Saturday, October 17, 2015

Kritikan Syiah Zaidiah Terhadap Konsep ‘Ishmah Syiah Itsna’asyariah dan Syiah Isma’iliah

Prof. Dr. Kamaluddin Nurdin Marjuni, MA 16/10/15 13:00 )
Imamiah dan Isma’iliyah telah bersepakat mengenai pentingnya keberadaan seorang imam yang ma’shum, yang kepimpinannya melalui penentuan “nash”, dan ke semua imam berasal dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Karena sifat ma’shum merupakan salah satu prinsip utama bagi rangka akidah mereka. Dan sifat ma’shum ini memiliki urgensi yang besar bagi mereka Islam Syiah. Oleh karena itu seorang imam mesti memiliki sifat ma’shum.  Seorang ulama Isma’iliah bernama Ali bin al-Walid berkata: “ dasar agama dan syariat (Syiah) mengandung pengajaran atau unsur kemaksuman seorang imam”[1].
Sifat ma’shum ini diqiaskan kepada Nabi saw. Sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar – seorang ulama Syiah imamiah modern-: “ sesungguhnya seorang imam seperti Nabi saw yang wajib memiliki sifat ma’shum dari semua keburukan dan kejelekan, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dari semenjak kecil sampai mati, secara sengaja ataupun tidak sengaja. Sebagaimana dia juga mesti ma’shum (terpelihara) dari lalai, salah, dan lupa. Karena para imam adalah penjaga syariat, dan kondisi orang yang menegakkan syariat sama dengan kondisi Nabi saw”[2].
Sorang imam memiliki semua sifat dan kemampuan yang juga dimiliki oleh Nabi saw.  Dan dia juga memiliki wilayah dan kekuasaan terhadap manusia, sama dengan yang dimiliki oleh Nabi saw. Dan tidak ada sesuatupun yang membedakannya dengan Nabi saw kecuali pada perkara turun wahyu, karena imam telah mengambil dari Rasulullah saw apa yang telah diturunkan oleh Tuhannya kepadanya. Dan konklusi yang pasti adalah bahwa seorang imam dengan pengertian seperti ini memiliki sifat ma’shum sama seperti Nabi saw. Dan orang yang menafikan kema’shumannya berarti telah menafikan imamahnya, sebagaimana dia juga berarti telah menafikan kenabian[3].
Jika begitu –menurut pendapat mereka- jika ditetapkan bahwa para nabi adalah ma’shum maka para imam juga adalah ma’shum, karena mereka memiliki kesamaan dalam ‘iilat yang karena ‘illat tersebut mereka diciptakan.
Donaldson berkata: “sesungguhnya Syiah berusaha mati-matian membuktikan dakwah para imam, maka mereka tampakkan akidah sifat ma’shum para rasul dengan menyipati mereka sebagai para imam juga”[4].  Dan mereka memiliki keyakinan bahwa cabang memiliki kesamaan dengan asal dalam berbagai hukum. Jadi mereka berkeyakinan para imam memiliki sifat ma’shum berdasarkan bahwa mereka itu adalah para khalifah yang ma’shum[5].
Para imam dalam pandangan imamiah itsna asyariah dan isma’iliyah bathiniah bukan hanya sekedar ma’shum dari dosa-dosa yang besar dan kecil saja, bahkan ma’shum dari segala sesuatu. Dengan pendapat ini berarti mereka menetapkan ma’shum mutlak bagi para imam. Dan di antara perkataan imamiah itsna asyariah mengenai hal ini adalah perkataan as-Sayyid Muhsin al-Amin al-Husaini al-‘Alimi: “seorang imam mesti memiliki sifat ma’shum dari berbagai dosa, salah, dan lupa, seperti Nabi saw. Dan dia harus memiliki semua sifat kesempurnaan, dan suci dari segala kekurangan. Dan dia merupakan orang yang paling mulia pada masanya”[6].
Sedangkan Ibnu al-Muthahhir al-Hulliy berkata: “ seorang imam mesti dilantik oleh Allah ta’ala. Ma’shum dari segala dosa dan kesalahan, agar jangan sampai dia tinggalkan beberapa hukum atau menambahnya secara sengaja ataupun karena lalai”[7].
Berbagai sebab sifat ma’shum menurut mereka adalah sebagaimana yang digambarkan oleh Syaikh al-Mufid:
Ada keistimewaan pada diri dan badan orang yang ma’shum yang menghalangnya dari berbagai perbuatan maksiat.
Dia memiliki pengetahuan mengenai keburukan dan kejelekan berbagai perbuatan maksiat, dan begitu juga halnya dengan berbagai perbuatan baik dan terpuji.
Pengetahuan ini dikuatkan dengan wahyu yang berkesinambungan dan ilham dari Allah.
Allah selalu mengingatkannya mengenai apa yang harus dia tinggalkan dan apa yang harus dia lakukan, maka dia selalu mengetahui perkara yang benar[8].
Sedangkan berbagai perkataan isma’iliyah bathiniah mengenai sifat ma’shum  adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad an-Naisaburi: “ tidak ada seorangpun yang menyerupainya dari segi kesucian, akhlak yang terpuji, kebaikan, kedermawanan, kelembutan, dan keberanian, yang tidak akan mungkin dapat dihitung oleh orang yang seperti kita. Dia juga jauh dan terpelihara dari segala dosa, aib, dan kekurangan”[9]. Dan di lain tempat, dia juga berkata bahwa para imam: “ ma’shum dari segala dosa dan aib”[10].
Dalam kitab al-Majalis wal-Musayarat dipaparkan perkataan al-Mu’izz Lidinillah[11]: “maka segala puji kepada Allah yang telah menganugerahkan sifat ma’shum kepada kita, dan Dia tidak berikan kepada kita rasa nafsu terhadap apa yang Dia haramkan”[12].
Melalui berbagai perkataan ini, kita dapat melihat dengan jelas sejauh mana pandangan mereka terhadap imam dan sifat ma’shum. Bagi mereka seorang imam mesti memiliki sifat ma’shum seperti Nabi saw, tanpa ada perbedaan. Karena dia adalah yang menjaga syariah, dan yang melaksanakan tugas menyampaikan risalah Allah Azza wa jalla setelah kematian Nabi saw.  Dan hanya dia sendiri yang menjadi sumber ilmu, hanya saja dia tidak menerima wahyu. Dan faktor terakhir inilah yang membedakannya dengan Nabi saw.
Di antara dalil-dalil yang dijadikan hujjah oleh imamiah itsna asyariah dan isma’iliyah bathiniah mengenai kewajiban sifat ma’shum bagi para imam adalah firman-Nya swt:
(إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً) الأحزاب: 33
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS.al-Ahzab: 33).
Ayat di atas merupakan ayat yang fenomenal dan menjadi kontroversi antara Ahlu Sunnah dan Syiah.
Komentar yang diberikan oleh Syiah yang ketika menjadikan ayat ini sebagai dalil mereka: “sesungguhnya para ahli tafsir telah bersepakat mengenai sebab turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan hak Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain ra. Dan ayat ini menunjukkan secara tegas sifat ma’shum mereka, karena orang yang tidak ma’shum tidak bisa menjadi imam”[13].
Dalam padangan mereka, sesungguhnya ayat tersebut mengungkapkan secara terang-terangan mengenai kema’shuman para imam dari berbagai perbuatan maksiat, sebagaimana yang ditetapkan dengan kalimat innama, yang merupakan tanda pembatasan dan menunjukkan kepada pengkhususan[14].
