Penulis : Dr. Ragheb Sirjani
Diterjemahkan Oleh : Abo Hozaifah Al Atsary
Dapat dipastikan bahwa banyak dari pembaca
kaget saat membaca sejarah perkembangan Syi’ah. Tentunya kami tidak menulis
sejarah untuk sekedar tambah wawasan, akan tetapi agar mengambil ‘ibrah dan pelajaran,
lalu dapat berinteraksi dengan berbagai krisis yang menyelimuti kita dengan
cara lebih baik dan visi yang lebih jelas.
Oleh karenanya, mengabaikan sejarah tadi
merupakan kejahatan terhadap generasi mendatang. Kita seakan menutup diri dari
cahaya saat enggan mempelajari akar masalah ini, apalagi kita telah diperintah
jauh sebelumnya untuk mempelajari kisah umat-umat terdahulu dan menerapkan
pelajaran yang dikandungnya pada realita kita sekarang.
Allah Ta’ala berfirman
((فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ)) [الأعراف: 176].
Maka ceritakanlah kisah-kisah tersebut agar
mereka berfikir (Al A’raf: 176)
Karenanya, masalah ini semestinya tidak
berhenti pada sekedar menceritakan, namun harus direnungkan pula. Kemudian
menentukan langkah apa yang mesti kita ambil untuk memahami realita dan
membangun masa depan kita.
Pertama-tama, saya ingin membuka artikel
ini dengan dua peringatan penting:
Pertama, agar anda memahami dan mendapat faedah dari artikel ini, anda
harus membaca artikel sebelumnya tentang pokok keyakinan Syi’ah. Sebab di sana
ada akar sejarah perkembangan mereka, dan pokok-pokok akidah mereka yang
membantu anda untuk memahami kronologi yang terjadi di lapangan.
Kedua, sampai saat ini saya baru sekedar membacakan sejarah dan
menyampaikan riwayat-riwayat yang shahih. Saya belum memberi ulasan final yang
menjelaskan bagaimana sikap kita yang sebenarnya terhadap Syi’ah, dan bagaimana
hubungan yang mesti dijalin. Tema yang penting ini akan kusendirikan dalam
tulisan berikutnya atas izin Allah. Dan menurutku sangat besar manfaatnya
bagiku bila mendapat opini para pembaca tentang bentuk hubungan yang mesti
terjalin antara kita dan mereka (syi’ah), terutama jika berangkat dari latar
belakang sejarah dan agama yang telah kami jelaskan.
Kembali ke masalah Syi’ah…
Pasca wafatnya Hasan Al ‘Askari (yang
dinobatkan sebagai imam ke-11 oleh mereka) Syi’ah memasuki masa kebingungan
besar yang terkenal dalam sejarah dengan periode ‘hairatusy syi’ah’. Dalam
masa tersebut mereka saling terpecah menjadi banyak firqah (sekte), dan
setiapfirqah memoles
agamanya semaunya demi mendapat keuntungan politis yang lebih baik… dan
konon firqah yang
paling terkenal adalah firqah “itsna
‘asyariyah” (12 imam), yang telah kita singgung dalam tulisan
sebelumnya.
Namun firqah itsna ‘Asyariah ini
bukanlah satu-satunya di lapangan, di sampingnya juga tumbuh firqah lain yang
lebih berbahaya. Munculnya firqah yang satunya ini pernah menjadi malapetaka
bagi umat Islam. Firqah ini bernama Isma’iliyyah.
Syi’ah Isma’iliyah telah sesat terlampau
jauh hingga mayoritas ulama mengeluarkannya dari Islam. Munculnya sekte
Isma’iliyah adalah lewat skenario hebat seorang Yahudi yang ingin membuat makar
bagi umat Islam, orang tersebut bernama Maimun Al Qaddah.
Mulanya orang ini menampakkan diri sebagai
muslim dan mendekati Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, bahkan
berteman akrab dengannya. Muhammad bin Isma’il termasuk ahlul bait, karena
merupakan cucu dari Ja’far Ash Shadiq, imam keenam kaum Syi’ah Itsna Asyariyah.
