Prof KH Ali Musthafa Ya'qub,
MA
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Rais Syuriah PBNU
Tapi kalau Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, baik akidah maupun ibadah harus asli dari Nusantara, maka itu tidak tepat. Islam Itu Agama, Nusantara Itu Budaya.
Tapi kalau Islam yang bersumber dari apa yang ada di Nusantara, baik akidah maupun ibadah harus asli dari Nusantara, maka itu tidak tepat. Islam Itu Agama, Nusantara Itu Budaya.
Kemunculan "Islam
Nusantara" ini membuat sebagian orang membandingkan dengan "Islam
Arab", bagaimana menurut Pak Kiai?
Kedua, NU dan “Wahabi” tidak
ada pertentangan, yang ada perbedaan. Persamaannya banyak dan perbedaannya
sedikit. Perbedaannya itu tidak menimbulkan kekafiran dan perbedaan itu tidak
terjadi setelah NU dan “Wahabi” ada. Jadi perbedaannya hanya dalam hal furu’iyyah, bukan
hal yang prinsip
Cuplikan dari :
“Islam Sudah Moderat, Tidak Perlu Ditambahi
Istilah Islam Nusantara”
Ketua Umum PP Pemuda Persatuan Islam (PERSIS),
Ustadz Tiar Anwar Bachtiar mengatakan tidak perlu memunculkan istilah-istilah
baru untuk mengajarkan moderatisme Islam seperti istilah Islam Nusantara
belakangan ini.
“Islam disebut Islam saja sudah moderat dan
anti ekstrimisme,” katanya saat dihubungi kiblat.net, pada Kamis (18/6).
Lanjutnya, bila Islam dijalankan dengan benar
dan serius sudah pasti moderat dan menolak ekstrimisme. Sehingga tidak perlu
ditambahkan embel-embel Nusantara.
Cuplikan dari :
Politikus Demokat: Terima
Saja Bahwa Islam Itu ya Arab
Politikus Partai Demokrat Muhammad Husni Thamrin berkicau tentang Islam dan Arab. Dia pun membuka ruang diskusi dengan bertanya, mengapa banyak pihak yang seolah tidak mengaku bahwa Islam itu adalah Arab.
"Kenapa ya banyak yg bilang Islam itu bukan Arab?" katanya melalui
akunTwitter, @monethamrin. " Terima saja bahwa Islam itu ya Arab. Ia
lahir dari sejarah dan budaya di Arab kok."
Dia pun menantang argumen orang yang tetap berpendirian bahwa Islam itu bukan
Arab. "Buat yg ngotot Islam itu bikan Arab apakah berani baca Al Quran dgn
bhs Indonesia atau sholat dengan Indonesia atau tdk berkiblat ke Makkah?"
Dia melanjutkan, "My point: kalau percaya scr universal agama mengajarkan
kebajikan & jln lurus, serta tdk mengakui Islam itu Arab, ya buat agama
baru."
Husni Thamrin pun menggugat wacana Menag Lukman Hakim Saifuddin dan PBNU yang
terus menggembar-gemborkan wacana Islam Nusantara. "Sy msh blm paham dgn
kampanye menteri agama dan bbrp teman sy ttg Islam Nusantara. Islam ya Islam.
Nusantara soal kita."
Gara-gara cuitannya itu, argumennya didebat balik oleh para pengikutnya. Namun,
ia terus menjawabnya dengan lugas. "Sy tdk menyalahkan soal gaya
berpakaian Anda saat sholat. Lalu Anda menyebutnya dgn gaya itu Islam
Nusantara?" katanya menjawab akun @ErwinBeneran, yang menyatakan Islam
Indonesia dan Arab itu beda.
Husni Thamrin menambahkan, "Masa Anda menyangkal bhw Nabi Muhammad SAW itu
orang Arab? Dan turun di Arab, itu tak bisa diingkari. Rukun Islam percaya pd
Al Quran (dlm bhs Arab) & menunaikan haji ke Makkah. Kiblat pun ke Ka'bah
di Makkah.
