Thursday, March 19, 2015

Perlukah Mengetahui Perkembangan Berita di Media dan Haruskah Setiap Orang Berpolitik ?

Adakah Cela Bagi Seorang Thaalibul-‘Ilmi Tidak Mengetahui Perkembangan Berita di Media ?


Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah berkata :
ثم إن ( فقه الواقع ) الذي يقال عنه: إنه ( فقه الواقع ) يستند على إيش؟ يستند على الصحف والمجلات والإذاعات، وما أكثر الترويج في الصحف والمجلات والإذاعات! فوسائل الإعلام اليوم لا يُمكن الاعتماد عليها، وربما يكون هناك مخططات سابقة تغيّرت الأحوال حتى أصبحت هذه المخططات غير سليمة، وإذا تأمّل العاقل فيما جرى من الأحداث خلال عشرين سنة تبيّن له أن جميع التقديرات التي قُدِّرت أصبحت غير واقعية، لهذا نرى  أن إشغال الشباب عن التفقّه في دين الله عز وجل إلى التفقّه في الواقع ومطاردة المجلات والصحف والإذاعات وما أشبه ذلك ... نرى أنه خطأ في المنهج ...
“Kemudian… sesungguhnya ‘fiqhul-waaqi’ yang mereka sebut itu, apa yang mereka jadikan sandaran padanya ? (Apakah) menyandarkannya terhadap lembaran berita koran, majalah dan siaran radio ? padahal kebanyakan berita yang beredar dalam koran, majalah, dan siaran radio tidaklah benar. Berbagai media informasi saat ini tidak bisa dijadikan sandaran. Boleh jadi berita-berita yang tertulis di edisi sebelumnya telah berubah sehingga pada saat ini berita tersebut sudah basi. Apabila orang-orang yang berakal memperhatikan berbagai kejadian  pada kurun waktu duapuluh tahun terakhir ini, niscaya akan menjadi jelas baginya bahwa seluruh prediksi yang mereka sebutkan tidak riil lagi. Dari sini kami berpendapat bahwa menyibukkan/memalingkan para pemuda daritafaqquh fii diinillah ‘azza wa jallaa (belajar ilmu agama Allah) kepada tafaqquh kepadawaaqi’, membolak-balik majalah, koran, mendengarkan siaran-siaran berita, dan yang semisalnya…. maka itu adalah kesalahan dalam manhaj….” [Dari kaset yang berjudul :Liqaa’ Abil-Hasan Al-Ma’ribiy ma’a Asy-Syaikh Ibni Baaz wa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin].


