Thursday, October 15, 2015

PGI Akui ada 24 Gereja tak Berizin di Aceh Singkil; Rois Syuriah PWNU Aceh: Banyak Gereja Tanpa Izin di Aceh; JK: Jangan Tiru Perilaku Jahiliyah Timur Tengah! Buruk Muka Cermin Dipecah.Timur Tengah Bukan Jongos Asing /Aseng, Ekonomi 100 % Di Pegang Orang Arab, Malu Kalau Korupsi/Berbohong, Prosentasi Bagi Hasil Eksplorasi Migas/Hasil Tambang Sangat Menguntungkan Negara Arab. Punya Muru’ah dan Marwah, Bukan Perusak Agama Islam. Perang Karena Kewajiban Agama/Tidak Mau Dijajah Harkat Dan Martabatnya.

JK: Jangan Tiru Perilaku Jahiliyah Timur Tengah!

[ Bangga kambing hitamkan bangsa Arab, supaya dipuji kufar ]
Rabu, 1 Muharram 1437 H / 14 Oktober 2015 15:00 WIB
JK mengaku prihatin atas insiden pembakaran rumah ibadah yang terjadi di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, Aceh. Orangtua yang sudah keluar masuk rumah sakit ini mengimbau kepada rakyat Indonesia untuk bisa menghindari hal-hal tersebut. Rakyat harus bisa menjaga toleransi dan menghargai antar sesama umat beragama
“Tidak boleh terjadi, kita harus menghindari. Indonesia ini negara yang penuh toleransi dan menghargai seluruh agama. Jadi kita harus menjaga itu,” kata JK dalam sambutannya di acara peringatan Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1437 Hijriyah di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat (14/10).
Lebih lanjut, JK meminta rakyat Indonesia untuk tidak mencontoh perilaku negara-negara di Timur Tengah yang menyelesaikan perselisihan dengan saling membunuh antar sesama. Timur Tengah, kata JK, telah kembali ke zaman sebelum pencerahan Rasulullah Muhammad SAW, yaitu zaman jahiliyah
“Mereka kembali ke zaman jahiliyah (peradaban sebelum munculnya agama Islam) mengebom satu sama lain. Kita ingin hijrah ini peringati penuh doa, dzikir, bangsa. Insya Allah dengan pedoman itu hidup kita akan menjadi lebih baik,” ujar JK, pakai speaker. (rd)


Gereja liar, Pangdam IM: Umat Islam Aceh sudah sangat toleran

3 Muharram 1437 H / 16 Oktober 2015 23:12
Panglima Kodam Iskandar Muda (Pangdam IM) Mayjen TNI Agus Kriswanto secara tegas menyampaikan bahwa umat Islam Aceh sudah sangat toleran terhadap keberadaan gereja di Singkil.
“Sebetulnya ummat Islam di Aceh Singkil sudah sangat toleran, dari sekian banyak gereja yang ada hanya sepuluh yang diminta untuk dibongkar karena tidak memiliki izin,” ujar Yuli Hardin Wakil Ketua DPRK Aceh Singkil mengutip yang disampaikan Pangdam Rabu (14/10/2015), lansir Klikkabar.com.
Hal ini disampaikannya saat pertemuan dengan perwakilan umat Muslim di Pendopo Bupati Aceh Singkil yang juga dihadiri Kapolda Aceh, guna mendengar pendapat terkait bentrokan bernuansa SARA di wilayah itu.
Pada kesempatan itu, Pangdam juga mengatakan sepuluh gereja yang akan dibongkar tersebut tidak akan mengurangi fasilitas atau juga kebutuhan ummat nasrani disana.
Sementara itu, perwakilan kaum Muslimin tetap meminta agar pembongkaran sepuluh gereja tersebut tetap harus dilaksanakan.
Mereka juga meminta agar 47 orang yang ditahan untuk diberikan penangguhan dan bila tidak bersalah harus segera dibebaskan.
Sementara Yuli Hardin sendiri berpandangan, “Saya melihat Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah sangat serius menangani persoalan ini, patut kita berikan apresiasi,” ungkapnya, Kamis (15/10).
Sebelumnya diwartakan, pada Selasa (13/10) terjadi pembakaran sebuah gereja illegal oleh ratusan warga di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil yang menewaskan satu korban jiwa dan beberapa lainnya luka-luka.

