Sunday, August 30, 2015

Turunya Allah ke Langit Dunia ( Bagian 2/ Comments )

65 Comments Already :

Imam Nawawi - April 15th, 2010 at 10:12 am
nah di atas ini merupakan aqidah sesat wahhaby yg menolak takwil pd hadits mutasyabihat

Imam Nawawi - April 15th, 2010 at 10:15 am
Membongkar Syubhat Wahhaby terhadap Nushus Takwil

Generasi terbaik umat ini adalah generasi pertama yaitu generasi para sahabat dan tabi’in mereka generasi yang adil generasi yang selamat semua umat muslimin yang berada dalam kesatuan ahlu sunnah wal-jama’ah tentu mereka berada dalam pemahaman ini . yang di timur maupun di barat di utara maupun di selatan . intinya dari ujung ke ujung dari tepi ke tepi sampai dari kutup ke kutup pun pasti mereka berada dalam manhaj dan pemahaman para sahabat dan tabi’in. hal ini sudah sangat jelas dan terang di sabdakan oleh baginda nabi yang tak dapat di ragukan dari depan maupun dari belakang , rasul al-amin bersabda:
(( خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم )) اخرجه البخاري

(sebaik-baiknya generasi adalah generasi di masaku setelah itu adalah generasi sesudahku ( genersi sahabat ) lalu generasi susudahnya ( tabi’in ) H.R. bukhori

Namun apa boleh di kata , belakangan ini muncul kelompok yang melebelkan dirinya sebagai salafy dan derivat-derivatnya kelompok yang mengaku berada dalam pemahaman sahabat dan tabi’in ini menganggap ahlu syubhat dan ahlu bida’h yang tersesat terhadap orang-orang yang berada di luar kelompok mereka

Katakan kepada mereka di luar sana … juta’an dan bahkan milyaran umat muslimin berada dalam pemahaman para sahabat dan tabi’in tapi mereka tidak melebelkan diri sebagai salafy dan tidak pula masuk pada kelompok salafy apakah mereka di anggap sebagai ahlu bid’ah dan tersesat … ??? ma’adzallah khasya wa kalla

Di syiria mesir sudan maroko dan yaman bahkan di Negara-negara besar islam manapun tidak mengenal istilah islam salafy katakan lagi pada mereka penama’an islam salafy tidak pernah ada dan tidak pernah di kenal di masa para sahabat dan tabi’in , kalau boleh di kata penama’an islam salafy adalah perbuatan bid’ah , salafy bukan manhaj akan tetapi nisbat yang manhaj itu adalah salafussoleh bukan salafy yang kita kenal di komunitas masyarakat sekarang .

Apa jadinya kalau kelompok yang melebelkan dirinya sebagai salafy dan mengaku mengikuti ulama salaf ini pada kenyata’anya tidak sesuai dan jauh berbeda dari manhaj salafussoleh yang di gembar gemborkan terutama masalah penetapan ta’wil dalam nushush mutasyabihat dalam al-qur’an

Dalam tulisan ini Saya membongkar doktrin mereka yang mengatakan AHLU TA’WIL adalah ahlu syubhat dan ahlu bid’ah , islam itu bukan berdasarkan Qola ustadz atau Qola syaikh… akan tetapi berdasarkan Qolallahu wa Qolar-rasul
Ajukan dalil pada mereka bahwa Alqur’an menetapkan takwil majaz dan isti’arah . Alquran adalah wahyu yang penuh dengan sastera , tidak lepas dari ilmu balaghah sebagai ilmu retorika kesusastera’an bahasa arab
ALLAH berfirman :

إنا نسيناكم ) السجدة

( sesungguhnya kami ( ALLAH ) telah melupakan kamu )

نسوا الله فنسيهم الله )) التوبة :

( mereka telah lupa kepada ALLAH maka ALLAH melupakan mereka )

Perhatikan dua kalimat “LUPA” yang di nisbatkan kepada ALLAH SWT dalam ayat di atas apakah mereka menetapkan sifat LUPA terhadap ALLAH ?? lalu mereka mengatakan lupanya ALLAH tidak sama dengan sifat lupa kita .. ??? dhzohir teks ayat di atas jika mereka menafikan TAKWIL yang sesuai dan yang pantas terhadap ALLAH serta yang sesuai dengan apa yang di maksud oleh Al-qur’an maka mereka telah menetapkan sifat “LUPA” terhadap ALLAH swt (subhanaka wata’ala amma tasyifuun hadza amrun bathil ) ” maha suci engkau dan maha tinggi dari apa yang mereka sifatkan ini adalah perkara bathil ” sungguh penetapan sifat lupa terhadap ALLAH adalah perkara yang mungkar dan bathil tidak dapat di terima olah akal sehat maupun nash dan penuh dengan perkara syubhat . ALLAH SUBHANAHU WATA’ALA dengan jelas berfirman :

( وما كان ربك نسيا )

( dan tidaklah rabbmu lupa ) maryam :64

Dalam sebuah hadist qudtsi yang di keluar oleh imam bukhori dan muslim rodiallahu anhu Rosulullah bersabda :

عن سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى قال : ياابن اّدم مرضت فلم تعدني, قال يا رب كيف اّعودك وأنت رب العالمين , قال : أما علمت أن عبدي فلانا مرض فلم تعده , أما علمت أنك لو عدته لوجدتني عنده …. إلى اّخر الحديث

( dari sayyidina rosulillah saw sesungguhnya ALLAH berfirman : wahai anak cucu adam saya sakit kenapa engkau tidak mengunjungiku ? ia berkata : wahai rabb bagaimana hamba mengunjungimu sementara engkau adalah rabb semesta alam ALLAH berfirman : apakah engkau tidak tau bahwa hambaku fulan sedang sakit ? akan tetapi engkau tidak mengunjunginya tahukah engkau apabila engkau mengunjungi nya niscaya engkau menjumpaiku di sisinya )
( HR. bukhori fil adab 517 . HR . muslim 2596 . HR. ibnu hibban 269 )

Jelas dan terang dalam teks hadist qudsi di atas menyatakan ALLAH sakit , lalu apakah orang-orang wahabi/salafy menetapkan sifat SAKIT terhadap ALLAH … ? tanpa adanya takwil …? Jika benar demikian maka aqidah anda adalah aqidah bathil penuh dengan kerancuan yang tidak jelas …! lalu atas dasar inikah mereka membangun sebuah aqidah ?? lantas dengan se enaknya memvonis ahlu syubhat dan ahlu sesat terhadap orang-orang yang tidak sependapat dengan keyakinan mereka..?? dan memvonis ahlu bid’ah dan sesat terhadap ulama-ulama dan para sahabat yang menakwilkanya …. ? sunguh dunia sudah terbalik aqidah ahlul haq mereka anggap sebagai aqidah ahlu syubhat dan sesat , sedang aqidah mereka ..? yang menetapkan sifat lupa dan sakit terhadap ALLAH mereka anggap sebagai aqidah yang benar …!!! NA’UDZUBILLAH TSUMMA NA’UDZUBILLAH ..