Asy-Syaikh ‘Abdul-Malik Ramadlan Al-Jazaariy hafidhahullah berkata :
فلا إله إلا الله! ما أعظم هذا المنهج وما أعدله وما أدقه! فاحرص على هذه الدقة التي لست واجدها إلا عند السلفية، لأنها حققت منهج أهل الحديث بجدارة، وليس مجرد انتساب لهم مع تأثّر بالغ بمناهج أخرى. وعلى هذا لا لوم على السلفية إذا كانت لا ترفع رأساً بهذه الأخبار التي ملأت أدمغة الشباب اليوم، ولا تطيب بها نفساً ولا تعوِّل عليها، مع التنبيه على أنه قد يستفاد منها بعد تبيُّن صدقها من كذبها، وتُبنى عليها أحكام بالقرائن التي تحتفّ بها، لكن تنبَّه
ـ أخي القاريء! ـ تنبَّه إلى قول الله تعالى: {وما يَعقِلُها إلا العالِمُون}، أي لا يقدر عليها إلا من جمع الله له بين التضلّع بعلم الكتاب والسنة حتى يصير مجتهداً، وبين قوة الفراسة وصدق التوسّم كما سبق بيانه
Laa ilaha illallaah !! Sungguh betapa agung, lurus, dan jelasnya manhaj ini ! Pegang teguhlah kejelasan ini, karena engkau tidak akan mendapatinya kecuali pada as-salafiyyah (manhaj salaf) karena ia menerapkan manhaj ahlul-hadits yang sebenarnya. Bukan hanya sekedar pengakuan berintisab pada manhaj salaf semata, namun terpengaruh dengan manhaj-manhaj yang lainnya. Oleh karena itu, tidak ada cela bagias-salafiyyah (salafiyyun) apabila mereka tidak menengadahkan kepalanya (memperhatikan) terhadap berita-berita yang telah memenuhi otak-otak para pemuda dewasa ini. Mereka (salafiyyun) tidak senang/terhibur dengannya dan tidak pula mempercayainya – walaupun kadangkala berita-berita tersebut bermanfaat setelah dipilah antara yang benar dan yang dusta. Atas dasar itu maka dibangunlah beberapa hukum berdasarkan qarinah-qarinah (keterangan-keterangan) yang nampak. Akan tetapi berhati-hatilah – wahai saudaraku para Pembaca – dengan mengingat firman Allah ta’ala “dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu” (QS. Al-Ankabuut : 43). Yaitu tidak akan mampu memahami kecuali orang yang telah Allah kumpulkan padanya pengetahuan tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah hingga ia menjadi seorang mujtahid (yang menghukumi berbagai waqi’ tersebut). Dan juga kekuatan firasat dan pandangan sebagaimana telah dijelaskan terdahulu” [Madaarikun-Nadhaar fis-Siyaasah – maktabah sahab].
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadiy Al-Madkhaliy hafidhahullah berkata :
فمن غلوّهم ومبالغاتهم التي لا عهد لأعلم علماء الإسلام بها تهويلهم بعلم الواقع، وادعاؤهم وادعاء الصبيان منهم أنهم علماء الواقع، وتجنيدهم الشباب لقراءة الصّحف والمجلاّت ومتابعة الإذاعة، وصرفهم بذلك عن حفظ الكتاب والسّنة، والاشتغال بفقههما، وإشغالهم عن العلوم الشرعيّة
“Dan termasuk sikap berlebih-lebihan mereka yang tidak pernah dikenal oleh ulama Islam adalah intimidasi mereka yang mengatasnamakan ilmu waaqi’. Klaim mereka dan anak-anak mereka bahwa merekalah ulama waaqi’. Mereka menginstruksikan para pemuda agar banyak membaca koran, majalah, dan selalu mengikuti berita (radio dan televisi). Dengan hal itu mereka memalingkan para pemuda dari hapalan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kesibukan dalam mempelajari keduanya dan ilmu-ilmu syari’ah lainnya” [Ahlus-Sunnah Hum Ath-Thaaifah Al-Manshuurah, hal. 76].


