Thursday, August 6, 2015

Ibnu Abbas, Ahlus-sunnah, dan Syiah

Abdullah bin Abbas adalah anak dari Al-Abbas bin Abdul Muththalib bin Qushay Al-Qurasyi  paman Nabi. Ibunya bernama Ummul Fadhl Lubabah binti Al-Harits Al-Hilaliyah. Beliau lahir tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah dan berumur tiga belas tahun ketika Nabi wafat. Dari segi fisik disebutkan, bahwa ia berbadan gemuk, putih, dan tinggi. 

Ia berotak encer, pandai serta fasih berbicara. Banyak dari lawan bicara Ibnu Abbas mengikuti pendapatnya setelah berdialog dengannya. Seorang ulama tabi’in, Masruq bin Al-Ajda’ mengatakan, “Ketika aku melihat Abdullah bin Abbas, aku katakan, ‘Dia adalah orang yang paling tampan.’ Lalu ketika dia berbicara, aku katakan, ‘Dia orang yang paling pandai bicara.’ Dan ketika dia berbicara aku katakan, ‘Dia orang yang paling berilmu.’”

Selain jenius, sepupu sekali Rasulullah ini adalah anak yang rajin, dan gigih dalam menuntut ilmu. Ibnu Abbas menuturkan pengalamannya dalam menuntut ilmu, “Tatkala Rasulullah telah berpulang ke hadirat Allah, aku mengatakan kepada seorang Anshar, ‘Mari kita bertanya kepada para shahabat Rasulullah mumpung sekarang mereka masih banyak.’ Orang Anshar itu pun menukas, ‘Aku heran, apakah engkau menyangka bahwa manusia membutuhkan dirimu?’” Ibnu Abbas tidak menggubris ucapannya. Dia pergi menemui para shahabat dan menanyai mereka. Ibnu Abbas melanjutkan penuturannya, “Suatu hari, aku mengetahui ada hadis dari seseorang. Aku pun mendatangi pintunya. Ternyata orang tersebut sedang tidur siang. Aku pun beralas baju atasku—berupa  selendang—menunggunya di depan pintu. Angin meniupkan debu ke wajahku. Lalu, setelah orang tersebut pun keluar dan melihatku, dia berkata, ‘Wahai sepupu Rasulullah, kebutuhan apa gerangan yang membuat Anda datang kepadaku? Kenapa Anda tidak mengutus seseorang untuk kemudian aku yang akan mendatangi Anda?’ Aku pun mengatakan, ‘Tidak. Aku lebih berhak untuk mendatangimu lalu menanyaimu tentang hadits.’ Orang Anshar tadi pun hidup hingga melihat orang-orang mengelilingiku untuk menanyaiku. Dia pun berkata, ‘Sejak dahulu, pemuda ini lebih pandai dariku.’” 

Selain itu, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma sangat menghargai dan menghormati para ulama disebabkan ilmu mereka. Seorang ulama tabi’in Asy-Sya’bi mengisahkan, “Zaid bin Tsabit (seorang ulama shahabat) mengendarai unta. Ibnu Abbas pun menuntun untanya. Zaid mengatakan, ‘Jangan lakukan, wahai sepupu Rasulullah.’ Ibnu Abbas pun menyahut, ‘Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan ulama kami.’ Kemudian, Zaid bin Tsabit mencium tangannya dan mengatakan, ‘Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan keluarga Nabi kami.”

Ulama tabi’in lainnya, Abu Wa`il Syaqiq bin Salamah mengatakan, “Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami pada musim haji. Beliau membuka khutbahnya dengan Surat Nur, lalu membacanya dan menafsirkannya. Aku pun mengatakan, ‘Aku tidak pernah melihat atau mendengar ucapan seseorang yang semisal ini. Anda Persia, Romawi, dan Turki mendengarnya, niscaya mereka akan masuk Islam.”

Soal tafsir pun Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma adalah ahlinya. Abdullah bin Mas’ud  seorang ulama shahabat, mengakui kepiawaian Ibnu Abbas dengan mengatakan, “Penafsir Al-Quran yang paling baik adalah Ibnu Abbas. Jika dia berumur seperti kita, niscaya tidak ada seorang pun dari kita yang ilmunya mencapai sepersepuluh ilmunya.”

Al-Qasim bin Muhammad mengatakan tentangnya, “Aku tidak melihat di majelis Ibnu Abbas satu kebatilan pun. Aku tidak pernah mendengar fatwa yang lebih cocok dengan sunnah daripada fatwanya. Para muridnya menjuluki beliau Al-Bahr (lautan ilmu) dan Al-Habr (tinta).” Demikianlah, Ibnu Abbas dijuluki Habrul Ummah.

Siapa tak kenal Umar bin Al-Khaththab, Sang Khalifah kedua setelah Abu Bakr? Ternyata, shahabat sekelas Umar pun mengakui keilmuan Ibnu Abbas yang waktu itu masih muda. Tercatat oleh Al-Bukhari di dalam kitab “Shahih” bahwa suatu saat Umar memasukkan Ibnu Abbas muda ke dalam majelisnya bersama para tokoh Islam. Pada waktu itu, para tokoh Badr yang telah matang dalam usia sangsi akan kemampuan Ibnu Abbas. Mereka pun bertanya kepada Umar, “Kenapa Anda memasukkan pemuda ini ke tengah majelis kita padahal kami juga punya anak seperti dia?”