Jelaskan kepada mereka…!! ” terlalu mengandalkan dalil tekstual tanpa di fahami secara akal sehat adalah ciri khas dari faham ahlu bid’ah khasyawiah mujassimah , dan terlalu mengandalkan akal dengan metode hermeneutika tanpa di dasari dalil adalah ciri khas dari faham mu’tazilah yang jauh dari kebenaran dan yang memadukan antara keduanya yaitu dalil dengan di pahami secara akal sehat adalah cara yang di anjurkan oleh rasul alaihis-sholatu wassalam, dan jalan yang benar ” dan jalan inilah yang di tempuh oleh para ulama’ yang beraqidah ahlus sunnah wal jama’ah mereka di antara nya adalah imam abu hasan al-asy’ari , imam al-maturidi dan murid-muridnya , imam al-qhodhi abi bakar al-baqilani , imam abi ali addaqqaq , imam abi tha’ib bin abi sahal assa’luki , imam al-hakim annaisaburi , imam abu bakar bin faurak , imam al-hafidz abi nu’iem al-ashbihani , imam nawawi , imam al-hafidz ibnu hajar al-astqolani , syeikhul islam imam zakaria al-anshory imam ibnu hajar al-haitami dan masih banyak ratusan ulama-ulama ahlu sunnah tak terbilang yang berada dalam manhaj ini.. dan pada ujungnya adalah salafussoleh mufassir Al-qur’an sahabat ibnu abbas rodiyallahu anhu . apakah pakar ulama’ nashirussnnah di atas yang kalian anggap sebagai ahlul syubhat dan sesat…. ??
Sungguh tak ada kalimat yang pantas kami ucapkan kepada mereka selain sebuah kalimat :

قوم أصابته الفتنة فعموا وصموا

( kaum yang tertimpa fitnah lalu mereka buta dan tuli )
Dan kami akhiri dengan sebuah firman ALLAH :

إنما يفتري الكذب الذين لا يؤمنون بأيت الله وأولئك هم الكاذبون

( sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan , hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat allah dan mereka itulah orang-orang pendusta . ( an-nahl : 105 )

ibnu abi irfan - April 15th, 2010 at 7:26 pm
Ana tidak akan menanggapi komen di atas panjang lebar karena hal itu justru membahayakan bagi seorang tholabul ‘ilmi seperti ana. Apa yang disifatkan oleh Alloh kepada Diri-Nya dan disifatkan oleh Rosul-Nya itulah sifat yang haq. Sedangkan apa yang disifatkan oleh Ahlul Ta’wil wa Tahrif (Jahmiy dan konco-konconya) adalah sifat yang diada-adakan.

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللّهِ قِيلاً
Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Alloh? (QS. 4:122)

semoga ikhwah yang lain juga bisa menjaga diri dari fitnah ini.

Hameed al-Farisi - April 16th, 2010 at 5:13 am
@ Imam Nawawi,
Saran ana hendaknya antum mengaji dulu,
tetapi carilah tempat tholabul ‘ilmi yang benar, seperti dikalangan kaum yang bermanhaj salaf, sehingga antum akan mengerti apa itu salaf yang sesungguhnya, apa itu wahabi, apa itu ahli bid’ah, apa itu ahli sirik, apa itu ahli ahwa’, jangan sampai antum sudah capek2 mengomentari tetapi ternyata salah, berdosa dan malu-maluin jadinya.
Diharapkan bila antum sudah ikut mengaji bersama orang yang bermanhaj salaf (non hizbi), anda akan sadar dan terbebas dari pemikiran2 batil.
Sayang initial antum menggunakan nama Ulama Besar Imam Nawawi, tetapi pengetahuan antum jauh seperti antara langit dan bumi dibanding beliau.

Sastro - April 16th, 2010 at 10:43 am
saya termasuk orang yang belajar aqidah dan manhaj salaf dan tidak saya temui dalam pelajaran tersebut sebagaimana tuduhan yang disampaikan oleh saudara kita yang menamai dirinya Imam Nawawi.

Mengenai dalil-dalil yang disebutkan dan dijelaskan lagi dituduhkan oleh saudara kita ini, berkaitan dengan sifat-sifat Alloh bukanlah demikian aqidah salaf.

Di sini saya gak akan menjelaskan atau membantah apa yang disampaikan saudara kita ini.

Saya cuma mengingatkan untuk kita semua lebih khusus untuk saudara kita ini agar lebih banyak belajar tentang aqidah dan manhaj salaf (sahabat).

abu Abdillah - April 16th, 2010 at 2:40 pm
Sekarang kalau ujungnya sahabat yang mulia Ibnu Abas Rodhiyallohu ‘anhu..tolong terangkan tafsir beliau tentang hadits Nuzul ini?? dan ayat2 Al Qur’an sepertti istawa Alloh diatas ‘arsy-NYa..kalau beliau mengimani dan tidk mentakwil dgn takwil yg batil berarti antum yg mengaku sebagai imam nawawi yg harus ruju’…karena ahlussunnah tdk mutlak menolak takwil. namun yg ditolak adalah takwil yg batil..

abu hamzah al tegally - April 16th, 2010 at 6:40 pm
@Nawawi
antum menisbatkan nama kpd Imam An Nawawi yg bermazab Syafiiyah, silahkan baca nih keterangan dari Ulama Syafiiyah ttg penisbatan kpd kata2 Salaf/Salafy, apakah menyelisihi kebenaran atau tidak, jgn asal comment

Ahmad - April 17th, 2010 at 2:13 am
@INawawi : kerancuan penafsiran…tidak bisa bikin perumpamaan yang benar….tendensius dan emosional…

Yusuf Abu Ubaidah - April 18th, 2010 at 9:17 pm
Akhi Imam Nawawi, semoga Allah menunjuki anda jalan yang lurus. Amiin. Sebelumnya saya ucapankan terima kasih atas komentar anda, tapi kiranya kami perlu untuk memberikan tanggapan agar tidak menjadi syubhat bagi pembaca:
1. Madzhab salaf dalam masalah asma’ wa sifat adalah mengimani secara dhohir tanpa takyif (membagaimanakan), ta’thil (mengingkari) dan tamtsil (menyamakan dengan makhluk). Inilah metode ulama salaf shalih seperti Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dll. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat Al-A’rof: 54)
2. Syaikhul Islam berkata: “Kaidah asal suatu ungkapan adalah secara hakekatnya. Hal ini telah disepakati oleh seluruh manusia dari berbagai bahasa, karena tujuan bahasa tidak sempurna kecuali dengan hal itu”. (Tanbih Rojulil Aqil 2/487).
Inilah yang hendaknya kita terapkan juga dalam ayat-ayat dan hadits, kita tidak boleh berpaling dari makna aslinya kecuali apabila ada dalil atau indikasi kuat.
3. Adapun beberapa dalil yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang untuk melegalkan penyelewengan makna dari aslinya, maka ini telah dijawab dan dijelaskan secara tuntas oleh para ulama kita. (Lihat Ibthol Ta’wilat oleh Abu Ya’la, Al-Qowaid Al-Mutsla oleh Ibnu Utsaimin, Qoidah Muhimmah Fimaa Dhohiruhu Ta’wil Min Shifat Robb oleh Amr Abdul Mun’im).
4. Kita cukupkan di sini menjawab dua syubhat yang dibawakan oleh akhi Imam Nawawi di atas:
Pertama: Firman Allah “Mereka melupakan Allah maka Allah melupakan mereka”. (QS. At-Taubah: 67) dan ayat-ayat sejenisnya (Al-A’rof: 51, Thoha: 126, Al-Jatsiyah: 34, As-Sajadah: 14). Perlu diketahui bahwa ayat-ayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allah tidak lupa seperti QS. Thoha: 52, Maryam: 64, karena kita harus yakin bahwa tidak mungkin Al-Qur’an itu saling bertentangan antara satu dengan lainnya. (Lihat QS. An-Nisa’: 82).
Lantas, bagaimana penjelasannya? Para ulama mengatakan bahwa kata nisyan (lupa) ada dua makna:
1. Nisyan bermakna lupa terhadap sesuatu yang pernah diketahui. Sifat ini tidak mungkin bagi Allah, karena itu adalah negatif.
2. Nisyan bermakna meninggalkan dengan sengaja dan atas dasar ilmu. Makna ini ditetapkan bagi Allah.
Jadi makna ayat-ayat yang menetapkan sifat nisyan bagi Allah maksudnya adalah makna kedua, sedangkan ayat-ayat yang meniadakan sifat nisyan bagi Allah adalah makna pertama. (Lihat Daf’u Iiham Idhtirob ‘an Ayatil Kitab hlm. 146 oleh asy-Syinqithi, Fatawa Ibnu Utsaimin fil Aqidah 1/293-295).
Kedua: Adapun hadits qudsi bahwa Allah berfirman: “Wahai anak Adam, saya sakit kenapa kalian tidak menjengukku. Dia berkata: Wahai Robbku, bagaimana aku menjengukMu sedangkan Engkau adalah Robb semesta Alam. Allah berfirman: Tahukah kamu bahwa hambaKu fulan sakit tetapi kamu tidak menjenguknya?!…
Apakah hadits ini hujjah bagi para penyeleweng makna?! Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Salaf telah menerima hadits ini dan tidak memalingkannya dari dhohirnya , tetapi mereka menafsirkan seperti penafsiran Dzat yang mengucapkan (Allah) sendiri. Maka firmanNya “Saya sakit” sudah ditafsirkan dengan firmanNya “Tahukan kamu bahwa hambaku fulan sakit. Inilah penafsiran Allah yang lebih tahu tentang maksud ucapanNya. Penafsiran seperti bukanlah penyelewengan makna karena kita menafssirkan dengan penafsiran Allah. Allah menyandarkan kepada diriNya sebagai anjuran dan dorongan sebagaiman firmanNya: “Siapa yang memberikan pinjaman kepada Allah” (Al-Baqoroh: 245).
Justru hadits ini merupakan dalil telak bagi orang yang menyelewengkan makna tanpa dalil dari Al-Qur’an dan hadits, sebab seandainya hal itu tidak seperti dhohirnya tentu akan dijelaskan oleh Allah dan Rasulnya. (Lihat Al-Qowaid Al-Mutsla fi Sifatillah wa Asmaihi Husna hlm. 102-103).
Dengan demikian, maka hancurlah argumen para penyeleweng ayat-ayat dan hadits dari makna aslinya tanpa dalil dan nampaklah kebenaran madzhab salaf dalam masalah ini. Semoga Allah selalu meneguhkan kita semua di atasnya.