Ayahnya adalah Isma’il, saudara Musa Al Kazhim yang notabene imam ketujuh
menurut Syi’ah Itsna Asyariyah.
Maimun telah melakukan sesuatu yang luar
biasa, yang menunjukkan betapa jahatnya makar dia terhadap umat Islam. Tujuan
makar tersebut ialah menghancurkan Islam walau sekian abad kemudian setelah
kematiannya! Maimun menamakan anaknya dengan nama anak Muhammad bin Isma’il,
yaitu Abdullah. Ia berwasiat kepada sang anak agar kelak menamai anak cucunya
dengan nama-nama anak cucu Muhammad bin Isma’il. Hingga suatu ketika nanti kaum
Yahudi tersebut akan mengklaim dirinya sebagai ahlul bait anak cucu Muhammad
bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq!
Bahkan tidak sekedar itu, mereka kelak akan
mengklaim bahwa Al
Imamah Al Kubra(kepemimpinan terbesar) yang seharusnya memimpin
umat Islam seluruhnya, haruslah dari keturunan Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq,
bukan dari keturunan Musa Al Kazhim bin Ja’far Ash Shadiq sebagaimana yang
diklaim oleh Syi’ah Itsna Asyariyah. Maimun si Yahudi akhirnya mendapatkan
cita-citanya… firqah Isma’iliyah pun berkembang, dan anak cucunya mulai meracik
pemikiran dan keyakinan sesat mereka yang bertentangan dari A-Z dengan akidah
Islam. Keyakinan terburuk mereka di antaranya ialah bahwa Allah menitis kepada
Imam mereka saat itu, hingga mereka menganggapnya sebagai Ilah. Mereka juga
meyakini adanya reinkarnasi arwah, alias bahwa arwah yang telah tiada,
lebih-lebih arwah para imam akan hidup kembali di tubuh orang lain yang masih
hidup. Mereka meyakini bahwa semua imam mereka akan kembali ke dunia setelah
wafat. Di samping itu mereka juga sangat liberal dan menganggap halal semua
maksiat. Mereka terang-terang menghujat sahabat, bahkan menghujat Rasulullah
yang kepadanya mereka menisbatkan diri.
Di antara misi terbesar mereka ialah
melakukan pembunuhan tersembunyi terhadap tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah
di dunia Islam, dan kami akan menjelaskan betapa besar sepak terjang mereka
selanjutnya.
Dakwah Isma’iliyah dengan segala pemikiran
merusaknya pun semakin marak. Ia tersebar di tengah-tengah kaum muslimin yang
bodoh dan memanfaatkan kecintaan masyarakat terhadap ahlul bait. Mereka
berhasil meyakinkan sejumlah orang bodoh tadi bahwa mereka adalah anak cucu
Rasul (?)! Sejumlah besar orang keturunan Persia juga terlibat dalam dakwah
mereka yang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan kemajusian.
Di antara orang Persi tadi adalah Husein Al
Ahwazi, yang tergolong pendiri dan da’i Ismai’iliyah paling terkenal. Ia konon
beraktivitas di wilayah Basrah, dan di sana ia berkenalan dengan tokoh yang sangat
jahat dalam sejarah Islam, namanya Hamdan bin Asy’ats.
Orang terakhir ini asal usulnya masih
diperselisihkan… ada yang bilang bahwa ia majusi asal Persia, namun ada yang
bilang dia yahudi asal Bahrain. Hamdan bin Asy’ats lalu menjuluki dirinya dengan
nama ‘Qirmith’, dan seiring dengan berjalannya waktu ia membentuk kelompok
khusus yang dinisbatkan kepadanya. Kelompok ini bernama ‘Qaramithah’ yang
merupakan cabang dari Isma’iliyah meski sebenarnya lebih berbahaya lagi.
Sekte Qaramithah meyakini bahwa harta dan
wanita adalah milik bersama. Mereka menghalalkan semua kemunkaran seperti
pembunuhan, perzinaan, pencurian dan merekalah yang bertindak sebagai perampas,
perampok, dan penyamun. Lalu secara ikut-ikutan, seluruh penyamun dan
pemberontak pun bergabung dengan mereka, hingga mereka menjadi salah satu
firqah yang paling berbahaya dalam sejarah umat Islam.