Kasus Singkil, Din Syamsudin: Penolakan Pendirian Rumah Ibadah Bukanlah Sikap Intoleransi

Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat, Din Syamsudin mendorong penerapan Peraturan Bersama Menteri dalam pendirian rumah Ibadah. Menurutnya, penolakan terhadap pendirian tempat ibadah agama lain oleh umat Islam bukanlah bentuk intoleransi.
“Wantim MUI mendukung pelaksanaan penerapan PBM tentang pendirian rumah ibadah,” kata Din Syamsudin di Gedung MUI Pusat Jakarta, Kamis (14/10).
Ketua MUI Pusat periode sebelumnya itu menambahkan bahwa meskipun ada peraturan pendirian tempat ibadah, umat Islam mengalami kesulitan dalam mendirikan masjid. Dia mencontohkan, di Kupang ada beberapa masjid tidak boleh berdiri. Hal yang sama juga terjadi di Bali.
Selain itu ada juga pelarangan pendirian masjid di Manokwari. Di tiga wilayah itu umat Islam merupakan minoritas.
Namun demikian, lanjut Din, ketika ada pelarangan pendirian rumah ibadah agama lain bukan berarti umat Islam tidak toleran. “Jangan dianggap kalau di komunitas-komunitas Islam kalau itu (pendirian rumah ibadah) ditolak itu sebagai tak toleran,” ujarnya.
“Di negara yang mayoritas beragama Islam ini ada toleransi besar dari umat Islam,” tandas Din.
Belum tuntas kasus penyerangan dan perusakan masjid di Tolikara saat Idul Fitri lalu, baru-baru ini masyarakat dikejutkan dengan pembakaran gereja liar di Aceh Singkil. Pertumbuhan gereja liar di wilayah itu diangap tak sebanding dengan pertumbuhan jumlah penganut agama Kristen. Sementara pemerintah setempat dinilai lamban dalam mengatasi gereja liar.
Reporter : Imam S.
Editor: Fajar Shadiq

PGI Akui ada 24 Gereja tak Berizin di Aceh Singkil

 PGI Akui ada 24 Gereja tak Berizin di Aceh Singkil
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) mengakui jika ada puluhan gereja di Aceh Singkil yang tidak berizin.
Pernyataan ini disampaikan oleh Humas PGI, Gery Simampo pada konperensi pers soal bentrok Aceh Singkil di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Rabu (14/10/2015) sore.
“Ya, memang ada 24 gereja yang tak berizin,” ujar Gery.
PGI secara kelembagaan, terang Gery, sudah pernah menghimbau kepada gereja-gereja itu untuk segera mengurus perizinan.
Kendati demikian, PGI berharap pihak-pihak terkait bisa bersama mencari solusinya.
PGI secara kelembagaan, terang Gery, sudah pernah menghimbau kepada gereja-gereja itu untuk segera mengurus perizinan.
“Ya memang gereja yang berizin harus segera dicari solusinya. Dan juga saya sudah menghimbau kepada gereja-gereja yang tak miliki izin, untuk segera mengurus perizinan,” ujar Gery. *[Nizar/Syaf/voa-islam.com]
*Keterangan foto: Konferensi pres soal bentrok Aceh Singkil di Kantor MUI