Tommi - April 19th, 2010 at 1:38 pm
@nawawi, maaf…saya tidak memakai kata ‘imam’ karena penisbatan nama anda pada nama besar beliau sama sekali jauuuuhhh panggang dari api.

Malulah pada diri anda, dari mulai kalimat awal komen anda saja sudah terlihat anda salah besar. Apalagi untuk membaca komen anda yg panjang lebar namun ternyata membawa syubhat yg berbahaya. Oleh karena syubhat dan tong kosong anda telah ramai2 dibantah oleh saudara2 kita diatas termasuk oleh ustadz yusuf as sidawi, maka saya hanya menyampaikan pesan pada anda (ini juga klo anda masih mengikuti web ini dan tidak kabur) : tolong sampaikan kepada org yg anda taqlidi artikelnya itu (atau itu anda sendiri yg membuat artikelnya?), klo menafsirkan ayat atau hadits mutasyabihat jgn sembarangan mas, jgn seenak udelnya. Coba lihat tafsiran anda pada hadits qudsi yg anda bawakan itu, klo sekonyong2 anda mengatakan wahabi/salafi menafsirkan dengan dhohir hadits bahwa Allah itu sakit, andalah yg batil (baca : seenaknya ngomong), tolong bawakan kesini sumbernya bahwa wahabi/salafi menafsirkan yg spt itu. Jgn asal ngomong mas, ingat, ucapan anda itu sudah tergolong fitnah bagi org lain, saudara anda sendiri. Takutlah pada Allah Ta’ala akan fitnah yg anda buat.

Terakhir mas, makanya jgn terus2an ngefans dengan habaib yg selalu berpikiran buruk dengan wahabi/salafi. Coba anda ngaji kembali dengan ustadz2 yg berpikiran bersih dan bermanhaj salaf. Atau minimal bersihkan dulu diri anda dari sholawat nariyah, barzanji dan mauludan. Kembalilah pada Qur’an dan Sunnah, pelajari dalil2nya dari setiap ibadah yg anda lakukan. Semoga Allah Ta’ala menunjuki kebenaran pada anda dan kita semua.

Sayang sekali kalau anda kabur dari web ini dan hanya berani lempar komen sembunyi tangan (dengan bersembunyi dibalik nama besar Imam Nawawi). Saya sangat mengharapkan anda mempertanggungjawabkan syubhat anda diatas.

abu shobiyyah - April 19th, 2010 at 3:53 pm
@nawawi: semoga Allah memberi antum petunjuk kepada yang haq dan menjauhkan anda dari syubhat dan hawa nafsu antum. sepetinya itu artikel yang dicopy paste disini dan antum ga paham betul ttg apa yang antum copy paste itu

Ibnu syafii - April 22nd, 2010 at 4:54 pm
nawawi pasti dah kabur.

Kawanmu - April 24th, 2010 at 1:27 am
Awas, Terjerumus Dalam Akidah Tasybih!

Masih banyak orang Islam yang belum mengerti apa itu tasybih bagi Allah, yang mana ini dilarang dalam Islam. berikut ini sekedar gambarannya, maka perhatikanlah bagaimana tasybih ini tidak pantas disandangkan bagi Allah yang memiliki sifat Agung dan Maha Suci. Ketika anda mendengar kata “turun”, bisakah anda tidak membayangkan proses turun itu sendiri? Turun dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat dari sifat-sifat atau perilaku benda-benda dan segala sesuatu yang baharu.

Turun dalam pengertian ini membutuhkan kepada tiga perkara; Benda yang pindah itu sendiri, Tempat asal pindahnya benda itu, dan Tempat tujuan bagi benda itu. Makna semacam ini jelas mustahil bagi Allah. Jika Hadîts an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti pekerjaan turun tersebut terus-menerus terjadi pada Allah setiap saat dengan pergerakan dan perpindahan yang banyak sekali, supaya bertepatan dengan sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian sepertiga akhir malam terus terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi. Dengan demikian hal itu menuntut turunnya Allah setiap siang dan malam dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal itu juga berarti bahwa Allah pada saat yang sama turun naik antara langit dunia dan arsy. Itulah sekedar gambaran keyakinan tasybih, menyerupakan atau menyamakan perilaku Allah Swt dengan makhluk-Nya. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diungkapkan oleh seorang yang berakal sehat. Mari kita simak uraian Abou Fateh agar lebih jelas memahami tentang akidah tasybih yang tidak layak bagi Allah Swt….
Pemahaman Ahlussunnah Tentang Hadîts an-Nuzûl; Mewaspadai Akidah Tasybih Kaum Wahhabiyyah

Oleh: Abou Fateh

Ada sebuah hadits yang dikenal dengan nama Hadîts an-Nuzûl. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab Shahih masing-masing. Redaksi hadits riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut: (Shahîh al-Bukhâri; Kitâb al-Shalât, Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl. Lihat pula Shahîh Muslim; Kitâb Shalât al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb Fî al-Du’â Wa al-Dzikr Fî Âkhir al-Layl Wa al-Ijâbah Fîh.)