Ibnu al-Muthahhar al-Hulliy al-Imami berkata: “ dan di dalam ayat ini ada tanda mengenai sifat ma’shum, yang disertai dengan penegasan dengan lafaz “innama” (pembatasan), juga dengan keberadaan huruf “lam” pada khabar, serta pengkhususan dalam pembicaraan dengan perkataan “ahlul bait”, pengulangan dengan kalimat “yuthahhirukum”, dan penegasan dengan kalimat “tathhira”. Dan orang yang selain mereka tidak ma’shum”[15].
Seorang ahli tafsir Syiah imamiah bernama al-Faidh al-Kasyani berkata dalam kitab tafsirnya yang bernama ash-Shafi mengenai imam al-Baqir: “ayat ini diturunkan untuk  Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan, dan Husain as di rumah Ummu Salmah”[16].
Dalam salah satu kitab Syiah Isma’iliyah bathiniah yang bernama Masa`il Majmu’ah Min al-Haqa`iq al-Aliyah wad-Daqa`iq wal-Asrar as-Samiyah tanpa nama pengarang dipaparkan mengenai ta`wil ayat ini sebagai penjelasan bagi sifat ma’shum imam, dan sesungguhnya ibu-ibu para imam terhindar dari haid: “yang dimaksud ar-rijs (dosa) dalam ayat tadi adalah darah haid. Dan jika telah sempurna masa kehamilan maka individu tersebut lahir sebagaimana manusia normal, akan tetapi dia memiliki kesucian, sinar, dan cahaya, yang tidak bisa disifatkan. Sedangkan dia hanya sebuah tubuh. Dan kemunculan mukjizat serta tanda-tanda yang luar biasa hanya akan muncul setelah bapaknya diangkat menjadi imam. Dan elemen kepimpinan “imamah” bersambung dengannya melalui perantara akal pertama “first intelligence” (العقل الأوُل) yang tidak bersifat materi kepada akal kesepuluh”[17].
Dari itu semua, maka Syiah memiliki pendapat bahwa para imam memiliki sifat ma’shum karena kesucian mereka dari segala dosa, baik dosa besar ataupun dosa kecil. Mereka semua terjaga dari segala jenis dosa, baik secara lalai ataupun secara sengaja. Serta berbagai klaim dan perkataan yang lainnya.
Syiah Isma’iliyah bathiniah juga memberikan dalil mengenai sifat ma’shum para imam dengan firman Allah swt:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً) النساء: 59
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)
Dengan ayat ini Allah telah mewajibkan manusia untuk menaati seorang  imam. Dan ketaatan kepada imam berhubungan dengan ketaatan kepada-Nya, dan ketaatan kepada Rasul-Nya. Secara logika tidak mungkin mutiara disambungkan dengan kotoran, dan yang mulia tidak mungkin disambungkan dengan yang hina, yang suci dengan najis. Kewajiban untuk menyambungkan ketaatan imam dengan ketaatan kepada Rasulullah saw yang ma’shum adalah karena kedudukan dan posisi imam sama dengan posisi Rasulullah saw. Dan ketaatan kepada Rasulullah saw diwajibkan akibat sifat ma’shumannya, jadi ketaatan kepada imam juga mesti karena sifat ma’shumannya. Jika begitu, maka imam adalah seorang yang memiliki sifat ma’shum[18].
Dari uraian yang terdahulu nampak jelas bahwa semua yang menunjukkan  kewajiban kenabian (nubuwwah) juga menunjukkan kewajiban kepimpinan (imamah). Dan karena para Nabi as adalah seorang yang ma’shum, maka para imam juga adalah orang yang ma’shum.
Pada hakikatnya, sesungguhnya sifat ma’shum yang dinisbahkan kepada para imam mereka bertujuan menetapkan riwayat-riwayat Syiah yang bertentangan dengan akal dan logika yang dinisbahkan kepada imam, untuk menutup pintu pertanyaan-pertanyaan dan perdebatan bagi para pemikir dan cerdik cendekia mengenai isi kandungannya. Dan memaksa manusia untuk menerima berbagai riwayat tersebut, karena dia bersumber dari imam ma’shum yang tidak pernah melakukan kesalahan[19].
Sebagai contoh riwayat-riwayat yang tidak masuk akal pikiran manusia adalah beberapa riwayat dalam kitab Ushul al-Kaafi, terdapat Bab yang berjudul: Para Imam Mengetahui masa kematian dan mati dengan pilihan sendiri:
عَنْ أَبِي جَعْفَر عَلَيْهِ السَّلاَم قَالَ: أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى النَّصْرَ عَلَى الْحُسَيْن عَلَيْهِ السَّلاَم حَتَّى كَانَ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ ثُمَّ خُيِّرَ: اَلنَّصْرُ، أَوْ لِقَاءُ اللهِ، فَاخْتَارَ لِقَاءَ اللهِ تَعَالَى[20] .
“Dari Abi Jafar as. Ia berakata: Allah menurunkan kejayaan kepada Husein as antara langit dan bumi, kemudian Allah bagi pilihan kepadanya antara berjaya atau berjumpa dengan Allah (mati), Husein memilih untuk bertemu dengan Allah”.
Pada riwayat lain disebutkan tentang kehebatan ilmu para imam:
عَنْ أَبِي جَعْفَر عَلَيْهِ السَّلاَم قَالَ: إِنَّ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عِلْمَيْنِ: عِلْمُ لاَ يَعْلَمُهُ إِلاَّ هُوَ وَعِلْمٌ عَلَّمَهُ مَلاَئِكَتَهُ وَرُسُلَهُ، فَمَا عَلَّمَهُ مَلاَئِكَتَهُ وَرُسُلَهُ عَلَيْهِمُ السَّلاَم فَنَحْنُ نَعْلَمُهُ[21] .
Kritikan Syiah Zaidiyah
Sebagaimana yang tadi telah diisyaratkan sebelumnya bahwa Syiah Imamiah itsna asyariah dan Syiah Isma’iliyah bathiniah adalah golongan yang memiliki pandangan kewujudan sifat ma’shum pada imam, karena mereka berkeyakinan bahwa para imam seperti para nabi yang tidak pernah melakukan kesalahan, serta tidak melakukan perbuatan maksiat. Imam adalah orang yang memiliki pengetahuan yang tidak terbatas sebab langsung menerimanya dari Tuhan melalui ilham dengan perantaraan ruh. Oleh karena itu ketaatan kepada mereka hukumnya wajib.
Ibnu al-Muthahhar al-Hulliy menjelaskan bahwa hanya golongan Syiah Imamiyah itsna asyariyah dan Syiah Isma’iliyah saja yang mengatakan bahwa para nabi dan imam memiliki sifat ma’shum”[22]. Dan ini merupakan suatu pandangan yang tidak berdasar, sebab Ahlu Sunnah mengakui kemaksuman para Nabi, dan yang tidak diakui adalah kemaksuman para imam Syiah.
Lalu timbul pertanyaan apakah Syiah Zaidiyah juga berpendapat bahwa imam memiliki sifat ma’shum ataukah tidak?
Tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama bahwa imam Zaid tidak pernah mengatakan bahwa imam adalah ma’shum. Maka tidak ada satupun ahli sejarah mengenai aliran-aliran dalam Islam yang menisbahkan akidah ini kepadanya, baik sifat ma’shum untuk dirinya sendiri ataupun untuk para imam yang lainnya. Bahkan imam Zaid dibebaskan dari akidah ini dan tidak pernah terdengar darinya. Syaikh Abu Zuhrah berkata: “sesungguhnya imam Zaid melihat bahwa imam dari keturunan Fathimah adalah seorang manusia yang sama dengan manusia yang lain, yang tidak ma’shum dan tidak terlepas dari kesalahan. Ilmu pengetahuan yang dimilikinya bukanlah merupakan anugerah ataupun pemberian, akan tetapi berasal dari hasil pembelajaran dan pencarian. Dan diapun melakukan perbuatan yang salah dan benar sebagaimana manusia yang lain”[23]. Dan perkataan Abu Zuhrah ini ditegaskan oleh DR. Ali Sami an-Nasysyar yang menganggap bahwa salah satu prinsip imam Zaid dalam kepimpinan “imamah” adalah tidak berpendapat bahwa para imam memiliki sifat ma’shum[24].
Namun pengikut imam Zaid atau Zaidiyah, ulama berbeda pendapat mengenai perkara kemaksuman ini dalam golongan Syiah Zaidiyah, sebagian dari mereka berpendapat bahwa Syiah Zaidiyah tidak mengenal ma’shum imam. Dan menurut mereka, inilah yang membedakan Syiah Zaidiyah dengan golongan Syiah yang lainnya (Imamiyah dan Isma’iliyah). Hal ini ditegaskan oleh pengarang kitab “Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna ‘Asyariyyah”. bahwa Syiah Zaidiyah tidak berpandangan bahwa imam itu adalah seorang yang ma’shum, teks perkataannya adalah: “dan zaidiyah adalah pemimpin yang tidak mensyaratkan sifat ma’shum dalam kepimpinan (imamah)”[25].
Salah seorang ulam Syiah Imamiyah bernama Al-Thusi, ia menegaskan bahwa Syiah Zaidiyah tidak memastikan mengenai sifat kemakshuman imam Zaid, juga tidak mengklaim bahwa termasuk di antara syarat imam (dalam Zaidiyah) adalah kepastian mengenai adanya sifat ma’shum”[26]. Pendapat ini  juga dikuatkan oleh seorang pengikut Syiah Isma’iliyah, yaitu DR. Arif Tamir yang mengatakan bahwa Syiah Zaidiyah menolak sifat ma’shum, taqiyyah, dan keghaiban imam”[27].
Dari teks-teks tersebut jelas terlihat bahwa Syiah Zaidiyah tidak memiliki keyakinan tentang kemaksuman seorang imam. Sebab mereka sendiri mengikut kepada pendapat imam mereka, dan panutan ideal mereka, yaitu Zaid bin Ali bin al-Husein. Jika begitu, maka pendapat ‘ishmah tidak wujud dalam dasar dan prinsip kepimpinan “imamah” Syiah Zaidiyah.
Berdasarkan atas penafian Syiah Zaidiyah terhadap kema’suman para imam, maka syaikh Ali Ashfur menolak penggolongan Zaidiyah sebagai bagian dari golongan Syiah[28].
Yang menguatkan penafian Syiah Zaidiyah bagi sifat ma’shum para imam adalah perkataan seorang ulama Zaidiyah bernama imam al-Hadi Yahya bin al-Husain, ketika membahas mengenai pemecatan seorang imam: “kepimpinan (imamah) seorang imam menjadi hilang (rusak) jika dia melakukan dosa besar dan kemaksiatan. Maka kelayakannya dinilai dan tidak dimaafkan dengan tindakan taubat darinya. Jika dia telah melakukan kemaksiatan maka menjadi gugur kepimpinannya (imamahnya), dan menjadi batal sifat keadilannya, dan umat tidak diwajibkan untuk membaiatnya. Dan di sisi Allah dia adalah orang yang terhina, terlaknat, dimurkai, dan termasuk golongan orang fasik yang harus diperangi dan haram untuk tunduk kepada mereka”[29].
Akan tetapi, pada hakikatnya, sesungguhnya Syiah Zaidiyah tidak memiliki pendapat yang sama mengenai sifat ma’shum. Sebagian mereka berpendapat –seperti pendapat golongan Syiah Imamiah itsna asyariah dan Syiah Isma’iliyah bathiniah- bahwa imam wajib memiliki sifat ma’shum. Akan tetapi, mereka mensyaratkan sifat ma’shum ini wujud setelah dakwah (seruan imamah), pelantikan imam, dan setelah dia memerangi orang-orang yang zalim. Karena tidak ada jalan untuk menetapkannya sebelum itu. Pandangan ini dikemukakan oleh al-Sayyid Abul Abbas al-Hasani[30].
Pendapat ini juga disokong ulama Syiah Zaidiyah, yaitu imam Abu al-Qasim Muhammad bin al-Qasim al-Hutsi, yang berkata: “sifat ma’shum tidak berhak disandang oleh siapapun setelah Ahli Kisa” (Ali, Fathimah, Hasan dan Husein), kecuali untuk sekelompok ahlul bait as, yang mereka itu merupakan orang-orang yang layak untuk duduk dalam kepimpinan (imamah) dengan dasar penetapan dari Allah”[31].
Dari teks ini jelas bahwa semua imam Zaidiyah ma’shum tanpa ada perbedaan, baik mereka itu adalah dari Ahli Kisa’ ataupun tidak, yang penting ia berasal dari kalangan ahlul bait.
Pada tempat lain, seorang ulama Zaidiyah bernama Imam Humaidan bin Yahya menyebutkan bahwa imam Ali bin Ali Thalib adalah seorang imam yang ma’shum. Dia menyebutkan perihal ini manakala dia mengomentari pendapat salah seorang penganut mazhab Syiah Zaidiyah mengenai sifat ma’shum Ali ra. Dia berkata: “adapun pandangan mengenai sifat kema’shuman Ali as, maka ada perselisihan pendapat di antara pengikut Syiah Zaidiyah, yang benar adalah pandangan bahwa Allah swt manakala memberikan penentuan “nash” kepimpinan kepada imam Ali sebagai wali umat mukmin, dan ia adalah khalifah setelah wafatnya Nabi, maka semenjak itu diketahui bahwa Allah Swt mengetahui kemaksuman imam Ali, dan percaya kepada Allah adalah hukumnya wajib, olehnya itu wajib diyakini bahwa kemaksuman Ali hasil dari pilihannya sendiri. Dan sebagian Syiah Zaidiyah berpandangan lain bahwa Allah swt memberikan kepada orang yang ma’shum berbagai sifat yang menjadikannya orang yang ma’shum. Yang berarti sifat ma’shum yang dia miliki adalah suatu kewajiban dari Allah swt. Dan jika sifat ma’shum ini merupakan kewajiban dari Allah maka orang yang dikatakan ma’shum tidak memilik keutamaan, dan dia tidak mendapatkan ganjaran atas sifat ma’shumnya”[32].
Sebagian penganut Syiah Zaidiyah membatasi sifat ma’shum hanya kepada Ahli Kisa saja, yaitu Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husein. Hal ini dinyatakan oleh seorang ulama Syiah Zaidiyah yang bernama Imam Syarafuddin bin Badruddin, ia tegaskan bahwa sifat ma’shum hanya dimiliki oleh Nabi Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan as, dan Husain as[33].
Meskipun para ulama Syiah Zaidiyah, terutama imam Muhammad bin Hasan ad-Daylami melontarkan berbagai kritikan keras terhadap Syiah Isma’iliyah terhadap kepercayaan ‘ishmah yang diyakini kewujudannya untuk semua imam tanpa terkecuali, namun mereka pun meyakini ‘ishmah tersebut dan terbatas kepada tiga imam, yaitu Ali bin Abi Thalib, Hasan, dan Husain.
