Friday, April 24, 2015

Kerjasama Indonesia-Iran Yang Tidak Berimbang

Gonda Yumitro
Beberapa kali kami sempat berdiskusi dengan teman yang menulis di media sosial tentang Iran. Biasanya, tulisan mereka menceritakan kekaguman terhadap sikap politik luar negeri Iran yang keras terhadap Amerika. Belum lagi sosok mantan presiden Iran, Ahmadenejad yang digambarkan sebagai sosok sempurna. Sampai-sampai ada seorang dokter dan aktifis muslim yang berkomentar, “Kapan Indonesia bisa mempunyai pemimpin hebat seperti ini?”
Gambaran kekaguman ini bukan tanpa sebab. Jika diperhatikan selama ini, memang pemberitaan tentang Iran sangat positif di beberapa media utama Indonesia. Apalagi berbagai kerjasama pun dikembangkan oleh Iran dengan cukup “memikat” terhadap pemerintah Indonesia, pada berbagai bidang, seperti minyak, teknologi, militer, kedokteran, dan sosial budaya. Padahal, jika dikaji lebih mendalam, maka terlihat bahwa kepentingan penyebaran syiah cukup kentara dalam berbagai kerjasama tersebut.
Karena ancaman syiah jelas akan mengganggu keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, maka berbagai keuntungan yang sebenarnya hanya “sedikit” dari kerjasama dengan Iran ini, kami nilai sebagai kerjasama yang tidak berimbang1. Untuk itu, persoalan tersebut perlu dikupas dalam edisi ini.
Padahal jika bicara tentang hubungan diplomatik antar negara, maka hal prinsip yang seharusnya berlaku adalah perlunya kerjasama mutualisme yang saling menguntungkan dan tidak mengganggu keutuhan Negara lain. Persoalan yang terjadi dalam kerjasama dengan Iran adalah ancaman syiah terhadap kehidupan berbangsa di Indonesia belum dipahami secara umum oleh berbagai kalangan masyarakat.
Hal ini, pada akhirnya membuat Iran mengesankan berbagai nilai lebih yang bisa ditawarkannya pada berbagai bidang seperti ekonomi, politik, dan teknologi telah membuat kerjasama tersebut berimbang. Padahal jika diperhatikan efek dari kerjasama, perubahan terhadap budaya dan nilai yang berkembang di tengah masyarakat memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan sekedar perubahan secara materi.
Masalahnya adalah tidak jarang karena persoalan materi, orang rela untuk mengubah budaya dan nilai yang dimilikinya. Kondisi inilah yang terjadi dalam hubungan Indonesia dengan Iran. Karena beberapa kepentingan materi, terutama dalam hal kebutuhan minyak, dimana dari nilai perdagangan Indonesia dengan Iran, 88% nya merupakan impor Indonesia terhadap minyak Iran, maka pemerintah seakan abai dengan efek sosial budaya yang terjadi.
Apalagi dengan cantik, Iran juga berharap agar bisa menyimpan stok minyaknya di Indonesia, dan siap untuk terus membeliCrude Palm Oil (CPO) dari Indonesia. Dari persfektif ekonomi, dimana Indonesia masih belum bisa mengekplorasi sumber daya minyak dan memenuhi pasokan dalam negeri secara mandiri, hal ini dinilai menguntungkan Indonesia.
Demikian juga dalam berbagai bidang lainnya, seperti sains dan teknologi, serta militer, Iran memberikan tawaran yang menarik. Hal ini misalnya terlihat dalam acara Jakarta International Defense Dialogue (JIDD) di Jakarta, pada 20 – 21 Maret 2013 tahun lalu, dimana Deputi Menteri Pertahanan (Menhan) Iran bidang Internasional Brigjen Kalantari menawarkan kerjasama bidang teknologi militer. Menurutnya, Iran telah mempunyai berbagai teknologi pertahanan yang modern yang sangat mungkin untuk disharing dengan Indonesia.
Bukan hanya bidang kerjasama pada berbagai bidang yang ditawarkan oleh Iran, melainkan cara yang ditempuh pun sangat cantik. Di antaranya adalah dengan penggunaan media yang massif dan upaya menggaet aktor-aktor intelektual, terutama dari berbagai kampus besar di Indonesia. Artinya dari upaya untuk membangun opini publik, Iran bermain cantik agar peluang penolakan dari berbagai kalangan masyarakat bisa diantisipasi.
