Saturday, October 24, 2015

Siapakah yang Pantas Disebut Ulama ( Orang Alim ) ?

Siapa yang dinamakan Ulama?
Terdapat beberapa ungkapan ulama dalam mendefinisikan ulama. Ibnu Juraij rahimahullah menukilkan (pendapat) dari ‘Atha, beliau berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia adalah orang alim.” [Jami’ Bayan Ilmu wa Fadhlih, hal. 49]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Kitabul ‘Ilmi mengatakan: “Ulama adalah orang yang ilmunya menyampaikan mereka kepada sifat takut kepada Allah.” [Kitabul ‘Ilmi hal. 147]
Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang menjelaskan segala apa yang dihalalkan dan diharamkan, dan mengajak kepada kebaikan serta menjauhkan segala bentuk kemudharatan.” [Tadzkiratus Sami’ hal. 31]

Abdus Salam bin Barjas rahimahullah mengatakan: “Orang yang pantas untuk disebut sebagai ulama jumlahnya sangat sedikit dan tidak berlebihan jika kita mengatakan jarang. Yang demikian itu karena sifat-sifat seorang ulama mayoritasnya tidak akan terwujud pada diri orang-orang yang menisbahkan diri kepada ilmu pada masa ini. Bukan dinamakan ulama bila sekedar fasih dalam berbicara atau pandai menulis, orang yang menyebarluaskan karya-karya atau orang yang men-tahqiq kitab-kitab yang masih dalam tulisan tangan. Jika ulama ditimbang dengan hal ini, maka cukup (terlalu banyak yang dikatakan ulama -ed- ).

Namun penggambaran seperti inilah yang terbetik di benak orang-orang yang tidak berilmu. Oleh karena itu mereka tertipu dengan kefasihan seseorang dan kepandaiannya berkarya tulis, padahal ia bukan ulama. Ini semua menjadikan orang-orang takjub. Ulama yang hakiki adalah seorang yang mendalami ilmu agama, mengetahui hukum-hukum Al Quran dan As Sunnah, mengetahui ilmu ushul fiqih seperti nasikh dan mansukh, mutlak, muqayyad, mujmal, mufassar, dan menggali ucapan-ucapan salaf terhadap apa yang mereka perselisihkan.” [Wujubul Irtibath bi ‘Ulama hal. 8]

Allah subhanahu wata’ala menjelaskan ciri khas seorang ulama yang membedakannya dengan kebanyakan orang yang hanya mengaku berilmu. Allah ta'ala berfirman:

إنما يخشى الله من عباده العلماء

“Sesungguhnya diantara hamba-hambanNya yang paling takut kepada Allah adalah ulama.” [Fathir: 28]

Ciri-ciri Ulama

Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui siapa sesungguhnya yang pantas untuk menyandang gelar ulama dan bagaimana besar jasa mereka dalam menyelamatkan Islam dan muslimin dari rongrongan penjahat agama, mulai dari masa terbaik umat yaitu generasi shahabat hingga masa kita sekarang.

Pembahasan ini juga bertujuan untuk memberi gambaran (yang benar) kepada sebagian muslimin yang telah memberikan gelar ulama kepada orang yang tidak pantas untuk menyandangnya.

a. Sebagian kaum muslimin ada yang meremehkan hak-hak ulama. Di sisi mereka, yang dinamakan ulama adalah orang yang pandai bersilat lidah dan memperindah perkataannya dengan cerita-cerita, syair-syair, atau ilmu-ilmu pelembut hati.

b. Sebagian kaum muslimin menganggap ulama itu adalah orang yang mengerti realita hidup dan yang mendalaminya, orang-orang yang berani menentang pemerintah -meski tanpa petunjuk ilmu.

c. Di antara mereka ada yang menganggap ulama adalah kutu buku, meskipun tidak memahami apa yang dikandungnya sebagaimana yang dipahami generasi salaf.

d. Di antara mereka ada yang menganggap ulama adalah orang yang pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan alasan mendakwahi manusia. Mereka mengatakan kita tidak butuh kepada kitab-kitab, kita butuh kepada da’i dan dakwah.

e. Sebagian muslimin tidak bisa membedakan antara orang alim dengan pendongeng dan juru nasehat, serta antara penuntut ilmu dan ulama. Di sisi mereka, para pendongeng itu adalah ulama tempat bertanya dan menimba ilmu.

