65 Comments Already :
Imam Nawawi - April 15th,
2010 at 10:12 am
nah di atas ini merupakan
aqidah sesat wahhaby yg menolak takwil pd hadits mutasyabihat
Imam Nawawi - April 15th,
2010 at 10:15 am
Membongkar Syubhat Wahhaby
terhadap Nushus Takwil
Generasi terbaik umat ini
adalah generasi pertama yaitu generasi para sahabat dan tabi’in mereka generasi
yang adil generasi yang selamat semua umat muslimin yang berada dalam kesatuan
ahlu sunnah wal-jama’ah tentu mereka berada dalam pemahaman ini . yang di timur
maupun di barat di utara maupun di selatan . intinya dari ujung ke ujung dari
tepi ke tepi sampai dari kutup ke kutup pun pasti mereka berada dalam manhaj
dan pemahaman para sahabat dan tabi’in. hal ini sudah sangat jelas dan terang
di sabdakan oleh baginda nabi yang tak dapat di ragukan dari depan maupun dari
belakang , rasul al-amin bersabda:
(( خير
الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم )) اخرجه البخاري
(sebaik-baiknya generasi
adalah generasi di masaku setelah itu adalah generasi sesudahku ( genersi
sahabat ) lalu generasi susudahnya ( tabi’in ) H.R. bukhori
Namun apa boleh di kata ,
belakangan ini muncul kelompok yang melebelkan dirinya sebagai salafy dan
derivat-derivatnya kelompok yang mengaku berada dalam pemahaman sahabat dan
tabi’in ini menganggap ahlu syubhat dan ahlu bida’h yang tersesat terhadap
orang-orang yang berada di luar kelompok mereka
Katakan kepada mereka di luar
sana … juta’an dan bahkan milyaran umat muslimin berada dalam pemahaman para
sahabat dan tabi’in tapi mereka tidak melebelkan diri sebagai salafy dan tidak
pula masuk pada kelompok salafy apakah mereka di anggap sebagai ahlu bid’ah dan
tersesat … ??? ma’adzallah khasya wa kalla
Di syiria mesir sudan maroko
dan yaman bahkan di Negara-negara besar islam manapun tidak mengenal istilah
islam salafy katakan lagi pada mereka penama’an islam salafy tidak pernah ada
dan tidak pernah di kenal di masa para sahabat dan tabi’in , kalau boleh di
kata penama’an islam salafy adalah perbuatan bid’ah , salafy bukan manhaj akan
tetapi nisbat yang manhaj itu adalah salafussoleh bukan salafy yang kita kenal
di komunitas masyarakat sekarang .
Apa jadinya kalau kelompok
yang melebelkan dirinya sebagai salafy dan mengaku mengikuti ulama salaf ini
pada kenyata’anya tidak sesuai dan jauh berbeda dari manhaj salafussoleh yang
di gembar gemborkan terutama masalah penetapan ta’wil dalam nushush
mutasyabihat dalam al-qur’an
Dalam tulisan ini Saya
membongkar doktrin mereka yang mengatakan AHLU TA’WIL adalah ahlu syubhat dan
ahlu bid’ah , islam itu bukan berdasarkan Qola ustadz atau Qola syaikh… akan
tetapi berdasarkan Qolallahu wa Qolar-rasul
Ajukan dalil pada mereka
bahwa Alqur’an menetapkan takwil majaz dan isti’arah . Alquran adalah wahyu
yang penuh dengan sastera , tidak lepas dari ilmu balaghah sebagai ilmu
retorika kesusastera’an bahasa arab
ALLAH berfirman :
إنا نسيناكم ) السجدة
( sesungguhnya kami ( ALLAH )
telah melupakan kamu )
نسوا الله فنسيهم الله )) التوبة :
( mereka telah lupa kepada
ALLAH maka ALLAH melupakan mereka )
Perhatikan dua kalimat “LUPA”
yang di nisbatkan kepada ALLAH SWT dalam ayat di atas apakah mereka menetapkan
sifat LUPA terhadap ALLAH ?? lalu mereka mengatakan lupanya ALLAH tidak sama
dengan sifat lupa kita .. ??? dhzohir teks ayat di atas jika mereka menafikan
TAKWIL yang sesuai dan yang pantas terhadap ALLAH serta yang sesuai dengan apa
yang di maksud oleh Al-qur’an maka mereka telah menetapkan sifat “LUPA”
terhadap ALLAH swt (subhanaka wata’ala amma tasyifuun hadza amrun bathil ) ”
maha suci engkau dan maha tinggi dari apa yang mereka sifatkan ini adalah
perkara bathil ” sungguh penetapan sifat lupa terhadap ALLAH adalah perkara
yang mungkar dan bathil tidak dapat di terima olah akal sehat maupun nash dan
penuh dengan perkara syubhat . ALLAH SUBHANAHU WATA’ALA dengan jelas berfirman
:
( وما
كان ربك نسيا )
( dan tidaklah rabbmu lupa )
maryam :64
Dalam sebuah hadist qudtsi
yang di keluar oleh imam bukhori dan muslim rodiallahu anhu Rosulullah bersabda
:
عن سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن الله
تعالى قال : ياابن اّدم مرضت فلم تعدني, قال يا رب كيف اّعودك وأنت رب العالمين ,
قال : أما علمت أن عبدي فلانا مرض فلم تعده , أما علمت أنك لو عدته لوجدتني عنده
…. إلى اّخر الحديث
( dari sayyidina rosulillah
saw sesungguhnya ALLAH berfirman : wahai anak cucu adam saya sakit kenapa
engkau tidak mengunjungiku ? ia berkata : wahai rabb bagaimana hamba
mengunjungimu sementara engkau adalah rabb semesta alam ALLAH berfirman :
apakah engkau tidak tau bahwa hambaku fulan sedang sakit ? akan tetapi engkau
tidak mengunjunginya tahukah engkau apabila engkau mengunjungi nya niscaya
engkau menjumpaiku di sisinya )
( HR. bukhori fil adab 517 .
HR . muslim 2596 . HR. ibnu hibban 269 )
Jelas dan terang dalam teks
hadist qudsi di atas menyatakan ALLAH sakit , lalu apakah orang-orang
wahabi/salafy menetapkan sifat SAKIT terhadap ALLAH … ? tanpa adanya takwil …?
Jika benar demikian maka aqidah anda adalah aqidah bathil penuh dengan
kerancuan yang tidak jelas …! lalu atas dasar inikah mereka membangun sebuah
aqidah ?? lantas dengan se enaknya memvonis ahlu syubhat dan ahlu sesat
terhadap orang-orang yang tidak sependapat dengan keyakinan mereka..?? dan
memvonis ahlu bid’ah dan sesat terhadap ulama-ulama dan para sahabat yang
menakwilkanya …. ? sunguh dunia sudah terbalik aqidah ahlul haq mereka anggap
sebagai aqidah ahlu syubhat dan sesat , sedang aqidah mereka ..? yang
menetapkan sifat lupa dan sakit terhadap ALLAH mereka anggap sebagai aqidah
yang benar …!!! NA’UDZUBILLAH TSUMMA NA’UDZUBILLAH ..
Jelaskan kepada mereka…!! ”
terlalu mengandalkan dalil tekstual tanpa di fahami secara akal sehat adalah
ciri khas dari faham ahlu bid’ah khasyawiah mujassimah , dan terlalu
mengandalkan akal dengan metode hermeneutika tanpa di dasari dalil adalah ciri
khas dari faham mu’tazilah yang jauh dari kebenaran dan yang memadukan antara
keduanya yaitu dalil dengan di pahami secara akal sehat adalah cara yang di
anjurkan oleh rasul alaihis-sholatu wassalam, dan jalan yang benar ” dan jalan
inilah yang di tempuh oleh para ulama’ yang beraqidah ahlus sunnah wal jama’ah
mereka di antara nya adalah imam abu hasan al-asy’ari , imam al-maturidi dan
murid-muridnya , imam al-qhodhi abi bakar al-baqilani , imam abi ali addaqqaq ,
imam abi tha’ib bin abi sahal assa’luki , imam al-hakim annaisaburi , imam abu
bakar bin faurak , imam al-hafidz abi nu’iem al-ashbihani , imam nawawi , imam
al-hafidz ibnu hajar al-astqolani , syeikhul islam imam zakaria al-anshory imam
ibnu hajar al-haitami dan masih banyak ratusan ulama-ulama ahlu sunnah tak
terbilang yang berada dalam manhaj ini.. dan pada ujungnya adalah salafussoleh
mufassir Al-qur’an sahabat ibnu abbas rodiyallahu anhu . apakah pakar ulama’
nashirussnnah di atas yang kalian anggap sebagai ahlul syubhat dan sesat…. ??