Semua perkembangan ini –dan perkembangan2
lain yang belum dijelaskan– terjadi di paruh kedua abad 3 hijriyah. Kemudian
setelah itu muncul lagi firqah-firqah besar yang masing-masing mengaku paling
benar. Mereka saling berselisih dalam hal akidah, prinsip, hukum2 dan semuanya.
Ketiga firqah tadi; yaitu Syi’ah Itsna Asyariyah, Syi’ah Ismai’iliyah, dan
Syi’ah Qaramithah, sama-sama memusuhi Ahlussunnah di samping juga saling
bermusuhan satu sama lain karena tidak puas dengan keyakinan pihak lain. Hal
ini wajar mengingat ketiganya tumbuh dari hawa nafsu dan bid’ah dalam agama.
Sampai periode ini, semua firqah tadi
sekedar gerakan-gerakan yang menimbulkan kekacauan dalam tubuh umat Islam, dan
belum memiliki kekuasaan yang mampu mengatur jalannya sejarah. Tapi seiring
berakhirnya abad ketiga hijriyah dan permulaan abad keempat, kondisi mulai
berubah drastis dan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya…
Konon yang paling awal mencapai kekuasaan
dari ketiga firqah tadi adalah sekte Qaramithah, mengingat mereka lah yang
paling ganas dan buas. Salah seorang da’i mereka yang bernama Rustum bin Husein
berhasil mendirikan daulah Qaramithah di Yaman. Ia lalu menyurati orang-orang
di berbagai tempat dan mengajak mereka kepada akidahnya. Bahkan suratnya ada
yang sampai ke wilayah Maghrib (Maroko & sekitarnya)! Akan tetapi daulah
ini segera lenyap seiring dengan munculnya Qaramithah model lain, yaitu di
Jazirah Arab, tepatnya di wilayah Bahrain (Bahrain tempo dulu bukan kerajaan
Bahrain yg ada sekarang, tapi mencakup sebelah timur Jazirah Arab). Di wilayah
ini berdirilah daulah Qaramithah yang sangat mengancam eksistensi kaum
muslimin. Mereka melakukan pembantaian terhadap jemaah haji, dan yang paling
sadis di antaranya ialah serbuan mereka ke Masjidil Haram saat hari tarwiyah (8
Dzulhijjah) tahun 317 H. Di sana mereka membantai jemaah haji dalam mesjid, dan
mencuri Hajar Aswad setelah menghancurkannya!
Mereka lalu mengirim Hajar Aswad tadi ke
ibukota daulah mereka di daerah Hajar, timur jazirah Arab dan Hajar Aswad tetap
berada di sana selama 22 tahun penuh, hingga khirnya dikembalikan ke Ka’bah
tahun 339 H!
Sedangkan sekte Isma’iliyah mendapatkan
bumi maghrib sebagai lahan subur mereka. Di sana pemikiran Rustum bin Husein
yang tadinya menguasai Yaman mulai berkembang. Hal itu terjadi lewat seseorang
yang bernama Abu Abdillah Asy Syi’i. Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte
alias Isma’iliyah dan Qaramithah sama-sama menganggap Isma’il bin Ja’far Ash
Shadiq sebagai imam; karenanya, salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang
bernama Ubeidullah bin Husein bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun Al Qaddah
mendapat kesempatan emas untuk mendirikan daulah di Maghrib. Ia berangkat ke
Maghrib dan bersama sejumlah pengikutnya mengumumkan berdirinya daulah
Isma’iliyah, lalu menjuluki dirinya dengan nama Al Mahdi. Ia mengaku sebagai
imamnya ajaran Isma’iliyah, dan mengaku sebagai anak cucu Isma’il bin Ja’far
Ash Shadiq, dan mengatakan bahwa imam-imam sebelumnya dari leluhurnya hingga
Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq konon bersembunyi selama ini.