Di antara ciri-ciri ulama adalah:

1. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun.”

Al-Hasan rahimahullah mengatakan: “Orang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat lain: “Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan tidak menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah sedikitpun dalam menyampaikan ilmu Allah.” [Al-Khithabul Minbariyyah, 1/177]

2. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang tidak mengaku-aku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah.”

3. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang berburuk sangka kepada diri mereka sendiri dan berbaik sangka kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui ulama-ulama pendahulu mereka serta mengakui bahwa mereka tidak akan sampai mencapai derajat mereka atau mendekatinya.”

4. Mereka berpendapat bahwa kebenaran dan hidayah ada dalam mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah kebenaran dan akan membimbing kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.” [Saba': 6]

5. Mereka adalah orang yang paling memahami segala bentuk permisalan yang dibuat Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an, bahkan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Demikianlah permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” [Al-’Ankabut: 43]

6. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath (mengambil hukum) dan memahaminya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Seandainya mereka menyerahkan perkara tersebut kepada rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Seandaninya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, niscaya kebanyakan kalian akan mengikuti syaithan kecuali sedikit saja.” [An-Nisa: 83]

7. Mereka adalah orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam merealisasikan perintah-perintahNya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

[Mu’amalatul ‘Ulama karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul dan Wujub Al-Irtibath bil ‘Ulama karya Asy-Syaikh Hasan bin Qasim Ar-Rimi rahimahumallah]

Contoh-contoh Ulama Rabbani

1. Generasi shahabat dipimpin oleh empat Khalifah Ar-Rasyidin: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali.

2. Generasi tabiin dan di antara tokoh mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib (meninggal setelah tahun 90 H), ‘Urwah bin Az-Zubair (meninggal tahun 93 H), ‘Ali bin Husain Zainal Abidin (meninggal tahun 93 H), Muhammad bin Al-Hanafiyyah (meninggal tahun 80 H), ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud (meninggal tahun 94 H atau setelahnya), Salim bin Abdullah bin ‘Umar (meninggal tahun 106 H), Al-Hasan Al-Basri (meninggal tahun 110 H), Muhammad bin Sirin (meninggal tahun 110 H), ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (meninggal tahun 101 H), dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (meninggal tahun 125 H).

3. Generasi atba’ at-tabi’in dan di antara tokoh-tokohnya adalah Al-Imam Malik (179 H), Al-Auza’i (107 H), Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri (161 H), Sufyan bin ‘Uyainah (198 H), Ismail bin ‘Ulayyah (193 H), Al-Laits bin Sa’d (175 H), dan Abu Hanifah An-Nu’man (150 H).

4. Generasi setelah mereka, di antara tokohnya adalah Abdullah bin Al-Mubarak (181 H), Waki’ bin Jarrah (197 H), Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (203 H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yahya bin Sa’id Al-Qaththan (198 H), ‘Affan bin Muslim (219 H).

5. Murid-murid mereka, di antara tokohnya adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal (241 H), Yahya bin Ma’in (233 H), ‘Ali bin Al-Madini (234 H).

6. Murid-murid mereka seperti Al-Imam Bukhari (256 H), Al-Imam Muslim (261 H), Abu Hatim (277 H), Abu Zur’ah (264 H), Abu Dawud (275 H), At-Tirmidzi (279 H), dan An-Nasai (303 H).

7. Generasi setelah mereka, di antaranya Ibnu Jarir Ath-Thabari (310 H), Ibnu Khuzaimah (311 H), Ad-Daruquthni (385 H), Al-Khathib Al-Baghdadi (463 H), Ibnu Abdil Bar An-Numairi (463 H).

8. Generasi setelah mereka, di antaranya  Abdul Ghani Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah (620 H), Ibnus Shalah (643 H), Ibnu Taimiyah (728 H), Al-Mizzi (743 H), Adz-Dzahabi (748 H), Ibnu Katsir (774 H) berikut para ulama yang semasa mereka atau murid-murid mereka yang mengikuti manhaj mereka dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai pada hari ini.