Pendapatnya ini jelas kelihatan dalam komentarnya mengenai teori zahir dan batin menurut pandangan Syiah Isma’iliyah bathiniah. Lebih tepatnya, manakala dia mengkritik perkataan seorang ulama Syiah Isma’iliyah bernama ad-Da’i Ibrahim bin al-Husain al-Hamidi dalam kitabnya “al-Mubta’ wa al-Muntaha”: “sesungguhnya penta`wilan satu lafazh kepada 777 makna, boleh meningkat kepada 7000 makna, bahkan boleh lebih dari bilangan tersebut”. Imam Muhammad bin Hasan ad-Daylami mengkritik pandangan tersebut dan berkata: “manakala mereka berkata -maksudnya Syiah Isma’iliyah bathiniah- sesungguhnya kami merujuk suatu makna berdasarkan perkataan seorang imam yang ma’shum, maka makna yang selainnya tidak boleh diambil. Maka kami jawab: sesungguhnya hal ini berdasarkan kepada sifat ma’shum seorang imam, dan tidak ada dalil bagi sifat ma’shum seorang imampun setelah imam yang tiga –Ali, Hasan, dan Husain, jika memang ada maka datangkanlah dalilnya”[34].
Dari teks ini nampak jelas bahwa Syiah Zaidiyah mengakui kemaksuman bagi tiga imam, yaitu: Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain.
Salah seorang ulama Syiah Zaidiyah bernama imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha memiliki pandangan yang saling berbeda, pada kitab “al-Durar al-Faraaid” ia mengatakan bahwa sifat ‘ishmah ditujukan kepada Ahli Kisa, yaitu imam Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husein, dengan dasar dalil firman Allah swt:
(إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً) الأحزاب: 33
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS. Al-Ahzaab: 33).  Dan dilalah ayat ini adalah sebagaimana berikut:
Ini adalah ayat yang bersifat pasti (qath’i) dan tidak boleh diingkari.
Sesungguhnya yang dimaksud dengan ar-rijs (dosa) di dalam ayat ini adalah berbagai kesalahan. Karena ar-rijs menurut pengertian bahasa adalah ibarat benda-benda yang kotor dan buruk. Dan yang dimaksudkan dengan ayat ini hanyalah makna ini saja. Maka kalau begitu, sudah pasti sifat ma’shum mereka itu dari berbagai kesalahan.
Yang dimaksud dengan ahlul bait adalah Ali, Hasan, dan Husain.
Sesungguhnya ketiga orang imam ini wajib memiliki sifat ma’shum, karena bagi setiap satu dari ketiga imam ini memiliki dalil yang tersendiri[35].
Namun di kitab lain “al-Qalaaid fi Tashih al-Qalaaid”, imam Ahmad Yahya al-Murtadha hanya menetapkan  kemakshuman kepada Rasulullah Saw saja. Yaitu tepatnya ketika menerangkan masalah ‘ishmah dan pandangan Syiah secara keseluruhan tentang keabsahan ‘ishmah dalam akidah Syiah. Ia menegaskan: “dan yang betul menurut pendapatku bahwa sesungguhnya berbagai dalil yang dipaparkan oleh orang yang menetapkan sifat ma’shum ini bersifat zhanniy. Maka ayat Al-Quran ini walaupun isinya (matan) bersifat qath’i[36], akan tetapi kita mengetahui bahwa yang dimaksud dengan ahlul bait adalah: Ali, Hasan, Husain, dan Fathimah, hanyalah melalui hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salmah dan yang lainnya, dan semua hadits ini adalah hadits Ahad[37], yang tidak dapat menunjukkan kepastian bahwa yang dimaksudkan dengan ahlul bait adalah mereka. Jadi hadits-hadits tersebut hanyalah memberikan pengertian yang bersifat zhanni[38]. Dan jika kita tidak dapat memastikan bahwa yang dimaksudkan dengan ahlul bait adalah mereka, maka juga tidak dapat dijadikan kepastian bahwa mereka memiliki sifat ma’shum. Dan semua hadits yang membicarakan mengenai sifat ma’shum mereka adalah hadits ahad, kecuali hadits mengenai perwalian yang kesahihannya adalah qath’i, namun dilalahnya untuk sifat ma’shum adalah berdasarkan keumuman doa Nabi saw untuk Ali, dan itu bukanlah suatu yang sifatnya qath’i. jika begitu, maka tidak ada dalil qath’i bahwa yang dimaksudkan dengan doa Rasulullah saw adalah sifat ma’shum dalam semua keadaan dirinya. Dan sesungguhnya pendapat kami berlandaskan perkara yang umum dan zahir, dilalah yang bersifat zhanni dan bukannya qath’i. kemudian dia berkata: maka inilah yang rajah menurut pendapat kami [39].
Sebagai catatan dari ucapan dan teks ini, nampaknya imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha cenderung menafikan sifat ‘ishmah para imam secara keseluruhan tanpa terkecuali, yaitu manakala dia menukil ucapan am-Mu`ayyid Billah Ahmad bin al-Husain bin Harun yang berbunyi: “dan tidak ada yang memiliki sifat ma’shum setelah Nabi saw kecuali Ali, Hasan, Husain, dan Fathimah”, maka imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha berkata: “saya berkata: pendapat ini perlu dikaji ulang”[40]. Jadi dari komentarnya “pendapat ini perlu dikaji ulang” memberikan pengertian bahwa tidak betul pendapat yang mengatakan keberadaan sifat ma’shum untuk Ali, Hasan, Husain, dan Fathimah. Jika begitu, maka menurut pendapatnya, kepimpinan “imamah” tidak berdasarkan kepada sifat ma’shum.
Dari paparan, uraian dan pandangan berbagai ulama Syiah Zaidiyah dapat disimpulkan Syiah Zaidiyah berbeda pendapat tentang kemaksuman imam kepada:
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa sifat ma’shum hanya dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib saja.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa sifat ma’shum hanya dimiliki oleh Ahli Kisa, yaitu: Ali, Fatimah, Hasan dan Husein.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa sifat ma’shum dimiliki oleh semua imam.
Namun mayoritas Syiah Zaidiyah berpendapat kewujudan sifat ma’shum pada diri Ahli Kisa saja. Dan sifat ma’shum tidak bersifat mutlak (obsolut). Jadi tidak berkaitan dengan kesalahan, lalai, dan lupa – sebagaimana halnya pandangan Syiah Imamiyah dan Syiah Isma’iliya-. Dan selain perkara syariat, seperti perkara fatwa, permasalahan politik serta sosial, sifat kemaksuman yang dimiliki oleh seorang imam bukan suatu kewajiban untuk mengikuti semua tindakan-tindakan mereka[41].
Pada tempat lain seorang ulama Syiah Zaidiyah bernama al-Shahib Ibnu ‘Ubbad menjelaskan tentang hakikat perbedaan pandangan fahaman sebahagian Syiah Zaidiyah tentang ‘ishmah dengan Syiah Imamiyah dan Syiah Isma’iliyah, dia jelaskan bahwa kemaksuman imam dalam pandangan Syiah Zaidiyah tidak sama dengan kemaksuman Rasulullah yang bersifat mutlak (obsolut) dan terpercaya sepenuhnya yaitu dapat terhindar dari segala-galanya, seperti sifat lalai dan lupa[42]. Kemudian ia memaparkan berbagai dalil akli yang diketengahkan oleh kelompok Syiah Zaidiyah yang berpendapat kewujudan sifat ma’shum bagi imam, yaitu:
– Pertama: sesungguhnya mereka berkata: seorang imam diamanahkan oleh Allah taala dengan berbagai perkara agama. Dan Allah taala tidak boleh memberikan amanah kepada orang yang tidak amanah. Jika begitu keadaannya, maka kita dapatkan kesimpulan bahwa jika hilang sifat amanah darinya, maka Allah taala menyingkap kekurangannya di hadapan umat manusia.