Ia berusaha menarik simpati masyarakat
dengan menamakan daulahnya dengan daulah Fathimiyah, yang secara dusta mengaku
keturunan Siti Fathimah binti Rasulillah! Padahal asal usulnya adalah Yahudi!!
Dakwahnya berkembang pesat memanfaatkan
kebodohan dan simpati masyarakat terhadap hakikat mereka. Mereka mulai
melebarkan sayap kekuasaanya hingga mencakup Afrika Utara. Mereka menyebarkan
berbagai bid’ah, kemunkaran, dan caci makian terhadap sahabat. Mereka
mengatakan bahwa roh-roh dapat menitis dan reinkarnasi, dsb. Ekspansi daulah
ini berhasil menguasai Mesir pada tahun 359 H, lewat salah seorang panglima
mereka yang bernama Jauhar As Siqilli Al Isma’iliy di masa Al Mu’izz
lidienillah Al
Ubeidy. Inilah nama yang tepat untuk mereka: ‘al ubeidy’,
nisbat kepada Ubeidillah Al Mahdi; dan bukannya ‘al Fathimiy’!
Al Mu’izz lidienillah Al Ubeidy lalu masuk
ke Mesir dan mendirikan kota Cairo. Ia juga menguasai mesjid Al Azhar demi
menyebarkan faham Syi’ah Isma’iliyah di sana. Ia membantai ulama-ulama
Ahlussunnah dan menampakkan caci makian terhadap para sahabat. Hal itu terus
dilanjutkan oleh imam-imam Isma’iliyah setelahnya. Bahkan sebagian dari mereka
lebih gila lagi dengan mengaku sebagai ilah, seperti Al Haakim biamrillah.
Mereka konon banyak membangun mesjid untuk menyebarkan pemikiran mereka. Mereka
tetap menguasai Mesir, Syam, dan Hijaz selama dua abad, hingga kebusukan mereka
akhirnya dihapus oleh Shalahuddien Al Ayyubi pada tahun 567 H, dan beliau
membebaskan Mesir dari kekuasaan sekte Isma’iliyah.
Adapun firqah ketiga yaitu sekte Itsna
Asyariyah, meskipun sarat dengan berbagai macam bid’ah, mereka relatif lebih
ringan bahayanya dibanding dua firqah sebelumnya. Mereka mengaku beriman kepada
Allah (?) kepada Rasul-Nya (?) dan kepada hari kebangkitan, namun membikin
bid’ah-bid’ah dan kemunkaran besar yang menjijikkan dalam agama. Sebagian da’i
mereka berhasil merasuki sejumlah keluarga besar di wilayah Persia dan Irak,
hingga akibatnya mereka dapat mencapai kekuasaan di berbagai daerah.
Mereka berhasil merasuki keluarga Bani
Saman yang berasal dari Persia hingga keluarga ini menjadi syi’ah, dan mereka
konon menguasai banyak wilayah di Persia (Iran yg sekarang). Daulah Bani Saman
ini berlangsung sejak tahun 261 H hingga 389 H, akan tetapi kesyi’ahan mereka
baru nampak di awal abad keempat hijriyah kira-kira.
Mereka juga merasuki keluarga Bani Hamdan
yang berasal dari Arab, dari kabilah Bani Tighlab yang mulanya menguasai
wilayah Mosul di Irak sejak tahun 317 H hingga 369 H. Kekuasaan mereka terus
berkembang hingga meliputi kota Halab (Aleppo, Suriah) pada tahun 333 hingga
392 H.
Sedangkan penetrasi mereka yang paling
berbahaya ialah terhadap keluarga Bani Buwaih yang berasal dari Persia. Mereka
berhasil mendirikan sebuah daulah di wilayah Persia, lalu berkembang hingga
akhirnya menguasai khilafah Abbasiyah tahun 334 H, dengan tetap membiarkan
Khalifah Bani Abbas di pusatnya agar tidak memicu pemberontakan kaum muslimin
Ahlussunnah terhadap mereka. Selama lebih dari seratus tahun penuh mereka
menguasai khilafah Abbasiyah, dari tahun 334 hingga 447 H, hingga muncullah
orang-orang Turki Seljuk yang bermazhab Ahlussunnah, dan menyelamatkan Irak
dari kekuasaan syi’ah ini.