Rois Syuriah PWNU Aceh: Banyak Gereja Tanpa Izin di Aceh

Rois Syuriah PWNU Aceh: Banyak Gereja Tanpa Izin di Aceh
Rabu, 14 Oktober 2015 - 20:29 WIB
"Sudah banyak memang gereja-gereja di Aceh yang berdiri dan kebanyakan tidak ada surat izinnya," ujar Waled Nu
KH. Nuruzzahri Yahya, Rois Syuriah PWNU Aceh ikut menanggapi musibah pembakaran sebuah gereja oleh ratusan warga di Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil.
Secara pribadi, ia tidak mengharapkan musibah ini. Meski demikan, ia membenarkan terkait kabar banyaknya gereja-gereja di Aceh Singkil yang dibangun tanpa adanya surat izin.
“Sudah banyak memang gereja-gereja di Aceh yang berdiri dan kebanyakan tidak ada surat izinnya,” ujar Tgk KH Nuruzzahri Yahya kepadahidayatullah.com, Rabu, (14/10/2015).
Kiai Nuruzzahri menduga peristiwa terjadinya tindakan pembakaran gereja di Gunung Meriah didasari oleh warga yang tidak sabar dengan penanganan gereja tanpa surat izin yang berlarut-larut dari pemerintah.
“Warga di sana sudah melapor kepada pihak yang berwenang, tetapi tidak ditangani dengan cepat bahkan berlarut-larut. Mungkin karena itu warga jadi tidak sabar dan mengambil tindakan sendiri,” jelas pria yang akrab disapa Waled Nu ini.
Tetapi, ujar KH. Nuruzzahri, dirinya juga mengingatkan bahwa jika ingin mendirikan rumah ibadah harus sesuai dengan ketentuan yang telah ada. Apalagi, lanjut KH. Nuruzzahri, di Aceh Singkil sudah ada perjanjian soal aturan mendirikan gereja.
“Jadi janganlah ambisi membangun gereja tapi tanpa surat izin. Hargailah kearifan lokal yang ada di Aceh,” imbuh pimpinan Dayah Ummul Ayman, Bireun ini.
KH. Nuruzzahri berharap kasus di Aceh Singkil ini dapat segera selesai dan tidak meluas atau malah menjadi besar.
“Mudah-mudahan bisa diredam dan diselesaikan dengan cara terbaik. Kedamaian di Aceh harus jadi prioritas,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Selasa (13/10/2015) terjadi pembakaran sebuah gereja oleh ratusan warga di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil yang menewaskan satu korban jiwa dan beberapa lainnya luka-luka.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum PBNU Slamet Effendy Yusuf menyesalkan pembakaran rumah ibadah yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Menurutnya, konflik antar warga seharusnya tidak sampai membakar rumah ibadah.*/Yahya G. Nasrullah
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

MUI: Justru Orang Islam yang Mati Ditembak di Aceh Singkil

Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain mengatakan, dalam konflik yang meletus di Aceh Singkil kemarin akibat pembangunan gereja tak berizin, justru ada umat Islam yang meninggal ditembak oknum dari pihak Nasrani.

"Jadi korban malah ada di kami, umat Islam. Tembakan berasal dari undung-undung," katanya, Sabtu, (17/10).

Sebenarnya yang mati justru orang Islam di Aceh, Singkil. Namun mengapa umat Kristen banyak yang mengungsi melarikan diri.

"Mungkin mereka takut umat Islam akan membalas dendam. Padahal dalam sejarah tak ada orang Aceh Islam yang suka membunuh umat lain, jadi mengapa harus mengungsi," ujar Tengku.

Saat ini, kata dia, kepolisian sedang menyelidiki senjata yang digunakan untuk menembak umat Islam tersebut. Dugaan polisi senjata rakitan untuk memburu babi. "Kita tak boleh spekulatif. Tunggu saja keterangan dari hasil investigasi kepolisian," ujarnya.
Sumber: ROL


