Monday, October 12, 2015

Dahsyatnya Dosa Takfir, Memahami Konsep Takfir, Antara Takfir dan Thaghut

Bismillah. Saudaraku, takfir adalah perkara besar dalam Islam. Takfir itu ada, TAPI HANYA BOLEH DIKELUARKAN oleh para ulama (dewan) yang kredibel & diakui.
Memvonis KAFIR tanpa hak ke seorang Muslim, itu adalah bahaya besar. BISA MENGHAPUSKAN AMAL-AMAL si pelaku. Dosanya seperti kaum murtad atau kaum musyrikin, yang amal-amalnya TERHAPUS. 
Apa sedemikian dahsyat dosa takfir serampangan? Jawabnya: YA!!!
.
IBARATNYA, dengan syarat dan rukun tertentu seorang insan DIBERI ANUGERAH identitas Islam oleh Allah & Rasul-Nya. Tapi oleh si penuduh, identitas Islam itu dia batalkan. Ini kan melawan Allah & Rasul-Nya.
.
Nabi Saw bersabda: “Jika seseorang memanggil saudaranya, ya kafir! Maka vonis itu akan menimpa salah satu dari keduanya. Jika yang dituduh memang kafir ia akan kafir; namun kalau tidak, tuduhan akan kembali ke si penuduh.” (HR. Bukhari Muslim).
.
Nabi Saw juga bersabda: “Siapa yang mendakwa seseorang sebagai kafir (atau sbg musuh Allah), padahal orang itu tidaklah demikian; maka vonis kafir itu akan kembali ke si pendakwa.” (HR. Bukhari Muslim).
.
Ada kelakuan aneh. Kalau kita berbeda pendapat, menolak suatu pendapat, atau menentang suatu gerakan (fasad); tiba-tiba kita dimurtadkan. Aneh.
.
TENTU amat sangat aneh kalau Anda berbeda dengan kami, menolak atau menentang kami; Anda lalu dikenai hukum kafir. Aneh sekali sikap itu.
.
MEREKA hukumi manusia berdasar SUKA atau BENCI. Kalau suka diterima, kalau benci dikafirkan.
.
JADI mereka seperti PENYEMBAH HAWA NAFSU. Tidak mau tunduk KAIDAH SYARIAT. Hanya tunduk pada ulama-ulamanya sendiri.
.
SEPERTI kaum Yahudi Nasrani yang menjadikan pendeta-pendetanya sebagai TANDINGAN SELAIN ALLAH. #‎paganisme
.
DOSA mengkafirkan 1 Muslim tanpa hak, sudah menghancurkan seluruh amal-amal si penuduh. Karena hukum kekafiran BALIK KEPADANYA. Bagaimana kalau yang dikafirkan seribu Muslim, ratusan ribu Muslim, jutaan Muslim?
.
BAGAIMANA kalau ada Mbak-mbak, Ibu-ibu, gadis belia aktif mendukung KAMPANYE KAUM TAKFIR ini dalam memurtadkan kaum Muslim? Ya menolong kaum zhalim dalam kezhalimannya, akan ikut memikul dosa mereka. Yaitu sama-sama habis amalnya, kalau TIDAK SEGERA TAUBAT.
.
Semoga peringatan sederhana ini bermanfaat. Amin ya Sallam.

==============
GERAKAN TAKFIRI DAN SEBAB KEBINASAANNYA

.
Bismillah. Artikel ini cukup penting. Kami berharap Anda membantu menyebarkan. Agar jadi nasehat buat para pelaku Takfir semena-mena.
.
LDII seperti ISIS dan kaum yang pro kepadanya, doyan mengkafirkan kaum Muslimin. Pengkafiran dijadikan amal shalih yang sangat nikmat. Na’udzubillah minad dhalal wa ashabih. 
.
Seperti kami jelaskan sebelumnya, hadits Nabi Saw: “Siapa yang memanggil saudaranya ‘hai kafir’, sedangkan padanya tidak ada alasan kekafiran, maka vonis kafir itu akan kembali ke dirinya sendiri.”