Dalam rentang waktu tersebut, kaum syi’ah
menampakkan betapa besar dendam mereka terhadap ulama-ulama Ahlussunnah dan
khalifah mereka. Mereka bahkan menulis caci-makian terhadap sahabat di
gerbang-gerbang mesjid. Mereka bahkan mencaci Abu Bakar dan Umar secara nyata
dalam khutbah-khutbah mereka, dan ini merupakan periode yang sangat menyedihkan
dalam sejarah kita umat Islam.
Sebagaimana yang kita saksikan, abad
keempat memang murni abad syi’ah. Kaum Syi’ah Buwaihiyun berhasil menguasai
sejumlah wilayah Iran dan seluruh wilayah Irak. Sedangkan kaum Samaniyun
menguasai Iran timur, sejumlah wilayah Afghanistan dan timur dunia Islam.
Adapun Hamdaniyun menguasai wilayah antara Mosul hingga Aleppo, dan Qaramithah
menguasai timur Jazirah Arab, dan kadang-kadang sampai ke Hijaz, Damaskus, dan
Yaman. Adapun daulah Ubeidiyyah (yang sering disebut Fathimiyah), maka lebih
liar lagi… mereka berhasil menguasai Afrika Utara bahkan mencaplok Palestina,
Suriah dan Lebanon!
Di akhir abad keempat hijriyah, daulah
Qaramithah runtuh. Lalu di pertengahan abad kelima hijriyah (th 447), daulah
Bani Buwaih juga sirna. Sedangkan daulah Isma’iliyah Ubeidiyah tetap eksis
hingga pertengahan abad keenam (th 567 H), dan dengan begitu dunia Islam
kembali ke kuasaan Ahlussunnah di seluruh wilayahnya, meskipun dakwah kaum
Syi’ah Itsna Asyariyah tetap ada di sejumlah wilayah Persia dan Irak, namun
tanpa kekuasaan.
Kondisi tetap seperti itu hingga tahun 907
H, ketika Isma’il Ash Shafawi mendirikan daulah Syi’ah Shafawiyah Itsna
Asyariyah di Iran. Istilah ‘shafawiyah’ ialah nisbat kepada leluhurnya yang
bernama Shafiyuddin Al Ardabiliy, seorang keturunan Persia yang wafat tahun 729
H. Daulah ini semakin melebarkan kekuasaannya, dan menjadikan kota Tabriz (yg
terletak di barat laut Iran sekarang) sebagai ibukotanya. Daulah Shafawiyah
terlibat perang sengit dengan tetangganya, yaitu Khilafah Turki Utsmani yang
bermazhab Sunni. Kaum Shafawiyyin bahkan bersekutu dengan orang-orang Portugis
untuk melawan Utsmaniyyin dan berhasil menduduki sejumlah wilayah di Irak yang
semula dikuasai Utsmaniyyin. Mereka hampir berhasil menyebarkan faham syi’ah di
sana, kalau saja Sultan Turki Utsmani yang bernama Saliem I berhasil
mengalahkan mereka dalam sebuah pertempuran besar yang bernama Perang Jaldeiran
tahun 920 H. Sultan Saliem I berhasil memukul telak mereka dan mengusir mereka
dari Irak.
Hari-hari terus berlalu dan perseteruan
berlanjut antara Shafawiyyin dan Utsmaniyyin. Sebagian besar pertempuran mereka
terpusat di bumi Irak, dan hal ini berlanjut selama lebih dari dua abad. Daulah
Shafawiyah berkuasa di Iran sejak tahun 907-1148 H, kemudian jatuh pada
pertengahan abad ke-18 masehi, tepatnya tahun 1735. Akibatnya, Iran terpecah
menjadi beberapa wilayah yang diperebutkan antara Turki Utsmani, Rusia,
Afghanistan dan beberapa panglima perang bawahan Sultan Abbas III, yang
merupakan Sultan terakhir daulah Shafawiyah.
