Hanya orang-orang Syi’ah yang sangat parah memberi penilaian
negatif kepada para shahabat. Hanya karena alasan tidak melantik
Sayyidina Ali t sebagai Khalifah pasca wafatnya Nabi e , orang-orang Syiah
memurtadkan semua shahabat yang berjumlah sekitar 1240.000 orang, kecuali tiga
orang saja. Yaitu Miqdad bin Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.
Sungguh ekstrim.[1]
Berbeda dengan Syiah, adalah Ahlusunah Waljamaah (untuk
selanjutnya disebut dengan sunni).
Menurut orang sunni, para shahabat adalah orang yang memiliki derajat yang
mulia dan agung, bahkan mereka adalah manusia terbaik setelah Rasulullah e.
Dalam faham sunni, tidak ada klasifikasi golongan shahabat sebagaimana
klarifikasi Syiah, apalagi sampai memasukkan shahabat dalam deretan orang
munafik. Antara shahabat dan munafik jelas tidak bisa disamakan, sebab keduanya
sama-sama memiliki definisi dan karakter yang berbeda. Shahabat tidak mungkin
terdiri dari orang munafik, demikian juga orang munafik tidak mungkin ada yang
terdiri dari shahabat.
Setidaknya ada enam poin permasalahan apabila orang munafik
dimasukkan dalam kategori shahabat. Pertama, orang
Syiah tidak mempunyai standar baku tentang definisi shahabat, bisa jadi setiap
orang yang berjumpa dengan Nabi disebut shahabat, baik Yahudi, Nasrani dan
orang-orang musyrik atau orang-orang kafir. Padahal, dalam pandangan sunni
shahabat adalah orang yang mukmin dan mati dalam keadaan iman, sedangkan orang
munafik bukan termasuk golongan orang beriman.
Kedua,
apabila orang syiah beranggapan bahwa golongan shahabat yang munafik lebih
banyak dari pada shahabat yang tidak munafik, lantas buat apa mereka
berpura-pura iman di depan Nabi e, dan harus bersembunyi di balik kekufuran?
Dan kenapa mereka tidak memporak-porandakan kekuatan Islam, padahal dalam faham
Syiah, mereka dikatakan sebagai kelompok terbesar pada saat itu? Dan kenapa
pula dalam fakta sejarah orang-orang yang beriman justru telah berhasil
menyebarkan Islam dan meruntuhkan bendera kekufuran?.
Ketiga,
adalah merupakan hal yang sudah disepakati bersama bahwa Rasululullah e telah
mengajarkan kepada shahabatnya untuk menghindari perbuatan munafik, beliau juga
telah meridlai shahabatnya. Dalam beberapa Hadits telah banyak kita temukan
tentang kemulian para shahabat dan larangan mencacinya. Diantaranya Hadis: “Janganlah kalian mencaci
shahabat-shahabatku, demi Dzat Yang Menguasai diriku, seandainya kalian
bersedekah emas sebesar gunung uhud maka tidak akan pernah sebanding dengan
satu mud juga bukan separuhnya daripada keutamaan shahabat” (HR.
Bukhari dan Muslim)
“Barang siapa mencaci
shahabat-shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah I ,
malaikat, dan seluruh manusia” (HR. Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas)
Hadits di atas dengan jelas menegaskan sifat keadilan para
shahabat dan ketidakmungkinan (impossible) mereka tergolong orang munafik.
Allah I telah menjanjikan neraka bagi orang-orang munafik selama-lamanya
(QS:An-Nisa’:145). Sementara para shahabat tidak mungkin kekal dalam neraka
sesuai dengan Hadis Nabi e: “Tidak
satupun diantara shahabatku yang meninggal, melainkan akan diutus kepada mereka
seorang pengawal (ke surga) kelak di hari kiamat” (HR.
at-Tirmidzi)
Keempat,
Apabila orang Syiah berkeyakinan bahwa mayoritas shahabat adalah dari golongan munafik
dan murtad, sedangkan yang betul beriman diyakini hanya tiga orang, maka ini
berarti secara tidak langsung orang syiah telah mencaci Nabi e. Sebab selama 23
tahun Nabi e hanya mampu mencetak tiga kader saja.
Kelima,
adalah hal yang maklum dalam perjalanan perjuangan Nabi e menyebarkan Islam
bahwa munculnya kemunafikan tidak ditemukan di permulaan dakwah, yakni ketika
Nabi e berada di Makkah, melainkan justru muncul setelah Nabi e menetap di
Madinah dan Islam menjadi terkenal di mana-mana. Sementara Shahabat Abu Bakar,
Umar, Usman dan pembesar-pembesar shahabat lainnya yang diangap munafik oleh
orang syiah sudah masuk Islam ketika Nabi e berada di Makkah dan ketika
kemunafikan belum tumbuh. Ini jelas menunjukkan bahwa para pembesar shahabat
tidak mungkin munafik.
