Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai
عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ
يُلَيِّنُ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَقَالَ: مَهْلًا يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، فَإِنَّ
رَسُولَ اللهِ, نَهَى عَنْهَا يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ
الْإِنْسِيَّةِ
Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bersikap
lunak tentang praktik mut’ah atas kaum wanita. Lalu, Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu pun menegur, “Hati-hati, wahai Ibnu Abbas! Sebab,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang praktik
mut’ah pada Perang Khaibar. Demikian juga, beliau melarang untuk mengonsumsi
keledai peliharaan.”
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
Membolehkan Mut’ah?
Awalnya, Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma memang memperbolehkan nikah mut’ah (HR. al-Bukhari no.
5116 dan Muslim no. 1407). Namun, beliau diingkari oleh para sahabat, seperti
Abdullah bin Umar, Abdullah bin az- Zubair, dan tentu saja Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana halnya riwayat di atas. Dalam beberapa riwayat
diterangkan bahwa pendapat Ibnu Abbas itu pun hanya dalam keadaan darurat,
sebagaimana halnya hukum darah, bangkai, dan daging babi. Hanya saja, sebagian
orang bermudah-mudah dengan fatwa tersebut. Akhirnya, Ibnu Abbas pun rujuk dan
mencabut fatwa tersebut.
Abu ‘Awanah (al-Mustakhraj,
no. 4057) meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ar-Rabi’ bin Sabrah, beliau
berkata, “Sebelum meninggal dunia, Ibnu Abbas telah rujuk dari fatwa tersebut.”
Lalu, apakah termasuk sikap adil, menisbatkan satu pendapat kepada seseorang,
sementara ia sendiri telah rujuk dan mencabut pendapat tersebut?
Satu dari Dosa Syiah
Na’udzu billah minal hawa wal
bida’! Benar-benar sebuah kejahatan dan kekejian besar! Agama diperalat sebagai
alat pembenaran untuk melakukan sebuah dosa nista. Dengan iming-iming praktik
mut’ah, sudah sekian banyak kaum muda
menjadi korban paham Syiah yang menyesatkan. Setumpuk hadits palsu tentang
pahala dan derajat tinggi bagi pelaku mut’ah tanpa malu dan rasa takut kepada
Allah Subhanahu wata’ala disodorkan kepada kaum muda. Kejahilan akan hakikat
Islam semakin memperparah kondisi mereka. Akhirnya? “Saya benar-benar menyesal!
Lebih baik mati daripada hidup seperti ini. Saya menyangka praktik mut’ah
adalah bagian dari syariat Islam. Ternyata, dusta kaum Syiah belaka!” sesal
seorang pemuda.
Mut’ah sendiri artinya bentuk
akad dengan seorang wanita untuk berhubungan suami istri, baik dalam jangka
waktu tertentu maupun tidak, asalkan tidak lebih dari empat puluh lima hari,
tanpa ada keharusan menafkahi, tidak menyebabkan saling mewarisi, tidak
mengharuskan nasab, dan tanpa masa iddah. Bahkan, kalangan Syiah tidak
mensyaratkan adanya wali dan saksi.
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan
oleh al- Imam al-Bukhari (no. 1407), al-Imam Muslim (no. 4216), Ahmad (1/79),
an-Nasa’i (6/125), at-Tirmidzi (no. 1121), dan Ibnu Majah (1961), lafadz hadits
di atas adalah lafadz al-Imam Muslim rahimahumullah. Hadits di atas
diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam oleh Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang dihormati, dimuliakan, dan dijunjung
tinggi oleh seluruh kaum muslimin, termasuk oleh kaum Syiah. Bahkan, menurut
Syiah, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dianggap sebagai junjungan
tertinggi mereka. Lantas mengapa mereka tidak meneladani Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu yang menegaskan bahwa praktik mut’ah telah diharamkan sampai
hari kiamat?