Daulah Utsmaniyah pun mulai memasuki
periode lemahnya… ia dikeroyok oleh kaum Eropa dan Rusia, dan hal ini
mengakibatkan lemahnya kekuasaan Utsmani terhadap wilayah barat Iran. Wilayah
ini silih berganti dipimpin oleh banyak pemimpin, namun mereka selalu loyal
kepada orang Barat. Sesekali mereka loyal kepada Inggeris yang menguasai India
dan Pakistan, sesekali kepada Perancis, dan di lain waktu kepada Rusia.
Pada tahun 1193 H/1779 M, Agha Muhammad
Gajar mengambil alih kekuasaan di Iran. Ia berasal dari keturunan Persia dan
bermazhab syi’ah meski cenderung kepada sekulerisme. Dia tidak mengajak orang kepada
mazhab Itsna Asyariyah dan tidak memerintah dengan ajaran tersebut. Kekuasaan
Iran silih berganti dipegang oleh anak cucunya dengan luas wilayah yang
mengalami pasang-surut. Mereka konon menggunakan gelar ‘Shah’, hingga keluarga
ini jatuh saat Reza Pahlevi mengadakan pemberontakan terhadap mereka tahun 1343
H/1925 M.
Reza Pahlevi lalu mengumumkan dirinya
sebagai Shah Iran atas bantuan Inggeris. Akan tetapi Inggeris lalu
menjatuhkannya tahun 1941 M karena perselisihan di antara mereka. Inggeris
mencopotnya dan menggantinya dengan puteranya yang bernama Muhamad Reza
Pahlevi, yang menjadi penguasa sekuler Iran hingga tahun 1399 H/1979 M. Setelah
itu bangkitlah Revolusi Syi’ah Itsna Asyariyah yang dipimpin oleh Khomeini
untuk mengembalikan kekuasaan syi’ah di wilayah Persia (Iran).
Demikianlah kisah kekuasaan syi’ah atas
dunia Islam sejak munculnya firqah-firqah syi’ah hingga zaman kita sekarang.
Dari ini semua, jelaslah bagi kita bahwa gerakan-gerakan syi’ah seluruhnya
muncul dalam bentuk pemberontakan dan konfrontasi terhadap pemerintahan Sunni.
Mereka selalu memakai ‘baju agama’ dengan mengaku cinta kepada ahlul bait atau
mengaku keturunan ahlul bait. Kita juga menyaksikan bahwa dalam seluruh periode
tadi tidak pernah sekalipun terjadi pertempuran antara firqah-firqah syi’ah
tadi dengan musuh-musuh Islam; baik terhadap kaum Salibis Rusia, Inggeris,
Perancis dan Portugis, maupun terhadap kaum Tartar (Mongol) dan lainnya. Akan
tetapi yang kita saksikan adalah kerjasama nyata yang terjadi berulang kali antara
syi’ah dengan musuh-musuh Islam sepanjang sejarah.
Pun demikian, kita tidak menyalahkan
generasi yang sekarang akibat kesalahan leluhur mereka, namun kita
mendiskusikan akidah, pemikiran, dan manhaj mereka yang sama persis dengan
akidah, pemikiran, dan manhaj leluhur mereka. Inilah problem utama dan akar
masalahnya… Selama mereka semua meyakini bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh
keturunan tertentu, dan meyakini bahwa Imam-imam mereka itu ma’shum, dan
menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat beserta ummahatul
mu’minin… selama itu semua masih mereka lakukan, maka kita tidak boleh
berkhusnudzan (berprasangka baik) kepada mereka. Akan tetapi kita mesti
mengatakan bahwa anak
cucu masih mengikuti ajaran leluhurnya…
Menurut Anda, bagaimana sikap kita terhadap
syi’ah? Bagaimana kita harus bermuamalah dengan mereka? Adakah sebaiknya kita
diamkan mereka atau kita jelaskan apa adanya? Apakah sebaiknya kita acuhkan
masalah ini ataukah kita pelajari? Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan
berikutnya…
Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum
muslimin…
Artikel Basweidan.Wordpress.Com