Umar pun menjawab, Kalian telah mengetahui tentangnya—kepandaiannya. Suatu saat, Umar memanggil Ibnu Abbas ke tengah majelis untuk memperlihatkan kepandaiannya. Umar menanyakan kepada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang firman Allah ta’ala (yang artinya), Idza ja’a nashrullahi wal fath. Jika telah datang pertolongan Allah dan penaklukan. [Q.S. Al-Nashr:1-3]?”

Sebagian tokoh Badr tersebut pun menjawab, “Allah memerintahkan kita untuk beristighfar setelah Allah menolong dan memudahkan kita untuk menaklukkan kota Mekah.” Sedang sebagian lainnya memilih diam. Sekarang giliran Ibnu Abbas, “Demikiankah?” kata Umar kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas mengatakan, “Tidak.” “Lantas, apa menurutmu?” tanya Umar. Ibnu Abbas mengatakan, “Itu adalah wafatnya Rasulullah, Allah memberitahukannya kepada beliau. ‘Jika datang kepadamu pertolongan dan penaklukan.’ [Q.S. Al-Nashr:1] itu adalah tanda dari dekatnya wafat Nabi. Maka bertasbihlah dengan pujian kepada Rabbmu dan mintalah ampun. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.’ [Q.S. An-Nashr:3]. Umar pun berkata, “Aku tidak mengetahuinya kecuali seperti apa yang engkau katakan.”

Demikianlah ketajaman dan ketelitian Ibnu Abbas dalam memahami wahyu. Dia mengetahui bahwa perintah istighfar tidak biasa digunakan ketika terjadi kemenangan dan penaklukan. Dia mengetahui bahwa perintah istighfar dan taubat biasanya digunakan untuk mengakhiri sesuatu, maka dia pun menafsirkan pertolongan dan penaklukan dalam ayat tersebut sebagai tanda akan diwafatkannya beliau (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqqi’in).

Bahkan istilah “Ahlussunnah wal Jama’ah” tidak bisa dilepaskan dengan diri Ibnu Abbas. Ketika ia menafsirkan Surah Ali Imran ayat ke-106.

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ (١٠٦)

Ibnu Abbas menafsirkan, Pada hari muka mereka menjadi putih yaitu Ahlussunnah wal Jamaah dan muka-muka menjadi hitam yaitu ahlul bid’ah.

Penafsiran Ibnu Abbas di atas tetap mengacu pada keterangan-keterangan Baginda Nabi Muhammad, terutama pada hadis yang membahas atas terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan dan 72 golongan akan masuk neraka, hanya satu yang dijamin masuk surga yaitu “Al-Jamaah” (HR. Ibnu Majah). Siapakah mereka? Terjawab pada hadis lain, bahwa Al-Jamaah adalah ‘siapa saja yang berpegang dengan ajaranku dan para sahabatku’ (HR. Hakim).

Dengan keterangan ini sangat jelas bahwa golongan yang tidak menganggap para sahabat Nabi adalah bagian daripada agama ini, atau bahkan melakukan diskualifikasi dengan mencela, bahkan melaknat mereka terutama Umar dan Abu Bakar radhiallahu ‘anhuma sambil melakukan pelecehan terhadap istri Nabi, terutama Aisyah dan Hafshah radhiallahu anhuma sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sesat yang kesesatannya 100% la raiba fihi, yaitu Syiah Rafidhoh yang sedang bercokol dan berkembang di Indonesia.

Kembali ke Ibnu Abbas. Tidak hanya tafsir, beliau juga pandai dalam banyak perkara. Murid Ibnu Abbas, Atha` bin Abi Rabah mengatakan, “Banyak orang mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari syair dan nasab-nasab. Orang yang lain mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari sejarah hari-hari peperangan. Dan kelompok lainnya mendatangi Ibnu Abbas untuk mempelajari ilmu agama dan fikih. Tidak ada satu golongan pun dari mereka kecuali mendapatkan apa yang mereka mau.”

Berbagai keutamaan yang Ibnu Abbas raih ini sejatinya tidak lepas dari doa mustajab yang dipanjatkan oleh Rasulullah. Saat itu, beliau selesai buang hajat. Ibnu Abbas kecil memahami kebiasaan Rasulullah  yang berwudhu setiap kali habis dari buang hajat. Dia pun meletakkan air wudhu di tempat keluarnya Nabi. Lantas, ketika Nabi melihat air wudhu yang sudah dipersiapkan, Rasulullah pun bertanya, “Siapa yang meletakkan ini?” Ibnu Abbas menjawab, “Ibnu Abbas.” Maka Rasulullah  pun meletakkan telapak tangannya yang mulia di bahu Ibnu Abbas kecil seraya berdoa: اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ “Ya Allah, berilah dia pemahaman dalam masalah agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir.” (H.R. Al-Bukhari, Muslim). Dari doa inilah kemuliaan demi kemuliaan kemudian dia peroleh. Namun, tentu saja kemuliaan ini bukan turun dari langit begitu saja. Allah memberi taufik kepada Ibnu Abbas untuk menuntut dan mencari kemuliaan tersebut dengan sepenuh tenaga yang Allah karuniakan kepadanya, bukan hanya dengan berpangku tangan.

Ibnu Abbas meninggal di Tha`if pada tahun 68 H pada pemerintahan Ibnu Zubair. Waktu itu, umur beliau sekitar 70 tahun. Di antara yang menshalati jenazahnya adalah seorang ulama tabi’in, Muhammad bin Ali bin Abu Thalib yang dikenal dengan Ibnul Hanafiyah (w. 80 H), berujar, “Telah meninggal seorang ulama rabbani bagi umat ini.”

Enrekang, 22 Maret 2014. Ilham Kadir, MA. Pengurus MIUMI Wilayah Sulawesi Selatan