.
Kalau mengkafirkan 1 Muslim, 10 Muslim, 100 Muslim, 1000 Muslim, 1000000 Muslim…maka mereka akan menanggung DOSA KEKAFIRAN sebanyak jumlah Muslim yang mereka kafirkan. Na’udzubillah min dzalik.
.
Bagi pendukung ISIS dan LDII, sama saja. Mereka share DOSA KEKAFIRAN bersama orang-orang itu. Maka jauhi saja kaum Takfiri tersebut, atau nasehati agar TAUBAT.
.
BAYANGKAN, akibat dosa Takfir, amal-amal musnah, sejak baru lahir sampai dirinya jadi tukang Takfir yang semena-mena. Termasuk bagi pendukung Takfirnya.
.
SUDAH begitu, sialnya, Takfir mereka TIDAK NGARUH. Tidak membuat kerugian bagi Muslimin. Malah hanya menghancurkan amal-amal mereka sendiri. (Termasuk amal Mas-mas, Mbak-mbak pendukung propaganda mereka).
.
KAUM Takfir mendapat 5 KEHINAAN sekaligus dalam kehidupan dunia akhirat:
.
a. Mereka menanggung dosa kekafiran sebanyak Muslim yang mereka kafirkan.
.
b. Mereka lebih buruk dari kaum kafir sejati, karena kafir sejati hanya memikul masing-masing 1 dosa kekafirannya.
.
c. Mereka lebih buruk dari orang murtad, karena orang murtad hanya menganiaya dirinya sendiri, sedang Takfiri menganiaya jutaan Ummat.
.
d. Allah sempitkan hidup mereka dan dihinakan. Kalau memutus shilaturahim saja bisa membuat manusia sempit hidupnya, apalagi MEMBATALKAN KEISLAMAN tanpa hak? Bukankan urusan agama lebih penting dari nasab kekeluargaan?
.
e. Sehebat apapun mereka mengkafirkan Ummat, tak ada pengaruhnya. Ummat tetap terjaga keislamannya, meski mereka terus koar-koar mengkafirkan.
.
Allah SWT menjaga keislaman Ummat, sedang kaum Takfiri berusaha mati-matian menghapus keislaman Ummat. Maka siapa yang lebih kuat, Allah Ta’ala atau mereka?
.
FAKTA lain, kita akan selalu dan selalu menyaksikan, bahwa kaum Takfiri ini pada akhirnya akan SELALU BERDIRI SEJAJAR dengan kaum kufar & rezim thaghut. Selalu dan selalu begitu. “Mereka memerangi Ahlul Islam dan membiarkan penyembah berhala.” (Lihat posisi ISIS di Suriah saat ini! Sama saja. Bahu membahu dengan Assadis, Rafidhah, Rusia, China, dll. menggempur Mujahidin Ahlus Sunnah).
.
TIDAK berlebihan jika kaum Takfiri itu digambarkan seperti “anjing anjing neraka”. Mereka dijanjikan masuk neraka, lalu melolong bersahut-sahutan di sana, karena pedihnya siksa; seperti anjing menggonggong.
.
Na’udzubillah wa na’udzubillah minat takfiriyin wa syarrihim wa ansharihim ajma’in. Amin.

=================
“SIAPA YANG TIDAK MENGKAFIRKAN ORANG KAFIR (MUSYRIK) MAKA DIA PUN KAFIR”

.
Bismillah. Ini adalah kaidah yang sering kita dengar. Banyak disalahpahami. Memicu munculnya kelompok-kelompok Takfiri.
.
Kaum Wahabi banyak disudutkan karena kaidah ini. Maka semoga kajian sderhana ini bisa menjernihkan kerumitan, bi idznillah.
.