Sungguh tak ada kalimat yang
pantas kami ucapkan kepada mereka selain sebuah kalimat :
قوم أصابته الفتنة فعموا وصموا
( kaum yang tertimpa fitnah
lalu mereka buta dan tuli )
Dan kami akhiri dengan sebuah
firman ALLAH :
إنما يفتري الكذب الذين لا يؤمنون بأيت الله
وأولئك هم الكاذبون
( sesungguhnya yang
mengada-adakan kebohongan , hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
ayat-ayat allah dan mereka itulah orang-orang pendusta . ( an-nahl : 105 )
ibnu abi irfan - April 15th,
2010 at 7:26 pm
Ana tidak akan menanggapi
komen di atas panjang lebar karena hal itu justru membahayakan bagi seorang
tholabul ‘ilmi seperti ana. Apa yang disifatkan oleh Alloh kepada Diri-Nya dan
disifatkan oleh Rosul-Nya itulah sifat yang haq. Sedangkan apa yang disifatkan
oleh Ahlul Ta’wil wa Tahrif (Jahmiy dan konco-konconya) adalah sifat yang
diada-adakan.
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللّهِ قِيلاً
Dan siapakah yang lebih benar
perkataannya daripada Alloh? (QS. 4:122)
semoga ikhwah yang lain juga
bisa menjaga diri dari fitnah ini.
Hameed al-Farisi - April
16th, 2010 at 5:13 am
@ Imam Nawawi,
Saran ana hendaknya antum
mengaji dulu,
tetapi carilah tempat
tholabul ‘ilmi yang benar, seperti dikalangan kaum yang bermanhaj salaf,
sehingga antum akan mengerti apa itu salaf yang sesungguhnya, apa itu wahabi,
apa itu ahli bid’ah, apa itu ahli sirik, apa itu ahli ahwa’, jangan sampai
antum sudah capek2 mengomentari tetapi ternyata salah, berdosa dan malu-maluin
jadinya.
Diharapkan bila antum sudah
ikut mengaji bersama orang yang bermanhaj salaf (non hizbi), anda akan sadar dan
terbebas dari pemikiran2 batil.
Sayang initial antum
menggunakan nama Ulama Besar Imam Nawawi, tetapi pengetahuan antum jauh seperti
antara langit dan bumi dibanding beliau.
Sastro - April 16th, 2010 at
10:43 am
saya termasuk orang yang
belajar aqidah dan manhaj salaf dan tidak saya temui dalam pelajaran tersebut
sebagaimana tuduhan yang disampaikan oleh saudara kita yang menamai dirinya
Imam Nawawi.
Mengenai dalil-dalil yang
disebutkan dan dijelaskan lagi dituduhkan oleh saudara kita ini, berkaitan dengan
sifat-sifat Alloh bukanlah demikian aqidah salaf.
Di sini saya gak akan
menjelaskan atau membantah apa yang disampaikan saudara kita ini.
Saya cuma mengingatkan untuk
kita semua lebih khusus untuk saudara kita ini agar lebih banyak belajar
tentang aqidah dan manhaj salaf (sahabat).
abu Abdillah - April 16th,
2010 at 2:40 pm
Sekarang kalau ujungnya
sahabat yang mulia Ibnu Abas Rodhiyallohu ‘anhu..tolong terangkan tafsir beliau
tentang hadits Nuzul ini?? dan ayat2 Al Qur’an sepertti istawa Alloh diatas
‘arsy-NYa..kalau beliau mengimani dan tidk mentakwil dgn takwil yg batil
berarti antum yg mengaku sebagai imam nawawi yg harus ruju’…karena ahlussunnah
tdk mutlak menolak takwil. namun yg ditolak adalah takwil yg batil..
abu hamzah al tegally - April
16th, 2010 at 6:40 pm
@Nawawi
antum menisbatkan nama kpd
Imam An Nawawi yg bermazab Syafiiyah, silahkan baca nih keterangan dari Ulama
Syafiiyah ttg penisbatan kpd kata2 Salaf/Salafy, apakah menyelisihi kebenaran
atau tidak, jgn asal comment
Ahmad - April 17th, 2010 at
2:13 am
@INawawi : kerancuan
penafsiran…tidak bisa bikin perumpamaan yang benar….tendensius dan emosional…
Yusuf Abu Ubaidah - April
18th, 2010 at 9:17 pm
Akhi Imam Nawawi, semoga
Allah menunjuki anda jalan yang lurus. Amiin. Sebelumnya saya ucapankan terima
kasih atas komentar anda, tapi kiranya kami perlu untuk memberikan tanggapan
agar tidak menjadi syubhat bagi pembaca:
1. Madzhab salaf dalam
masalah asma’ wa sifat adalah mengimani secara dhohir tanpa takyif
(membagaimanakan), ta’thil (mengingkari) dan tamtsil (menyamakan dengan
makhluk). Inilah metode ulama salaf shalih seperti Imam Malik, Syafi’i, Ahmad
dll. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat Al-A’rof: 54)
2. Syaikhul Islam berkata:
“Kaidah asal suatu ungkapan adalah secara hakekatnya. Hal ini telah disepakati
oleh seluruh manusia dari berbagai bahasa, karena tujuan bahasa tidak sempurna
kecuali dengan hal itu”. (Tanbih Rojulil Aqil 2/487).
Inilah yang hendaknya kita
terapkan juga dalam ayat-ayat dan hadits, kita tidak boleh berpaling dari makna
aslinya kecuali apabila ada dalil atau indikasi kuat.
3. Adapun beberapa dalil yang
dijadikan pegangan oleh sebagian orang untuk melegalkan penyelewengan makna
dari aslinya, maka ini telah dijawab dan dijelaskan secara tuntas oleh para
ulama kita. (Lihat Ibthol Ta’wilat oleh Abu Ya’la, Al-Qowaid Al-Mutsla oleh
Ibnu Utsaimin, Qoidah Muhimmah Fimaa Dhohiruhu Ta’wil Min Shifat Robb oleh Amr
Abdul Mun’im).
4. Kita cukupkan di sini
menjawab dua syubhat yang dibawakan oleh akhi Imam Nawawi di atas:
Pertama: Firman Allah “Mereka
melupakan Allah maka Allah melupakan mereka”. (QS. At-Taubah: 67) dan ayat-ayat
sejenisnya (Al-A’rof: 51, Thoha: 126, Al-Jatsiyah: 34, As-Sajadah: 14). Perlu
diketahui bahwa ayat-ayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat-ayat
lainnya yang menunjukkan bahwa Allah tidak lupa seperti QS. Thoha: 52, Maryam:
64, karena kita harus yakin bahwa tidak mungkin Al-Qur’an itu saling
bertentangan antara satu dengan lainnya. (Lihat QS. An-Nisa’: 82).
Lantas, bagaimana
penjelasannya? Para ulama mengatakan bahwa kata nisyan (lupa) ada dua makna:
1. Nisyan bermakna lupa
terhadap sesuatu yang pernah diketahui. Sifat ini tidak mungkin bagi Allah,
karena itu adalah negatif.
2. Nisyan bermakna
meninggalkan dengan sengaja dan atas dasar ilmu. Makna ini ditetapkan bagi
Allah.
Jadi makna ayat-ayat yang
menetapkan sifat nisyan bagi Allah maksudnya adalah makna kedua, sedangkan
ayat-ayat yang meniadakan sifat nisyan bagi Allah adalah makna pertama. (Lihat
Daf’u Iiham Idhtirob ‘an Ayatil Kitab hlm. 146 oleh asy-Syinqithi, Fatawa Ibnu
Utsaimin fil Aqidah 1/293-295).