“Telah mengkabarkan kepada kami Abdullah ibn Maslamah, dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan Abu Abdillah al-Agarr, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
يَنْـزِلُ رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيلَةٍ إلَى السّمَاءِ الدّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل: مَنْ يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب لهُ وَمَن يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني فأغْفِر لهُ (رواه البخاري)

Hadîts an-Nuzûl ini tidak boleh dipahami dalam makna zhahirnya, karena makna zhahirnya adalah turun dari arah atas ke arah bawah, artinya bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, dan itu mustahil pada hak Allah. Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:

“Hadist ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah. Dalam memahaminya terdapat dua madzhab mashur di kalangan ulama;
Pertama: Madzhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ulama ahli Kalam (teolog), yaitu dengan mengimaninya bahwa hal itu adalah suatu yang hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dan bahwa makna zahirnya yang berlaku dalam makna makhluk adalah makna yang bukan dimaksud. Madzhab pertama ini tidak mengambil makna tertentu dalam memahaminya, artinya mereka tidak mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan bahma Allah Maha Suci dari sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu tempat ke tempat lain, Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh sifat-sifat makhluk.
Kedua: Madzhab mayoritas ahli Kalam (kaum teolog) dan beberapa golongan dari para ulama Salaf, di antaranya sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan menentukan makna yang sesaui dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap Hadîts an-Nuzûl di atas.

Pertama; Takwil yang dinyatakan oleh Malik dan lainnya bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…” (Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang melakukan perbuatan tersebut.

Kedua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor), yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, j. 6, h. 36).

Dengan demikian pendapat kaum Musyabbihah jelas batil ketika mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di antara dalil lainnya yang dapat membatalkan pendapat mereka ini adalah bahwa sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam Hadîts an-Nuzûl ini telah memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat kasrah pada huruf zây; menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi; yaitu kata kerja yang membutuhkan kepada objek (Maf’ûl Bih). Dengan demikian menjadi bertambah jelas bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan perintah Allah. Makna ini juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam riwayat Hadîts an-Nuzûl lainnya dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy bahwa Allah telah memerintah Malaikat untuk menyeru di langit pertama pada sepertiga akhir malam tersebut. Dengan demikian kaum Masyabbihah sama sekali tidak dapat menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi mereka.

Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran: 17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:

“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى

”Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan diberi.

Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).

Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:

“Kaum yang menetapkan adanya arah bagi Allah dengan menjadikan Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi mereka; yaitu menetapkan arah atas, pendapat mereka ini ditentang oleh para ulama, karena berpendapat semacam itu sama saja dengan mengatakan Allah bertempat, padahal Allah Maha suci dari pada itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl ini terdapat beberapa pendapat ulama” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).

Kemudian al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan:

“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا يَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه

”Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan dikabulkan”.

Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah:
يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ

”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa! Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).

Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab Idlâh al-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîl menuliskan sebagai berikut:

“Ketahuilah, bahwa tidak boleh memaknai an-nuzûl dalam hadits ini dalam pengertian pindah dari satu tempat ke tempat lain, karena beberapa alasan berikut;

Pertama: Turun dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu sifat dari sifat-sifat benda-benda dan segala sesuatu yang baharu. Turun dalam pengertian ini membutuhkan kepada tiga perkara; Benda yang pindah itu sendiri, Tempat asal pindahnya benda itu, dan Tempat tujuan bagi benda itu. Makna semacam ini jelas mustahil bagi Allah.

Ke Dua: Jika Hadîts an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun dengan Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti pekerjaan turun tersebut terus-menerus terjadi pada Allah setiap saat dengan pergerakan dan perpindahan yang banyak sekali, supaya bertepatan dengan sepertiga akhir malam. Hal ini karena kejadian sepertiga akhir malam terus terjadi dan bergantian di setiap belahan bumi. Dengan demikian hal itu menuntut turunnya Allah setiap siang dan malam dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal itu juga berarti bahwa Allah pada saat yang sama turun naik antara langit dunia dan arsy. Tentunya pendapat semacam ini tidak akan diungkapkan oleh seorang yang berakal sehat.

Ke Tiga: Pendapat yang menyebutkan bahwa Allah bertempat di atas arsy dan memenuhinya, bagaimana mungkin cukup bagi-Nya untuk bertempat di langit dunia, padahal luasnya langit dibanding arsy tidak ubahnya seperti sebesar kerikil dibanding lapangan yang luas. Dalam hal ini pendapat sesat tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan; Pertama: Bahwa langit dunia setiap saat berubah menjadi besar dan luas hingga mencukupi Allah. Kedua: Atau bahwa Dzat Allah setiap saat menjadi kecil agar tertampung oleh langit dunia tersebut. Tentunya, kita menafikan dua keadaan yang mustahil tersebut dari Allah.

Dengan demikian setiap ayat dan hadits mutasyâbihât yang zahirnya seakan menunjukkan adanya keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan keagungan Allah. Atau jika tidak memberlakukan takwil maka harus diyakini kesucian Allah dari segala sifat-sifat makhluk-Nya” (Idlâh al-Dalîl, h. 164).

KESIMPULAN: Allah bukan benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Segala apa yang terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia tidak seperti demikian itu. Allah tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Allah yang menciptakan arsy dan langit maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya. Wallahu A’lam….

Yusuf Abu Ubaidah - April 24th, 2010 at 6:50 pm
Untuk Kawanmu, semoga Allah memberinya hidayah.
Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas komentar anda, tetapi kami memandang komentar anda memuat banyak syubhat yang perlu kami tanggapi sekalipun sebenarnya syubhat-syubhat kalau dicermati ini hanya mengulang saja dan telah kami bantah dalam artikel di atas, tapi gak masalah kita bantah lagi dengan tambahan faedah insya Allah:
1. Kami setuju dengan anda untuk mewaspadai dari tasybih, namun apakah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah dan rasulNya adalah tasybih? Inilah duduk masalahnya. Ishaq bin Rahawaih berkata: “Tasybih itu kalau seorang mengatakan tangan Allah seperti tanganku. Adapun orang yang menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan tidak membagaimanakan dan menyerupakan maka itu bukanlah tasybih”. Hal serupa juga dikatakn oleh Nu’aim bin Hammad. (Lihat Siyar A’lam Nubala’ 10/610 oleh adz-Dzahabi).
Tetapi ahli bid’ah menyebut Ahli Sunnah yang menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana ditetapkan Allah dan rasulNya dengan musyabbihah. Sungguh ini gelar-gelar dari Ahli bid’ah. (Lihat Syarh Ushul I’tiqod 1/204 oleh al-Lalikai, Dzammul Kalam 4/390 oleh al-Harawi, Aqidah Salaf Ashabil Hadits hlm. 304 oleh ash-Shobuni).
2. Para ulama salaf telah menetapkan sifat turun bagi Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Imam Syafi’i berkata:
“Pendapat dalam sunnah (aqidah) yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawanku ahli hadits yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Allah di atas Arsy-Nya di langitNya dekat dengan para hambaNya sekehandak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendakNya”. (Lihat Mukhtashor Al-Uluw hlm. 176 oleh adz-Dzahabi, Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hlm. 122 oleh Ibnul Qoyyim, Itsbat Shifatil Uluw hlm. 124 oleh Ibnu Qudamah).
Bahkan Imam Abul Hasan al-Asy’ari menukil ijma’ ulama untuk menetapkan sifat turun bagi Allah. (Risalah Ahli Tsaghor hlm. 229)
Wahai kawanku, apakah engkau kira bahwa Imam Syafi’i, Imam Malik, dan semua ahli hadits adalah golongan Musyabbihah karena mengimani sifat turun bagi Allah?! Jawablah!!
Dan dalam nukilan Imam Syafi’i di atas dapat kita ketahui kesalahan nukilan Imam Nawawi -semoga Allah merahmatinya- bahwa Imam Malik mentakwil makna turun, karena riwayat ini tidaklah shohih dari Imam Malik, dalam sanadnya terdapat Habib bin Abi Habib seorang pendusta. (Lihat Masail Aqidah Al-Lati Qorroroha Aimmah Malikiyyah hlm. 225 oleh Syaikh Muhammad Al-Hamadi, Qoidah Muhimmah hlm. 79 oleh Amr Abdul Mun’im). Riwayat ini juga menyelishi aqidah Imam Malik dalam masalah asma wa sifat. (Lihat buku Al-Atsar Al-Masyhur Anil Imam Malik oleh Dr. Abdur Rozzaq al-Badr).
3. Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak mencari-cari ketregelinciran ulama dan tidak mengikuti ketergelinciran mereka, termasuk dalam hal ini adalah ketergelinciran Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Imam Nawawi -semoga Allah merahmati keduanya-. Oleh karenanya, mereka membantah takwil hadits ini dalam kitab-kitab mereka.
4. Riwayat-riwayat yang disebutkan di atas bahwa yang turun bukan Allah tetapi Allah menurunkan, atau yang turun adalah malaikat, adalah riwayat yang munkar dan menyelisihi riwayat-riwayat yang shohih dari Nabi. (Lihat penjelasannya secara panjang dalam Silsilah Adh-Dhoifah no. 3897 dan Syarh Hadits Nuzul hlm. 37-42).
5. Syubhat akal-akal bahwa turun mengharuskan begini dan begitu, seperti benda, pindah, setiap waktu turun dll, kami katakan: Ya akhi, kenapa anda gambarkan Allah dengan gambaran Makhluk?!! Tidakkah cukup bagi anda untuk mengimaninya dan menyerahkan bagaimananya kepada Allah?. Al-Khottobi berkata: “Orang yg mengingkari ini hanyalah orang yang menyamakan perkara dengan turun yang dia lihat yaitu dari atas ke bawah dan pindah dari atas ke bawah, ini adalah sifat benda. Adapun turun Dzat yang menguasai benda maka tidak bisa disamakan dan dikahayalkan”. (Al-Asma wa Shifat hlm. 453 oleh al-Khotthobi).
Imam Ibnu Rojab juga membantah penentangan seperti ini dengan ucapannya: “Sungguh, penentangan seperti ini sangat jelek sekali. Seandainya Rasul dan para khalifah mendengar orang yang menentang begini, mereka tidak mendebatnya tetapi langsung menghukumnya dan mengkatagorikannya dalam rombongan para penentang dan pendusta”. (Fadhlu Ilmi Salaf Ala Kholaf hlm. 6).
Cukup sekian dulu, kami akan sholat isya’, bila memang belum cukup, kami siap untuk menanggapinya lagi insya Allah.