Kontradiktif
Asumsi negatif orang Syiah terhadap para shahabat ternyata
justru tidak sependapat dengan beberapa Imam Syi’ah sendiri. Diriwayatkan dari
Muhammad Baqir –Imam kelima yang mendapatkan predikat maksum- bahwa para
shahabat berkata kepada Rasulullah e : “Ya Rasulallah kami khawatir
termasuk golongan orang munafik”, Rasulullah e kemudian balik
bertanya: “Kenapa
kalian khawatir dengan hal itu?”. Shahabat menjawab: “Apabila
kami bersamamu, maka masih ada
orang yang mengingatkan kami,akan tetapi ketika kami sudah
berbaur dengan keluarga dan masyarakat, maka kami khawatir tidak
seperti ketika bersama engkau, apakah engkau tidak khawatir hal ini akan
menjadikan kami orang yang munafik?”. Rasulullah kemudian menjawab:
“Tidak!
Ini adalah rayuan setan agar kalian terbujuk dengan kehidupan dunia. Demi Allah I apabila perbuatan kalian tetap konsisten seperti
halnya ketika kalian bersamaku, maka malaikat akan memberikan salam perhormatan
kepada kalian, apabila tidak, dan kalian memohon ampun kepada Allah I maka Allah I akan mengampuni dosa kalian,
tidakkah kalian dengar firman Allah I : “Sesungguhnya
Allah I menyukai orang-orang yang
bertaubat” (QS.Al-Baqarah [02]:222)
Selanjutnya, Muhammad Baqir, dan Muhammad bin Mas’ud atau yang
dikenal dengan al-‘Iyasi telah memasukan ayat di atas untuk menafikan sifat munafik dari kalangan shahabat.
Imam Hasan al-‘Askary -Imam Syi’ah ke sebelas yang diyakini
maksum- telah mengakui akan derajat mulia yang dimiliki oleh para
shahabat, ia berkata bahwa Nabi Musa u bertanya kepada Allah I dengan
beberapa pertanyaan, di antaranya: “Apakah bagi Engkau diantara
shahabat-shahabat Nabi ada yang lebih mulia dari shahabatku?. Allah
I kemudian menjawab: “Wahai
Musa! Tidakkah kamu ketahui bahwa keutamaan shahabat Muhammad dibandingkan
dengan shahabat Nabi lainya seperti keutamaan keluarga Muhammad dengan keluarga
Nabi lainnya, dan seperti keutamaan Muhammad dengan Nabi-Nabi lainnya”
Ibrahim Ast-Tsaqâfi -salah satu imam Syiah- menjelaskan dalam
kitab Al-Gharat-nya
(rujukan penting golongan Syiah Istna
‘Asyariyah) jawaban dari imam tertinggi dalam faham Syiah, yaitu
sayyidina Ali t ketika ditanya mengenai shahabat Nabi e: “Ya
Amiral Mukminîn! Ceritakanlah kepada kami mengenai shahabatmu!”.
Sayyidina Ali t balik bertanya: “Shahabat yang mana?”.
Mereka menjawab: “Shahabat
Nabi Muhammad e”.
Sayyidina Ali menjawab “Semua
shahabat Nabi Muhammad e adalah
shahabatku.”[2]
Sebagai manusia, shahabat memang bisa saja melakukan kesalahan,
akan tetapi pengampunan dan hidayah Allah I terhadap mereka, jauh lebih besar
dari kesalahan mereka[3].
Bukankah sudah banyak al-Quran dan Hadits yang telah memberikan apresiasi yang
prestisius kepada mereka? Usaha menjatuhkan shahabat secara tidak langsung sama
halnya berusaha menghancurkan tatanan Islam itu sendiri, sebab mereka para
shahabat adalah generasi pertama yang menerima langsung ajaran Islam dari Nabi
e? Lantas mungkinkah mereka munafik dan banyak yang murtad ?
Oleh: Ahmad Zainie Aly
Zain/Santri Sidogiri asal Bangkalan
[1] Al-Kulaini, al-Kâfi, juz 8 hal 245
[2] Syaikh
Ali bin Naif Asy-Syuhud, Syubhati
Ar-Rafidhah haulash Shahabah Radhiyallahu ‘Anhu, juz I, hlm. 35-39
versi Maktabah Syamilah
[3] Risalâh Majister Syekh
Mahmud Idan Ahmad Ad-Dailami ,
Ash-Shahabah wa Makanatuhum ‘Indlal Muslimin, Juz I,
hal. 42, versi Maktabah Syamilah