Kedua: Adapun hadits qudsi
bahwa Allah berfirman: “Wahai anak Adam, saya sakit kenapa kalian tidak
menjengukku. Dia berkata: Wahai Robbku, bagaimana aku menjengukMu sedangkan
Engkau adalah Robb semesta Alam. Allah berfirman: Tahukah kamu bahwa hambaKu
fulan sakit tetapi kamu tidak menjenguknya?!…
Apakah hadits ini hujjah bagi
para penyeleweng makna?! Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Salaf telah menerima
hadits ini dan tidak memalingkannya dari dhohirnya , tetapi mereka menafsirkan
seperti penafsiran Dzat yang mengucapkan (Allah) sendiri. Maka firmanNya “Saya
sakit” sudah ditafsirkan dengan firmanNya “Tahukan kamu bahwa hambaku fulan
sakit. Inilah penafsiran Allah yang lebih tahu tentang maksud ucapanNya.
Penafsiran seperti bukanlah penyelewengan makna karena kita menafssirkan dengan
penafsiran Allah. Allah menyandarkan kepada diriNya sebagai anjuran dan
dorongan sebagaiman firmanNya: “Siapa yang memberikan pinjaman kepada Allah”
(Al-Baqoroh: 245).
Justru hadits ini merupakan
dalil telak bagi orang yang menyelewengkan makna tanpa dalil dari Al-Qur’an dan
hadits, sebab seandainya hal itu tidak seperti dhohirnya tentu akan dijelaskan
oleh Allah dan Rasulnya. (Lihat Al-Qowaid Al-Mutsla fi Sifatillah wa Asmaihi
Husna hlm. 102-103).
Dengan demikian, maka
hancurlah argumen para penyeleweng ayat-ayat dan hadits dari makna aslinya
tanpa dalil dan nampaklah kebenaran madzhab salaf dalam masalah ini. Semoga
Allah selalu meneguhkan kita semua di atasnya.
Tommi - April 19th, 2010 at
1:38 pm
@nawawi, maaf…saya tidak
memakai kata ‘imam’ karena penisbatan nama anda pada nama besar beliau sama
sekali jauuuuhhh panggang dari api.
Malulah pada diri anda, dari
mulai kalimat awal komen anda saja sudah terlihat anda salah besar. Apalagi
untuk membaca komen anda yg panjang lebar namun ternyata membawa syubhat yg
berbahaya. Oleh karena syubhat dan tong kosong anda telah ramai2 dibantah oleh
saudara2 kita diatas termasuk oleh ustadz yusuf as sidawi, maka saya hanya
menyampaikan pesan pada anda (ini juga klo anda masih mengikuti web ini dan
tidak kabur) : tolong sampaikan kepada org yg anda taqlidi artikelnya itu (atau
itu anda sendiri yg membuat artikelnya?), klo menafsirkan ayat atau hadits
mutasyabihat jgn sembarangan mas, jgn seenak udelnya. Coba lihat tafsiran anda
pada hadits qudsi yg anda bawakan itu, klo sekonyong2 anda mengatakan
wahabi/salafi menafsirkan dengan dhohir hadits bahwa Allah itu sakit, andalah
yg batil (baca : seenaknya ngomong), tolong bawakan kesini sumbernya bahwa
wahabi/salafi menafsirkan yg spt itu. Jgn asal ngomong mas, ingat, ucapan anda
itu sudah tergolong fitnah bagi org lain, saudara anda sendiri. Takutlah pada
Allah Ta’ala akan fitnah yg anda buat.
Terakhir mas, makanya jgn
terus2an ngefans dengan habaib yg selalu berpikiran buruk dengan wahabi/salafi.
Coba anda ngaji kembali dengan ustadz2 yg berpikiran bersih dan bermanhaj
salaf. Atau minimal bersihkan dulu diri anda dari sholawat nariyah, barzanji
dan mauludan. Kembalilah pada Qur’an dan Sunnah, pelajari dalil2nya dari setiap
ibadah yg anda lakukan. Semoga Allah Ta’ala menunjuki kebenaran pada anda dan
kita semua.
Sayang sekali kalau anda
kabur dari web ini dan hanya berani lempar komen sembunyi tangan (dengan
bersembunyi dibalik nama besar Imam Nawawi). Saya sangat mengharapkan anda
mempertanggungjawabkan syubhat anda diatas.
abu shobiyyah - April 19th,
2010 at 3:53 pm
@nawawi: semoga Allah memberi
antum petunjuk kepada yang haq dan menjauhkan anda dari syubhat dan hawa nafsu
antum. sepetinya itu artikel yang dicopy paste disini dan antum ga paham betul
ttg apa yang antum copy paste itu
Ibnu syafii - April 22nd,
2010 at 4:54 pm
nawawi pasti dah kabur.
Kawanmu - April 24th, 2010 at
1:27 am
Awas, Terjerumus Dalam Akidah
Tasybih!
Masih banyak orang Islam yang
belum mengerti apa itu tasybih bagi Allah, yang mana ini dilarang dalam Islam.
berikut ini sekedar gambarannya, maka perhatikanlah bagaimana tasybih ini tidak
pantas disandangkan bagi Allah yang memiliki sifat Agung dan Maha Suci. Ketika
anda mendengar kata “turun”, bisakah anda tidak membayangkan proses turun itu
sendiri? Turun dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat dari
sifat-sifat atau perilaku benda-benda dan segala sesuatu yang baharu.
Turun dalam pengertian ini
membutuhkan kepada tiga perkara; Benda yang pindah itu sendiri, Tempat asal
pindahnya benda itu, dan Tempat tujuan bagi benda itu. Makna semacam ini jelas
mustahil bagi Allah. Jika Hadîts an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun dengan
Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti pekerjaan turun tersebut terus-menerus
terjadi pada Allah setiap saat dengan pergerakan dan perpindahan yang banyak
sekali, supaya bertepatan dengan sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian
sepertiga akhir malam terus terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi.
Dengan demikian hal itu menuntut turunnya Allah setiap siang dan malam dari
suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal itu juga berarti bahwa Allah pada saat
yang sama turun naik antara langit dunia dan arsy. Itulah sekedar gambaran
keyakinan tasybih, menyerupakan atau menyamakan perilaku Allah Swt dengan
makhluk-Nya. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diungkapkan oleh seorang
yang berakal sehat. Mari kita simak uraian Abou Fateh agar lebih jelas memahami
tentang akidah tasybih yang tidak layak bagi Allah Swt….
Pemahaman Ahlussunnah Tentang
Hadîts an-Nuzûl; Mewaspadai Akidah Tasybih Kaum Wahhabiyyah
Oleh: Abou Fateh
Ada sebuah hadits yang
dikenal dengan nama Hadîts an-Nuzûl. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imâm
al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahih masing-masing. Redaksi hadits
riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut: (Shahîh al-Bukhâri; Kitâb al-Shalât,
Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl. Lihat pula Shahîh Muslim; Kitâb Shalât
al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb Fî al-Du’â Wa al-Dzikr Fî Âkhir
al-Layl Wa al-Ijâbah Fîh.)
“Telah mengkabarkan kepada
kami Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan Abu
Abdillah al-Agarr, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
يَنْـزِلُ رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ
لَيلَةٍ إلَى السّمَاءِ الدّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل:
مَنْ يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب لهُ وَمَن يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني
فأغْفِر لهُ (رواه البخاري)
Hadîts an-Nuzûl ini tidak
boleh dipahami dalam makna zhahirnya, karena makna zhahirnya adalah turun dari
arah atas ke arah bawah, artinya bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat
yang lain, dan itu mustahil pada hak Allah. Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh
Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:
“Hadist ini termasuk
hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam memahaminya terdapat dua madzhab
mashur di kalangan ulama;
Pertama: Madzhab mayoritas
ulama Salaf dan sebagian ulama ahli Kalam (teolog), yaitu dengan mengimaninya
bahwa hal itu adalah suatu yang hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan
Allah, dan bahwa makna zahirnya yang berlaku dalam makna makhluk adalah makna
yang bukan dimaksud. Madzhab pertama ini tidak mengambil makna tertentu dalam
memahaminya, artinya mereka tidak mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan
bahma Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari
suatu tempat ke tempat lain, Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari
seluruh sifat-sifat makhluk.