[1]. KAIDAH ini tidak masalah, bahkan sudah seharusnya begitu, JIKA pihak yang dikafirkan memang orang-orang kafir sejati, seperti Yahudi, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Tao, Shinto, Komunis, dll. Kaum kafir itu sendiri JUSTRU MENOLAK KERAS dirinya dikaitkan dengan Islam. Mereka ikhlas, ridha, mantap berada DI LUAR ISLAM.
.
[2]. DAN sering jadi masalah tatkala yang dikafirkan itu adalah kaum yang HUKUM ASALNYA Muslim. Mereka divonis, dituduh, atau dicaci sebagai orang kafir. Nah, di sini urusannya sering kusut dan membuat fitnah merebak.
.
[3]. DALAM ISLAM yang berhak menetapkan hukum kafir/musyrik/murtad adalah QADHI SYARIAH (lembaga hukum Islam yang kredibel). Atau mudahnya, para ulama resmi dan diakui kredibilitasnya. JADI hukum takfir kepada manusia itu, BUKAN HAK ORANG PER ORANG.
.
[4]. Tidak setiap pelaku perbuatan kufur/syirik, langsung divonis kafir. Tidak demikian. Karena ada proses takfir yang harus dipenuhi terlebih dulu. PARA ULAMA PUN, sebelum memutuskan hukum takfir (pengkafiran) pada Fulan atau Fulanah, harus melakukan INVESTIGASI YANG DETAIL. Pengkafiran harus memenuhi syarat-syarat dan hilangnya faktor-faktor toleransi (al mawani’).
.
[5]. Di antara syarat jatuhnya hukum takfir: a. Si pelaku sudah dewasa; b. Ada bukti-bukti nyata dan saksi atas perkataan atau perbuatan kufur; c. Pelaku sadar dan tidak gila; d. Pelaku tidak dipaksa atau dalam tekanan; e. Pelaku tahu ilmu, jadi berbuat bukan karena kebodohan; f. Perbuatan kufur bukan karena alasan taqiyah (melindungi diri dari ancaman). JADI proses panjang, sebelum hukum kufur disematkan.
.
[6]. Terkait takfir ini ada DUA HAK yang harus dipahami. Pertama, HAK ALLAH Yang Maha Tahu hakikat kekafiran seseorang. Bisa saja, seseorang dikafirkan karena memenuhi syarat-syarat Syariat, tetapi dia di sisi Allah tidak dinyatakan kafir. Hak seperti ini bukan wilayah manusia, tetapi wilayah Allah SWT. Kedua, HAK SYARIAT ISLAM. Setiap Muslim otomatis mendapat perlindungan Syariat. Sebagian orang statusnya tetap diakui sebagai Muslim, meskipun hatinya kafir, karena sesuai syarat-syarat Syariat. Contoh, kaum Khawarij. Meskipun mereka melakukan dosa amat sangat besar dengan mengkafirkan kaum Muslimin, secara Syariat mereka tetap diakui sebagai Muslim, bukan kafir. Maka itu para ulama Sunnah rata-rata sangat berhati-hati dalam urusan takfir. Sebab kalau keliru mengkafirkan bisa fatal. Hukum kekafiran bisa berbalik ke diri sendiri.
.
[7]. DUA DALIL sangat penting tentang pentingnya kehati-hatian dalam takfir dan tidak mengumbar hal itu secara sembrono. Pertama, Nabi Saw menghukumi lahiriyah manusia. Orang-orang munafik di Madinah tidak dikafirkan, meskipun hati mereka kafir. Kedua, Nabi Saw murka ketika Usamah Ra membunuh laki-laki yang telah berucap “laa ilaha illa Allah”. Hal ini jadi dalil bahwa Nabi Saw sangat hati-hati atas status keislaman seseorang.
.
[8]. Dalam kondisi ada manusia Muslim yang menghujat Syariat, menghujat Allah dan RasulNya, menghujat Al Qur’an, dan lainnya; maka kita BOLEH MENGINGATKAN para pelakunya lewat ANCAMAN KEKAFIRAN. Misal dengan kata-kata: “Hati-hati perbuatanmu bisa membawa kepada kekafiran!” Tanpa memvonis seseorang secara PERSONAL sebagai orang kafir. Vonis personal menunggu FATWA ULAMA.