– Kedua: mereka berkata, sesungguhnya seorang imam jika tidak memiliki sifat ma’shum maka tidak dapat dipastikan jika dia memiliki keyakinan ateisme ataupun kafir, maka dia perdayakan Islam dengan tipu daya yang tidak dapat dikesan.
al-Shahib Ibnu ‘Ubbad menganggap bahwa dalil akli di atas keliru dan salah, sebab tidak ada perbedaan di antara orang yang menjadikan hal ini sebagai alasan untuk sifat kewujudan sifat ‘ishmah bagi imam, dan yang menjadikannya sebagai alasan untuk sifat ma’shum para panglima tentara. Karena panglima tentara yang dilantik oleh imam untuk menjaga Negara dan memerangi orang kafir, jika tidak memiliki sifat ma’shum maka tidak dipastikan bahwa dia tidak akan memperdaya Islam dengan tipu daya yang tidak dapat dikesan. Jika panglima tentara tidak wajib memiliki sifat ma’shum, maka seorang imam juga tidak wajib memiliki sifat ma’shum[43].
Berikut adalah pemaparan kritikan Syiah Zaidiyah terhadap konsep ‘ishmah Syiah Imamiyah dan Syiah Isma’iliyah yang bersifat mutlak (obsolut), yaitu seorang imam dengan kemaksumannya akan terhindar dari segala jenis dosa, kesalahan, kekeliruan, kelalaian, lupa dan semua sifat-sifat lain yang hanya dimiliki oleh Nabi saw sebagai insan yang ma’sum.
Ulama Syiah Zaidiyah menggambarkan pemahaman Syiah Imamiyah dan Syiah Isma’iliyah tentang konsep ‘ishmah imam bahwa mereka sepakat tentang wajib adanya seorang imam yang ma’shum dalam setiap masa, bertujuan untuk melaksanakan kebenaran, menjadi rujukan dalam menta’wil zahir ayat, menyelesaikan kemusykilan yang ada di dalam Al-Quran dan hadits, dan menyingkap segala yang samar dalam perkara logika. Dan  mereka mendakwah bahwa kedudukan imam dan Nabi sama-sama ma’shum serta sederajat atau setingkat dengan Nabi Saw, dan keduanya mengetahui hakikat segala sesuatu, hanya saja imam tidak diturunkan wahyu kepadanya. Oleh karena itu imam menerima wahyu dari Nabi saw, karena dia adalah pelapis dan penerusnya. Disebabkan ke semua hal ini, maka kewujudan seorang imam wajib untuk melaksanakan hukum hudud, menjaga kemurnian Islam, memelihara kesatuannya, menjelaskan berbagai kewajiban dan perkara-perkara yang buruk. Dan di dalam diri imam terdapat kebaikan agama dan dunia. Dan imam mampu mengetahui perkara-perkara gaib[44].
Sebagai bantahan, imam al-Shahib bin Ubbad memberikan kritikan yang mendalam terhadap dakwaan di atas, ia berpendapat bahwa anggapan yang mengatakan seorang imam menempati kedudukan Rasul. Maka iapun juga mesti memiliki sifat ‘ishmah sebagaimana kemaksuman yang dikecapi oleh Rasul, dalam bantahannya disebutkan bahwa pendapat ini sebenarnya muncul akibat pemahaman dan klaim yang tidak benar. Karena tujuan mereka hanya semata ingin menegaskan kehebatan seorang imam yang sederajat dengan Nabi, sehingga dengan teori persamaan ini secara tidak langsung memberikan makna bahwa imam ahlul bait adalah rujukan umat dalam memahami syariah Islam, sebab Nabi telah wafat, dan yang menggantikan beliau adalah imam, maka imam menjadi sumber pengajaran setelanya”[45].
Seorang lagi dari kalangan ulama Syiah Zaidiyah bernama imam Yahya bin Hamzah memaparkan pendapat Syiah Imamiyah dan Syiah Isma’iliyah mengenai kepahaman ma’shum bagi seorang imam, dan dia kritik pendapat mereka ini dalam kitabnya “Misykah al-Anwar”. Di antara kritikannya ini adalah:
– Pertama: pendapat mereka bahwa seorang imam menempati kedudukan Rasulullah saw dalam semua perkara yang berkaitan dengan agama. Jika Nabi saw bersifat ma’shum, maka seorang imam juga wajib memiliki sifat ma’shum.
Dalam bantahannya disebutkan bahwa dengan pendapat ini mereka gabungkan antara berbagai perkara yang saling berjauhan dan tidak dapat digabungkan. Dan mereka satukan berbagai perkara yang tidak dapat disatukan. Sementara sangat sukar untuk menyamakan Nabi saw dengan seorang imam yang tidak menerima wahyu, dengan demikian apabila Nabi memiliki sifat ‘ishmah, maka belum tentu imam ikut memiliki sifat tersebut.
– Kedua: pendapat mereka bahwa manakala berbagai perkara agama dan syariat yang wajib untuk diketahui harus merujuk kepada imam, maka jika tidak diputuskan kewajiban sifat ma’shum untuknya tidak dapat dipastikan bahwa dia tidak akan melakukan kesalahan pada jawaban yang dipertanyakan kepadanya, jadi dia wajib untuk memiliki sifat ma’shum.
Imam Yahya bin Hamzah mengkritik pendapat ini bahwa tidak ada keperluan terhadap sifat ma’shum seorang imam. Sesungguhnya semua orang mengerahkan usaha untuk mencapai ilmu pengetahuan. Dan seorang imam tidak dilahirkan dalam keadaan berilmu, juga tidak diturunkan wahyu kepadanya, akan tetapi kemudian dia belajar, dan cara yang ditempuh oleh orang lain untuk mencapai ilmu pengetahuan sama dengan cara yang ditempuh oleh si imam.
– Ketiga: mereka berpendapat bahwa manakala Allah mewajibkan manusia untuk menaati seorang imam dengan firman-Nya:
(أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ) النساء: 59
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisaa`: 59). Maka ketaatan kepada seorang imam bersambung kepada ketaatan kepada Rasulullah saw. Dan di dalam pengertian logika tidak mungkin mutiara disambungkan dengan kotoran, yang mulia disambungkan dengan yang rendah, dan yang suci disambungkan dengan najis. Jadi huruf ‘athaf pada imam mengindikasikan kesetaraan di antara dua jenis. Jadi manakala ketaatan kepada imam disambungkan dengan ketaatan kepada Rasulullah saw yang bersifat ma’shum, maka ini hanya memberikan satu pengertian bahwa imam sama dengan Rasulullah saw dalam sifat ma’shum, jadi wajib untuk meyakini sifat ma’shum imam.