Kasus Singkil Aceh, Penguasa dan Media Dinilai Lakukan Standar Ganda

Rabu, 14 Oktober 2015 - 14:34 WIB
Jika kasus Tolikara Presiden undang tokoh-tokoh gereja ke Istana, kenapa kasus Singkil tak mengundang ulama untuk didengar langsung?
Harits Abu Ulya, Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA) menilai media dan pemerintah telah melakukan standar ganda dalam menyikapi kasus terbakarnya gereja di Aceh Singkil.
“Kasus pembakaran atau pengrusakan terhadap tempat ibadah di Indonesia tidak hanya menimpa kepada minoritas tapi juga terhadap tempat ibadah kelompok mayoritas (umat Muslim).Publik tahu bahwa sebelum kasus di Aceh Singkil beberapa waktu lalu terjadi pembakaran tempat ibadah (Masjid) di Tolikara Papua,” demikian disampaikan Haris dalam rilisnya kepada hidayatullah.com, Rabu (14/10/2015).
Menurut Haris, selama ini porsi perhatian dan sikap pemerintah (penguasa) sangat terasa tidak adil dan tidak proporsional dalam menempatkan kasus terkait agama atau Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).
“Di kasus Aceh Singkil yang terkait terbakarnya gereja pak Presiden begitu cepat merespon bahkan meminta kepada Kapolri dan Menkopolhukam untuk followup intruksi/respon presiden. Dan masyarakat luas di suguhi begitu cepatnya Kapolri menyimpulkan bahwa bentrokan yang terjadi di Aceh Singkil itu direncanakan,” ujarnya.
Ini sangat berbanding terbalik ketika dihadapkan kepada kasus pembakaran Masjid dan bentrokan di Tolikara Papua.
Seolah pemerintah bahkan pak Presiden gagap untuk menyikapi. Banyak retorika yang esensinya mengaburkan masalah sebenarnya.
Selain itu, media begitu semangat menabuh genderang tentang intoleransi dengan bahasa yang terang terkait kasus gereja di Aceh Singkil.
Ini tidak ditunjukkan media massa saat kejadian biadab dan intoleransi pada kasus Tolikara yang menimpa umat Muslim.
“Jika pada kasus Tolikara bapak Presiden mau undang tokoh-tokoh gereja ke Istana, kenapa tidak dengan kasus Aceh Singkil? Perlu diundang para tokoh dan ulama nya untuk didengar langsung dari mereka apa sesungguhnya yang terjadi.”
Standar ganda ini, menurut Haris, seolah menjadi pakem bagi penguasa dan media jika mengelola isu terkait dengan kehidupan beragama.
“Apakah jika kekerasan atau pembakaran tempat ibadah itu menimpa gereja itu baru dibilang tindakan intoleransi? Sementara jika menimpa kepada Masjid itu bukan intoleransi bahkan umat Islam harus bersabar dan memaafkan serta harus cepat keluar kata damai biar dianggap toleran?”
Menurut Haris, jika tak bisa berlaku adi, akibatnya akan terjadi tirani minoritas yang diekspresikan oleh penguasa dan media di Indonesia.*
Rep: Panji Islam
Editor: Cholis Akbar
http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2015/10/14/80846/kasus-singkil-aceh-penguasa-dan-media-dinilai-lakukan-standar-ganda.html

Laporan Tim Investigasi Fpi Aceh

[1]. Singkil adalah kabupaten baru, pemekaran dari kabupaten Aceh Selatan pada 2 April 1999. 

[2]. Nama Singkil berasal dari nama ulama yang berdakwah pada abad 16, syech Abdurrauf Assingkili.

[3]. Kristen masuk ke Singkil tahun 1930, melalui penginjil yang berasal dari Salak Pakpak Barat bernama pendeta I. W. Banurea.

[4]. Bekerjasama dengan perusahaan perkebunan Socfindo, gereja banyak didirikan untuk karyawan yang berasal dari Pakpak. 

[5]. Tahun 1968, saat Teungku Daud Beureu'eh sebagai Gubernur Militer, sempat mendatangi Kecamatan Lipat Kajang dan Desa Rimo, meminta gereja-gereja ditutup karena Aceh Daerah Istimewa Syariat Islam.

[6]. Tahun 1979, penginjil dari Gereja Tuhan Indonesia mendirikan gereja di desa Gunung Meriah, hal ini menimbulkan reaksi masyarakat.

[7]. Tanggal 11 Juli  1979, di Lipat Kajang, ditanda tangani perjanjian antara 8 ulama dan 8 pengurus gereja, bahwa gereja tidak akan didirikan kecuali dengan izin Pemda, dan tanggal 13 Oktober 1979 dilakukan ikrar perjanjian tersebut oleh masing-masing 11 orang perwakilan Islam dan Kristen yang juga ditanda tangani Pemda Aceh Selatan waktu itu. 

[8]. Perjanjian tersebut terus dilanggar oleh pihak Kristen. 

[9]. Oktober 2011, kembali dibuat perjanjian, bahwa gereja yang berizin hanya 1 unit di Kuta Kerangan, Undung-Undung 4 unit, di Gampong Keras, Gampong Napagaluh, Gampong Suka Makmur dan Gampong Lae Gecih, selain itu harus dibongkar.