.
Demikianlah, kaidah di atas harus diposisikan secara adil & proporsional. Tugas mengkafirkan, adalah tugas ulama kredibel. Kita boleh mengingatkan para PENGHUJAT SYARIAT dengan hukum kekafiran, tapi secara umum saja, bukan vonis individual.
.
SEMOGA bermanfaat, alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, wallahu a’lamu bi murodhihi.

(WeAre).

Memahami Konsep TAKFIR!

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Masalah TAKFIR (mengkafirkan seseorang) banyak dibahas di berbagai kesempatan. Ada yang bersikap lantang dalam Takfir; ada yang sangat lunak bahkan selunak-lunaknya. Hal ini cukup membingungkan Umat. Mari kita kaji tema Takfir ini untuk mendapatkan pemahaman. Bismillah, bi nashrillah, laa haula wa laa quwwata illa billah.
[a]. Orang Liberal mengklaim bahwa: “Yang berhak menghakimi kafir tidaknya seseorang hanyalah Tuhan. Manusia tidak berhak menghakimi manusia yang lain kafir.” Ini adalah kata-kata munkar bin bathil; karena justru Al Qur’an menjelaskan secara gamblang kafirnya kaum Yahudi, Nasrani, dan musyrikin. Bahkan Al Qur’an juga menyebut orang munafik sebagai kafir hatinya; meskipun amal-amalnya tampak Muslim.
Urusan Takfir Berkaitan dengan Darah dan Kehidupan Manusia.
[b]. Kaidah terbesar dalam TAKFIR (mengkafirkan) adalah: Kita mengkafirkan manusia yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya; dan kita melepaskan manusia yang tidak dipandang kafir oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi hukum Takfir mengikuti aturan Allah dan Rasul-Nya, layaknya berbagai perkara apapun dalam Islam.
[c]. Dua kaum sesat dalam Takfir, yaitu KHAWARIJ yang bermudah-mudah mengkafirkan manusia; dan MURJI’AH yang bermudah-mudah dalam menerima keislaman manusia. Ahlus Sunnah Wal Jamaah bersikap pertengahan, adil di antara kedua sekte itu.
[d]. Perkara Takfir bukan masalah mudah. Ia berada di area AKIDAH,  FIKIH, dan MUAMLAH. Disebut akidah, karena masalah Takfir berkaitan dengan pembeda antara iman dan kufur. Disebut fikih, karena ia dibahas oleh ulama-ulama dalam kitab-kitab fikih pada bab Hukmul Irtidad(hukum orang-orang yang murtad). Disebut muamalat, karena vonis kafir kepada seseorang ada dampak sosialnya (bagi keluarga dan masyarakat). Maka itu jangan sembarangan membahas masalah ini.
[e]. Masalah Takfir banyak dibahas terkait dengan pentingnya menegakkan Syariat Islam. Jika demikian, maka perkara Takfir ini harus kita angkat sesuai Syariat Islam juga, agar selaras. Tidak mungkin rasanya, kita ingin Syariat Islam tegak, tapi kita tidak mau meletakkan urusan Takfir dalam timbangan Syariat Islam.
[f]. Takfir dibedakan atas dua jenis: Takfir ‘Aamatau takfir global; dan Takfir Mu’ayyan atau takfir individu. Takfir ‘Aam misalnya perkataan: “Para penyembah kubur adalah kafir!” Nah, disini tidak disebut nama-nama para penyembah kubur; hanya disebut secara global. Ini boleh dilakukan, sebagai peringatan bagi manusia. Sebagian besar Takfir ulama Wahabi ada dalam posisi ini. Sedangkan contoh Takfir Mu’ayyan misalnya pada perkataan: “Si Fulan bin Fulan, beralamat disini, bekerja sebagai ini, identitasnya begini-begini; dia dinyatakan kafir karena menyebarkan kartun menghina Nabi SAW.” Nah, ini takfir individu.
