Sunday, December 20, 2015

Benarkah Momen Damaskus Milik Teheran?

Benarkah Momen Damaskus Milik Teheran? [2]
Penasehat pemimpin tertinggi Iran, Ali Akbar Velayati bersaama Bashar al Assad

Sabtu, 19 Desember 2015 - 10:43 WIB
Eskalasi dramatis keterlibatan militer Rusia di Suriah telah menggiring banyak pihak untuk menyimpulkan bahwa pemerintahan Suriah tidak lagi dibawah ancaman kekalahan.
Teheran dapat merasakan bahwa kini adalah waktunya untuk menghindari pertempuran di mana saja dan fokus kepada pertempuran pengaruh di lingkungan rumah mereka.
Oleh: James Denselow
SEBUAH laporan dari lembaga penelitian AS,Institute for the Study of War, menjelaskan bahwa Iran adalah bagian dari sebuah “rencana yang besar, mahal, dan terpadu untuk mempertahankan Presiden Bashar al-Assad di kursinya.”
Akan tetapi, minggu lalu Bloomberg melaporkan bahwa menurut seorang pejabat AS, mereka melihat adanya penurunan signifikan dalam hal jumlah serta aktivitas angkatan bersenjata Iran di Suriah.
Washington menyatakan bahwa ini adalah momen dimana Iran mundur dari Suriah, setelah kini mereka berdarah-darah kehilangan pejabat militer senior – serta dana yang tidak sedikit – dalam mempertahankan rezim Assad. Akan tetapi, dalam perang di Suriah yang masih terus berlangsung, ini tidak menjadi satu-satunya alasan bagi Iran untuk merubah strateginya, dan skenario-skenario lainnya patut untuk diinvestigasi.
Ini menunjukkan bahwa Iran memiliki cukup posisi dan pengaruh untuk terlibat dalam diskusi mengenai masa depan Suriah, namun tidak memerlukan terlalu banyak keterlibatan militer di negara tersebut.
Perjanjian nuklir pada bulan Juli adalah momen signifikan bagi Iran keluar dari sarangnya dan ditambah dengan diundangnya mereka pada diskusi perdamaian di Wina pada bulan Oktober.
Teheran telah menyatakan berulang kali bahwa hal tersebut tidak terkait dengan Bashar al Assad secara pribadi dan dapat merasakan bahwa pengaruhnya diantara para aktor politik yang akan membentuk pemerintahan transisional, bahwa di masa depan dia tidak akan lebih penting dari di masa lalu.
Sebagai tambahan, kita tidak boleh lupa bahwa konflik regional yang lebih besar antara Riyadh dan Teheran telah mempengaruhi banyak rencana tersembunyi Timur Tengah selama satu dekade terakhir.
Fakta bahwa kedua negara duduk di meja yang sama mendiskusikan Suriah dan bukannya menegosiasikan tentang konflik yang terjadi di sana adalah sebuah sukses yang signifikan, dan tidak terlaporkan, di Wina.
Eskalasi dramatis keterlibatan militer Rusia di Suriah telah menggiring banyak pihak untuk menyimpulkan bahwa pemerintahan Suriah tidak lagi dibawah ancaman kekalahan, meski banyak pertanyaan mengenai bisa tidaknya Assad mengklaim kembali wilayah-wilayah yang hilang.
Dengan masa depan rezim telah pasti dan koridor ke Syiah Hizbullah di Libanon tidak lagi di bawah ancaman, dapat dikatakan bahwa Teheran telah mencapai salah satu tujuan besar yang mendorong keterlibatan mereka sejak awal.
Lebih dari itu, Teheran dapat menemukan diri mereka dalam sebuah proxy mirip Hizbullah di Suriah, di masa depan.
The Wall Street Journal melaporkan bahwa pada masa jayanya, terdapat 7000 anggota Korp Pengawal Revolusi Iran dan sukarelawan milisi lainnya yang membantu rezim Suriah.
Yang masih tidak jelas adalah apa persisinya peran Iran dalam Pasukan Pertahanan Nasional.
Pasukan tersebut adalah sebuah komponen cadangan pada militer Suriah yang beranggotakan pasukan sukarelawan paruh-waktu yang kabarnya dibentuk oleh Qassem Soleimani, komandan dari Pasukan Quds milik Iran yang bergengsi.
Menurut sebuah laporan baru-baru ini yang dikeluarkan oleh European Council on Foreign Relations, terdapat perbedaan pendapat antara Teheran dan Moskow mengenai pengaturan dan kekuasaan Pasukan Pertahanan Nasional Suriah (NDF), dengan kini Rusia melibatkan diri dengan tentara Suriah, namun Iran berencana untuk menjaga pasukan tersebut sebagai kekuatan independen, dengan gaya yang mirip milisi Syiah Hizbullah di Libanon.
Jadi lagi, dugaan mundurnya Iran dapat dihubungkan dengan kepercayaan bahwa pasukan-pasukan yang tewas adalah orang Suriah yang melakukan tugas bagi Iran, baik secara langsung maupun tidak, dan bukannya warga negara mereka sendiri.
Skenario ini mendukung argumen Amerika mengenai “mundurnya Teheran,” namun dilihatnya dari kacamata konflik dengan negara tetangganya, Iraq.
Dengan Turki menyebarkan pasukan bersenjatanya di utara Iraq dan sebuah pertanyaan tersisa tentang bagaimana dan kapan kota-kota seperti Mosul akan direbut kembali dari kelompok Daulah Islamiyah Iraq wa Syam (ISIS/ISIL), Teheran dapat merasakan bahwa kini adalah waktunya untuk menghindari pertempuran di mana saja dan fokus kepada pertempuran pengaruh di lingkungan rumah mereka.
Dengan rumor tentang meningkatnya pengiriman pasukan Amerika ke Iraq, ini dapat semakin mengkristalkan prioritas-prioritas langsung Teheran.
Kesimpulannya, meski ada sedikit keragu-raguan mengenai pengorbanan yang dikeluarkan oleh Teheran selama hampir 5 tahun mendukung Assad pada konflik ini, pengaruh mereka yang lebih luas di seluruh wilayah – yang salah satunya dipicu oleh kolapsnya Iraq pada 2003 – berarti bahwa prioritas yang bertubrukan, serta kepercayaan diri mengenai efektivitas aliansi non-negara yang kuat, menjelaskan lebih baik mengenai penugasan kembali ini.*
James Denselow adalah penulis masalah-masalah politik dan keamanan Timur Tengah dan seorang partner peneliti di Foreign Policy Centre. Tulisan dimuat di laman Al Jazeera
Rep: Tika Af'idah
Editor: Cholis Akbar