Kedua: Madzhab mayoritas ahli
Kalam (kaum teolog) dan beberapa golongan dari para ulama Salaf, di antaranya
sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah
melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesaui dengan
ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab
kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang
dinyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya
rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat
tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan:
“Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud
adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja
itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.
Kedua; takwil hadits dalam
makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan
mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya,
waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta
kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).
Dengan demikian pendapat kaum
Musyabbihah jelas batil ketika mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di antara dalil lainnya yang dapat membatalkan
pendapat mereka ini adalah bahwa sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam
Hadîts an-Nuzûl ini telah memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat
kasrah pada huruf zây; menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi;
yaitu kata kerja yang membutuhkan kepada objek (Maf’ûl Bih). Dengan demikian
menjadi bertambah jelas bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan
perintah Allah. Makna ini juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam
riwayat Hadîts an-Nuzûl lainnya dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id
al-Khudriy bahwa Allah telah memerintah Malaikat untuk menyeru di langit
pertama pada sepertiga akhir malam tersebut. Dengan demikian kaum Masyabbihah
sama sekali tidak dapat menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi mereka.
Seorang ahli tafsir
terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa
al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang
yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts
an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan
sebagai berikut:
“Pendapat yang paling baik
dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat
an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah
bersabda:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ
شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ
يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى
”Sesungguhnya Allah
mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah
memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia
akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni.
Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi.
Hadits ini dishahihkan oleh
Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan
tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud
dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna
dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah
bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian
Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat
yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi
“Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari
riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar
dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:
“Kaum yang menetapkan adanya
arah bagi Allah dengan menjadikan Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi
mereka; yaitu menetapkan arah atas, pendapat mereka ini ditentang oleh para
ulama, karena berpendapat semacam itu sama saja dengan mengatakan Allah
bertempat, padahal Allah Maha suci dari pada itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl
ini terdapat beberapa pendapat ulama” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Kemudian al-Hâfizh Ibn Hajar
menuliskan:
“Abu Bakar ibn Furak
meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf
awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya
disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits
riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy,
bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ
اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه
”Sesungguhnya Allah
mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam
tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah
orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini
dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi
sabda Rasulullah:
يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ
لَهُ
”…maka Malaikat penyeru
berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah
al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini
menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah
dalam kitab Idlâh al-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîl menuliskan sebagai
berikut:
“Ketahuilah, bahwa tidak
boleh memaknai an-nuzûl dalam hadits ini dalam pengertian pindah dari satu
tempat ke tempat lain, karena beberapa alasan berikut;
Pertama: Turun dari satu
tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat dari sifat-sifat benda-benda dan
segala sesuatu yang baharu. Turun dalam pengertian ini membutuhkan kepada tiga
perkara; Benda yang pindah itu sendiri, Tempat asal pindahnya benda itu, dan
Tempat tujuan bagi benda itu. Makna semacam ini jelas mustahil bagi Allah.
Ke Dua: Jika Hadîts an-Nuzûl
dimaknai bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti
pekerjaan turun tersebut terus-menerus terjadi pada Allah setiap saat dengan
pergerakan dan perpindahan yang banyak sekali, supaya bertepatan dengan
sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian sepertiga akhir malam terus
terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi. Dengan demikian hal itu menuntut
turunnya Allah setiap siang dan malam dari suatu kaum kepada kaum yang lain.
Hal itu juga berarti bahwa Allah pada saat yang sama turun naik antara langit
dunia dan arsy. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diungkapkan oleh
seorang yang berakal sehat.
Ke Tiga: Pendapat yang
menyebutkan bahwa Allah bertempat di atas arsy dan memenuhinya, bagaimana
mungkin cukup bagi-Nya untuk bertempat di langit dunia, padahal luasnya langit
dibanding arsy tidak ubahnya seperti sebesar kerikil dibanding lapangan yang
luas. Dalam hal ini pendapat sesat tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan;
Pertama: Bahwa langit dunia setiap saat berubah menjadi besar dan luas hingga
mencukupi Allah. Kedua: Atau bahwa Dzat Allah setiap saat menjadi kecil agar
tertampung oleh langit dunia tersebut. Tentunya, kita menafikan dua keadaan
yang mustahil tersebut dari Allah.
Dengan demikian setiap ayat
dan hadits mutasyâbihât yang zahirnya seakan menunjukkan adanya keserupaan
antara Allah dengan makhluk-Nya harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan
keagungan Allah. Atau jika tidak memberlakukan takwil maka harus diyakini
kesucian Allah dari segala sifat-sifat makhluk-Nya” (Idlâh al-Dalîl, h. 164).
KESIMPULAN: Allah bukan
benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Segala apa yang
terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian
itu. Allah tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat
dan tanpa arah. Allah yang menciptakan arsy dan langit maka Dia tidak
membutuhkan kepada keduanya. Wallahu A’lam….
Yusuf Abu Ubaidah - April
24th, 2010 at 6:50 pm
Untuk Kawanmu, semoga Allah
memberinya hidayah.
Sebelumnya kami ucapkan
terima kasih atas komentar anda, tetapi kami memandang komentar anda memuat
banyak syubhat yang perlu kami tanggapi sekalipun sebenarnya syubhat-syubhat
kalau dicermati ini hanya mengulang saja dan telah kami bantah dalam artikel di
atas, tapi gak masalah kita bantah lagi dengan tambahan faedah insya Allah:
1. Kami setuju dengan anda
untuk mewaspadai dari tasybih, namun apakah menetapkan apa yang ditetapkan oleh
Allah dan rasulNya adalah tasybih? Inilah duduk masalahnya. Ishaq bin Rahawaih
berkata: “Tasybih itu kalau seorang mengatakan tangan Allah seperti tanganku.
Adapun orang yang menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan tidak
membagaimanakan dan menyerupakan maka itu bukanlah tasybih”. Hal serupa juga
dikatakn oleh Nu’aim bin Hammad. (Lihat Siyar A’lam Nubala’ 10/610 oleh
adz-Dzahabi).
Tetapi ahli bid’ah menyebut
Ahli Sunnah yang menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana ditetapkan Allah dan
rasulNya dengan musyabbihah. Sungguh ini gelar-gelar dari Ahli bid’ah. (Lihat
Syarh Ushul I’tiqod 1/204 oleh al-Lalikai, Dzammul Kalam 4/390 oleh al-Harawi,
Aqidah Salaf Ashabil Hadits hlm. 304 oleh ash-Shobuni).
2. Para ulama salaf telah
menetapkan sifat turun bagi Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Imam Syafi’i
berkata:
“Pendapat dalam sunnah (aqidah)
yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawanku ahli hadits yang saya bertemu
dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik dan selain
keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada berhak untuk diibadahi
secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan
Allah dan bahwa Allah di atas Arsy-Nya di langitNya dekat dengan para hambaNya
sekehandak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendakNya”. (Lihat Mukhtashor
Al-Uluw hlm. 176 oleh adz-Dzahabi, Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hlm. 122 oleh
Ibnul Qoyyim, Itsbat Shifatil Uluw hlm. 124 oleh Ibnu Qudamah).
Bahkan Imam Abul Hasan
al-Asy’ari menukil ijma’ ulama untuk menetapkan sifat turun bagi Allah.
(Risalah Ahli Tsaghor hlm. 229)
Wahai kawanku, apakah engkau
kira bahwa Imam Syafi’i, Imam Malik, dan semua ahli hadits adalah golongan
Musyabbihah karena mengimani sifat turun bagi Allah?! Jawablah!!
Dan dalam nukilan Imam
Syafi’i di atas dapat kita ketahui kesalahan nukilan Imam Nawawi -semoga Allah
merahmatinya- bahwa Imam Malik mentakwil makna turun, karena riwayat ini
tidaklah shohih dari Imam Malik, dalam sanadnya terdapat Habib bin Abi Habib
seorang pendusta. (Lihat Masail Aqidah Al-Lati Qorroroha Aimmah Malikiyyah hlm.