[g]. Takfir akan berjalan sempurna sesuai Syariat Islam, jika terpenuhi 3 perkara: (1). Ada perbuatan, ucapan, atau sikap yang membuat manusia terkena hukum kekafiran; (2). Ada legitimasi hukum Syariat yang membuat hakim Islam bisa memutuskan vonis kafir kepada seseorang; (3). Ada lembaga penegak hukum Islam yang bisa merealisasikan hukuman (sanksi) terhadap orang yang murtad itu.
[h]. Sebuah contoh, misalnya ada manusia Muslim bernama Rusli melakukan perbuatan kekufuran, misalnya dengan menginjak-injak Al Qur’an. Maka kita tak bisa langsung memvonisnya kafir. Tapi kita serahkan perkara ini kepada Qadhi Syariat (hakim yang tegak berdasarkan Syariat Islam) untuk memeriksa perkaranya; sampai ada keputusan apakah kekafiran Rusli sudah mantap, atau ada keraguan padanya? Siapa tahu, saat menginjak-injak Al Qur’an Rusli dalam keadaan mabuk, sehingga dianggap seperti orang tidak waras. Kalau Qadhi Syariat tidak ada, kita mencarikan fatwa dari Dewan Ulama (Majelis Ulama) yang kredibel, untuk menanyakan status orang itu. Dewan Ulama harus melakukan penyelidikan untuk sampai kepada satu kesimpulan yang mantap.  Jika telah ada ketetapan hukum yang mantap bahwa Rusli memang kafir karena perbuatannya; penegak hukum Syariat segera bergerak untuk melaksanakan sanksi atas Rusli (si murtad).  Sanksi ditegakkan sesuai ketentuan Syariat. Tampak disini, untuk menegakkan hukum Takfir dibutuhkan: Kepastian perbuatan seseorang, legitimasi lembaga hukum Syariat, dan pelaksanaan sanksi sesuai Syariat. Inilah contoh Takfir sesuai Syariat. Kalau belum terpenuhi unsur-unsur ini, maka Takfir yang diberikan belum mencukupi aturan Syariat.
[i]. Kita tidak boleh menetapkan secara pasti (memvonis) misalnya: “Anggota MPR/DPR kafir murtad. Anggota TNI/Polri kafir murtad. Hakim, jaksa, pegawai negara kafir murtad.” Kata-kata demikian tidak boleh diucapkan. Alasannya: Siapa yang mengucapkan kata-kata itu? Apakah dia seorang Qadhi Syariat, atau seorang Mufti, atau seorang Ketua Dewan Ulama yang fatwa-fatwanya mengikat kehidupan kaum Muslimin? Karena fatwa kafir harus memiliki legitimasi hukum. Tidak bisa semua orang obral vonis Takfir. Nanti akan membuat semakin ruwet kehidupan Ummat. Alasan lain: Menyebut jelas “anggota MPR/DPR” kafir murtad, itu termasuk jenis Takfir Mu’ayyan, karena anggota lembaga itu jelas orang-orangnya. Manusia tahu siapa anggota lembaga-lembaga itu, karena ada daftar keanggotaannya. Takfir Mu’ayyan harus benar-benar dilakukan berdasarkan penyelidikan per individu, tidak bisa main pukul rata. Nabi SAW tidak pernah menghukumi kafir kepada suatu kaum secara global, kecuali kepada kaum yang benar-benar kafir seperti musyrikin Makkah, Yahudi, Nasrani, dan semisalnya. Dalam riwayat, Umar bin Khatthab RA meminja izin untuk membunuh seseorang karena dia hendak menyerahkan surat rahasia ke puak-puak musyrikin di Makkah. Namun Nabi mencegahnya, dengan alasan orang itu adalah peserta Perang Badar. Padahal perbuatannya secara zhahir sudah dianggap kafir, karena bersekutu dengan musuh Islam. Begitu juga Usamah bin Zaid RA pernah membunuh seseorang yang mengucap Laa Ilaha Illallah, lalu Nabi SAW marah besar kepadanya. Padahal secara logika, alasan Usamah sangat bisa dimengerti. Alasan lain: vonis semacam itu di negara yang tidak ada legitimasi hukum Hudud seperti Indonesia ini, akan menimbulkan perpecahan di antara kaum Muslimin. Sebaiknya, kaum yang bijak dan penuh perjuangan bersikap hati-hati dalam perkara seperti ini!