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/07/26/ns1w6c334-politikus-demokat-terima-saja-bahwa-islam-itu-ya-arab
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/07/26/ns1w6c334-politikus-demokat-terima-saja-bahwa-islam-itu-ya-arab
Mirip Sikap Yahudi, Gagasan Islam Nusantara
Diminta Jangan Bermotif Benci pada Arab
Namun, Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama
Muda Indonesia (MIUMI) menilai wacana Islam Nusantara justru bertentangan
dengan motivasi dakwah Wali Songo.
“Kesalahan terbesar gagasan Islam Nusantara ini
adalah salah niat. Dimana salahnya? Niat Walisongo itu mengislamkan nusantara.
Gagasan walisongolas ini malah ingin menusantarakan Islam,” kata Ustadz
Bachtiar Nasir saat berbincang dengan sejumlah wartawan seusai acara Launching
Program Spesial Ramadhan 1436 H di sekretariat AQL, pada Jumat malam (12/06).
Ustadz Bachtiar berpendapat, gagasan Islam
Nusantara berawal darisuuzhan atau prasangka buruk bahwa Islamisasi
artinya Arabisasi. Padahal, menurut dia, Islamisasi tidak selalu artinya
Arabisasi.
“Ini mispersepsi lagi, tidak mesti
dong Islamisasi itu Arabisasi” cetusnya.
Lulusan Pesantren modern Gontor ini menilai,
ada sebagian orang yang benci dengan bangsa Arab menunggangi gagasan tersebut.
Sementara, menurutnya, bila itu muncul dari sikap benci kepada bangsa Arab,
maka sama saja dengan sikap kaum Yahudi dahulu saat mereka menolak kenabian
Rasulullah Muhammad Saw karena berasal dari bangsa Arab.
Bahkan, Yahudi menilai malaikat Jibril ‘salah’,
karena dia menurunkan wahyu kepada orang Arab, yakni Nabi Muhammad SAW, bukan
kepada Bani Israil.?
“Kepada orang yang benci sama Arab, janganlah
jadi penerus perasaan Bani Israel. Cobalah mereka bertaubat jangan-jangan
perasaan ini sudah tersusupi oleh iblis-iblis yang pernah berhasil menyusupi
perasan Bani Israel masa lalu yang nggak suka sama Arab,” tandas Direktur AQL
Islamic Center itu.
Reporter: Bilal Muhammad
http://www.kiblat.net/2015/06/14/mirip-sikap-yahudi-gagasan-islam-nusantara-diminta-jangan-bermotif-benci-pada-arab/
KH Misbahul Anam: Istilah
Islam Nusantara Kalimat Berbahaya
Istilah Islam Nusantara
dinilai sebagai sebuah kalimat yang berbahaya. Menurut Ketua Dewan Syuro Front
Pembela Islam (FPI) KH Misbahul Anam, kalimat tersebut akan berpotensi merusak
akidah.
Misbahul Anam menambahkan
bahwa dengan satu istilah Islam Nusantara maka akan berpotensi memunculkan
istilah-istilah lain. Dari satu istilah tersebut maka akan muncul pemikiran
boleh memiliki nabi Nusantara.
Selain itu karena orang
Nusantara, lanjut Misbahul, Al-Quran tidak harus dibaca dengan bahasa Arab.
Demikian juga dalam salat, dengan alasan orang Nusantara maka salat tidak harus
memakai bahasa Arab. Potensi lain, akan muncul anggapan karena dasar Islam
Nusantara saat salat tidak harus menghadap ke Ka’bah, dan haji tidak harus ke
Mekah.
“Hati-hati, dengan kalimat
yang akan bermunculan karena dimulai dengan satu kalimat yang berbahaya yang
merusak akidah kita,” tandasnya.
Mustofa Nahra: Islam Nusantara, Upaya Mengotak-ngotakkan Islam
Jadi ini adalah bagian dari
upaya untuk membangun opini terkait dengan upaya-upaya seluruh dunia untuk
menjauhi Islam, yang seolah-olah Islam itu digambarkan seperti yang terjadi di
Timur tengah. Yaitu dengan membentuk seolah-olah ini (Islam Nusantara, red)
adalah sebuah solusi Islam yang tepat, tidak seperti yang ada di Timur tengah.