Imam Yahya bin Hamzah kembali mengkritik bahwa perkataan mereka ini membuktikan bahwa mereka tidak memahami bahasa arab dan gramatikanya. Karena sesungguhnya ‘athaf (yang mengikuti) ikut serta dengan ma’thuf ‘alaih (yang dikuti) pada perkara yang berkaitan dengan lafaz dan makna bukannya sifat. Kemudian dia berikan satu contoh: jika dikatakan: jaa`a Zaid wa ‘amru (Zaid dan Amru datang), maka Amru diikut sertakan kepada Zaid pada perkara yang berkaitan dengan hukum lafaz dan makna. Maka pada lafaz adalah apa yang berkaitan dengan hukum i’rab[46] dan penggunaan, tidak mesti jika salah seorang dari keduanya memiliki warna kulit putih, maka yang lain juga mesti memiliki warna kulit yang putih juga sepertinya [47].
Imam Yusuf bin Ahmad Utsman, seorang ulama dan pakar fiqih Syiah Zaidiyah menyebutkan dalil Syiah Imamiah dan Syiah Isma’iliyah mengenai sifat ma’shum para imam, yaitu firman Allah swt:
(وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَاماً قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ) البقرة: 124
“Dan (Ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhan-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata:”(Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah: 124).
Imam Yusuf bin Ahmad Utsman mengatakan bahwa kaum Syiah rafidhah (Imamiyah dan Isma’iliyah) berhujah dengan ayat ini bahwa kepimpinan (imamah) tidak boleh dimiliki oleh orang yang pernah melakukan kezaliman. Dan mereka kecam kepimpinan Abu Bakar dan Umar. Kemudian ia mengkritik penggunaan ayat ini sebagai dalil bagi menetapkan kemaksuman seorang imam, dia berkata: “tidak betul penhujjahan ini, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa janji Allah dipahami sebagai isyarat (indikasi) kenabian. Dan jika diindikasikan sebagai kepimpinan (imamah), maka barang siapa yang telah bertaubat dari perbuatan zalim tidak boleh disifati sebagai orang yang zalim. Dan Allah taala tidak menghalangnya dari mendapatkan janji-Nya kecuali jika dia adalah seorang yang zalim”[48].
Dari teks ini dapat dipahami bahwa tidak mungkin dapat diterima pendapat yang mengatakan bahwa orang yang melakukan suatu perbuatan zalim, kemudian dia bertaubat dari kezalimannya, akan tetap dilabel sebagai orang yang zalim.
Bagaimanapun juga -bagi pandangan Syiah Zaidiyah- tidak ada dalil di dalam Al-Quran, hadits, ijma’, dan akal, yang menunjukkan sifat ma’shum orang yang mereka klaim sebagai imam ma’shum. Kekeliruan klaim mereka mengenai sifat ma’shum seorang imam dijelaskan oleh imam Muhammad bin al-Hasan ad-Daylami-meskipun dia mengakui sifat ma’shum Ali, Hasan, dan Husain-. Dia jelaskan hal ini dalam pembicaraannya mengenai kebatilan pendapat Syiah Imamiyah dan Syiah isma’iliyah dalam perkara batin. Dia melihat bahwa logika tidak memberikan dalil bagi sifat ma’shum orang yang mereka klaim sebagai imam. Karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai dalil akal, dan sesungguhnya dalil dan hujjah dalam semua perkara mereka rujuk kepada imam yang ma’shum. Oleh karena itu, tidak ada dalil di dalam Al-Quran, hadits, dan ijma’, mengenai sifat ma’shum orang yang mereka klaim sebagai imam, dan semua ini bukanlah sumber dalil bagi mereka. Karena manakala segala yang zahir memiliki pengertian yang batin, maka tidak ada gunanya hakikat ataupun majaz, dan jalan untuk mengetahui makna batinnya hanyalah merujuk kepada imam saja. Maka untuk mengetahui sifat ma’shum seorang imam hanya boleh merujuk kepada imam saja. Dan tidak sah merujuk kepadanya mengenai sifat ma’shum imam juga pada perkara yang lainnya kecuali setelah mengetahui sifat ma’shumnya, dan ini adalah suatu yang mustahil untuk dilakukan”[49].
Dalam kritikan yang sama, seorang ulama dari kalangan Syiah Zaidiyah yang sangat anti terhadap ‘ishmah imam, yaitu shalih al-Muqbili, bahkan Ahli Kisaa baginya tidak ma’shum. Sebab tidak ada dalil dan sandaran yang jelas menunjukkan sifat tersebut. Komentarnya mengenai hal ini adalah: “Orang yang mengklaim mengenai sifat ma’shum seseorang yang selain para nabi, adalah tanpa memiliki dalil yang menguatkan klaimnya. Sebagaimana  klaim yang dilakukan oleh kelompok ar-Rafidhah mengenai sifat ma’shum para imam mereka, juga klaim sebagian Syiah Zaidiyah mengenai sifat ma’shum Ali, Fathimah, Hasan dan Husain”[50].
Di lain tempat, imam al-Syaukani berusaha mengkritik pendapat Syiah Imamiyah dan Syiah Isma’iliyah mengenai sifat ma’shum para imam. Dan dia menegaskan bahwa sifat ma’shum hanyalah milik Rasulullah saw saja. Adapun hadits-hadits yang menyatakan bahwa mereka termasuk penghuni surga, maka tidak ada kaitan antara masuk surga dengan sifat ma’shum, jika memang ada kaitan maka kita pasti tetapkan sifat ma’shum bagi sepuluh orang sahabat yang mendapat berita gembira akan masuk surga. Dan semua sahabat yang namanya disebutkan di dalam hadits sebagai orang yang masuk surga, seperti Abdullah bin Sallam, Haritsah bin Suraqah, Thalhah bin Abdullah, para sahabat yang ikut serta dalam perang Badar, para sahabat yang ikut serta dalam bay’ah al-Radhwan, serta yang lainnya. Jika masuk surga berkait dengan sifat ma’shum maka mayoritas pembesar sahabat adalah orang-orang yang ma’shum. Dan jika yang berkaitan batil, maka yang dikaitkan juga menjadi batil juga[51].
Imam Yahya bin Hamzah juga memiliki kritikan terhadap perkara ini yang patut diperhitungkan. Dia melihat bahwa meskipun semua golongan Syiah sepakat mengenai kepimpinan para imam dari kalangan ahlul bait berdasarkan firman Allah swt:
(وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ) النساء: 59
“Dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisaa`: 59), akan tetapi ayat ini tidak menyebutkan lafaz “’ishmah”, ataupun perkara yang memberikan isyarat mengenai sifat ma’shum, atas dasar tidak disebutkan, maka batal dan tidak tepat pendapat mereka mengenai kemaksuman seorang imam”[52]. Bagaimanapun juga, tidak ada seorangpun yang boleh mengqiaskan seorang imam dengan Nabi saw. Karena Nabi saw adalah penerima wahyu, dan pengajar syariah, sedangkan imam tidak seperti itu. Oleh karena itu, tidak boleh menyipatinya dengan sifat ma’shum[53].
Di lain tempat, imam Yahya bin Hamzah menyatakan bahwa ada beberapa zahir ayat Al-Quran yang menunjukkan bahwa para Nabipun tidak ma’shum, apalagi para imam. Yaitu seperti firman Allah swt:
(عَفَا اللّهُ عَنكَ لِمَ أَذِنتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُواْ وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ) التوبة:43
“Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi ijin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta” (QS: at-Taubah: 43). Juga firman-Nya swt:
(لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطاً مُّسْتَقِيماً) الفتح: 2
“Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus” (QS.al-Fath: 2). Juga firman-Nya:  (وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ) النشرح: 2 ” dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu” (QS. Al-Syarah: 2). Maka zahir ayat-ayat ini menunjukkan bahwa para nabi tidak memiliki sifat ma’shum. Karena Allah mengampunkan dosa-dosa para nabi-Nya[54].