[j]. Fakta berbicara, bahwa dalam perjuangan Nabi SAW di Makkah, Takfir diangkat adalah untuk membedakan antara pengikut Tauhid dan pengikut thaghut. Sifat Takfir itu global, dan dalam konteks dakwah Islam. Sanksi atas kaum kafir tidak dilaksanakan di Makkah. Baru setelah kaum Muslimin memiliki legitimasi hukum untuk menetapkan hukum kafir kepada individu berikut sanksi hukumnya, ia dilaksanakan; yaitu setelah Ummat mendapati kedaulatan hukum di Madinah.
Singkat kata, kita harus berhati-hati ketika berbicara tentang Takfir ini. Sebagai Muslim, kita lebih suka jika lebih banyak orang yang menjadi Islam; bukan lebih banyak orang menjadi kafir. Kita mencintai keislaman atas orang lain, seperti kita mencintai keislaman atas diri kita sendiri. Nabi SAW bersabda: “Laa yu’minu ahadukum hatta yuhibba li akhihi maa yuhibbu li nafsih” (tidak beriman salah satu dari kalian, sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri). Cintailah untuk saudaramu, apa yang engkau cintai untuk dirimu sendiri.
Semoga risalah sederhana ini bermanfaat. Amin Allahumma amin.
(Abah Syakir).

Antara Takfir dan Thaghut
Bismillahirrahmaaniirahiim.
Ada satu persoalan yang berkembang di sebagian saudara-saudara kita, para ikhwanSalafi Jihadi (semoga Allah memuliakan mereka dan kita dengan Jihad di jalan-Nya), yaitu seputar Takfir. Masalah ini cukup menguras energi, pikiran, melelahkan batin, dan menimbulkan aneka pertikaian. Semoga tulisan sangat sederhana ini bisa sedikit mengurai persoalan itu, sehingga menghasilkan kebaikan. Amin Allahumma amin.
[1]. Tidak dipungkiri bahwa konsekuensi Tauhid bagi seorang Muslim, adalah mengakui otoritas hukum Islam. Siapa yang mengakui kedaulatan hukum Islam, dia adalah Muslim; sedangkan siapa yang menolak berlakunya hukum Islam dalam kehidupan, jatuh hukum kekufuran atasnya. Dalilnya adalah sikap Khalifah Abu Bakar As Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu yang memerangi kaum murtadin, karena mereka menolak hukum Zakat maal.
Kelihatan Mirip, Tapi Berbeda…
[2]. Sikap taslim(menerima) hukum Islam berkonsekuensi keislaman; sedangkan inkar (menolak) hukum Islam, berkonsekuensi kekufuran. Dalilnya, “Katakanlah, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya; jika kalian berpaling (dari Keduanya), maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali Imran: 32). Disini jelas terlihat, bahwa ingkar terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya bisa menimbulkan kekafiran.
