Thursday, May 14, 2015

Turki dan Saudi Pasang Badan Dukung Kelompok “Garis Keras” Suriah

                                  Ilustrasi Mujahidin Suriah
Turki dan Arab Saudi secara aktif menyatakan mendukung koalisi “garis keras” dari gerilyawan untuk menggulingkan rezim Bashar al-Assad yang termasuk didalamnya kelompok afiliasi al-Qaeda di Suriah,dan langkah ini membuat pemerintah Barat khawatir.
Kedua negara memfokuskan dukungan mereka untuk pejuang Suriah kelompok Jaish al-Fatah, atau The Army of Conquers, kelompok ini merupakan struktur komando untuk kelompok jihad di Suriah yang mencakup Jabhat al-Nusra.
Keputusan oleh dua negara ini untuk kembali mendukung kelompok di mana al-Nusra memainkan peran utama telah memunculkan kekhawatiran pemerintah Barat, karena bertentangan dengan AS, yang dengan tegas menentang mempersenjatai dan mendanai “ekstremis jihad” yang berperang di perang Suriah.
Ini mengancam upaya Washington sendiri untuk melatih pejuang oposisi pro-Barat, yang diumumkan oleh Presiden Barack Obama tahun lalu, namun baru benar-benar dilaksanakan minggu lalu. Permasalahannya jumlah pejuang pro Barat yang terlibat program kecil dan, yang terpenting, Departemen Luar Negeri menegaskan bahwa mereka akan lebih difokuskan untuk melawan Isis daripada melawan rezim.
Pendekatan kerjasama berikut kesepakatan baru, dicapai pada awal Maret ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengunjungi Raja Saudi, King Salman, sesaat setelah dinobatkan di Riyadh, menurut informasi seorang diplomat kepada The Independent.
Hubungan antara Presiden Turki dan almarhum Raja Abdullah sempat renggang, terutama karena Turki memberi dukungan untuk Ikhwanul Muslimin, yang menurut monarki Saudi merupakan ancaman, sekarang hubungan tersebut mulai diperbaiki.

Erdogan menekankan kepada para pejabat Saudi bahwa lambatnya tindakan Barat di Suriah, terutama kegagalan untuk memberlakukan “zona larangan terbang”, mendesak kekuatan regional untuk bersatu dan membantu oposisi.