Hal ini misalnya bisa terlihat dari upaya Kementerian Luar Negeri Iran yang secara maksimal berusaha menjajaki kerjasama dengan kantor berita nasional dan berbagai media, baik cetak maupun elektronik di Indonesia. Harapannya adalah agar berbagai informasi dari Iran akan bisa menyebar luas di Indonesia. Padahal, jika kita memahami struktur politik Iran, maka akan terlihat bahwa kepala Radio dan Televisi Iran ditunjuk oleh Ayatollah. Artinya isi beritapun harus sesuai dengan kepentingan ajaran syiah.
Pengaruh Iran yang mempunyai tradisi filsafat dan keilmuan yang cukup kental pun menjadi daya tarik bagi para pemuda dan ilmuwan Indonesia. Pemerintah Iran dengan cerdik mendekati para intelektual yang berasal dari berbagai kampus di Indonesia. Dengan cara ini, misi penyebaran Syiah pun terlihat lebih ilmiah dan potensi ditolak pun semakin rendah.
Padahal, jika dilihat secara teliti, terutama berkaitan dengan kepentingan sosial budaya Iran di Indonesia, maka kepentingan Iran yang sesungguhnya semakin terlihat. Paling tidak, dari aspek sosial budaya, ketidakberimbangan kerjasama ini bisa dipahami dengan beberapa realita berikut:
Pertama, Ketidakseimbangan jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Iran, dan mahasiswa Iran yang belajar di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya jumlah pelajar Indonesia yang belajar di Iran, bahkan sudah mencapai angka 7000 orang. Artinya, jumlah pelajar Indonesia tersebut lebih besar dari mereka yang belajar di Mesir.
Yang mengkhawatirkan adalah bahwa kebanyakan dari para pelajar tersebut, berangkat ke Iran bukan dengan beasiswa yang disepakati dalam kerjasama formal. Beasiswa tersebut mereka dapatkan dari berbagai yayasan yang beraliran syiah. Adapun secara formal, hanya 200 mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa untuk belajar di kampus Iran.
Pada sisi lain, sebagaimana layaknya kerjasama, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga secara rutin, setiap tahunnya menawarkan beasiswa Darmasiswa kepada pelajar Iran untuk belajar di Indonesia. Namun dari tahun 2005-2012, hanya 15 orang pelajar dari Iran yang mengikuti program beasiswa ini. Bahkan tidak ada satu pun yang pernah berpartisipasi dalam Beasiswa Seni Budaya Indonesia yang diadakan oleh Kemlu sejak tahun 2003.
Dari data di atas, terlihat bahwa perbandingan yang tidak berimbang ini memungkinkan pengaruh Iran lebih besar masuk ke Indonesia. Mengingat sebagian besar mendapatkan beasiswa dari yayasan syiah, maka peluang percepatan penyebaran syiah di Indonesia juga semakin besar. Sementara pengenalan budaya Indonesia ke Iran tidak bisa optimal dilakukan mengingat hanya sedikit warga Iran yang belajar budaya Indonesia.
Kedua, Iran gesit membuka berbagai sarana yang bisa memperkenalkan budaya dan nilai masyarakatnya kepada masyarakat Indonesia, tetapi di sisi lain, kesempatan Indonesia untuk melakukan hal yang sama terkesan dibatasi.
Hal ini a terlihat dari banyaknya pusat-pusat kebudayaan dan informasi Iran yang didirikan di Indonesia. Sekarang ini, Iran paling tidak telah memiliki 6 (enam) Islamic Cultural Center(ICC), di samping 12 Iran Corner di berbagai perguruan tinggi di Indonesia seperti UIN Jakarta, UIN Bandung, UIN Riau,Universitas Muhamadiyah Jakarta, dll.
Seorang dosen yang pandai berbahasa Parsi pernah berkomentar bahwa ia bingung dengan alasan berbagai kampus tadi bersedia untuk mendirikan Iranian Corner di Indonesia. Padahal jika dibaca, berbagai referensi yang berbahasa Inggris memang terkesan umum memberikan informasi tentang sosial, budaya, politik, dan ekonomi Iran, tetapi jika dibaca referensi yang berbahasa Parsi, maka hampir semua buku yang tersedia berbicara tentang ajaran syiah. Maka terlihat bagaiman Iran begitu cerdik membungkus kerjasama yang mereka bangun dengan Indonesia selama ini.