Kemudian, siapakah perawi
yang menyambung mata rantai sanad hadits di atas? Tidak lain putra kandung Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sendiri yang bernama Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib, yang lebih dikenal dengan Muhammad bin al-Hanafiyyah. Siapakah perawi
yang berikutnya? Dua orang perawi. Kedua-duanya adalah putra kandung Muhammad
bin al- Hanafiyyah, cucu Ali bin Abi Thalib. Pertama, Al-Hasan bin Muhammad bin
Ali bin Abi Thalib; yang kedua adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib. Bagi kaum Syiah yang mengaku cinta kepada Ali bin Abi
Thalibradhiyallahu ‘anhu, buktikan kecintaan itu dengan meneladani beliau dan
anak cucu beliau g yang telah melarang praktik mut’ah!
Hadits-Hadits tentang Mut’ah
Riwayat dari Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang praktik mut’ah memang berbeda-beda. Ada
sebagian riwayat menunjukkan tentang haramnya praktik mut’ah, namun ada juga
riwayat yang secara jelas menerangkan bolehnya praktik mut’ah. Di sini salah
satu letak keanehan kaum Syiah! Mereka berargumen dengan hadits-hadits yang
membolehkan praktik mut’ah, padahal mereka sendiri mencela dan menolak
kitab-kitab hadits yang meriwayatkan tentang bolehnya praktik mut’ah. Bagi
mereka dan yang sependapat, hanya hadits-hadits yang membolehkan praktik mut’ah
saja yang diterima. Sementara itu, seorang muslim yang berusaha memahami hadits
dengan bimbingan ulama, dengan mudahnya memahami riwayat-riwayat tersebut.
Jika riwayat-riwayat tersebut
direkonstruksi dengan sejarah, kesimpulan akhirnya akan sejalan dengan
keterangan al-Imam an Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim. Beliau
mengatakan, “Pendapat yang benar dan dipilih, pengharaman dan pembolehan nikah
mut’ah masing-masing terjadi sebanyak dua kali. Sebelum peristiwa Khaibar
dihalalkan, kemudian pada saat perang Khaibar diharamkan. Lalu ketika terjadi
Fathu Makkah—termasuk Perang Authas karena bersambung—, nikah mut’ah
diperbolehkan lagi. Akan tetapi, tiga hari kemudian, nikah mut’ah diharamkan
untuk selamanya sampai hari kiamat.” Sahabat Rabi’ bin Sabrah radhiyallahu
‘anhu berkata,
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ, بِالْمُتْعَةِ عَامَ
الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ
لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا
“Pada tahun Fathu Makkah,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan kami untuk melakukan mut’ah
ketika kami memasuki kota Makkah. Kemudian, tidaklah kami keluar meninggalkan
kota Makkah kecuali dalam keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
mengharamkannya untuk kami.” (HR. Muslim no. 1406)
Pada saat itu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ كُنْتُ
أَذِنْتُ لَكُمْ فِي ا سْالِْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ
ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ
فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ وَ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا
“Wahai manusia, sesungguhnya
dahulu aku pernah mengizinkan kalian untuk melakukan mut’ah atas kaum wanita.
Sesungguhnya Allah telah Subhanahu wata’ala mengharamkan mut’ah sampai hari
kiamat. Barang siapa masih terikat mut’ah dengan wanita, tinggalkanlah dia dan
janganlah kalian mengambil kembali barang yang telah diberikan.”
Ijma’ Ulama
Selain itu, seluruh ulama
kaum muslimin telah sepakat tentang haramnya praktik mut’ah. Jadi, siapa pun
yang berpendirian bolehnya praktik mut’ah, sama artinya dengan menyelisihi
ijma’ kaum muslimin. Ibnu Hubairah rahimahullah menegaskan, “Alim ulama telah
berijma’ bahwa nikah mut’ah hukumnya batil. Tidak ada sedikit pun perselisihan
di antara mereka.” Al-Qurthubi rahimahullahmenyatakan, “Seluruh riwayat
bersepakat bahwa masa diperbolehkannya nikah mut’ah tidaklah terlalu lama.
