Berikut adalah lanjutan dari tulisan
sebelumnya (Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albany dan 9 Tuduhan Dusta Yang Dialamatkan Padanya Bag. I).
Tulisan ini diterjemahkan secara ringkas dan bebas, serta diambil
dari artikel yang dituliskan oleh Syaikh Muhammad Umar Bazmul (untuk yang
mengerti bahasa arab, silahkan baca artikel lengkapnya disini)
4. Syadz (Ganjil), Menyendiri Dari Pendapat
Umumnya Masyarakat
Kalau memang Syaikh Al-Albany disifati dengan
tuduhan ini, maka seharussya lebih banyak lagi para ulama hadits yang dituduh
dengan tuduhan yang sama.
Dalam kitab Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam
(5/661-662) Abu Muhammad Ibnu Hazm berkomentar : “Sesungguhnya batasan istilah
ganjil adalah dengan menyelisihi kebenaran. Maka siapa saja yang menyelisihi
kebenaran dalam suatu permasalahan maka ia termasuk ganjil dalam masalah tersebut,
meskipun jumlahnya sebanyak penduduk muka bumi atau sebagiannya. Sedangkan
Al-Jama’ah, secara keseluruhan mereka adalah ahlul haq, meskipun dimuka bumi
tidak ada dari mereka kecuali seorang saja, maka ialah Al-Jama’ah, dan ini
adalah secara globalnya. Meskipun hanya Abu Bakar dan Khadijah saja yang masuk
Islam, maka mereka berdua adalah Al-Jama’ah. Sedangkan siapa saja dari penduduk
bumi selain mereka berdua dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
mereka adalah ahlu syadz (menyimpang) dan perpecahan.
Maka maksud dari istilah ganjil adalah bukan
ketika seorang ulama yang menyelisihi jama’ah ulama lainnya. Arti ganjil juga
bukanlah ketika seorang ulama menyelisihi perbuatan yang sering diamalkan atau
tersebar luas di masyarakat. Betapa banyak permasalahan yang dipegang teguh
oleh ulama dengan pendapat yang menyendiri, seperti Abu Hanifah, Malik, dan
juga Ahmad. Dan hal itu tidak dianggap sebagai aib bagi mereka.
Contoh : Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah (wafat 235H) di dalam kitabnya
Al-Mushshannaf mengarang sebuah judul : Bantahan untuk Abu Hanifah. Beliau
mengawalinya dengan perkataan : “Ini adalah permasalahan yang
Abu Hanifah menyelisihi berita yang telah datang dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam”. Apakah dengan begitu mengurangi kedudukan Abu
Hanifah?. Begitu juga dengan Syaikh Al-Albany. Bagaimana mungkin bisa disifati
dengan ganjil orang yang memurnikan peneladanan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam
Contoh lainnya : Al-Laits bin Sa’ad berkata :
Aku pernah menghitung permasalahan Malik bin Anas yang berjumlah tujuh puluh,
seluruhnya menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam semua
permasalahan itu ia berpendapat dengan pendapat akalnya. Al-Laits kemudian
berkata : Dan aku pernah menuliskan ini untuknya. Kisah atsar ini ada dalam
kitab Jami’u Bayanil Ilmu wa Fadhlihi 92/148).
Kemudian pertanyaannya : Apakah amalan
kebanyakan orang bisa menjadi hujjah yang mutlak dalam syariat ini?. Tentu saja
tidak, jikalau memang tidak disandarkan kepada dalil-dalil yang shahih.
Lantas, bagaimanakah dengan amalan satu orang
yang didasarkan kepada dalil-dalil yang shahih?. Apakah amalannya merupakan
amalan yang syadz (ganjil)?. Silahkan dijawab sendiri.
5. Tidak Menghormati Ulama Dan Tidak
Mengatahui Ketinggian Kedudukan Mereka.
Adapun perkataan tersebut, maka hanya tuduhan
yang tidak berdalil. Bahkan realita yang ada adalah kebalikannya. Penyebab
tuduhan itu adalah prasangka salah sebagian orang yang mengira bahwa Syaikh
Al-Albani tatkala mengamalkan hadits shahih yang belum pernah diketahui seorang
yang menyelisihinya, mereka mengira bahwa perbuatan beliau tersebut menjatuhkan
kredibilitas para ulama yang tidak mengamalkannya, dan berarti beliau tidak
menghormati mereka.
Diantara perkataan berharga Syaikh Al-Albani
sebagaimana dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, ketika mengomentari hadits nomor
221, beliau berkata :
Ambil dan peganglah hadits Rasulullah.
Gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah olehmu pendapat-pendapat orang, sebab
dengan adanya hadits maka pendapat menjadi batal, dan jika datang sungai Allah
(dalil naqli) maka hilanglah sungai akal (dalil aqli).
Dan perlu diketahui bahwa tidak ada
sebuah permasalahan yang dipilih oleh Syaikh Al-Albany kecuali pernah dikatakan
oleh para ulama sebelumnya. Beliau senantiasa antusias menyebutkan ulama salaf
yang sependapat dengannya. Beliau juga antusias mengamalkan pendapat yang
sejalan dengan dalil.
Syaikh Al-Albany selalu merujuk ke perkataan
ulama, mengambil pelajaran darinya, juga mengambil faedah dari perkataan
tersebut tanpa fanatik ataupun taklid. Beliau berkata di muqaddimah kitab sifat
shalat Nabi.
Adapun merujuk ke perkataan mereka –yakni
ulama- , mengambil faedah darinya, memanfaatkannya untuk mencari kebenaran dari
permasalahan yang mereka perselisihkan yang tiada dalilnya dari Al-Qut’an dan
As-Sunnah, atau untuk membantu memahami permasalahan yang butuh kejelasan, maka
ini adalah sesuatu yang tidak kami ingkari. Bahkan kami memerintahkan dan
menyarankan hal tersebut, sebab manfaat darinya bisa diharapkan bagi orang yang
meniti jalan hidayah dengan Al-Kitab dan As-Sunnah
Oleh : Aziz Rachman