Guntur - April 27th, 2010 at 10:04 am
Assalaamu`alaikum Ustadz,

Ana hanya penasaran dengan hadits yang antum cantumkan dalam artikel di atas:

عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ : قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ : أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ : جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ
Dari Abu Umamah berkata: Ditanyakan kepada Rasulullah: “Doa apakah yang paling mustajab? Beliau menjawab: “Akhir malam dan penghujung shalat lima waktu”. [HR. Tirmidzi: 3499 dan dihasankan Imam Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 3/442]

Dari link saudara kami, alAkh Abul Jauzaa berikut:


Hadits itu masuk kategori dho`if.

Mohon tanggapan antum.

Jazakallaahu khoiron…

W Kassim - April 30th, 2010 at 4:45 pm
Hadis yang berkaitan:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى
لُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [1

Katanya Tuhan turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir berkata kepada manusia. Tentunya Tuhan berkata cukup kuat untuk bisa didengar oleh manusia. Tapi kenapa kok tidak pernah ada orang yang mendengarnya? Saya juga sering bangun pada sepertiga malam yang akhir itu tapi juga tidak pernah perkataan Tuhan.

Hadis itu tidak menjelaskan berapa lama Tuhan berada dilangit dunia itu ya. Selepas berkata, tentunya Tuhan memberi peluang beberapa ketika untuk orang berdo’a, meminta dan memohon ampun kepadanya. Mungkin Tuhan menunggu kira-kira 15 menit. Selepas itu Tuhan akan pulang ke langit ketujuh kan? Tapi itu tentunya tidak mungkin. Bumi ini bulat, oleh itu tempoh sepertiga malam terakhir akan berterusan ada dibumi, pindah dari satu bahagian bumi ke satu bahagian bumi tidak berhenti-henti hingga hari kiamat.

Kalau begitu tidak benar yang dikatakan hadis bahawa Tuhan TURUN setiap malam kerana malam sentiasa ada dibahagian bumi yang tidak berhadapan dengan matahari. Wajarnya Tuhan tidak pernah turun dan naik tetapi Dia terpaksa menetap terus dilangit bumi itu.

Amat jelas hadis ini palsu walaupun banyak perawinya yang berkonspirasi membikin pembohongan.

Kita harus hati-hati tentang hadis kerana kebanyakannya adalah palsu.

Sekian.

W Kassim - May 1st, 2010 at 7:43 am
Saudara moderator,

Anda berdosa besar kerana menyembunyikan yang benar dengan tidak menerima komen saya yang dikirim dua kali untuk tatapan umum.

Anda lebih suka orang terus sesat percaya hadis yang anda sampaikan. Adakah anda tidak takut hari pembalasan nanti?

cahaya - May 1st, 2010 at 9:29 pm
assalamu’alaikum, ustadz untk pemula seperti ana ini buku-buku apa yg bisa antm sarankan untk di baca? khususny permasalahan tauhid asma’ wa shifat.jazakumulloh khoiron

Admin - May 2nd, 2010 at 5:18 am
@ W Kassim

Kami meremove komentar Anda karena Anda menolak hadits-hadits Rasulullah dengan alasan logika, bukan dengan studi kritik sanad. Dalam pandangan kami, Hadits adalah sumber hukum kedua yang sah setelah Al-Qur’an. Maka, kami tidak akan menampilkan pihak yang menolak hadits-hadits Rasulullah dengan alasan para perawi berkonspirasi untuk membuat hadits palsu (tanpa melalui studi kritis yang standar dalam ilmu ushul hadits).
Jadi, maaf, kami hanya menampilkan komentar-komentar kaum muslimin yang masih menganggap bahwa hadits shahih adalah hujjah di samping Al-Qur’an.

—admin—

Ahmad - May 2nd, 2010 at 8:39 am
As2lmlkm,
nasihat untuk SAYA PRIBADI dan kaum muslimin.
1. Jika slama ini kita salah, maka perbaikilah dan terimalah kbenaran skalipun itu pahit.
2. Jangan ada perasaan iri, hasad, dan dengki dlm hati kita. Ingatlah bahwa sifat2 buruk ini hanya akan membuat kita terhalang dari surga.
3. Ilmu sblm amal.
4. Brsabarlah dlm brdakwah.

Ibnu Abi Irfan - May 2nd, 2010 at 4:13 pm
@ Al Akh Admin

syukron antum menghindarkan kami dari komen yang bisa saja akan menjadi fitnah bagi kami. sebaiknya begitu saja, komen yang tidak ilmiah atau ada syubhat yang berbahaya tidak usah ditampilkan.

kalaupun ingin membantah syubhat-syubhat tersebut, maka itu cukup antara mereka dengan ustadz Abu Ubaidah saja, tidak usah dipublikasikan.

Yusuf Abu Ubaidah - May 3rd, 2010 at 9:07 pm
Untuk akhi w Kassim, semoga Allah memberinya hidayah kebenaran.

1. Saudaraku, sebagai seorang muslim, landasan kita adalah Al-Qur’an dan hadits yang shohih. Barangsiapa yang mengingkari salah satunya sebagai landasan agama kita, maka perlu dicurigai Islamnya. Terus terang, apakah anda percaya bahwa hadits Nabi adalah landasan agama?!

2. Bila suatu hadits telah shohih, apalagi mutawatir, maka wajib bagi seorang muslim untuk menerimanya dan tunduk kepadanya, bukan malah mendustakannya hanya sekadar dengan akal dan hawa nafsu belaka?! Sekarang, katakan pada kami apakah ucapan anda bahwa “hadits ini palsu sekalipun banyak para perawinya yang berkonsprasi untuk kebohongan”.