Kalau di Indonesia namanya
sekarang diusulkan Islam Nusantara. seolah-olah ide ini solusi yang terbaik
bagi Islam seluruh dunia. Disuruh menyontoh, ini lho Islam nusantara. Dugaan
saya mereka inginnya seperti itu. Jadi kalau mau mencontoh Islam yang baik, itu
adalah Islam nusantara yang ada di Indonesia, itu secara umum.
Tapi secara khusus, ini kan
ada huruf ‘nu’. Itu di pas-paskan. Kan bisa saja Islam Indonesia juga bisa.
Kenapa tidak Islam Indonesia? Kenapa Islam Nusantara, karena di situ
inisiatornya adalah berasal dari organisasi yang ada huruf ‘nu’, maka
dinamakanlah Islam Nusantara.
Lazimnya, kalau tidak mau
dikait-kaitkan dengan nama organisasi tentu lebih tepat adalah Islam Indonesia.
kan begitu, jadi bukan Islam Nusantara lagi.
Untuk level besarnya begini,
nanti ide Islam Nusantara ini akan berbahaya misalkan nanti ada Islam
Nusantara, ada Islam Malaysia, ada Islam Brunei, itu yang besar, makronya.
Padahal, Islam datang itu kan
untuk memperbaiki budaya seluruh dunia, bukan sebaliknya. jadi ketika Arab
rusak, begitu ada Islam jadi baik. Indonesia mestinya sama, Indonesia rusak ada
Islam jadi baik. Jangan dipelintir-pelintir dong, seolah-olah Islam tidak
cocok. Indonesia jadi rusak karena Islam. Tidak begitu, ini manusianya.
Banyak sekali kadang dia
beragama tapi tidak paham kitab sucinya, sehingga nilai yang diangkat adalah
bukan nilai agama itu tapi nilai budaya yang dicampur dengan agamanya, lalu
disebut abangan. Itu yang terjadi.
Cuplikan dari :
http://www.kiblat.net/2015/06/21/mustofa-nahra-islam-nusantara-upaya-mengotak-ngotakkan-islam-bag-1/
Islam Nusantara Seperti Kacang Lupa Kulitnya
“Penamaan Islam Nusantara ini, menurut saya
adalah penamaan yang salah. Karena secara historis Islam telah mengislamkan
Nusantara,” kata intelektual muda Hamid Fahmi Zarkasyi kepada Kiblat.net,
seusai menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Islam dan Nusantara di Gedung
Joeang Jakrta, Ahad (05/07).
Menurutnya munculnya istilah Islam Nusantara
itu adalah sesuatu yang terbalik. Jadi terkesan Islam telah menjadi nusantara,
yang sangat sempit dan terbatas.
“Berarti seperti kacang lupa kulitnya itu.
Jadi, menurut saya perlu ditinjau kembali,” tandas Gus Hamid.
Cuplikan dari :
Seharusnya Nusantara Bersyukur
dengan Datangnya Islam
Sebelum datangnya Islam, bumi
Nusantara pernah punya tradisi ‘manuya’, ritual mengorbankan manusia untuk
kemudian dimakan dagingnya dan diminum darahnya
Pemerhati sejarah Jawa dan
Islam Susiyanto, MSI mengatakan, seharusnya Nusantara bersyukur dengan
datangnya Islam. Sebab sebelum Islam datang, banyak tradisi kurang baik di
Nusantara.
“Harusnya Nusantara bersyukur
dengan adanya Islam, karena jika kita mengetahui yang sebenarnya tentang
sejarah tradisi agama sebelum Islam di Indonesia, sungguh banyak tradisi dan
ajaran-ajaran yang tidak baik untuk masyarakat kita,” demikian disampaikan ujar
Susiyanto pada kajian spesial berjudul “Dinamika Hubungan Raja dan Ulama di
Tanah Jawa”, di Masjid Nurruzaman Universitas Airlangga Jumat (05/06/2015).