225 oleh Syaikh Muhammad Al-Hamadi, Qoidah Muhimmah hlm. 79 oleh Amr Abdul
Mun’im). Riwayat ini juga menyelishi aqidah Imam Malik dalam masalah asma wa
sifat. (Lihat buku Al-Atsar Al-Masyhur Anil Imam Malik oleh Dr. Abdur Rozzaq
al-Badr).
3. Ahlu Sunnah wal Jama’ah
tidak mencari-cari ketregelinciran ulama dan tidak mengikuti ketergelinciran
mereka, termasuk dalam hal ini adalah ketergelinciran Al-Hafizh Ibnu Hajar dan
Imam Nawawi -semoga Allah merahmati keduanya-. Oleh karenanya, mereka membantah
takwil hadits ini dalam kitab-kitab mereka.
4. Riwayat-riwayat yang
disebutkan di atas bahwa yang turun bukan Allah tetapi Allah menurunkan, atau
yang turun adalah malaikat, adalah riwayat yang munkar dan menyelisihi
riwayat-riwayat yang shohih dari Nabi. (Lihat penjelasannya secara panjang
dalam Silsilah Adh-Dhoifah no. 3897 dan Syarh Hadits Nuzul hlm. 37-42).
5. Syubhat akal-akal bahwa
turun mengharuskan begini dan begitu, seperti benda, pindah, setiap waktu turun
dll, kami katakan: Ya akhi, kenapa anda gambarkan Allah dengan gambaran
Makhluk?!! Tidakkah cukup bagi anda untuk mengimaninya dan menyerahkan
bagaimananya kepada Allah?. Al-Khottobi berkata: “Orang yg mengingkari ini
hanyalah orang yang menyamakan perkara dengan turun yang dia lihat yaitu dari
atas ke bawah dan pindah dari atas ke bawah, ini adalah sifat benda. Adapun
turun Dzat yang menguasai benda maka tidak bisa disamakan dan dikahayalkan”.
(Al-Asma wa Shifat hlm. 453 oleh al-Khotthobi).
Imam Ibnu Rojab juga
membantah penentangan seperti ini dengan ucapannya: “Sungguh, penentangan
seperti ini sangat jelek sekali. Seandainya Rasul dan para khalifah mendengar
orang yang menentang begini, mereka tidak mendebatnya tetapi langsung
menghukumnya dan mengkatagorikannya dalam rombongan para penentang dan
pendusta”. (Fadhlu Ilmi Salaf Ala Kholaf hlm. 6).
Cukup sekian dulu, kami akan
sholat isya’, bila memang belum cukup, kami siap untuk menanggapinya lagi insya
Allah.
Guntur - April 27th, 2010 at
10:04 am
Assalaamu`alaikum Ustadz,
Ana hanya penasaran dengan
hadits yang antum cantumkan dalam artikel di atas:
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ : قِيْلَ لِرَسُوْلِ
اللهِ : أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ : جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرُ
الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ
Dari Abu Umamah berkata:
Ditanyakan kepada Rasulullah: “Doa apakah yang paling mustajab? Beliau menjawab:
“Akhir malam dan penghujung shalat lima waktu”. [HR. Tirmidzi: 3499 dan
dihasankan Imam Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 3/442]
Dari link saudara kami, alAkh
Abul Jauzaa berikut:
Hadits itu masuk kategori
dho`if.
Mohon tanggapan antum.
Jazakallaahu khoiron…
W Kassim - April 30th, 2010
at 4:45 pm
Hadis yang berkaitan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ
الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى
لُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ
فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ
فَأَغْفِرَ لَهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu
ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku,
maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan,
dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [1
Katanya Tuhan turun ke langit
dunia pada sepertiga malam terakhir berkata kepada manusia. Tentunya Tuhan
berkata cukup kuat untuk bisa didengar oleh manusia. Tapi kenapa kok tidak
pernah ada orang yang mendengarnya? Saya juga sering bangun pada sepertiga
malam yang akhir itu tapi juga tidak pernah perkataan Tuhan.
Hadis itu tidak menjelaskan
berapa lama Tuhan berada dilangit dunia itu ya. Selepas berkata, tentunya Tuhan
memberi peluang beberapa ketika untuk orang berdo’a, meminta dan memohon ampun
kepadanya. Mungkin Tuhan menunggu kira-kira 15 menit. Selepas itu Tuhan akan
pulang ke langit ketujuh kan? Tapi itu tentunya tidak mungkin. Bumi ini bulat,
oleh itu tempoh sepertiga malam terakhir akan berterusan ada dibumi, pindah
dari satu bahagian bumi ke satu bahagian bumi tidak berhenti-henti hingga hari
kiamat.
Kalau begitu tidak benar yang
dikatakan hadis bahawa Tuhan TURUN setiap malam kerana malam sentiasa ada
dibahagian bumi yang tidak berhadapan dengan matahari. Wajarnya Tuhan tidak
pernah turun dan naik tetapi Dia terpaksa menetap terus dilangit bumi itu.
Amat jelas hadis ini palsu
walaupun banyak perawinya yang berkonspirasi membikin pembohongan.
Kita harus hati-hati tentang
hadis kerana kebanyakannya adalah palsu.
Sekian.
W Kassim - May 1st, 2010 at
7:43 am
Saudara moderator,
Anda berdosa besar kerana
menyembunyikan yang benar dengan tidak menerima komen saya yang dikirim dua
kali untuk tatapan umum.
Anda lebih suka orang terus
sesat percaya hadis yang anda sampaikan. Adakah anda tidak takut hari
pembalasan nanti?
cahaya - May 1st, 2010 at
9:29 pm
assalamu’alaikum, ustadz untk
pemula seperti ana ini buku-buku apa yg bisa antm sarankan untk di baca?
khususny permasalahan tauhid asma’ wa shifat.jazakumulloh khoiron
Admin - May 2nd, 2010 at 5:18
am
@ W Kassim
Kami meremove komentar Anda
karena Anda menolak hadits-hadits Rasulullah dengan alasan logika, bukan dengan
studi kritik sanad. Dalam pandangan kami, Hadits adalah sumber hukum kedua yang
sah setelah Al-Qur’an. Maka, kami tidak akan menampilkan pihak yang menolak
hadits-hadits Rasulullah dengan alasan para perawi berkonspirasi untuk membuat
hadits palsu (tanpa melalui studi kritis yang standar dalam ilmu ushul hadits).
Jadi, maaf, kami hanya
menampilkan komentar-komentar kaum muslimin yang masih menganggap bahwa hadits
shahih adalah hujjah di samping Al-Qur’an.
—admin—
Ahmad - May 2nd, 2010 at 8:39
am
As2lmlkm,
nasihat untuk SAYA PRIBADI
dan kaum muslimin.
1. Jika slama ini kita salah,
maka perbaikilah dan terimalah kbenaran skalipun itu pahit.
2. Jangan ada perasaan iri,
hasad, dan dengki dlm hati kita. Ingatlah bahwa sifat2 buruk ini hanya akan
membuat kita terhalang dari surga.
3. Ilmu sblm amal.
4. Brsabarlah dlm brdakwah.
Ibnu Abi Irfan - May 2nd,
2010 at 4:13 pm
@ Al Akh Admin
syukron antum menghindarkan
kami dari komen yang bisa saja akan menjadi fitnah bagi kami. sebaiknya begitu
saja, komen yang tidak ilmiah atau ada syubhat yang berbahaya tidak usah
ditampilkan.
kalaupun ingin membantah
syubhat-syubhat tersebut, maka itu cukup antara mereka dengan ustadz Abu
Ubaidah saja, tidak usah dipublikasikan.
Yusuf Abu Ubaidah - May 3rd,
2010 at 9:07 pm
Untuk akhi w Kassim, semoga
Allah memberinya hidayah kebenaran.
1. Saudaraku, sebagai seorang
muslim, landasan kita adalah Al-Qur’an dan hadits yang shohih. Barangsiapa yang
mengingkari salah satunya sebagai landasan agama kita, maka perlu dicurigai
Islamnya. Terus terang, apakah anda percaya bahwa hadits Nabi adalah landasan
agama?!