9. Generasi setelah mereka, diantaranya Muhammad bin 'Ali Asy-Syaukani, Muhammad bin 'Amir Ash-Shan'ani, Muhammad bin 'Abdil Wahhab, Shidiq Hasan Khan,

9. Contoh ulama di masa ini adalah Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Syaikh Muhammad Aman Al-Jami, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi dan selain mereka dari ulama yang telah meninggal di masa kita.

Berikutnya , Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Zaid bin Muhammad  Al-Madkhali, Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, Syaikh Al-Ghudayyan, Syaikh Shalih Al-Luhaidan, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syaikh Shalih As-Suhaimi, Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri, Syaikh Shalih Alus-Syaikh, Syaikh Abdullah Al-Fauzan, Syaikh Washiyullah 'Abbas, Syaikh Sa'ad Asy-Syitsri, Syaikh Muhammad bin Hadi, Syaikh 'Ali Nashir Faqihi,  dan selain mereka yang mengikuti langkah-langkah mereka di atas manhaj Salaf. [Makanatu Ahli Hadits karya Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujubul Irtibath bil Ulama]

Faidah : Kenapa ahlu bid’ah membenci dan melecehkan ulama Ahlus Sunnah?

Mungkin kita akan tertegun, mengapa pelececehan terhadap orang-orang yang Allah subhanahu wata’ala muliakan ini terjadi. Ketahuilah bahwa di balik pelecehan ulama ada misi yang terselubung sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah: “Tujuan utama mereka adalah untuk memisahkan umat dari ulamanya. Sehingga akan mudah bagi mereka (ahlul bid’ah) untuk menyusupkan berbagai kerancuan pemikiran dan kesesatan kepada umat sehingga mereka tersesat dan terpecah-belah. Itulah misi yang mereka inginkan, maka hendaknya kita waspada.” [Ma Yajibu Fit Ta’amuli Ma’al Ulama, hal. 17]
Wallahu a’lam.
Posted by Abul-Harits at 12:45 PM


Siapakah Orang Alim Itu?

Ilustrasi. (islamreview.ru)
Ilustrasi. (islamreview.ru)
24/10/15 | 07:53
Selama ini kebanyakan orang beranggapan bahwa yang dinamakan orang alim itu adalah orang yang, pandai, banyak ilmunya, ahli serta pakar dalam ilmu agama. Dan syeikh, kyai, ustadz, gus, habib serta yang sebangsanya, adalah orang orang yang dilabeli sebagai orang pandai, banyak ilmunya, ahli serta pakar dalam ilmu agama. Maka merekalah yang disebut orang orang alim.
Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah namun juga tidak benar sepenuhnya. mengapa demikian? Sebab di dalam Alquran surat fathiir (38]ayat yang ke 28, Allah swt berfirman yang artinya, ’’Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba hamba-Nya, hanyalah ulama (orang alim).
Jadi, orang itu dikatakan sebagai orang alim manakala di dalam dirinya memiliki khasy-yah atau rasa takut kepada Allah swt. Rasa takut yang menjadikan seseorang itu berhati hati dalam setiap tindakan dan perbuatanya. Rasa takut yang membuat orang merasa Senantiasa diawasi Allah. Rasa takut yang membuat orang tersebut waspada jangan sampai terjerumus kedalam perbuatan yang dilarang Allah.
Meskipun ahli agama dan banyak ilmunya namun jika dalam dirinya tidak ada khasy-yah maka hakekatnya ia adalah orang bodoh. Biarpun orang menyebutnya, kyai, gus, ustadz, habib, ulama, atau apa sajalah, tapi bila tidak punya rasa takut kepada Allah sungguh mereka bukanlah orang alim.
Dan sebaliknya biarpun bukan pakar dan ahli agama. Ilmunya pun tidak seberapa namun khasyyah-nya atau rasa takutnya kepada Allah tinggi maka dia itulah orang alim. Dalam sebuah hadist qudsi dikatakan, Rasullah saw. bersabda: Tuhanmu kagum terhadap pengembala kambing di ujung bukit yang di kala didengungkan adzan ia terus mendirikan shalat. Lalu Allah yang maha mulia dan maha besar berfirman: Lihatlah hamba-Ku ini, di dengungkan adzan kemudian ia shalat karena takut terhadap-Ku, Aku telah mengampuni hamba-Ku dan memasukanya ke surga’’ (HR. Nasai). Wallahu a’lam.