[10]. Perjanjian ini tidak diindahkan, kenyataan berdiri 20 gereja, dengan tidak melalui prosedur sesuai dengan ketentuan PBM Menteri Agama dan Mendagri No. 8/9 Thn. 2006, Qanun Kabupaten Aceh Singkil No. 7 Thn. 2002. 

[11]. Jemaat gereja adalah dari Luaq Kabupaten Singkil.

[12]. 20 September 2011, masyarakat mendatangi kantor Pemda, dan diterima oleh Assisten I, Drs. Azmil meyampaikan data banyaknya gereja liar tak berizin, dan Pemkab Singkil akan melakukan penertiban.

[13]. Juni 2012, di Singkil beredar luas buku tanpa penerbit yg berisi penghinaan pada ajaran Islam.

[14]. Atas kejadian tersebut, umat Islam yang mempersoalkan malah mendapat intimidasi.

[15] Intimidasi dan tekanan terhadap umat Islam terus terjadi, hingga akhirnya meledak menjadi peristiwa 13 Oktober 2015.

[16] Peristiwa di Singkil tersebut secara cepat dimanfaatkan dan diekploitasi oleh media sekuler dan aktivis liberal serta aktivis gereja untuk mencabut PBM MENAG & MENDAGRI NO 8/9 THN. 2006, dan melakukan kampanye negatif terhadap Islam. 

[17]. Dari perspektif intelijen, terlihat jelas adanya operasi intelijen Asing untuk mengekploitasi konflik agama di satu sisi dan memunculkan indegenous people (masyarakat asli/adat) di sisi lain.

[18]. Di Singkil yang diangkat intoleransi umat Islam, di Tolikara diangkat hak masyarakat adat untuk mengatur daerahnya.

[19] Dalam dokumen Global Trend 2015 dan dokumen gelar pasukan  oleh SOCOM (South Ocean Command), keduanya adalah dokumen resmi pemerintah Amerika, jelas sekali issue hak adat dan 4 titik konflik 1 issue intoleran (Aceh, Papua, Kalimantan, Ambon, Bali) akan di dorong dan dieksploitasi. 

[20] Selesai

HATI-HATI DENGAN KONFLIK CIPTAAN

Ketua Bidang Keorganisasian Front Pembela Islam (FPI) Munarman mengajak kaum Muslim Indonesia berhati-hati dan waspada di dalam menyikapi munculnya berbagai peristiwa kekerasan yang belakangan ini kerap terjadi. Dan khusus mengenai aksi pembakaran gereja di Aceh Singkil dia berharap umat Islam tidak terpancing emosinya.

''Dari sudut pandang intelejen, peristiwa kekerasan yang muncul pada perayaan hari besar keagamaan jelas punya makna dan target tertentu.Tampaknya ada pihak yang ingin memancing emosi umat Islam karena peristiwa kekerasan di hari raya keagamaan oleh masyarakat awam bisa langsung diasosiasikan dengan simbol agama. Cara ini ampuh, terutama ketika ada pihak yang ingin melakukan mobilsasi massa,'' kata Munarman, Rabu (14/10)

Menurut dia, beberapa informasi dan data yang dikumpulkan dari 'pihak luar' atau asing, Indonesia di tahun 2015 memang berusaha diletupkan berbagai tindakan kekerasan. Isunya adalah dengan meledakan konflik berbasis agama, adat, dan soal kedaerahan lainnya. Dalam hal ini wilayah yang diduga akan dijadika target adalah Aceh, Papua, Kalimantan, Ambon, serta Bali.

''Lima wilayah itu akan dijadikan 'pemicu' ledakan konflik kekerasan sosial. Jadi data Mapping Global Future tahun 2015 yang saya baca itulah memang ada kesesuaian antara munculnya berbagai peristiwa yang belakangan terjadi. Ingat kasus pembakaran masjid di Tolikara Papua terjadi pada Idul Fitri. Sedangkan kasus di Aceh Singkil terjadi pada perayaan tahun baru hijrah. Saya kira tak ada yang kebetulan,'' ujarnya.

Atas munculnya peristiwa, Munarman menyatakan umat Islam waspada. Apalagi kini tampak sekali ada suasana yang ingin membenturkan posisi antar kelompok masyarakat, adat, dan agama.

Tim News FPI