Jujur, baru kali ini saya mendengar ada orang yang mengatakan bahwa hadits ini palsu. Maka datangkanlah kepada kami bukti kongkrit ucapan anda, siapa ulama yang memalsukannya sebelum anda, karena jika tidak berarti anda telah berdusta dan mencela para ulama ahli hadits bahwa mereka berkonsprasi atas kebohongan?!
Aduhai, tahukah anda bahwa Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Malik, bahkan seluruh ulama menshohihkan hadits ini?
Apakah mereka semua anda anggap berkonspirasi atas kedustaan?!
Tidakkah anda sedikit berhati-hati sebelum mengeluarkan pernyataan, karena anda akan dimintai pertanggungjawaban! Buktikanlah secara ilmiyah ucapan anda, jangan hanya sekadar mengeluarkan kata!!!

3. Imam Syafi’i berkata:
“Segala sesuatu ada batasnya, dan akal juga ada batasnya“.
Wahai saudaraku, apakah segala sesuatu itu harus diketahui oleh akal kita dan harus kita pernah dengar dengan telinga kita? Saya bertanya kepada anda: “Apakah anda beriman adanya Allah, surga, neraka, siksa kubur, padahal apakah anda melihatnya?
Apakah anda percaya bahwa ruh itu ada?
Apakah anda tahu bagaimana wujudnya ruh yang ada pada diri anda?
Apakah akal anda menjangkaunya?
Aduhai, kalau ruh yang ada pada diri anda saja, anda sendiri tidak tahu tentang wujudnya, lantas bagaimana dengan masalah ghoib lainnya?!!!
Ingatlah wahai saudaraku, wahyu itu dari Allah, Nabi Muhammad tugasnya menyampaikan dan kewajiban kita adalah tunduk dan menerima. Tanamkanlah iman pada dirimu, jangan terlalu berlebihan pada akal dan perasaan. Ingat kita adalah hamba yang berkewajiban untuk iman, bukan membangkang. Syubhat akal-akalan anda sudah dijawab oleh para ulama sebagaimana sudah kami kemukakan di makalah dan komentar kami atas komentar saudara yang menamakan dirinya “Kawanmu”. Semoga Allah menjadikan kita semua hamba-hambaNya yang beriman dan tunduk. Amiin. Wallahu A’lam.

W Kassim - May 4th, 2010 at 4:36 pm
Salam ya ustaz,

Hadis yang kononnya mutawatir itu mengatakan “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir.

Saya memang mahu mempercayai hadis itu sohih sekiranya ada manusia yang biasa menjelaskan bagaimana Tuhan bisa turun ke langit dunia PADA SETIAP MALAM IAITU KETIKA SEPERTIGA MALAM TERAKHIR.

Oleh kerana bumi ini bulat, maka sentiasa aja ada bahagiannya berada pada sepertiga malam terakhir tanpa putus-putus walau satu saat, beredar dari Timur ke Barat. Misalnya jika di Indonesia siang, tetapi di Amerika pula malam. Atau adakah Tuhan hanya turun ke langit Indonesia sahaja dan tidak ke langit di negara-negara lain?

Maka hadis itu tidak dapat diterima akal. Allah menyuruh manusia menggunakan akal. Walaupun ada ratusan atau ribuan perawi hadis itu, saya tetap tidak dapat menerimanya sebagai sohih.

Orang Islam akan terus ketinggalan jika mereka tidak mahu menggunakan akal.

Hadis yang tidak diterima akal bukan satu itu sahaja. Ada banyak lagi. Mungkin tuan tahu ada seorang Indonesia yang membuktikan bahawa sohih Bukhari itu juga banyak yang palsu, dalam thesis Phd. nya.

Sekian.

abu kalimasada - May 4th, 2010 at 10:23 pm
Bismillahirrahmanirrahim,
Sebenarnya coment Wak Kassim itu tidak lain hanyalah bukti bahwa dia mengingkari Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai Rasul Allah. Bagaimana tidak, sedangkan Allah telah menjamin bahwa apa yg beliau ucapkan adalah wahyu dari-Nya. Lihat Qs. An-Najm ayat :
[i]2. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
3. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[/i]

Jika Nabi Muhammad telah dijamin oleh Allah pasti tidak sesat & keliru, maka yang perlu saya tanyakan kepada W Kassim adalah:
1. Siapakah yg menjamin Wak Kassim & seorang yg katanya Phd. tsb. tidak akan tersesat atau keliru !?
2. Siapakah yg menjamin akalnya Wak Kassim & akalnya seorang yg katanya Phd. tsb sebagai akal yg sehat [al-aqlus salim] dan bukan akal yg sakit [al-aqlus saqim] !?”
3. Siapakah yg menjamin kebenaran dari kesimpulan akal-sakitnya satu atau dua orang bukan ahli hadits yg berani menyalahkan hadits Nabi yg telah dibenarkan oleh akal-sehatnya Imam Bukhori -rahimahullah- & seluruh Imam Ahli Hadits -rahimahumullah- !?
4. Siapakah yg bisa menjamin Wak Kassim ketika menulis hal tsb. di atas dia sedang menggunakan akalnya dan bukan sedang akal-akalan atau mengakali !? Ataukah dia sedang menggunakan akalnya untuk mengakali dan main akal-akalan !?
5. Siapakah yg menjamin Wak Kassim akan memilih datang ke tukang tambal ban untuk mengobati penyakitnya daripada ke dokter?

Dan kalau Wak Kassim tetap bersikukuh selalu menjadikan akalnya sebagai jaminan kebenaran atas sesuatu sehingga apa yg tidak logis menurut akalnya harus ditolak, maka silahkan jawab pertanyaan berikut ini :
1. Bisakah akal anda menjamin bahwa setiap yg keluar dari [maaf] pantat ayam adalah selalu telur dan bukannya [maaf] tai !?
2. Bisakah akal anda menjamin bahwa telur ayam tadi pasti menetas !?

Adapun menurut logika saya, perbedaan hadits Nabi dengan akalnya Wak Kassim kurang lebih ibarat lebah dan ayam. Kalau lebah yg keluar dari perutnya adalah madu sedangkan ayam yg keluar dari perutnya adalah salah satu di antara dua, bisa yg ini atau yg itu. [hehe… ga mungkin keluar 22-nya kan? paham maksud saya?

Ketahuilah Wak Kassim, Sesungguhnya Allah telah menugaskan Rasul-Nya -shollallohu ‘alaihi wa sallam- untuk menjelaskan isi kandungan Al-Qur’an.
Allah berfirman :

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (٤٤)

[i]“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu (Muhammad) [b]menerangkan[/b] pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”[/i] (Qs. An-Nahl 44)

Dengan demikian, jika anda ternyata mengingkari hadits Nabi yg telah valid datangnya dari beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berarti anda mengingkari ayat ini.

Berhati-hatilah Wak Kassim, barangsiapa mengingkari 1 ayat al-Qur’an saja berarti dia telah mengingkari al-Qur’an seluruhnya. Barangsiapa mengingkari al-Qur’an maka dia telah mengingkari siapa yg membawanya yakni Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan barangsiapa mengingkari beliau sama saja dengan mengingkari siapa yang telah mengutus beliau yakni Allah Subhanahu wa ta’ala.
Wal ‘iyadzu billah!

Ibnu Abi Irfan - May 4th, 2010 at 11:48 pm
@ Al Akh W. Kassim rohimahulloh

sebenarnya keragu-raguan antum telah terjawab oleh artikel Ustadz Abu Ubaidah di atas. hanya saja ada beberapa hal yang perlu ana tambahkan.

yang tampak dari komen antum adlaah antum merasa telah menggunakan antum dengan baik sedangkan para ulama yang menshohihkan hadits tersebut tidak menggunakan akalnya dengan baik.