2. Bila suatu hadits telah
shohih, apalagi mutawatir, maka wajib bagi seorang muslim untuk menerimanya dan
tunduk kepadanya, bukan malah mendustakannya hanya sekadar dengan akal dan hawa
nafsu belaka?! Sekarang, katakan pada kami apakah ucapan anda bahwa “hadits ini
palsu sekalipun banyak para perawinya yang berkonsprasi untuk kebohongan”.
Jujur, baru kali ini saya
mendengar ada orang yang mengatakan bahwa hadits ini palsu. Maka datangkanlah
kepada kami bukti kongkrit ucapan anda, siapa ulama yang memalsukannya sebelum
anda, karena jika tidak berarti anda telah berdusta dan mencela para ulama ahli
hadits bahwa mereka berkonsprasi atas kebohongan?!
Aduhai, tahukah anda bahwa
Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Malik, bahkan seluruh ulama menshohihkan hadits
ini?
Apakah mereka semua anda
anggap berkonspirasi atas kedustaan?!
Tidakkah anda sedikit
berhati-hati sebelum mengeluarkan pernyataan, karena anda akan dimintai
pertanggungjawaban! Buktikanlah secara ilmiyah ucapan anda, jangan hanya
sekadar mengeluarkan kata!!!
3. Imam Syafi’i berkata:
“Segala sesuatu ada batasnya,
dan akal juga ada batasnya“.
Wahai saudaraku, apakah
segala sesuatu itu harus diketahui oleh akal kita dan harus kita pernah dengar
dengan telinga kita? Saya bertanya kepada anda: “Apakah anda beriman adanya
Allah, surga, neraka, siksa kubur, padahal apakah anda melihatnya?
Apakah anda percaya bahwa ruh
itu ada?
Apakah anda tahu bagaimana
wujudnya ruh yang ada pada diri anda?
Apakah akal anda
menjangkaunya?
Aduhai, kalau ruh yang ada
pada diri anda saja, anda sendiri tidak tahu tentang wujudnya, lantas bagaimana
dengan masalah ghoib lainnya?!!!
Ingatlah wahai saudaraku,
wahyu itu dari Allah, Nabi Muhammad tugasnya menyampaikan dan kewajiban kita
adalah tunduk dan menerima. Tanamkanlah iman pada dirimu, jangan terlalu
berlebihan pada akal dan perasaan. Ingat kita adalah hamba yang berkewajiban
untuk iman, bukan membangkang. Syubhat akal-akalan anda sudah dijawab oleh para
ulama sebagaimana sudah kami kemukakan di makalah dan komentar kami atas
komentar saudara yang menamakan dirinya “Kawanmu”. Semoga Allah menjadikan kita
semua hamba-hambaNya yang beriman dan tunduk. Amiin. Wallahu A’lam.
W Kassim - May 4th, 2010 at
4:36 pm
Salam ya ustaz,
Hadis yang kononnya mutawatir
itu mengatakan “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika
sepertiga malam terakhir.
Saya memang mahu mempercayai
hadis itu sohih sekiranya ada manusia yang biasa menjelaskan bagaimana Tuhan
bisa turun ke langit dunia PADA SETIAP MALAM IAITU KETIKA SEPERTIGA MALAM
TERAKHIR.
Oleh kerana bumi ini bulat,
maka sentiasa aja ada bahagiannya berada pada sepertiga malam terakhir tanpa
putus-putus walau satu saat, beredar dari Timur ke Barat. Misalnya jika di
Indonesia siang, tetapi di Amerika pula malam. Atau adakah Tuhan hanya turun ke
langit Indonesia sahaja dan tidak ke langit di negara-negara lain?
Maka hadis itu tidak dapat
diterima akal. Allah menyuruh manusia menggunakan akal. Walaupun ada ratusan
atau ribuan perawi hadis itu, saya tetap tidak dapat menerimanya sebagai sohih.
Orang Islam akan terus
ketinggalan jika mereka tidak mahu menggunakan akal.
Hadis yang tidak diterima
akal bukan satu itu sahaja. Ada banyak lagi. Mungkin tuan tahu ada seorang
Indonesia yang membuktikan bahawa sohih Bukhari itu juga banyak yang palsu, dalam
thesis Phd. nya.
Sekian.
abu kalimasada - May 4th,
2010 at 10:23 pm
Bismillahirrahmanirrahim,
Sebenarnya coment Wak Kassim
itu tidak lain hanyalah bukti bahwa dia mengingkari Nabi Muhammad -shollallohu
‘alaihi wa sallam- sebagai Rasul Allah. Bagaimana tidak, sedangkan Allah telah
menjamin bahwa apa yg beliau ucapkan adalah wahyu dari-Nya. Lihat Qs. An-Najm
ayat :
[i]2. Kawanmu (Muhammad)
tidak sesat dan tidak pula keliru.
3. Dan Tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
4. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[/i]
Jika Nabi Muhammad telah
dijamin oleh Allah pasti tidak sesat & keliru, maka yang perlu saya
tanyakan kepada W Kassim adalah:
1. Siapakah yg menjamin Wak
Kassim & seorang yg katanya Phd. tsb. tidak akan tersesat atau keliru !?
2. Siapakah yg menjamin
akalnya Wak Kassim & akalnya seorang yg katanya Phd. tsb sebagai akal yg
sehat [al-aqlus salim] dan bukan akal yg sakit [al-aqlus saqim] !?”
3. Siapakah yg menjamin
kebenaran dari kesimpulan akal-sakitnya satu atau dua orang bukan ahli hadits
yg berani menyalahkan hadits Nabi yg telah dibenarkan oleh akal-sehatnya Imam
Bukhori -rahimahullah- & seluruh Imam Ahli Hadits -rahimahumullah- !?
4. Siapakah yg bisa menjamin
Wak Kassim ketika menulis hal tsb. di atas dia sedang menggunakan akalnya dan
bukan sedang akal-akalan atau mengakali !? Ataukah dia sedang menggunakan
akalnya untuk mengakali dan main akal-akalan !?
5. Siapakah yg menjamin Wak
Kassim akan memilih datang ke tukang tambal ban untuk mengobati penyakitnya
daripada ke dokter?
Dan kalau Wak Kassim tetap
bersikukuh selalu menjadikan akalnya sebagai jaminan kebenaran atas sesuatu
sehingga apa yg tidak logis menurut akalnya harus ditolak, maka silahkan jawab
pertanyaan berikut ini :
1. Bisakah akal anda menjamin
bahwa setiap yg keluar dari [maaf] pantat ayam adalah selalu telur dan bukannya
[maaf] tai !?
2. Bisakah akal anda menjamin
bahwa telur ayam tadi pasti menetas !?
Adapun menurut logika saya,
perbedaan hadits Nabi dengan akalnya Wak Kassim kurang lebih ibarat lebah dan
ayam. Kalau lebah yg keluar dari perutnya adalah madu sedangkan ayam yg keluar
dari perutnya adalah salah satu di antara dua, bisa yg ini atau yg itu. [hehe…
ga mungkin keluar 22-nya kan? paham maksud saya?
Ketahuilah Wak Kassim,
Sesungguhnya Allah telah menugaskan Rasul-Nya -shollallohu ‘alaihi wa sallam-
untuk menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an.
Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (٤٤)
[i]“Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu (Muhammad) [b]menerangkan[/b] pada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”[/i] (Qs.
An-Nahl 44)
Dengan demikian, jika anda
ternyata mengingkari hadits Nabi yg telah valid datangnya dari beliau
-shollallohu ‘alaihi wa sallam- berarti anda mengingkari ayat ini.
Berhati-hatilah Wak Kassim,
barangsiapa mengingkari 1 ayat al-Qur’an saja berarti dia telah mengingkari
al-Qur’an seluruhnya. Barangsiapa mengingkari al-Qur’an maka dia telah
mengingkari siapa yg membawanya yakni Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- dan barangsiapa mengingkari beliau sama saja dengan mengingkari siapa
yang telah mengutus beliau yakni Allah Subhanahu wa ta’ala.
Wal ‘iyadzu billah!
