Friday, November 13, 2015

Negara-Negara Arab Sunni Bakal Dijajah Syi'ah Iran?

Negara-Negara Arab Sunni Bakal Dijajah Syi'ah Iran?

Jika berpikir secara perlahan-lahan dengan lapang dada dan hati yang jernih, maka akan dapat disimpulkan, tentang masa depan negara-negara Arab Sunni? Barangkali ini kesimpulan yang sangat skeptis, yaitu negara-negara Arab Sunni akan dijajah oleh Syi'ah?
Ada beberapa patokan yang dapat menjadi dasar kesimpulan, bahwa negara-negara Arab Sunni, bakal dijajah oleh Syi'ah Iran. Mungkin prediksi ini berlebihan, dan bisa dinilai telalu skeptis dan pesimis melihat masa depan negara-negara Arab pasca “Arab Spring”.
Perubahan akibat "Arab Spring", menimbulkan "counter" terhadap sejumlah negara-negara Arab oleh kekuatan lama yang didukung Barat, dan kemudian merubah seluruh situasi dan keadaan di Timur Tengah dan Dunia Arab. Termasuk di Suriah. Kegagalan negara-negara Arab Sunni menghadapi Syi'ah Iran,  disebabkan faktor-faktor :
Pertama, negara-negara Arab Sunni tidak dapat bersatu dalam semua masalah, dan terus memiliki perbedaan yang dalam, dan bahkan menjurus konflik yang terbuka, yang sifatnya antar negara. Sebagai contoh, antara Mesir dengan Arab Saudi, dan sejumlah negara Teluk. Betapa sekarang media-media Mesir, tanpa henti mengolok-olok Arab Saudi, dan Raja Salman. Bandingkan dengan Syi'ah? Mereka bersatu dibawah arahan Ayatullah Ali Khamenei, sebagai pemimpin dan panutan golongan Syiah. Tidak  ada konflik terbuka diantara negeri-negeri Syiah,  dan  kelompok-kelompok Syiah di berbagai negara.
Kedua, negara-negara Arab di tinggalkan oleh Amerika Serikat, Eropa, dan Rusia, dan tidak tidak lagi dipandang sebagai sekutu yang strategis. Sekarang membangun hubungan baru dengan Iran, sebagai sekutu strategis yang menggantikan negara-negara Arab. Terjadinya pergeseran aliansi ini, bisa berdampak negatif, tapi juga bisa berdampak positif bagi negara-negara Arab Sunni, bila meninggalkan ketergantungan kepada Barat.
Ketiga, perubahan 'geostrategis' dan 'geopolitik' ini, ditandai dengan dukungan enam negara utama, yaitu Amerika, Rusia, Cina, Inggris, Perancis, dan Jerman, yang  mendukung program nuklir Iran. Ini mempunyai dampak keamanan dikawasan Timur Tengah, sangat berbahaya bagi keamanan masa depan negara-negara Arab.
Keempat, Iran bukan hanya mendapatkan dukungan dari enam negara utama dalam membangun fasilitas nuklinya, tapi Iran juga mendapatkan senjata pamungkas, yaitu rudal S-300, dari darat ke udara. Ini tidak dimiliki negara-negara Arab. Dengan demikian, Iran memiliki arsenal persenjataan baru, dan berpotensi menjadi ancaman bagi negara-negara Arab. 
Kelima, negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Uni Eropa, telah mencairkan semua asset Iran yang dibekukan selama terjadinya konflik, dan sekarang mendapatkan dana mereka kembali yang nilai ratusan triliun dolar. Ini dapat digunakan membiayi ekonomi dan militer Iran. Iran akan mampu bertindak apa saja. Uni Eropa pun sekarang memulihkan kerjasama dengan Iran, bersamaan dengan kunjungan Kepala Kebijakan Uni Eropa, Ferderica Mogherini ke Teheran.
Kelima, Iran semakin kokoh “hegemoninya” di kawasan Timur Tengah, bersamaan dengan dukungan Amerika, Eropa, dan Rusia. Dengan isu “terorisme” yang terus didorong oleh Iran, dan kecemasan Amerika, Eropa, Rusia, dan sejatinya dibelakang isu ini kepentingan Zionis, Nampaknya Iran menjadi sekutu yang dipercaya. Sebutan “evil” (iblis) oleh Amerika terhadap Iran, telah dihapus, dan sebagai gantinya sekarang ini, Iran menjadi sekutu strategis Barat, Eropa, dan Rusia menghadapi ancaman yang lebih potensial, yaitu “ISIS”, yang dianggap sebagai ancaman bagi Barat. ISIS dianggap mewakili kelompok Sunni, dan lebih berbahaya dibanding dengan Syi'ah.
Keenam, negara-negara Arab “petro dollar”, diprediksi akan bangkrut, bersamaan dengan turunnya harga minyak dan habisnya cadangan minyak mereka. Negara-negara Arab tidak lagi bisa eksis di masa depan, karena minyaknya bukan hanya habis, tapi harganya sudah tidak dapat lagi menopang APBN mereka. Inilah yang lebih suram. Apalagi, gaya hidup para pangeran Arab. Sebagai gambaran Arab Saudi pun, sekarang sudah mengalami defisit APBN.
Ketujuh, sampai sekarang negara-negara Arab, mereka tidak jelas sikapnya terhadap kelompok-kelompok pejuang oposisi di Suriah. Sikapnya masih sangat ditentukan oleh Amerika, Eropa dan Rusia. Sikapnya yang tidak total mendukung para pejuang oposisi, membuat Bashar Al-Assad semakin berkepanjangan. Seharusnya Arab Saudi, sebagai negara utama, bisa melakukan “deal” politik dengan kekuatan oposisi, mengakhiri rezim Bashar. Bahkan,  negara-negara Arab ikut memerangi kelompok Mujahidin, bersama-sama dengan Amerika, Rusia, dan Eropa.
Kedelapan, yang lebih penting, banyaknya perbedaan diantara "harakah" (gerakan), dan perbedaan itu, sampai pada tingkat yang sangat berlebihan, saling mengkafirkan, menuduh kafir, murtad, dan bahkan di medan jihad pun saling berperang. Inilah persoalan yang paling menghancurkan. Soal-soal ijtihadi, kemudian dijadikan dasar saling mengkafirkan, dan bermusuhan. Semua itu, semakin melemahkan perjuangan,  khususnya bagi kekuatan golongan Sunni.
Inilah beberapa kondisi dan perubahan politik di Timur Tengah, yang membuat semakin melemahnya, kekuatan negara-negara Arab Sunni, menghadapi Syiah Iran, dan kemungkinan peluangnya di masa depan, Timur Tengah, bisa jatuh ke tangan Syiah. Ini harus mendapatkan perhatian di Indonesia. Tidak cukup menghadapi Syi'ah Iran dengan pidato dan retorika.
Satu-satunya peluang, bila Raja Salman  bin Abdul Aziz dengan kharismanya bisa menyatukan seluruh kekuatan negara-negara Arab Sunni dan membangun dialog dengan Gerakan  Islam,  dan secara tegas melepaskan  diri dari ketergantungan kepada Amerika, Eropa, dan Rusia, serta bersikap mandiri, termasuk tidak terbawa oleh permainan mereka.
Arab Saudi dan negara-negara Arab Sunni harus tegas mendukung semua perjuangan kelompok Sunni, seperti di Suriah, Irak,Yaman,  dan tempat lainnya. Ini kemungkinan yang dapat memenangkannya menghadapi Syi'ah Iran. (mashadi/voa-islam.com)