Allohu akbar (jika memang demikian), berarti yang cocok untuk menjadi pewaris Nabi itu antum saja, bukannya ulama. hamba yang paling takut kepada Alloh itu antum, bukan ulama. yang darahnya beracun itu antum, bukan ulama. yang lebih berhak berbicara tentang Al Quran dan As Sunnah itu antum, bukan ulama.

yaa akhi, memang Alloh memerintahkan kita untuk mempergunakan akal dengan baik. antum memahami perintah “menggunakan akal”, tapi antum tidak memahami perintah “dengan baik”. yang antum lakukan adalah menggunakan akal dengan pemaksaan. bukankah ada hal-hal yang tidak mungkin untuk dijangkau oleh akal.

sebagaimana yang Alloh firmankan:

إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً

Sesungguhnya manusia amat zalim dan amat BODOH, (QS. Al Ahzaab [33]: 72)

Alloh juga berfirman:

وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu TIDAK MENGETAHUI. (QS. Al Baqarah [2]: 216)

jika antum merasa akal adalah alat utama untuk memahami hukum2 Alloh, ana tantang antum untuk menjelaskan bagaimana hakikat ruh, kemudian buktikan penjelasan antum itu.

Taslim - May 5th, 2010 at 2:15 am
@ W. Kassim

tantangan dari ana, jika antum berjenis kelamin laki-laki, maka jelaskan kenapa Alloh menciptakan antum berjenis kelamin laki-laki?

Yusuf Abu Ubaidah - May 5th, 2010 at 5:54 am
Akhi W. Kassim, semoga Allah memberinya hidayah kepada jalan yang benar.
1. Sebenarnya saudara belum menjawab pertanyaan2 saya dalam jawaban sebelumnya. Saya meminta kepada anda bukti-bukti anda memalsukan hadits ini, siapa ulama yang berpendapat demikian dan di kitab apa. Maaf, makalah kami adalah makalah ilmiyyah, maka hendaknya disanggah juga secara ilmiyah, bukan dengan sekadar akal-akalan semata. “Datangkanlah kepada kami hujjah kalian jika kalian adalah orang yang benar”.
2. Ucapan saudara “Walaupun ada ratusan atau ribuan perawi hadits, saya tetap tidak bisa menerimanya sebagai hadits shohih”. Subhanallah, seperti inikah sikap seorang muslim?! Bukankah ini adalah suatu kesombongan wahai hamba Allah? Bandingkan hal ini dengan ucapan Imam Syafi’i: “Setiap masalah yang ternyata ada hadits shohih dari Nabi yang menyelisihi ucapanku maka saya mencabutnya baik di saat hidupku atau sesuadah matiku”. (Tawali Ta’sis hlm. 108)
Sungguh, ucapan anda ini sangat berbahaya sekali, karena telah menolak hadits shohih dari Nabi. Dahulu Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Barangsiapa menolak hadits Nabi, maka dia di ambang kehancuran”. Maka selamatkanlah dirimu wahai saudaraku dari kebinasaan, karena kami tidak menginginkan dirimu termasuk orang yang binasa.
3. Sangat jelas sekali anda terlalu berlebihan kepada akal, sehingga menjadikan akal sebagai hakim dalil, cara seperti ini adalah cara yang sangat keliru. Benar, Allah memerintahkan kita untuk menggunakan akal dan Allah telah memuliakan akal, namun bukan berarti kita memposisikan akal lebih dari kedudukannya. Imam Ibnu Qoyyim berkata: “Mempertentangkan antara akal dengan naql (dalil) merupakan sumber kerusakan di alam semesta, hal ini sangat bersebrangan dengan dakwah para Rosul sebab mereka mengajak umatnya untuk mendahulukan wahyu di atas pendapat dan akal, maka terjadilah pertarungan antara pengikut Rosul dan para penentangnya. Para pengikut Rosul mendahulukan wahyu di atas pendapat dan akal, adapun pengikut Iblis dan sejawatnya maka mereka mendahulukan akal di atas wahyu.”(Mukhtashor Showaiq Mursalah 1/209). Maka pilihlah jalan yang engkau inginkan bagi dirimu, apakah ingin menjadi pengikut rasul ataukah pengikut Iblis?
3. Ucapan saudara “Saya baru bisa mempercayai hadits sekiranya ada yang menjelaskan bagaimana Tuhan turun…” Saudaraku, apakah anda pernah mendengar ucapan Imam Malik ketika ditanya tentang bagaimana istiwa’nya Allah? lalu beliau menjawab: “Istiwa’ itu diketahui artinya, bagaimananya adalah tidak diketahui, mengimaninya hukumnya wajib dan bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah”. Saudaraku, kita tidak dituntut untuk mengetahui bagaimananya tetapi kita dituntut untuk mengimaninya saja. Bukankah anda beriman Allah itu ada? Tapi apakah anda tahu bagaimana Dzat Allah? Bukankah anda percaya surga dan Neraka itu ada? Tapi apakah anda pernah melihat bagaimananya? Percayalah, sehebat apapun akal manusia tetapi pasti ada batasnya, sebagaimana kata Imam Syafi’i: “Akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan memiliki batas”. Bukankah mata bisa memandang bintang di langit? Tapi apakah dia tahu berapa jumlah bintang dan dari apa dia terbuat? Kalau yang bisa kita lihat saja kita tidak mengetahui perincian hakekatnya maka bagaimana dengan masalah ghoib?!! Pahamilah.

firyan - May 5th, 2010 at 8:25 am
@W. Kassim: jangankan agama, dalam sains pun banyak misteri yang belum terpecahkan karena pengetahuan manusia yang belum menjangkau seperti tentang misteri pembangunan piramida atau bagaimana coral castle dapat dibuat oleh seorang manusia saja. lubang hitam di angkasa yang hingga saat ini ilmuwan belum bisa memecahkannya. apalagi tentang Allah yang Dialah Pencipta alam semesta ini beserta segala misteri yang ada. kita gak bisa membayangkannya dengan pengetahuan kita yang ada. kita tuh gak bisa ngeliat dengan logika seperti itu. ana sendiri yakin hadits itu masuk akal dan ilmiah tapi tingkat ilmiahnya luar biasa tidak dijangkau oleh kita. kita bisa menerimanya dengan dalil dan menyerahkannya kembali kepada asal berita. Wallahu A’lam

Tommi - May 5th, 2010 at 12:07 pm
Cukuplah ayat ini menjadi gambaran bagi pak W.Kassim :

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” QS Ali Imron ayat 7.

Lalu kalau anda katakan : “Orang Islam akan terus ketinggalan jika mereka tidak mahu menggunakan akal.”
Oke pak, skrg saya tanya pada anda, bisakah anda tafsirkan dengan akal anda makna ayat Alif Laam Miim pada surat Al Baqoroh ayat 1??? Lalu Alif Laam Miim Shood pada surat Al A’roof ayat 1???
Saya tunggu jawabannya ya pak.

Kepada admin, komennya pak Kassim mohon jangan dihapus, beliau ingin berdiskusi dan sptnya beliau perlu diluruskan dari aqidah terlalu memuja akal.

W Kassim - May 5th, 2010 at 7:27 pm
Salam Pak Tommy,

Kita bicara tentang hadis, bukan Quran. Apakah hadis juga ada ayat mutasyabihat?

W Kassim - May 5th, 2010 at 7:30 pm
Salam Pak Taslim,

Jangan lari dari judul perbincangan – hadis nuzul

W Kassim - May 5th, 2010 at 7:34 pm
Ibnu Abi Irfan,

Mungkin ulamak itu tidak tahu ilmu geography bahawa bumi itu bulat dan sentiasa ada bahagiannya yang berada pada sepertiga malam yang akhir.

