Sunday, May 24, 2015

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany dan 9 Tuduhan Dusta Yang Dialamatkan Padanya (Bag. II)

Tulisan ini diterjemahkan secara ringkas dan bebas, serta diambil dari artikel yang dituliskan oleh Syaikh  Muhammad Umar Bazmul (untuk yang mengerti bahasa arab, silahkan baca artikel lengkapnya disini)
4. Syadz (Ganjil), Menyendiri Dari Pendapat Umumnya Masyarakat
Kalau memang Syaikh Al-Albany disifati dengan tuduhan ini, maka seharussya lebih banyak lagi para ulama hadits yang dituduh dengan tuduhan yang sama.
Dalam kitab Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam (5/661-662) Abu Muhammad Ibnu Hazm berkomentar : “Sesungguhnya batasan istilah ganjil adalah dengan menyelisihi kebenaran. Maka siapa saja yang menyelisihi kebenaran dalam suatu permasalahan maka ia termasuk ganjil dalam masalah tersebut, meskipun jumlahnya sebanyak penduduk muka bumi atau sebagiannya. Sedangkan Al-Jama’ah, secara keseluruhan mereka adalah ahlul haq, meskipun dimuka bumi tidak ada dari mereka kecuali seorang saja, maka ialah Al-Jama’ah, dan ini adalah secara globalnya. Meskipun hanya Abu Bakar dan Khadijah saja yang masuk Islam, maka mereka berdua adalah Al-Jama’ah. Sedangkan siapa saja dari penduduk bumi selain mereka berdua dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka adalah ahlu syadz (menyimpang) dan perpecahan.
Maka maksud dari istilah ganjil adalah bukan ketika seorang ulama yang menyelisihi jama’ah ulama lainnya. Arti ganjil juga bukanlah ketika seorang ulama menyelisihi perbuatan yang sering diamalkan atau tersebar luas di masyarakat. Betapa banyak permasalahan yang dipegang teguh oleh ulama dengan pendapat yang menyendiri, seperti Abu Hanifah, Malik, dan juga Ahmad. Dan hal itu tidak dianggap sebagai aib bagi mereka.
Contoh : Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah (wafat 235H) di dalam kitabnya Al-Mushshannaf mengarang sebuah judul : Bantahan untuk Abu Hanifah. Beliau mengawalinya dengan perkataan : “Ini adalah permasalahan yang Abu Hanifah menyelisihi berita yang telah datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Apakah dengan begitu mengurangi kedudukan Abu Hanifah?. Begitu juga dengan Syaikh Al-Albany. Bagaimana mungkin bisa disifati dengan ganjil orang yang memurnikan peneladanan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Contoh lainnya : Al-Laits bin Sa’ad berkata : Aku pernah menghitung permasalahan Malik bin Anas yang berjumlah tujuh puluh, seluruhnya menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam semua permasalahan itu ia berpendapat dengan pendapat akalnya. Al-Laits kemudian berkata : Dan aku pernah menuliskan ini untuknya. Kisah atsar ini ada dalam kitab Jami’u Bayanil Ilmu wa Fadhlihi 92/148).
Kemudian pertanyaannya : Apakah amalan kebanyakan orang bisa menjadi hujjah yang mutlak dalam syariat ini?. Tentu saja tidak, jikalau memang tidak disandarkan kepada dalil-dalil yang shahih.
Lantas, bagaimanakah dengan amalan satu orang yang didasarkan kepada dalil-dalil yang shahih?. Apakah amalannya merupakan amalan yang syadz (ganjil)?. Silahkan dijawab sendiri.
5. Tidak Menghormati Ulama Dan Tidak Mengatahui Ketinggian Kedudukan Mereka.
Adapun perkataan tersebut, maka hanya tuduhan yang tidak berdalil. Bahkan realita yang ada adalah kebalikannya. Penyebab tuduhan itu adalah prasangka salah sebagian orang yang mengira bahwa Syaikh Al-Albani tatkala mengamalkan hadits shahih yang belum pernah diketahui seorang yang menyelisihinya, mereka mengira bahwa perbuatan beliau tersebut menjatuhkan kredibilitas para ulama yang tidak mengamalkannya, dan berarti beliau tidak menghormati mereka.
Diantara perkataan berharga Syaikh Al-Albani sebagaimana dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, ketika mengomentari hadits nomor 221, beliau berkata :
Ambil dan peganglah hadits Rasulullah. Gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah olehmu pendapat-pendapat orang, sebab dengan adanya hadits maka pendapat menjadi batal, dan jika datang sungai Allah (dalil naqli) maka hilanglah sungai akal (dalil aqli).
Dan perlu diketahui bahwa  tidak ada sebuah permasalahan yang dipilih oleh Syaikh Al-Albany kecuali pernah dikatakan oleh para ulama sebelumnya. Beliau senantiasa antusias menyebutkan ulama salaf yang sependapat dengannya. Beliau juga antusias mengamalkan pendapat yang sejalan dengan dalil.
Syaikh Al-Albany selalu merujuk ke perkataan ulama, mengambil pelajaran darinya, juga mengambil faedah dari perkataan tersebut tanpa fanatik ataupun taklid. Beliau berkata di muqaddimah kitab sifat shalat Nabi.
Adapun merujuk ke perkataan mereka –yakni ulama- , mengambil faedah darinya, memanfaatkannya untuk mencari kebenaran dari permasalahan yang mereka perselisihkan yang tiada dalilnya dari Al-Qut’an dan As-Sunnah, atau untuk membantu memahami permasalahan yang butuh kejelasan, maka ini adalah sesuatu yang tidak kami ingkari. Bahkan kami memerintahkan dan menyarankan hal tersebut, sebab manfaat darinya bisa diharapkan bagi orang yang meniti jalan hidayah dengan Al-Kitab dan As-Sunnah
Oleh : Aziz Rachman