Pada sisi lain, jika mau berfikir jernih, sebenarnya akan terlihat kejanggalan lain dari kerjasama antara Indonesia dengan Iran ini. Jika di atas dijelaskan bahwa dengan mudah Iran bisa memperkenalkan budaya (syiah)nya ke tengah masyarakat Indonesia, kondisi berbeda yang dialami oleh Indonesia ketika ingin memperkenalkan budaya masyarakat yang sebagian besar ahlussunnah waljama’ah ini. Sampai saat ini, Indonesia belum mempunyai satu pun Indonesian Corner di kampus-kampus besar atau terkenal di Iran.
Bahkan terkesan pemerintah Iran kurang mendukung upaya membangun pusat kajian Indonesia di Iran. Secara ketat pemerintah Iran mengawasi pergerakan misi kebudayaan Indonesia di Iran. Bahkan beberapa pentas kebudayaan Indonesia yang akan diadakan di Iran dilarang. Yang lebih tidak fair adalah ketika pelarangan tersebut seringkali disampaikan mendekati waktu pementasan, atau bahkan beberapa jam sebelum pentas dimulai.
Dari keadaan ini terlihat bahwa Iran sangat gesit ingin menyebarkan ajaran syiah ke Indonesia, tetapi tidak ingin ada bagian dari ajaran atau budaya ahlussunnah waljama’ah masuk dan berkembang di negara mereka.
Ketiga, Iran secara aktif berusaha mencari pengakuan agar ajaran syiah diterima sebagai bagian dari Islam, sementara secara domistik mereka tidak menerima keberadaan kelompok ahlussunnah waljama’ah.
Hal ini misalnya terlihat dari beberapa agenda yang intens dikawal oleh Iran, seperti kegiatan pada bulan Januari 2013, di mana mereka mengundang berbagai ormas Islam seperti MUI, NU, Muhammadiyah, dan UIN untuk terlibat dalam kegiatanIntra Faith Dialogue and Cooperation Sunni-Shiite.
Pada bulan April 2013, Iran juga mengadakan pertemuan World Assembly of Islamic Awakening di Taheran. Menurut Iran, upaya ini merupakan langkah untuk mendorong persatuan umat Islam di dunia. Menurut pemerintah Iran, hal ini merupakan upaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di dunia Islam selama ini.
Apalagi dalam hubungannya dengan Indonesia, mereka menyampaikan bahwa Indonesia dan Iran telah mempunyai hubungan dekat sejak lebih dari 1000 tahun yang lalu. Hal ini bisa dilihat dari situs-situ kerajaan Samudra Pasai di mana di batu nisan ratu Naína Husam al-Din, terdapat kutipan syair dalam bahasa Parsi dari penyair terkemuka Persia, Syeikh Muslim al-Din Saádi (1193-1292 M).
Padahal jika kita lihat pada level domistik negara Iran, maka ajaran ahlussunnah waljama’ah dilarang berkembang di negeri ini. Bahkan tidak sedikit di antara ulama sunni yang dibunuh, dan masjid-masjid yang dihancurkan.2
Maka berdasarkan berbagai realita di atas, cukup menjadi gambaran besarnya ancaman syiah di Indonesia melalui pola kerjasama yang tidak berimbang. Bahkan beberapa fakta telah menunjukkan bahwa syiah telah menyebabkan berbagai tindak kekerasan di kalangan umat Islam Indonesia karena ajaran mereka yang berbeda dan terus berkembang.
Menurut data BIN, sekarang paling tidak terdapat 29 penerbit dan 65 yayasan syiah yang tersebar di Wonosobo, Banjarmasin, Samarinda, dan berbagai daerah Indonesia lainnya. Semua penerbit dan yayasan tersebut berpotensi menyebabkan konflik di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, kita semua patut waspada, dan berdoa semoga para pemimpin kita, terutama yang menangani hubungan kerjasama antara Indonesia dan Iran juga mempunyai perhatian yang besar terhadap persoalan ini.
Kita berharap semoga Indonesia bisa menjadi bangsa yang semakin kuat dan mandiri serta tidak bergantung dengan negara lain seperti Iran. Dengannya, kerjasama yang betul-betul berimbang dan tidak dimanfaatkan oleh mereka untuk merusak tatanan berbangsa dan bernegara bisa diwujudkan. Aamin. [*]
1 http://www.gensyiah.com/keuntungan-iran-lebih-banyak-dari-indoneia-indonesia-masuk-perangkap-iran.html
http://www.gensyiah.com/bukti-pensyiahan-indonesia-secara-sitematis-bag-2.html.