Berdasarkan ayat di atas para ulama Syiah Zaidiyah menegaskan apa yang diucapkan oleh imam Ahmad bin Sulaiman, yang berbunyi: “ketahuilah, sesungguhnya tidak dikatakan: Nabi saw ma’shum dari semua keburukan dan perbuatan kemaksiatan. Karena jika beliau ma’shum, maka beliau tidak mendapatkan ganjaran bagi perbuatannya menahan dirinya dari berbagai perkara yang haram, dan tidak mendapatkan pujian dalam tindakannya untuk meninggalkan segala hawa nafsu. Dan perbuatan Nabi Yusuf yang menahan dirinya dari godaan istri al-Aziz tidak akan mendapatkan pujian dan ganjaran. Allah swt telah berfirman:
(وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَن رَّأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاء إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ) يوسف: 24
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba -hamba kami yang terpilih. (QS. Yusuf:24).
Ayat ini menjadi bukti bahwa Yusuf menahan dirinya dari godaan istri al-Aziz, bukan karena sifat ma’shumnya. Dan kami tidak berpendapat bahwa Allah menghalangnya dari perempuan tersebut. Akan tetapi kami berpendapat bahwa para nabi memiliki pilihan dan mampu melakukan  berbagai perbuatan kemaksiatan seperti manusia yang lainnya. Bahkan usaha mereka untuk menahan diri dari berbagai perkara yang diharamkan adalah lebih besar, dikarenakan oleh berbagai dalil, mukjizat, risalah, dan ayat-ayat yang diberikan oleh Allah kepada mereka”[55].
Seperti inilah kritikan Syiah Zaidiyah terhadap berbagai klaim Syiah Imamiah itsna asyariah dan Syiah Isma’iliyah bathiniah mengenai sifat ‘ishmah para imam. Para ulama Syiah Zaidiyah menegaskan bahwa klaim mereka adalah klaim yang batil yang tidak memiliki sandaran dalil yang kuat, baik dari Al-Quran dan dari hadits, ataupun dari akal. Dan mereka buktikan bahwa para nabi as terkadang melakukan kesalahan pada beberapa peristiwa sebagaimana halnya manusia yang lain, kemudian mereka bertaubat atas kesalahan mereka. Dan ini adalah kondisi para nabi, terlebih lagi para imam yang tidak mampu untuk mencapai derajah kenabian.
Catatan Kaki:
[1] Ad-Da’i Ali bin al-Walid, Taj al-Aqa`id Wa Ma’dan al-Fawa`id, hal 105.
[2] Al-Muzhaffar, Muhammad Ridha, Aqa`id al-Imamiyyah, hal 67.
[3] Mughniyah, Muhammad Jawwad, 1984 M, al-Islam wal-Aql, hal 224-225, Beirut-Lebanon, Dar Wa Maktabah al-Hilal wa Dar al-jawwad.
[4] Donaldson, Aqidah asy-Syiah, hal 328.
[5] Mahmud Syukri al-Alusi, Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna ‘Asyariyyah, hal 284.
[6] As-Sayyid Muhsin al-Amin al-Husain al-‘Amili, ad-Durru ats-Tsamin, hal 23, Mathba’ah al-Adab, Najaf-Iraq.
[7] Ibnu al-Muthahhir al-Hulliy, Minhaj al-Karamah, hal 114.
[8] Lih, syaikh al-Mufid, Awa`il al-Maqalat Fil-Mazahib al-Mukhtarat, hal 97.
[9] Ad-Da’i Ahmad an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 43.
[10] Ad-Da’i Ahmad an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 71.
[11] Dia adalah khalifah dinasti Fathimiah yang keempat, dilahirkan pada tahun 319 H, dan dia menerima jawatan khilafah pada tahun 342 H, ketika itu dia berumur 23 tahun. Dan dia meninggal dunia pada tahun 365 H. lih, ad-Da’i Idris Imaduddin, Uyun al-Akhbar wa Funun al-Atsar –Akhbar ad-Dawlah al-Fathimiyyah- hal 202.
[12] Al-Qadhi an-Nu’man, al-Majalis wal-Musayarat, hal 418.
[13] Mahmud Syukri al-Alusi, Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna ‘Asyariyyah, hal 149.
[14] Jabir, Qasim Habib, al-falsafah wal-I’tizal Fi nahji al-Balaghah, hal 127.
[15] Ibnu al-Muthahhir al-Hulliy, Minhaj al-Karamah, hal 121.
[16] Al-Faidh al-Kasyani, ash-Shafi, 4/187.
[17] Masa`il Majmu’ah Min al-Haqa`iq al-Aliyah wal-Asrar as-Samiyah, lih hal 8.
Al-‘Aql adalah istilah filsafat yang dibawa masuk ke filsafat Islam oleh al-Farabi, dan diyakini oleh Syiah Isma’iliyah Bathiniyah, tepatnya teori dikenal dengan teori (الصُّدُوْر) atau Emanasi/Pancaran (al-Faidh) yang mengajarkan tentang proses urut-urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (alam makhluk) dari zat yang wajib al wujud (Tuhan). Teori mengatakan bahwa Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Segala sesuatu terjadi atau keluar (memancar) dari Tuhan karena Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Ilmu Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahuiNya. Kejadian emanasi ini menurut Al Farabi bahwa Tuhan itu benar-benar Esa sama sekali, karena itu, yang keluar dari padaNya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu terbilang, maka berarti zat Tuhan itupun berbilang pula. Oleh karena itu dasar adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal yang timbul dari Tuhan, terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (الوجودالأوُل) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجود االثانى) yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama, First Intelligence (العقل الأوُل) yang tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga (الوجود الثالث) disebut Akal kedua, Second Intellegence (العقل الثانى). Wujud Kedua atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama (السماء الأولى) , First Heaven. Wujud Ketiga/Akal Kedua.  Tuhan = Wujud Keempat/Akal Ketiga. Dirinya =الثابة  الكواكب (bintang-bintang). Wujud Keempat/Akal Ketiga. Tuhan = Wujud Kelima/Akal Keempat. Dirinya = كرة الزهل (Saturnus). Wujud Kelima/Akal Keempat. Tuhan = Wujud Keenam/Akal Kelima. Dirinya = كرة المشتوى (Jupiter). Wujud Keenam/Akal Kelima. Tuhan = Wujud Ketujuh/Akal Keenam. Dirinya = كرة المريخ (Mars). Wujud Ketujuh/Akal Keenam. Tuhan = Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh. Dirinya = كر ةالشمس (Matahari). Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh. Tuhan = Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan. Dirinya = كرة الزهرة (Venus). Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan. Tuhan = Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan. Dirinya = كرة العطارد (Mercury). Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan. Tuhan = Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh. Dirinya = كرةااقمر (Bulan). Untuk rincian lihat: Aflatun, Aara’ Ahli Madinah al-Fadhilah, hal 44. Lihat: al-Farabi, Aara’ Ahlul Madinah al-Fadhilah, 44, Tahqiq: DR. Alber Nashri Nadir. DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni, Mauqif al-Zaidiyah Wa Ahli Sunnah Min al-Akidah al-Isma’iliyah Wa Falsafatuha, Darul Kutub Ilmiah, Beirut-Lebanon, 2009.
[18] Ad-da’i Hamid al-Karamani, al-Mashabih Fi Itsbat al-Imamah, hal 75-76.
[19] Al-Mawsui, Musa, asy-Syiah wat-Tashih, hal 82.