Jaish al-Fatah – dengan tujuh anggotanya, yang didalamnya termasuk kelompok “garis keras” Ahrar al-Sham dan Jund al-Aqsa – memiliki pusat komando di Idlib, Suriah utara. Para pejabat Turki mengakui memberikan dukungan logistik dan intelijen ke markas komando. Meskipun mereka menolak memberikan bantuan langsung kepada al-Nusra, mereka mengakui bahwa kelompok itu akan menjadi penerima manfaat dari bantuan dari Turki.
Dukungan material – senjata dan uang – telah datang dari Saudi, menurut informasi resmi dari pejuang, Turki memfasilitasi pengiriman dan distribusinya. Desa-desa perbatasan Guvecci, Kuyubasi, Hacipasa, Besaslan, Kusakli dan Bukulmez adalah rute distribusi utama, menurut sumber-sumber dari pejuang.
Semakin kuatnya kerjasama antara Turki dan Arab Saudi menggambarkan bagaimana kepentingan kekuatan regional Ahlusunnah, tidak sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat di Suriah. Washington tegas menentang mempersenjatai dan pendanaan kelompok jihad ekstrimis dalam perang sipil Suriah. AS juga memerangi mereka yang diwujudkan dengan serangan udara terhadap posisi al-Nusra di Aleppo – karena alasan mengklaim kelompok itu merencanakan serangan teroris di Barat – pada hari pertama kampanye pengeboman saat melawan Isis.
Kecaman datang dari Saudi menyatakan bahwa AS, membutuhkan dukungan dari Syiah Iran untuk memerangi Isis di Irak, adanya kesepakatan AS terhadap program nuklir Iran, membuat AS menjadi tidak lagi tertarik pada penggulingan rezim yang didukung Teheran di Damaskus.
Bukti lebih lanjut dari ketidakpuasan atas pendekatan AS di antara negara-negara Sunni datang kemarin dengan berita bahwa Raja Salman menarik diri dan tidak menghadiri puncak pertemuan dengan Barack Obama di Gedung Putih pada pembicaraan nuklir Iran minggu ini: ia akan diwakili oleh bukan Putra Mahkota Mohammed bin Nayef . Dari enam kepala negara Teluk yang diundang, hanya emir Qatar dan Kuwait yang hadir.
Selama krisis Suriah, para penguasa Teluk menilai bahwa tindakan AS sangat sedikit dan terlalu lamban. Tidak banyak kemajuan, sejak hampir setahun sejak Obama pertama kali mengumumkan program $ 500 juta untuk pelatihan pejuang oposisi.
Para pejabat AS beralasan lamanya pelaksaan program dikarenakan penjangnya prosedur pemeriksaan dan perekrutan pejuang. Beberapa agen yang direkrut CIA di masa lalu telah gagal untuk berdiri dengan kelompok garis keras dan memilih mundur.
Salah satu kejadian yang paling terkenal dan, untuk Washington, memalukan, adalah kasus tahun lalu ketika Harakat al-Hazm menyerahkan basis dan persenjataan canggih yang telah didanai US untuk al-Nusra. Ada juga munculnya tuduhan pelanggaran hak asasi manusia oleh kelompok dukungan Barat dari warga lokal.
Sejauh ini, 400 calon telah diseleksi oleh Amerika untuk menerima pelatihan senjata ringan dalam program tersebut. 90 personel akan memulai program di kamp-kamp pelatihan di Turki, Yordania dan Arab Saudi, tetapi belum siap tempur selama beberapa bulan. Pentagon memperkirakan bahwa mereka akan mengambil masa tiga tahun sebelum mencapai kekuatan penuh sebanyak 15.000 personel siap tempur, waktu yang terlalu lama untuk sebuah krisis yang harus ditangani secepatnya.
Tanda utama dari perbaikan hubungan antara Turki dan Arab Saudi adalah tentang isu Ikhwanul Muslimin. Sikap Saudi menyambut kudeta terhadap pemerintah Mohamed Morsi di Mesir, sebaliknya kelompok tersebut didukung oleh Turki sejak Erdogan berkuasa. Sekarang, menurut informasi dari para diplomat dan pejabat, Arab Saudi telah menerima peran Ikhwan dalam oposisi Suriah.
Pejuang di Suriah mengklaim bahwa setelah kelompok yang disponsori Barat menyerahkan kendali kepada al-Nusra tahun lalu, Washington mulai memotong dana untuk sebagian besar kelompok moderat lainnya. Harakat al-Hazm, awalnya adalah kelompok yang paling didukung US,selanjutnya Farouq Brigade, sekarang aliran dana untuk mereka telah dihentikan
Abdulatif al-Sabbagh, seorang perwira Ahrar al-Sham, mengatakan: “Amerika mendukung orang-orang yang mengatakan mereka revolusioner, tetapi orang-orang ini korup dan tidak kompeten … Jaish al-Fatah berhasil karena kita semua berjuang bersama-sama. Tapi kita semua menetang Daesh [Isis] seperti kami menentang Bashar. Amerika membom Daesh tetapi tidak melakukan apa-apa terhadap rezim, itu sebabnya kami bersatu untuk melawan mereka. ”
Jaish al-Fatah telah membuat terobosan baru dalam melawan rezim dengan berhasil membebaskan Idlib serta kota-kota dan desa-desa lainnya. Al-Nusra memiliki 3.000 pejuang untuk operasi yang dan menempatkan para pejuang dalam posisi untuk melancarkan serangan terhadap posisi rezim di wilayah Latakia di jalur pantai Suriah.
Secara terpisah, Jaish al-Fatah dikatakan sedang mempersiapkan serangan terhadap rezim untuk membebaskan seluruh wilyah Aleppo, kota terbesar di negara itu.