Tanya : Seringkali saya membaca, melihat, dan mendengar tentang politik praktis yang dilakukan oleh sebagian besar umat islam dewasa ini. Bahkan, sebagian orang menganjurkan setiap umat Islam untuk berpolitik. Adapula organisasi Islam yang didirikan hanya untuk aktifitas politik. Bagaimana sebenarnya Islam melihat ini dengan kacamata syari’at ?
Jawab : Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, ada baiknya dulu kita lihat pengertian/definisi Politik (As-Siyasah). As-Siyasah itu didefinisikan sebagai :
هي القيام على الشيء بما يُصلحه
“Pengurusan suatu perkara hingga menjadi baik” (lihat Lisaanul-‘Arab karangan Ibnul-Mandhur, ditahqiq oleh Ali Syiiri 6/429).
Diantaranya adalah perkataan Asma’ bintu Abi Bakar radliyallaahu ‘anhuma :
" تزوَّجَني الزبير ومالَه في الأرض مالٌ ... فكنتُ أعلف فرسه، وأكفيه مؤنته، وأسوسه، وأدقُّ النوى لِناضحه ... حتى أَرسل إليَّ أبو بكر بعد ذلك خادما فكفَتْني سياسةَ الفرس، فكأنما أعتقني "
“Az-Zubair radliyallaahu ‘anhu menikahiku dalam keadaan miskin tidak memiliki harta….. Akulah yang memberi makan kudanya, mencukupi kebutuhannya, dan mengurusnya[وأسوسه]. Akulah yang menumbuk biji gandum untuk para pekerja yang menyiram kebun kurmanya…. Sehingga Abu Bakar mengirim seorang pembantu kepadaku sehingga aku tidak perlu repot-repot lagi mengurus [سياسةَ] kuda. Seakan-akan beliau (Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu) memerdekakanku” (Ath-Thabaqatul-Kubraa karangan Ibnu Sa’ad 8/182 dan dinyatakan shahih oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Ishaabah).
Maka dari itu, Ibnul-Jazzar Al-Qairawani menulis sebuah buku tentang cara-cara mengurus anak-anak dan memelihara kesehatan jasmani mereka dengan judul : [سياسة الصبيان وتدبيرهمSiyaasatush-Shibyaan wa Tadbiiruhum.
Istilah siyasah [السياسة] dalam bahasa Arab diambil dari kata as-suus [السُوس] yang bermakna : tabiat, asal, watak, dan kebiasaan [الطبيعة والأصل والخلق والسجية]. (LihatTaajul-Aarus karangan Az-Zubaidi).
Dari pengertian umum ini diambillah makna khusus berikut : “Diambil dari kata as-suus[السُوس] yang berarti kepemimpinan. Dalam sebuah hadits disebutkan :
كان بنو إسرائيل يَسوسهم أنبياؤهم
“Sesungguhnya kaum Bani Israil dipimpin oleh para Nabinya” (Muttafaqun-‘alaih).
Yaitu yang mengatur urusan mereka, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh paraumara’ dan pemimpin terhadap rakyatnya (Lihat kitab An-Nihayah karangan Ibnul-Atsir 2/421).
Adapun pengertian secara syar’i-nya, politik yang sejalan dengan syari’at (as-siyasah syar’iyyah) adalah :
تدبير الشئون العامة للدولة الإسلامية بما يكفل تحقيق المصالح ودفع المضار مما لا يتعدى حدود الشريعة وأصولها الكلية، وإن لم يتفق وأقوال الأئمة المجتهدين
“Pengaturan kepentingan rakyat banyak dalam ruang lingkup daulah Islam (negara Islam) dengan cara-cara yang dapat menjamin terealisasinya kemaslahatan umum, dapat menolak segala macam kerugian, dapat menolak segala macam kerugian, dan tidak melanggar syari’at Islam serta kaidah-kaidah asasinya; sekalipun tidak sejalan dengan pendapat para alim mujtahid” (Siyasah Syar’iyyah karangan Abdul-Wahhab Khallaf halaman 15).
Maksud dari “sekalipun tidak sejalan dengan para alim mujtahid” [وإن لم يتفق وأقوال الأئمة المجتهدين] adalah : Mengambil kebijaksanaan politik (siyasah syar’iyyah) bukan hanya tugas para ulama terdahulu saja. Bahkan setiap alim ulama yang luas ilmunya boleh berijtihad dalam memecahkan problematika yang sedang dihadapi umat dengan batasan-batasan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu Abdul-wahhab Khallaf mengatakan : “Siyasah syar’iyyah termasuk usaha mewujudkan maslahat mursalah. Karena maslahat mursalah adalah maslahat yang tidak ditetapkan secara khusus oleh agama”. Jadi, yang dimaksudkan dengan politik adalah undang-undang pemerintahan, pengadilan, kriteria badan eksekutif negara, pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara, pengaturan militer, dan lain sebagainya. Hal ini secara rinci dapat dibaca dalam kitab Ghiyatsul-Umam karangan Al-Juwaini, Ahkaamus-Sulthaniyyah oleh Al-Mawardi, kitab karangan Abu Ya’la Al-Farra’ dengan juudul yang sama, Taraatibul-Idariyyahkarangan Abdul-Hayy Al-Kattani, dan lain-lain.
Sudah barang tentu hukumnya wajib, baik menurut syari’at maupun akal, karena urusan rakyat banyak tidak akan dapat tertata rapi tanpa adanya seorang pemimpin, baik yang‘adil maupun yang fajir.
Ibnu Nujaim berkata :
وظاهر كلامهم أن السياسة فعل شيء من الحاكم لمصلحة يراها، وإن لم يرِد بهذا الفعل دليل جزئي
”Yang mereka maksud dengan politik itu adalah kebijaksanaan yang diambil penguasa untuk mewujudkan kemaslahatan yang diyakininya. Sekalipun kebijaksanaannya itu tidak ada dalilnya secara khusus” (Al-Bahrur-Raaiq).
Siapakah yang Pantas Berbicara dan/atau Berfatwa dalam Masalah Politik ?
Ibnul-Qayyim berkata dalam kitabnya I’lamul-Muwaqqi’iin (4/212) :
العالم بكتاب الله وسنة رسوله وأقوال الصحابة فهو المجتهد في النوازل، فهذا النوع الذي يَسوغ لهم الإفتاء ويَسوغ استفتاؤهم ويتأدى بهم فرضُ الاجتهاد، وهم الذين قال فيهم رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها
“Orang yang menguasai Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta fatwa-fatwa para shahabat sajalah yang layak dikatagorikan sebagai mujtahid dalam kasus-kasus nawazil (kontemporer). Merekalah yang berhak berfatwa, dimintai fatwa dan berhak melaksanakan kewajiban ijtihad. Dan mereka pula yang disebut oleh Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits :
إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها
Sesungguhnya Allah akan memunculkan pada umat ini setiap seratus tahun seorang yang akan memperbaharui dien” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih).
Yaitu yang telah mencapai tingkat mujtahid sebagaimana ditegaskan oleh Al-Mawardi :
العلم المؤدي إلى الاجتهاد في النوازل والأحكام
“Ilmu yang memadai untuk berijtihad dalam memutuskan kasus-kasus kontemporer maupun menetapkan kesimpulan hukum-hukum” (Al-Ahkaamus-Sulthaniyyah halaman 6).
Imam Asy-Syathibi berkata :
بل إذا عرضت النوازل روجع بها أصولها فوُجدَت فيها، ولا يجدها مَن ليس بمجتهد، وإنما يجدها المجتهدون الموصوفون في علم أصول الفقه
”Apabila kasus-kasus itu dianalisa dan dirujuk kepada pedoman-pedoman umum, niscaya ditemukan pemecahannya. Selain alim mujtahid tidak akan dapat memecahkannya. Cuma alim mujtahid yang disebutkan kriterianya dalam ilmu Ushul-Fiqh sajalah yang bisa menemukan pemecahannya”. (Al-I’tisham 1/361).
Inti dari semua itu, bahwasannya masalah politik pada dasarnya harus dikembalikan kepada para ahli ilmu. Bukan kepada orang-orang yang dangkal pemahamannya dalam masalah agama [1]. Hendaknya kita takut akan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرةَ قالَ قَالَ رَسولُ الله صلى الله عليه وسلم سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيهَا اْلكَاذِبُ ويُكَذََّبُ فِيهَا الصَّادقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا اْلخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا اْلأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ اْلعَامَّةِ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : “Akan tiba nanti atas umat manusia masa-masa penuh tipu daya. Para pembohong dianggap orang jujur, dan (sebaliknya) orang jujur dianggap sebagai pendusta. Orang yang khianat dianggap amanah, dan (sebaliknya) orang yang amanah dianggap khianat. Dan para ruwaibidlah mulai angkat bicara”. Ada yang bertanya : “Apa itu ruwaibidlah ??”. Beliau menjawab,”Orang bodoh yang berbicara tentang urusan rakyat banyak !” (HR. Ibnu Majah nomor 4036 dan derajat hadits ini shahih).
Bukankah ruwaibidlah di jaman kita telah banyak ? Tidak selayaknya bagi kaum muslimin untuk menyibukkan dirinya dengan politik dan permasalahan-permasalahan kontemporer yang justru membebaninya. Sibukkan dengan ilmu agama yang shahih yang dengan itu kita dapat beramal dengan benar dalam masalah aqidah, ahkam (syari’ah), muamalah, atau akhlaq. Termasuk dalam perkara cabang ini adalah permasalahan politik. Kita serahkan hal ini kepada yang berhak, yaitu kepada para ahli ilmu (ulama) yang faham terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sehingga mereka memberikan solusi yang terbaik bagi umat. Allaahu a’lam.[2]