[3]. Ada yang berpendapat, bahwa menolak hukum Islam yang menimbulkan kekafiran ialah yang disertai juhud (penolakan) dalam hati. Kalau menolak secara zhahir, sedangkan menerima secara batin; hal itu tidak dianggap sebagai kekafiran. Lalu muncul istilah “Kufrun duna kufrin” (kufur, tetapi bukan kufur yang berarti keluar dari Islam). Para ulama menjelaskan, bahwa iman itu meliputi: pembenaran dalam hati, perkataan dengan lisan, pengamalan dengan perbuatan. Ia merupakan suatu kesatuan, tidak terpisahkan. Sehingga tidak bisa seseorang disebut Mukmin, kalau hanya batinnya saja yang membenarkan. Maka itu para ulama ada yang membagi kekafiran menjadi beberapa bagian: kafir i’tiqadi (kafir keyakinan), kafir qauliy (kafir perkataan), dankafir ‘amaliy (kafir perbuatan). Namun ada toleransi, yaitu bagi siapa saja yang dipaksa mengucapkan kata-kata kekufuran, dengan ancaman kematian; dia boleh mengucapkan hal itu, demi keselamatan dirinya. (Kisah Ammar bin Yassir Radhiyallahu ‘Anhuma, seperti disebut dalam Surat An Nahl, 106).
[4]. Siapapun yang secara jelas menolak, mengingkari, membenci, atau menafikan hukum Islam; jatuh hukum kekafiran kepadanya. Orang-orang munafik di masa Nabi, seperti Abdullah bin Ubay dan para pengikutnya, secara batin mereka kufur terhadap risalah Islam; tetapi secara sosial, mereka tidak memperlihatkan tanda-tanda kekafiran. Syariat Islam hanya menghukumi manusia berdasarkan kenyataan zhahir. Kata Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Wa hisabuhu ‘alallahi Ta’ala” (dan perhitungan atas batin mereka, terserah kepada Allah). [HR. Muslim, dari Abi Abdillah Thariq bin Usyaim Radhiyallahu ‘Anhu].
[5]. Hukum takfir ini sering dijadikan alat oleh sebagian orang untuk mengkafirkan sesama Muslim, tanpa kaidah yang benar. Siapa saja yang dianggap tidak berhukum kepada hukum Allah (kadang dengan mudah diartikan sebagai “siapa saja yang tidak mau diajak masuk kelompoknya”), langsung dituduh kafir. Lalu muncul aneka macam vonis takfir; ada yang secara mutlak, ada yang dirinci sesuai posisinya, ada yang diikat dengan syarat-syarat tertentu. Malah metode takfir juga digunakan untuk membangun kelompok, mencari anggota baru, meraih dukungan dan fasilitas. Mereka membagi-bagikan vonis kafir dengan mudah, seperti membagikan voucher gratis. Hal ini menandakan bahwa yang bersangkutan kurang memahami dasar-dasar ajaran Islam.
[6]. Untuk memahami apakah hukum takfir berdasarkan loyalitas kepada hukum Islam sudah berlaku atau belum, caranya mudah. Lihatlah ketentuan hukum yang berlaku di sebuah negeri. Jika negeri itu sudah menerapkan hukum Islam, maka takfir secara hukmiyah, otomatis berlaku. Adapun jika di negeri itu belum berhukum dengan Syariat Islam, maka takfir tersebut tidak bisa diterapkan. Sebab, banyak dari kaum Muslimin mengikuti sesuatu bukan karena kesadaran atau sungguh-sungguh; tapi karena takut, karena ikut-ikutan, atau karena alasan mencari nafkah untuk keluarga. Jika kelak berlaku hukum Islam, mereka insya Allah akan menurut saja.
[7]. Dalil paling mudah untuk menjelaskan masalah takfir hukmiyah ini adalah Sunnah Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Ketika Nabi berdakwah di Makkah, disana berlaku hukum dakwah dan tarbiyah. Saat itu Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam tidak mengkafirkan manusia berdasarkan loyalitas kepada hukum Islam; tetapi berdasarkan akidahnya, apakah dia menyembah Allah atau menyembah thaghut? Kalau menyembah Allah, dia bertauhid alias Muslim; kalau menyembah thaghut, dia musyrik alias kafir. Sedangkan Nabi mengkafirkan manusia berdasarkan loyalitas kepada hukum Islam, baru diterapkan setelah Hijrah ke Madinah. Dalil yang bisa disebut disini ialah: Kisah Kaab bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu dan beberapa orang yang tidak ikut perang Tabuk, kisah pencegatan kafilah dagang Abu Sufyan yang berakibat terjadinya perang Badr, sikap Nabi kepada orang-orang munafik, konsekuensi perjanjian Hudaibiyah, dll.