Ibnu Abi Irfan - May 4th,
2010 at 11:48 pm
@ Al Akh W. Kassim
rohimahulloh
sebenarnya keragu-raguan
antum telah terjawab oleh artikel Ustadz Abu Ubaidah di atas. hanya saja ada
beberapa hal yang perlu ana tambahkan.
yang tampak dari komen antum
adlaah antum merasa telah menggunakan antum dengan baik sedangkan para ulama
yang menshohihkan hadits tersebut tidak menggunakan akalnya dengan baik.
Allohu akbar (jika memang
demikian), berarti yang cocok untuk menjadi pewaris Nabi itu antum saja,
bukannya ulama. hamba yang paling takut kepada Alloh itu antum, bukan ulama.
yang darahnya beracun itu antum, bukan ulama. yang lebih berhak berbicara
tentang Al Quran dan As Sunnah itu antum, bukan ulama.
yaa akhi, memang Alloh
memerintahkan kita untuk mempergunakan akal dengan baik. antum memahami
perintah “menggunakan akal”, tapi antum tidak memahami perintah “dengan baik”.
yang antum lakukan adalah menggunakan akal dengan pemaksaan. bukankah ada
hal-hal yang tidak mungkin untuk dijangkau oleh akal.
sebagaimana yang Alloh
firmankan:
إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً
Sesungguhnya manusia amat
zalim dan amat BODOH, (QS. Al Ahzaab [33]: 72)
Alloh juga berfirman:
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ
لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ
وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu TIDAK
MENGETAHUI. (QS. Al Baqarah [2]: 216)
jika antum merasa akal adalah
alat utama untuk memahami hukum2 Alloh, ana tantang antum untuk menjelaskan
bagaimana hakikat ruh, kemudian buktikan penjelasan antum itu.
Taslim - May 5th, 2010 at
2:15 am
@ W. Kassim
tantangan dari ana, jika
antum berjenis kelamin laki-laki, maka jelaskan kenapa Alloh menciptakan antum
berjenis kelamin laki-laki?
Yusuf Abu Ubaidah - May 5th,
2010 at 5:54 am
Akhi W. Kassim, semoga Allah
memberinya hidayah kepada jalan yang benar.
1. Sebenarnya saudara belum
menjawab pertanyaan2 saya dalam jawaban sebelumnya. Saya meminta kepada anda
bukti-bukti anda memalsukan hadits ini, siapa ulama yang berpendapat demikian
dan di kitab apa. Maaf, makalah kami adalah makalah ilmiyyah, maka hendaknya
disanggah juga secara ilmiyah, bukan dengan sekadar akal-akalan semata.
“Datangkanlah kepada kami hujjah kalian jika kalian adalah orang yang benar”.
2. Ucapan saudara “Walaupun
ada ratusan atau ribuan perawi hadits, saya tetap tidak bisa menerimanya
sebagai hadits shohih”. Subhanallah, seperti inikah sikap seorang muslim?!
Bukankah ini adalah suatu kesombongan wahai hamba Allah? Bandingkan hal ini
dengan ucapan Imam Syafi’i: “Setiap masalah yang ternyata ada hadits shohih
dari Nabi yang menyelisihi ucapanku maka saya mencabutnya baik di saat hidupku
atau sesuadah matiku”. (Tawali Ta’sis hlm. 108)
Sungguh, ucapan anda ini
sangat berbahaya sekali, karena telah menolak hadits shohih dari Nabi. Dahulu
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Barangsiapa menolak hadits Nabi, maka dia di
ambang kehancuran”. Maka selamatkanlah dirimu wahai saudaraku dari kebinasaan,
karena kami tidak menginginkan dirimu termasuk orang yang binasa.
3. Sangat jelas sekali anda
terlalu berlebihan kepada akal, sehingga menjadikan akal sebagai hakim dalil,
cara seperti ini adalah cara yang sangat keliru. Benar, Allah memerintahkan
kita untuk menggunakan akal dan Allah telah memuliakan akal, namun bukan
berarti kita memposisikan akal lebih dari kedudukannya. Imam Ibnu Qoyyim
berkata: “Mempertentangkan antara akal dengan naql (dalil) merupakan sumber
kerusakan di alam semesta, hal ini sangat bersebrangan dengan dakwah para Rosul
sebab mereka mengajak umatnya untuk mendahulukan wahyu di atas pendapat dan
akal, maka terjadilah pertarungan antara pengikut Rosul dan para penentangnya.
Para pengikut Rosul mendahulukan wahyu di atas pendapat dan akal, adapun
pengikut Iblis dan sejawatnya maka mereka mendahulukan akal di atas
wahyu.”(Mukhtashor Showaiq Mursalah 1/209). Maka pilihlah jalan yang engkau
inginkan bagi dirimu, apakah ingin menjadi pengikut rasul ataukah pengikut
Iblis?
3. Ucapan saudara “Saya baru
bisa mempercayai hadits sekiranya ada yang menjelaskan bagaimana Tuhan turun…”
Saudaraku, apakah anda pernah mendengar ucapan Imam Malik ketika ditanya
tentang bagaimana istiwa’nya Allah? lalu beliau menjawab: “Istiwa’ itu
diketahui artinya, bagaimananya adalah tidak diketahui, mengimaninya hukumnya
wajib dan bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah”. Saudaraku, kita tidak
dituntut untuk mengetahui bagaimananya tetapi kita dituntut untuk mengimaninya
saja. Bukankah anda beriman Allah itu ada? Tapi apakah anda tahu bagaimana Dzat
Allah? Bukankah anda percaya surga dan Neraka itu ada? Tapi apakah anda pernah
melihat bagaimananya? Percayalah, sehebat apapun akal manusia tetapi pasti ada
batasnya, sebagaimana kata Imam Syafi’i: “Akal itu memiliki batas sebagaimana
pandangan memiliki batas”. Bukankah mata bisa memandang bintang di langit? Tapi
apakah dia tahu berapa jumlah bintang dan dari apa dia terbuat? Kalau yang bisa
kita lihat saja kita tidak mengetahui perincian hakekatnya maka bagaimana
dengan masalah ghoib?!! Pahamilah.
firyan - May 5th, 2010 at
8:25 am
@W. Kassim: jangankan agama,
dalam sains pun banyak misteri yang belum terpecahkan karena pengetahuan
manusia yang belum menjangkau seperti tentang misteri pembangunan piramida atau
bagaimana coral castle dapat dibuat oleh seorang manusia saja. lubang hitam di
angkasa yang hingga saat ini ilmuwan belum bisa memecahkannya. apalagi tentang
Allah yang Dialah Pencipta alam semesta ini beserta segala misteri yang ada.
kita gak bisa membayangkannya dengan pengetahuan kita yang ada. kita tuh gak
bisa ngeliat dengan logika seperti itu. ana sendiri yakin hadits itu masuk akal
dan ilmiah tapi tingkat ilmiahnya luar biasa tidak dijangkau oleh kita. kita
bisa menerimanya dengan dalil dan menyerahkannya kembali kepada asal berita.
Wallahu A’lam
Tommi - May 5th, 2010 at
12:07 pm
Cukuplah ayat ini menjadi
gambaran bagi pak W.Kassim :
“Dia-lah yang menurunkan Al
Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,
itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari
sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.” QS Ali Imron ayat 7.
Lalu kalau anda katakan :
“Orang Islam akan terus ketinggalan jika mereka tidak mahu menggunakan akal.”
Oke pak, skrg saya tanya pada
anda, bisakah anda tafsirkan dengan akal anda makna ayat Alif Laam Miim pada
surat Al Baqoroh ayat 1??? Lalu Alif Laam Miim Shood pada surat Al A’roof ayat
1???
Saya tunggu jawabannya ya
pak.
Kepada admin, komennya pak
Kassim mohon jangan dihapus, beliau ingin berdiskusi dan sptnya beliau perlu
diluruskan dari aqidah terlalu memuja akal.
W Kassim - May 5th, 2010 at
7:27 pm
Salam Pak Tommy,
Kita bicara tentang hadis,
bukan Quran. Apakah hadis juga ada ayat mutasyabihat?