Ia mencontohkan beberapa
tradisi dan ritual aliran Bhairawa pada zaman Hindu-Budha dahulu yang cenderung
merusak diri dan masyarakat secara umum.
Salah satunya seperti dalam
tradisi manuya yang mengorbankan manusia pada ritualnya untuk
kemudian dimakan dagingnya dan diminum darahnya.
“Justru dengan datangnya
Islam, semua itu dirubah secara perlahan. Di sana terjadi proses desakralisasi,
ada proses subtitusi budaya ke arah yang lebih baik. Islam tidak lantas
melakukan dekulturalisasi dengan menghilangkan sekaligus budaya yang ada,”
tegas dosen mata kuliah ‘Islam dan Budaya Jawa’ IAIN Surakarta ini.
Pria yang juga merupakan
kandidat doktoral di Universitas Ibnu Khaldun Bogor ini menambahkan bahwa
banyak budaya Nusantara yang tetap dipertahankan oleh para ulama dahulu,
seperti Tata Krama dalam budaya Jawa misalnya.
Karena jika memang mengandung
nilai-nilai yang selaras dengan Islam maka tidak perlu diluruskan. Akan tetapi
jika budaya atau tradisi yang ada telah menyimpang maka akan diluruskan secara
perlahan, ujar penulis buku ‘Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa’ini
mengatakan.*/Yahyaghulam
Islam Nusantara, Antitesa Islam Ala Timur
Tengah?
Di tengah khusuknya kaum Muslimin menunaikan
ibadah berpuasa, sekonyong-konyong umat ini seolah disibukkan dengan kemunculan
istilah baru bernama “Islam Nusantara”. Dalam pembukaan Munas Alim-Ulama NU di
Masjid Istiqlal, pada Ahad (14/06), Presiden Jokowi mengatakan, “Islam
kita adalah Islam Nusantara, Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh
tata krama, itulah Islam Nusantara, Islam yang penuh toleransi.”
Cuplikan dari :
http://www.kiblat.net/2015/06/18/islam-nusantara-antitesa-islam-ala-timur-tengah/
Nah, belangnya ketahuan !!
Ulil: Ciri Islam Nusantara
'Tidak Memusuhi Syiah', Beda Dengan Islam Wahabi
Diskursus Islam Nusantara
kencang didengungkan aktivis-aktivis JIL (Jaringan Islam Liberal). Lantas, apa
ciri-ciri Islam Nusantara?
Salah seorang tokoh utama JIL, Ulil Abshar Abdalla, mengungkapkan dengan tegas
dinatara ciri Islam Nusantara.
"Ciri Islam Nusantara: tidak memusuhi Syiah. Dan menganggap mereka bagian
sah dari umat Islam. Beda dg Islam Wahabi atau simpatisannya," kata Ulil
yang disampaikan di akun twitternya @ulil tadi malam, Jumat (27/6/2015).
Beberapa netizen berkomentar menanggapi twit Ulil.
"@ulil JIL nggak laku, skrg islm nusantara. hehe," tulis netizen
@aries5_86.
"@ulil ko bisa ente gandengan tangan sama agama syiah yg jelas",
menghina, mencaci, memfitnah umm mukminin dn para sahabat," cuit akun
@mat_condet.
“Islam Nusantara”, Makhluk Apakah Gerangan?
Apakah yang dimaksud adalah “agama Islam ala
Indonesia”? Jika ya lantas seperti apa wujudnya? Apa seperti di Turki pada
zaman Mustafa Kemal Attaturk dulu yang adzan dikumandangkan dalam bahasa Turki
Apakah proses (yang disebut) “pribumisasi
Islam” itu selalu melahirkan ekspresi keberagamaan yang kental dengan nuansa
esoteris dan atau kelemah-lembutan dalam beragama?
Alhasil, wacana “Islam Indonesia” ala para
akademisi, birokrat, politisi dan tokoh ormas Islam itu lebih bersifat politis
ketimbang sebuah usaha intelektual yang jujur