Kemudian, setelah itu nikah mut’ah diharamkan. Berikutnya, ulama salaf dan
khalaf telah berijma’ tentang diharamkannya nikah mut’ah, kecuali kaum Rafidhah
yang tidak perlu dianggap.” (Taudhihul Ahkam, karya Alu Bassam 5/294)
Selain beliau berdua, masih
banyak lagi ulama yang menyatakan bahwa praktik mut’ah diharamkan secara ijma’,
antara lain al-Jashash rahimahullah (Tafsir 2/153), Ibnul Mundzir rahimahullah
(Majmu’ Syarhil Muhadzab, 16/254), Ibnu Abdil Barr rahimahullah (al-Istidzkar,
16/294), al-Maziri rahimahullah (al-Mu’lim, 2/131), al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah
(Syarah Muslim 9/181), dan al-Hamadzani rahimahullah (al- I’tibar, hlm. 177).
Apakah Umar bin al-Khaththab
radhiyallahu ‘anhu yang Melarang Mut’ah?
Sebuah riwayat dari Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh al-Imam Muslim (no. 1405).
Beliau mengatakan,
فَعَلْنَاهُمَا مَعَ رَسُولِ اللهِ, ثُمَّ
نَهَانَا عَنْهُمَا عُمَرُ فَلَمْ نَعُدْ
لَهُمَا
“Kami melakukan keduanya
(mut’ah dan haji tamattu’) di masa Rasulullah. Kemudian Umar melarang kami
untuk melakukannya. Sejak itu, kami tidak mengulanginya lagi.”
Kaum Syiah bersandar kepada
riwayat Jabir di atas untuk mempertahankan praktik mut’ah. Alasan mereka, bukan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang, melainkan Umar bin
al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Lihatlah bagaimana mereka memaksakan pendapat!
Padahal ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai Amirul
Mukminin (Ibnu Majah, 1963), beliau menyampaikan khutbah, “Sesungguhnya,
dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memang mengizinkan kita selama
tiga hari untuk melakukan mut’ah, tetapi setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam mengharamkannya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahui ada seseorang
yang melakukan mut’ah dalam keadaan dia muhshan kecuali pasti akan aku rajam
dia dengan batu.
Kecuali jika dia mampu
mendatangkan empat saksi yang memberikan kesaksian bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam telah menghalalkannya setelah diharamkan.” Ath-Thahawi
rahimahullah (Ma’anis Sunan, 2/258) mengatakan, “Inilah Umar yang telah
melarang mut’ah untuk kaum wanita di hadapan para sahabat yang lain dan beliau tidak diingkari. Hal ini
menunjukkan bahwa para sahabat sepakat dengan beliau untuk melarang mut’ah.
Kesepakatan mereka ini—untuk melarang mut’ah—adalah dalil bahwa hukum
diperbolehkannya mut’ah telah dihapus, sekaligus sebagai hujah.” Sebagian Ulama
Membolehkan?
Di dalam beberapa referensi,
memang disebutkan beberapa nama sahabat dan tabi’in yang memperbolehkan praktik
mut’ah. Sebut saja Abdullah bin Mas’ud, Mu’awiyah, Abu Sa’id, Salamah dari
kalangan sahabat, Amr bin Huraits, Thawus, dan Sa’id bin Jubair rahimahumullah
dari kalangan tabi’in. Hanya saja, semua riwayat dari mereka tidak terlepas
dari dua kemungkinan:
1. Mereka telah rujuk dan
mencabut pendapat tersebut, atau
2. Diriwayatkan melalui sanad
yang lemah. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah membahas riwayat-riwayat tersebut
secara rinci dalam kitab beliau Fathul Bari (10/216—218) dengan keterangan yang
memuaskan. Walhamdulillah.
Ayat Mut’ah dalam Al-Qur’an?