W Kassim - May 5th, 2010 at
7:30 pm
Salam Pak Taslim,
Jangan lari dari judul
perbincangan – hadis nuzul
W Kassim - May 5th, 2010 at
7:34 pm
Ibnu Abi Irfan,
Mungkin ulamak itu tidak tahu
ilmu geography bahawa bumi itu bulat dan sentiasa ada bahagiannya yang berada
pada sepertiga malam yang akhir.
Kalau demikian Tuhan tidak
perlu mundar mandir naik turun ke langit bumi. Tuhan terpaksa menetap dilangit
bumi sepanjang masa.
Salam
Ibnu Abi Irfan - May 5th,
2010 at 7:40 pm
bukankah Hadits itu semisal
dengan Al Quran? sama2 merupakan wahyu yang diwahyukan kepada Muhammad.
apakah antum akan mengimani
Al Quran saja dan membuang Al hadits?
W Kassim - May 5th, 2010 at
7:42 pm
Abu Kalimasada,
Saya tidak mengingkari
kata-kata Nabi. Saya cuma tidak percaya hadis begitu bisa keluar dari mulut
Nabi.
Kalau hadis nuzul itu benar
diucapkan Nabi dan yang diucapkannya itu adalah wahyu, maka berarti hadis nuzul
itu adalah dari Tuhan. Maka Tuhanlah yang tidak tahu bumi ini bulat.
W Kassim - May 5th, 2010 at
7:46 pm
Ibnu Abi Irfan,
Hadis itu semisal/sama dengan
Quran?
Saya mohon perlindungan Allah
dari kesesatan begitu.
W Kassim - May 5th, 2010 at
8:06 pm
Salam Ustaz Yusuf Abu
Ubaidah,
Apa yang ilmiahnya pada hadis
nuzul itu?
Adakah cerita karut Tuhan
turun tiap malam waktu sepertiga malam akhir itu ilmiah? Tentu tidak, bahkan ia
sesuatu yang amat melucukan!!!
Maka untuk menolaknya juga
tidak perlu cara ilmiah.
W Kassim - May 5th, 2010 at
8:16 pm
Dari tulisan ilmiah ustaz
Yusuf: “Dahulu Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Barangsiapa menolak hadits
Nabi, maka dia di ambang kehancuran”.
Kita lihat yang sudah hancur,
lemah, miskin adalah umat negara-negara islam. Contoh paling dekat Indonesia.
Adakah itu bukti mereka menolak hadits?
abu kalimasada - May 5th,
2010 at 8:41 pm
W Kassim menulis: Saya tidak
mengingkari kata-kata Nabi. Saya cuma tidak percaya hadis begitu bisa keluar
dari mulut Nabi.
Kalau hadis nuzul itu benar
diucapkan Nabi dan yang diucapkannya itu adalah wahyu, maka berarti hadis nuzul
itu adalah dari Tuhan. Maka Tuhanlah yang tidak tahu bumi ini bulat.
——————————
Lho piye wong iki? Hadits
Nabi itu ya kata-kata Nabi yg tidak lain adalah wahyu. Bisa-bisanya anda bilang
tidak mengingkari tapi tidak percaya, tanya kenapa? Jangan akal-akalan, ah.
Pokok masalahnya sudah jelas,
1. anda lebih percaya kpd
akal anda daripada berita valid [hadits shohih] yg datangnya dari Nabi
2. shgg hadits nuzul tsb
menurut anda tidak masuk akal. Dan akal anda sbg manusia -tidak bisa diingkari-
sangat terbatas. Jika memang menurut akal anda hadits tsb tidak logis, maka yg
layak untuk tidak dipercaya adalah akal anda.
——————————————————
W Kassim menulis: Hadis itu
semisal/sama dengan Quran?
——————————————————
Subhanalloh!
Logika anda ini mmg logika
tahi ayam. Telor ayam dan tahi ayam sama-sama dari ayam tetapi samakah telor
dengan tahi?
Jangan mengeneralisir sesuatu
yg spesifik lah.
Mending jawab dulu saja
pertanyaan saya sebelumnya sebelum anda ngelantur kemana-mana.
[Afwan Ustadz Yusuf, semoga kata-kata
saya ini jadi jamu/pil pahit buat W Kassim yg sedang sakit ini]
W Kassim - May 5th, 2010 at
9:51 pm
Salam Abu Kalimasada,
Kayaknya tuan susah untuk
memahami tulisan saya.
Yang menulis “Hadis itu
semisal dengan Quran” adalah teman anda Ibnu Abi Irfan, bukan saya. Saya cuma
mengutipnya. Maka itu saya mohon perlindungan Allah dari kesesatan menganggap
hadis itu semisal Quran.
Kelihatannya tuan senang
sekali dengan tahi ayam, ketimbang telornya. Apakah ini juga ajaran hadis?
W Kassim - May 5th, 2010 at
10:00 pm
Abu Kalimasada,
Kalau saya percaya hadis itu
keluar dari mulut Nabi, sudah pasti saya menerimanya sebagai hadis sohih.
Kata-kata anda jadi jamu/pil
pahit buat saya, tidak saya makan kerana takut ia bercampur tahi ayam kegemaran
anda.
Salam hormat dan permohonan
maaf dari saya.
Tommi - May 6th, 2010 at 8:59
am
Oke pak Kassim,
Jadi anda menolak menafsirkan
ayat al Qur’an yg saya bawakan dengan anda beralasan kita bicara tentang
hadits…Padahal kaidah dasar paham hadits adalah paham Al Qur’an terlebih
dahulu, dan mengimani ayat2 mutasyabihaat.
Skrg begini pak, agar kita
pemikiran kita sejalan dengan alur diskusi coba skrg pak Kassim bawakan tafsir
hadits nuzul tersebut melalui pemikiran para ulama salaf seperti Imam Ibnu
Hajar dan Imam Nawawi yg mensyarah hadits tersebut pada Fathul Baari dan Syarah
Shahih Muslim, dan tidak dengan tafsiran pak Kassim. Bisa ya pak…Kita tidak
bicara Al Qur’an, oke saya turuti kemauan bapak. Kita bicara hadits dengan
pemahaman para ulama.
arief - May 6th, 2010 at
10:10 am
Mas W Kassim yg pemuja akal
ternyata tidak berakal, saya juga punya akal ingin menggunakan akal saya utk
memahami tentang ucapan anda yg berbunyi ” Kalau saya percaya hadis itu keluar
dari mulut Nabi, sudah pasti saya menerimanya sebagai hadis sohih ” mas w
kassim dari sini akal saya mengatakan bahwa akal anda memaksakan diri sekarang
hidup dijaman Rasulullah dan ini jelas buktinya anda tdk berakal atau seorang
yg sangat sombong bangga kesombongannya. Awalnya sy pikir anda orang mengerti
tentang agama krn begitu galaknya diawal komentar anda protes ke moderator,
seakan anda ingin jadi juru
penyelamat … saya yg baru belajar agama yg hanif ini krn ingin selamat (
sblmnya spt anda kali) setelah tak baca komentar-2 anda mengingatkan saya
diwaktu jauh dari iman
Saya sangat percaya dgn
hadist Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga
malam terakhir. Mengenai apa yg anda pikirkan tentang perbedaan waktu antara
satu tempat dengan tempat lain itu hal mudah bagi Allah dan mengenai
Bagaimananya Allah caranya, itu urusan Allah masalahnya hal ghaib, akal kita
tdk sampai dan cukup meng imani saja.
Anda tolong jelaskan dgn akal
: Surat Al An’aam ayat 59 dibawah ini shg saya jelas Bagaimananya Allah dan
bisa saya terima dgn akal saya juga. Kalau sekarang sebelum anda jelaskan saya
cukup mengimani saja kerana ini masalah ghaib, Allah maha mengetahui dan maha
sempurna.
6. Al An’aam
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا
إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ
إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ
إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
59. Dan pada sisi Allah-lah
kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri,
dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun
pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir
biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”
hamba yg dho'if - May 6th,
2010 at 11:43 am
@Kassim yg semoga Allah
Ta’ala menunjuki anda,
ya akhi, apa antum percaya
pada kekuasaan Allah Azza wa Jalla Yang Maha Segalanya?
Jawab dulu pertanyaan ini ya
akh, baru kita beralih ke Qur’an dan hadits…
Bersambung.......ke bagian 3/Comments