[1] Termasuk fenomena yang banyak terjadi sekarang ini adalah banyaknya penyelenggaraan seminar-seminar, pertemuan-pertemuan, atau penulisan selebaran dan bulletin yang membicarakan kasus-kasus kontemporer. Tidak ada yang luput dari perhatian mereka. Mereka katakan bahwa apa yang mereka katakan dan tulis tersebut berdasarkan timbangan syari’at Islam. Namun sayangnya mereka tidak pernah menyibukkan diri dengan ilmu. Kajian-kajian yang mereka adakan hanyalah mengandalkan analisis wartawan di majalah dan koran-koran. Alangkah baiknya jika mereka mempelajari ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihahdaripada kesibukan mereka membaca dan ‘mengkaji’ berita koran, majalah, televisi, radio, dan media-media lainnya.
[2] Banyak diantara kiita berbicara tentang Sistem Politik Islam, Sistem Ekonomi Islam, Sistem Pendidikan Islam, atau yang semisal; namun kita jarang mengkaji Tafsir Al-Qur’an, tidak pernah membuka Shahih Bukhari-Muslim, atau tidak akrab dengan kitab-kitab ulama salaf. Lantas, dengan modal apa kita “memaksakan diri” berbicara masalah umat ? Orang yang tidak punya apa-apa tentu tidak bisa memberikan apa-apa.


http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/09/haruskah-setiap-orang-berpolitik.html