[20] Al-Kulayni, Ushul al-Kaafi, 1/55. Mansyuurat al-Fajr, Beirut-Lebanon, 2007.
[21] Al-Kulayni, Ushul al-Kaafi, 1/52. Mansyuurat al-Fajr, Beirut-Lebanon, 2007.
[22] Ibnu al-Muthahhir al-Hulliy, Minhaj al-Karamah, hal 47.
[23] Abu Zuhrah, Muhammad, al-Imam Zaid, hal 222.
[24] An-Nasysyar, Ali Sami, Nasy`ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, 2/131.
[25] Mahmud Syukri al-Alusi, Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna Asyariyyah, hal 189.
[26] Ath-Thusi, al-Iqtishad Fima  Yata’allaq bil-I’tiqad, hal 366-367, mathba’ah al-Adab, Najaf asy-Syaraf, 1979 M.
[27] Arif Tamir, al-Imamah fil-Islam, hal 91.
[28] Lih, Syubahat Hawla at-Tasyayyu’, hal 42, jam’iyyah Dunia al-Islam, cet 2.
[29] Al-hadi yahya bin al-Husain, Kitab al-Halal wal-Haram, 2/464.
[30] Lih, Ahmad bin Yahya al-Murtadha, ad-Durar al-fara`id, kertas 149, BJ 2, manuskrip di maktabah al-Jami’ al-kabir –Shan’a.
[31] Abu al-Qasim Muhammad al-Hutsi, al-Maw’izhah al-Hasanah, hal 101.
[32][32] Humaidan bin Yahya, Jawab al-Masaa`il at-Tasywiyah wasy-Syibh al-Hasywiyah, hal 490-491, bagian dari Majmu as-Sayyid Humaidan.
[33] Syarafuddin bin Badruddin, Kitab Yanaabii’ an-Nashihah Fi al-Aqa`id ash-Shahihah, hal 371.
[34] Muhammad bin Hasan ad-Daylami, Qawa`id Aqa`id Aal Muhammad, hal 73.
[35] Lih, Ahmad bin Yahya al-Murtadha, ad-Durr al-Fara`id, waraqah 194, Ba` jim jilid 2, manuskrip di Maktabah al-Jaami’ al-Kabir, Shan’a, dinukil dari Muhammad Hasan al-Kamali, al-Imam al-Mahdi Ahmad bin Yahya al-Murtadha Wa Atsaruhu Fi al-Fikr al-Islami, hal 463.
[36] Nas qat’I,  yaitu teks yang jelas dan pasti penunjukan maknanya, sehingga tidak memungkinkan pemberian arti lain dan tidak dapat ditakwilkan (ditafsirkan). Contohnya ayat tentang hukum waris (Mirats).
[37] Hadis Ahad (الحَدِيْث الآحاد) ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau dua orang perawi sahaja, khasnya di tingkatan pertama, yakni tingkatan para sahabat. Ini berbeda dengan hadits Mutawatir ia adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi (melebihi 4) sehingga tidak mungkin mereka berbuat silap dalam meriwayatkannya. Dan hadis mutawatir terbahagi kepada mutawatir lafzi dan mutawatir ma’nawi. Kedua-dua bahagian ini menjadi nas hukum dalam bidang akidah dan syariah, manakala hadis ahad pula terbahagi kepada tiga bahagian iaitu masybur, aziz dan gharib. Setiap bahagian ahad ini ada yang sahih, hasan dan daif. Hadis ahad yang sahih dan hasan adalah menjadi nas hukum dalam bidang syariah, sementara yang daif adalah sebaliknya. Dengan demikian pembahagian hadits kepada Ahad dan Mutawatir adalah berdasarkan dari sudut bilangan perawi hadits. Dan di sini dapat dilihat kelainan Syiah Zaidiyah yang  membagi hadits kepada Ahad dan Mutawatir, di banding dengan Syiah Imamiyah khususnya (al-Akhbariyyun) dan Syiah Isma’iliyah tidak mengenal pembahagian ini, dan hal ini dalam satu sisi menunjukkan kedekatan Syiah Zaidiyah dengan Ahlu Sunnah, bahkan mereka merujuk kepada periwayatan dan hadits-hadits Ahlu Sunnah khususnya kitab shahih Bukhari dan shahih Muslim.
[38] Nas zanni, yakni teks yang penunjukan maknanya masih bersifat relatif (nisbi) sehingga memungkinkan adanya penafsiran (takwil) yang menghasilkan pengertian yang lain. contohnya seperti dalam permasalahan di atas.
[39] Ahmad bin Yahya al-Murtadha, ad-Durar al-Fara`id, waraqah 195 alif  jilid 2. lih, Muhammad al-Kamali, al-Imam al-Mahdi Ahmad bin Yahya al-Murtadha, hal 463-464.
[40] Ahmad bin Yahya al-Murtadha, Kitab al-Qala`id Fi Tashih al-Qala`id, 1/11, sebagai bagian dari Mukaddimah al-Bahr az-Zakhkhar.
[41] Lih, Abdullah bin Muhammad Hamiduddin, az-Zaydiyah, hal 122.
[42] Ash-Shahib bin Ubbad, az-Zaydiyah, hal 185.
[43] Ash-Shahib bin Ubbad, az-Zaydiyah, hal 189-190.
[44] Perkara ghaib merupakan salah satu daripada khazanah yang hanya dimiliki atau diketahui oleh Allah Ta’ala. Perkara-perkara ini tidak diketahui oleh manusia melainkan dengan perkhabaran  dari padanya melalui wahyu yang diturunkan ke atas rasulNya. Di antara perkara gaib adalah: Ruh, Malaikat, Wahyu, Syaitan, Iblis, Jin, Takdir, Hisab, Kubur (siksaan & kenikmatan). Sehubungan itu, Allah SWT mengklasifikasikan orang-orang yang beriman dengan perkara-perkara ghaib ini sebagai golongan muttaqin iaitu orang-orang yang bertaqwa.
[45] Ash-Shahib bin Ubbad, az-Zaydiyah, hal 187.
[46] I’rab adalah suatu keterangan tentang fungsi/peraran kata dalam suatu kalimat.
[47] Lih, Yahya bin Hamzah, Misykah al-Anwaar, hal 86-89.
[48] Yusuf bin Ahmad, ats-Tsamraat al-Yani’ah wal-Ahkam al-Wadhihah al-Muqhtathifah Min Aay Al-Quran, 1/waraqah 60, manuskrip di perpustakan al-Azhar, no 1085, dan no 31351.
[49] Lih, Muhammad bin al-Hasan ad-Daylami, Qawa`id Aqa`id Aal Muhammad, hal 78.
[50] Al-Muqbili, al-Ilmu asy-Syamikh, hal 471.
[51] Lih, asy-Syaukani, ‘Uqud az-Zabrajad Fi Jiid Masa`il Alamah Dhamad, hal 245, 247, 248, bagian Umana` asy-Syari’ah, Kairo, tahqiq: Ibrahim Ibrahim Hilal, Dar an-Nahdhah al-Arabiyah.
[52] Yahya bin Hamzah, Misykaah al-Anwaar, hal 90.
[53] Lih, Yahya bin Hamzah, al-Ifham al-Af`idah al-Bathiniyah ath-Thugham, hal 65.
[54] Lih, Yahya bin Hamzah, Misykaah al-Anwaar, hal 130-136.
[55] Lih, Ahmad bin Sulaiman, Kitab Haqa`iq al-Ma’rifah Fi Ilmi al-Kalam, hal 433.
Redaktur: Ardne