughoh : Dari
kata Al-Jama’ bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan
kata dari perpecahan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 2/157 : “Dan mereka dinamakan Ahlul Jama’ah karena Al-Jama’ah adalah
persatuan dan lawannya adalah perpecahan.”
Adapun secara istilah para
ulama berbeda penafsiran tentang makna jama’ah yang tersebut di dalam
hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam , di antara
hadits-hadits itu adalah :
Satu : Hadits perpecahan ummat yang telah disebutkan di atas
Dua : Wasiat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Hudzaifah dalam
hadits riwayat Bukhory-Muslim , beliau berkata:
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ
“Engkau komitmen dengan
jama’ah kaum muslimin dan Imamnya .”
Tiga : Hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Bukhory-Muslim Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شَيْئًا فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Karena sesungguhnya siapa
yang berpisah dengan Al-Jama’ah sedikitpun kemudian ia mati maka matinya adalah
mati jahiliyah” .
Empat : Hadits Ibnu ‘Abbas Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
:
يَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah di atas
Al-Jama’ah” .
Dari hadits-hadits di atas
dan yang semisalnya para ulama berbeda di dalam menafsirkan kalimat Al-Jama’ah
yang terdapat di dalam hadits-hadits tersebut sehingga ditemukan ada enam
penafsiran :
Pertama : Jama’ah adalah Assawadul A’zhom(kelompok yang paling besar dari umat Islam). Ini adalah pendapat Abu
Mas’ud Al-Anshory, ‘Abdullah bin Mas’ud dan Abu Ghalib.
Kedua : Al-Jama’ah adalah jama’ah ulama ahli ijtihad atau para ulama hadits,
dikatakan bahwa mereka ini adalah jama’ah karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala
menjadikan mereka hujjah terhadap makhluk dan manusia ikut pada mereka pada
perkara agama.
Berkata Imam Al-Bukhory
menafsirkan jama’ah : ”Mereka adalah ahlul ‘ilmi (para ulama)”.
Dan Imam Ahmad berkata
tentang jama’ah : ”Apabila mereka bukan Ashhabul Hadits (ulama hadits) maka
saya tidak tahu lagi siapa mereka”.
Dan Imam Tirmidzi berkata :
”Dan penafsiran jama’ah di kalangan para ulama bahwa mereka adalah ahli fiqh,
(ahli) ilmu dan (ahli) hadits”.
Dan ini merupakan pendapat
‘Abdullah bin Mubarak, Ishaq bin Rahaway, ‘Ali bin Al-Madiny, ‘Amr bin Qais dan
sekelompok dari para ulama salaf dan juga merupakan pendapat ulama ushul fiqh.
Ketiga : Al-Jama’ah adalah para sahabat. Hal ini berdasarkan hadits perpecahan
umat yang di sebahagian jalannya disebutkan bahwa yang selamat adalah
Al-Jama’ah dan dalam riwayat yang lain : “Apa-apa yang aku dan para sahabatku
berada di atasnya”. Dan ini adalah pendapat “Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan Imam
Al-Barbahary.
Keempat : Al-Jama’ah adalah jama’ah umat Islam apabila mereka bersepakat atas
satu perkara dari perkara-perkara agama. Pendapat ini disebutkan oleh Imam
Asy-Syathiby.
Kelima : Al-Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka bersepakat di
bawah seorang pemimpin. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary dan
Ibnul Atsir.
Keenam : Al-Jama’ah adalah jama’ah kebenaran dan pengikutnya. Ini adalah
pendapat Imam Al Barbahary dan Ibnu Katsir.
Demikianlah
penafsiran-penafsiran para ulama tentang makna Al-Jama’ah, yang semuanya itu
akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
Penafsiran-penafsiran
tersebut walaupun saling berbeda lafadz dan konteksnya akan tetapi tidak saling
bertentangan bahkan saling melengkapi makna maupun kriteria Al-Jama’ah.
Maka jelaslah bahwa makna
Al-Jama’ah yang dikatakan sebagai golongan yang selamat dan pengikut kebenaran
adalah Islam yang hakiki yang belum dihinggapi oleh noda yang mengotorinya.
Mungkin bisa disimpulkan
dari penafsiran-penafsiran Al-Jama’ah di atas bahwa makna Al-Jama’ah kembali
kepada dua perkara :
Satu : Jama’ah yang berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang pemerintah
sesuai dengan ketentuan syariat maka wajib untuk komitmen terhadap jama’ah ini
dan diharamkan untuk keluar darinya dan mengadakan kudeta terhadap pemimpinnya
.
Dua : Jama’ah yang berarti mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam kemudian diikuti oleh para sahabatnya, para ulama
ahli ijtihad dan ahlul hadits yang mereka itulah Assawadul
A’zhom dan pengikut kebenaran.
Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud
tentang Al-Jama’ah :
الْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَك
“Al-Jama’ah adalah apa
yang mencocoki kebenaran walaupun engkau sendiri”.
Berkata Abu Sy amah dalam Al-Ba’its hal.22 : “Dan apabila
datang perintah untuk komitmen terhadap Al-Jama’ah, maka yang diinginkan adalah
komitmen terhadap kebenaran dan pengikut kebenaran tersebut walaupun yang
komitmen terhadapnya sedikit dan yang menyelisihinya banyak orang. Karena
kebenaran adalah apa-apa yang jama’ah pertama r dan para sahabatnya berada di
atasnya dan tidaklah dilihat kepada banyaknya ahlul bathil setelah mereka.”
Lihat : Al-I’tishom 2/767-776
tahqiq Salim Al-Hilaly,Manhaj Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah Wa Manhaj Al-Asy’ariyah Fi Tauhidillah 1/20-23, Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/49-54, Mauqif Ibnu
Taimiyah Minal Asy’ariyah 1/26-32.
Kesimpulan :
Bisa disimpulkan dari
seluruh penjelasan di atas bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah para sahabat,
tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari para ulama Ahli
Ijtihad dan Ahli Hadits yang berjalan di atas Al-Qur’an dan Sunnah dan siapa
saja yang mengikuti mereka dalam hal tersebut sampai hari kiamat.Wal Ilmu ‘Indallah .
Maret 31, 2012