Syiah masih juga
memperjuangkan praktik mut’ah dengan menukil firman Allah Subhanahu wata’aladi
dalam surat an-Nisa’ ayat 24,
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ
“Maka istri-istri yang telah
kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka mut’ahnya
(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.”
Mayoritas ahli tafsir
menerangkan bahwa ayat di atas berkenaan dengan akad nikah yang biasa dikenal,
bukan praktik mut’ah. Maksudnya, jika salah seorang di antara kalian menikahi
seorang wanita, hendaknya ia menyerahkan mahar untuknya. Memang ada beberapa
ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini terkait dengan praktik mut’ah. Akan
tetapi, mereka sendiri menegaskan bahwa hukum mut’ah telah mansukh (gugur) dengan
hadits-hadits yang sahih. Wallahu a’lam.
Selain ayat di atas, kalangan
Syiah juga menyebutkan beberapa ayat al- Qur’an yang diklaim sebagai landasan
dari praktik mut’ah. Ayat-ayat tersebut antara lain; al-Baqarah: 236, al-
Baqarah: 241, al-Ahzab: 28, dan al-Ahzab: 49.
Cukuplah sebagai jawaban
untuk mereka, pernyataan tegas az-Zujjaj (Syarah an-Nasa’i karya al-Atyubi
28/), “Sesungguhnya, sebagian kalangan telah terjatuh dalam kesalahan fatal
berkenaan ayat ini karena kebodohan mereka terhadap lughah (bahasa Arab).”
Seorang Pemuda dan Rasulullah
Sebagai bukti lain kejahatan
kaum Syiah dalam praktik mut’ah, mereka sendiri—terutama kalangan tokoh dan
pimpinan Syiah—akan merasa keberatan jika praktik mut’ah itu dilakukan terhadap
keluarga mereka, baik ibu, istri, putri, saudara perempuan, maupun bibi mereka.
Semakin jelaslah bahwa praktik mut’ah adalah praktik zina yang dilakukan atas
nama agama. Na’udzu billah min dzalik. Simaklah hadits Abu Umamah radhiyallahu
‘anhu berikut ini, yang dikeluarkan oleh al- Imam Ahmad rahimahullah dan
dinyatakan sahih oleh al-Albani. Seorang pemuda datang menemui Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta izin agar diperbolehkan melakukan
perbuatan zina.
Dengan penuh kasih sayang,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengarahkan cara berpikir pemuda
tersebut. Beliau bertanya, “Relakah engkau jika hal itu terjadi pada ibumu?
Relakah engkau jika hal itu terjadi pada putrimu? Relakah engkau jika hal itu
terjadi pada saudara perempuanmu? Relakah engkau jika hal itu terjadi pada
bibimu (dari jalur ayah)? Relakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (dari
jalur ibu)?” Setiap kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,
pemuda itu pasti menjawab, “Tentu tidak! Demi Allah! Allah Subhanahu wata’ala menjadikanku
sebagai tebusan Anda.”
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau begitu, orang-orang pun tidak rela jika hal
itu terjadi pada ibu, putri, saudara perempuan, dan bibi mereka!” Oleh karena
itu, siapa pun yang berpendapat tentang bolehnya praktik mut’ah, apakah ia bisa
menerima jika praktik mut’ah dilakukan kepada ibu, putri, atau saudara
perempuannya??? Masih banyak lagi sisi-sisi buruk dan jahat dari praktik mut’ah
yang tidak dapat diuraikan dalam pembahasan ringkas ini, baik secara sosial
kemasyarakatan, kesehatan, tatanan keluarga, ekonomi, pelecehan kaum wanita,
dan lain-lain. Namun, sedikit keterangan di atas sebenarnya telah lebih dari
cukup untuk menegaskan haramnya praktik mut’ah. Bagi orang yang berakal,
tentunya! Wallahul muwaffiq.’
————————————————-
Sumber : Majalah Asy Syariah