Kalau demikian Tuhan tidak perlu mundar mandir naik turun ke langit bumi. Tuhan terpaksa menetap dilangit bumi sepanjang masa.

Salam

Ibnu Abi Irfan - May 5th, 2010 at 7:40 pm
bukankah Hadits itu semisal dengan Al Quran? sama2 merupakan wahyu yang diwahyukan kepada Muhammad.

apakah antum akan mengimani Al Quran saja dan membuang Al hadits?

W Kassim - May 5th, 2010 at 7:42 pm
Abu Kalimasada,

Saya tidak mengingkari kata-kata Nabi. Saya cuma tidak percaya hadis begitu bisa keluar dari mulut Nabi.

Kalau hadis nuzul itu benar diucapkan Nabi dan yang diucapkannya itu adalah wahyu, maka berarti hadis nuzul itu adalah dari Tuhan. Maka Tuhanlah yang tidak tahu bumi ini bulat.

W Kassim - May 5th, 2010 at 7:46 pm
Ibnu Abi Irfan,

Hadis itu semisal/sama dengan Quran?

Saya mohon perlindungan Allah dari kesesatan begitu.

W Kassim - May 5th, 2010 at 8:06 pm
Salam Ustaz Yusuf Abu Ubaidah,

Apa yang ilmiahnya pada hadis nuzul itu?
Adakah cerita karut Tuhan turun tiap malam waktu sepertiga malam akhir itu ilmiah? Tentu tidak, bahkan ia sesuatu yang amat melucukan!!!

Maka untuk menolaknya juga tidak perlu cara ilmiah.

W Kassim - May 5th, 2010 at 8:16 pm
Dari tulisan ilmiah ustaz Yusuf: “Dahulu Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Barangsiapa menolak hadits Nabi, maka dia di ambang kehancuran”.

Kita lihat yang sudah hancur, lemah, miskin adalah umat negara-negara islam. Contoh paling dekat Indonesia. Adakah itu bukti mereka menolak hadits?

abu kalimasada - May 5th, 2010 at 8:41 pm
W Kassim menulis: Saya tidak mengingkari kata-kata Nabi. Saya cuma tidak percaya hadis begitu bisa keluar dari mulut Nabi.

Kalau hadis nuzul itu benar diucapkan Nabi dan yang diucapkannya itu adalah wahyu, maka berarti hadis nuzul itu adalah dari Tuhan. Maka Tuhanlah yang tidak tahu bumi ini bulat.
——————————
Lho piye wong iki? Hadits Nabi itu ya kata-kata Nabi yg tidak lain adalah wahyu. Bisa-bisanya anda bilang tidak mengingkari tapi tidak percaya, tanya kenapa? Jangan akal-akalan, ah.
Pokok masalahnya sudah jelas,
1. anda lebih percaya kpd akal anda daripada berita valid [hadits shohih] yg datangnya dari Nabi
2. shgg hadits nuzul tsb menurut anda tidak masuk akal. Dan akal anda sbg manusia -tidak bisa diingkari- sangat terbatas. Jika memang menurut akal anda hadits tsb tidak logis, maka yg layak untuk tidak dipercaya adalah akal anda.
——————————————————
W Kassim menulis: Hadis itu semisal/sama dengan Quran?
——————————————————
Subhanalloh!
Logika anda ini mmg logika tahi ayam. Telor ayam dan tahi ayam sama-sama dari ayam tetapi samakah telor dengan tahi?
Jangan mengeneralisir sesuatu yg spesifik lah.
Mending jawab dulu saja pertanyaan saya sebelumnya sebelum anda ngelantur kemana-mana.
[Afwan Ustadz Yusuf, semoga kata-kata saya ini jadi jamu/pil pahit buat W Kassim yg sedang sakit ini]

W Kassim - May 5th, 2010 at 9:51 pm
Salam Abu Kalimasada,

Kayaknya tuan susah untuk memahami tulisan saya.

Yang menulis “Hadis itu semisal dengan Quran” adalah teman anda Ibnu Abi Irfan, bukan saya. Saya cuma mengutipnya. Maka itu saya mohon perlindungan Allah dari kesesatan menganggap hadis itu semisal Quran.

Kelihatannya tuan senang sekali dengan tahi ayam, ketimbang telornya. Apakah ini juga ajaran hadis?

W Kassim - May 5th, 2010 at 10:00 pm
Abu Kalimasada,

Kalau saya percaya hadis itu keluar dari mulut Nabi, sudah pasti saya menerimanya sebagai hadis sohih.

Kata-kata anda jadi jamu/pil pahit buat saya, tidak saya makan kerana takut ia bercampur tahi ayam kegemaran anda.

Salam hormat dan permohonan maaf dari saya.

Tommi - May 6th, 2010 at 8:59 am
Oke pak Kassim,

Jadi anda menolak menafsirkan ayat al Qur’an yg saya bawakan dengan anda beralasan kita bicara tentang hadits…Padahal kaidah dasar paham hadits adalah paham Al Qur’an terlebih dahulu, dan mengimani ayat2 mutasyabihaat.

Skrg begini pak, agar kita pemikiran kita sejalan dengan alur diskusi coba skrg pak Kassim bawakan tafsir hadits nuzul tersebut melalui pemikiran para ulama salaf seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi yg mensyarah hadits tersebut pada Fathul Baari dan Syarah Shahih Muslim, dan tidak dengan tafsiran pak Kassim. Bisa ya pak…Kita tidak bicara Al Qur’an, oke saya turuti kemauan bapak. Kita bicara hadits dengan pemahaman para ulama.

arief - May 6th, 2010 at 10:10 am
Mas W Kassim yg pemuja akal ternyata tidak berakal, saya juga punya akal ingin menggunakan akal saya utk memahami tentang ucapan anda yg berbunyi ” Kalau saya percaya hadis itu keluar dari mulut Nabi, sudah pasti saya menerimanya sebagai hadis sohih ” mas w kassim dari sini akal saya mengatakan bahwa akal anda memaksakan diri sekarang hidup dijaman Rasulullah dan ini jelas buktinya anda tdk berakal atau seorang yg sangat sombong bangga kesombongannya. Awalnya sy pikir anda orang mengerti tentang agama krn begitu galaknya diawal komentar anda protes ke moderator,
seakan anda ingin jadi juru penyelamat … saya yg baru belajar agama yg hanif ini krn ingin selamat ( sblmnya spt anda kali) setelah tak baca komentar-2 anda mengingatkan saya diwaktu jauh dari iman

Saya sangat percaya dgn hadist Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Mengenai apa yg anda pikirkan tentang perbedaan waktu antara satu tempat dengan tempat lain itu hal mudah bagi Allah dan mengenai Bagaimananya Allah caranya, itu urusan Allah masalahnya hal ghaib, akal kita tdk sampai dan cukup meng imani saja.

Anda tolong jelaskan dgn akal : Surat Al An’aam ayat 59 dibawah ini shg saya jelas Bagaimananya Allah dan bisa saya terima dgn akal saya juga. Kalau sekarang sebelum anda jelaskan saya cukup mengimani saja kerana ini masalah ghaib, Allah maha mengetahui dan maha sempurna.

6. Al An’aam

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

59. Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”

hamba yg dho'if - May 6th, 2010 at 11:43 am
@Kassim yg semoga Allah Ta’ala menunjuki anda,

ya akhi, apa antum percaya pada kekuasaan Allah Azza wa Jalla Yang Maha Segalanya?

Jawab dulu pertanyaan ini ya akh, baru kita beralih ke Qur’an dan hadits…


Bersambung.......ke bagian 3/Comments