[8]. Adalah tidak benar sikap bermudah-mudah memvonis kafir kepada orang lain, di atas kenyataan sebuah negara tidak berlandaskan hukum Islam ini. Kita belum memiliki hak menetapkan hukum kakafiran berdasarkan loyalitas kepada hukum Islam; sebagaimana kita belum bisa menerapkan sanksi hukum hududterhadap pelaku-pelaku perbuatan dosa besar. Alasannya, karena di suatu negeri (misalnya Indonesia) belum berlaku hukum Islam. Jika wasilah menuju suatu perkara tidak ada, otomatis hakikat perkara itu juga tidak ada. NabiShallallah ‘Alaihi Wasallam tidak menerapkantakfir hukmiyah di Makkah, sebelum ada Baiat Aqabah dan Hijrah. Takfir hukmiyah bisa diterapkan di suatu negeri yang sudah berlaku hukum Islam. Jika disana belum ada hukum Islam, maka yang berlaku adalah hukumdakwah, tarbiyah, dan siyasah (untuk menerapkan hukum Islam).
[9]. Tetapi bukan berarti takfir hukmiyah tidak berlaku. Ia tetap bisa diajarkan atau didakwahkan sebagai PERINGATAN bagi kaum Muslimin, agar mereka loyal kepada Syariat dan tidak loyal kepada hukum non Islami. Namun untuk menetapkan status kafir kepada seorang Muslim (suatu kaum) dan diikuti berbagai konsekuensi hukumnya; belum bisa dilaksanakan di negara yang tidak memberlakukan hukum Islam sebagai UU formal yang mengikat rakyatnya. Darimana kepastian takfir akan ditetapkan, sedangkan hukum yang menjadi rujukannya belum terwujud? Hal ini sama seperti ketika kita tidak bisa menetapkan sanksi bagi pelaku zina, mencuri, merampok, membunuh, minum miras, dll. sesuai hukum Islam; lantaran hukum itu sendiri belum berlaku secara formal.
[10]. Takfir dan thaghut adalah dua hal berbeda. Tetapi keduanya bisa saling berhubungan. Takfir di masa Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam di Makkah umumnya berlandaskan keingkaran manusia kepada Allah dan penghambaannya kepada thaghut. Sedangkan takfir di masa Nabi di Madinah, salah satunya bersumber dari loyalitas kepada selain hukum Islam. Takfir demikian belum berlaku di Makkah, sebelumFathu Makkah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahberkata: “Siapapun yang diibadahi selain Allah, selagi dia tidak membenci diibadahi, dia adalah thaghut. Dan siapa saja yang ditaati dalam rangka maksiyat kepada Allah, dan ditaaati dalam mengikuti jalan selain agama yang benar ini (Al Islam); sama saja apakah karena penerimaan kabarnya yang mengingkari Kitabullah atau ditaati perintahnya yang bertentangan dengan perintah Allah, dia adalah thaghut. Terhadap hal ini dinamai orang yang manusia berhukum kepadanya, dengan selain hukum Kitabullah, sebagai thaghut. Allah menamakan Fir’aun dan kaum Aad dengan sebutan tughat.” (Majmu’ Al Fatawa, juz 20, hlm. 200).
Dalam hal ini, Syaikhul Islam merangkum dua jenis sumber kekafiran sekaligus. Pertama, kekafiran yang bersumber dari penyembahan (ibadah) kepada selain Allah. Kedua, kekafiran yang bersumber dari berhukum kepada selain Syariat Islam. Kedua sumber kekafiran itu dinamai sebagai thaghut.
Semoga risalah sederhana ini bermanfaat. Jazakumullah khair atas segala perhatian. Dan mohon dimaafkan atas segala khilaf dan kesalahan. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
(Ayah Syakir).