Thursday, December 17, 2015

Malaysia (Ahlus Sunnah Syafi’i) Masuk, Karena Tegas Terhadap Kesesatan Syiah, Menghormati Bangsa ( Islam ) Arab. Di Indonesia Tokoh-Tokoh Syiah Dekat Dengan Kekuasaan (Berjasa Besar Di Pilpres 2014) Dan Banyak Anasir Anti ( Islam ) Arab Di Organisasi Islam ( Ulama ) Terbesar, Berasyik Masyuk Dengan Teroris Syi’ah ( Iran ) ! Teroris Syi’ah Iran Tidak Ikut Karena Biang Keladi Terorisme Di Negara-Negara Arab ( Negara Islam ), Indonesia Ternyata Sudah Punya Kerjasama Terorisme Dengan Negara Syiah Iran.

Arab Saudi Pimpin Aliansi Militer 34 Negara Islam Melawan Terorisme, Iran Tidak Termasuk dalam Daftar

Arab Saudi Pimpin Aliansi Militer 34 Negara Islam Melawan Terorisme, Iran Tidak Termasuk dalam Daftar

Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengumumkan pembentukan “koalisi militer Islam” untuk memerangi terorisme. Sebanyak 34 negara Muslim mendeklarasikan “Koalisi Militer Islam” pada Selasa (15/12). Koalisi yang dipimpin Arab Saudi dan bermarkas di Riyadh ini bertujuan memerangi seluruh kelompok “teroris”.
Kantor Berita Saudi Arabiyah (SPA) menjelaskan, koalisi ini dibentuk berdasarkan kesepakatan KTT OKI (Organisasi Kerjasama Islam/organization of islamic conference) dalam masalah pemberantasan terorisme. SPA menambahkan, aliansi Militer Islam pertama ini akan melindungi seluruh bangsa dari kejahatan dan organisasi “teroris” bersenjata, yang membunuh dan merusak kehidupan dunia. Serta mengganggu kenyamanan dan keamanan.

Secara lengkap negara-negara “koalisi Islam” itu adalah, Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab (UEA), Pakistan, Bahrain, Bangladesh, Benin, Turki, Chad, Togo, Tunisia, Djibouti, Senegal, Sudan, Sierra Leone, Somalia, Gabon, Guinea, Palestina, Republik Federal Islam Komoro, Qatar, Cote d’Ivoire, Kuwait, Libanon, Libya, Maladewa, Mali, Malaysia, Mesir, Maroko, Mauritania, Niger, Nigeria dan Yaman.
Negara-negara yang disebutkan di sini telah memutuskan pada pembentukan aliansi militer yang dipimpin oleh Arab Saudi untuk memerangi terorisme, dengan pusat operasi gabungan yang berbasis di Riyadh untukberkoordinasi dan mendukung operasi militer,” demikian pengumuman Saudi yang disiarkan kantor berita Saudi Press Agency (SPA).
“Koalisi memiliki kewajiban untuk melindungi negara Islam dari kejahatan semua kelompok teroris dan organisasisekte apapun dan nama-nama mereka yang mendatangkan maut dan kerusakan di muka bumi serta yang bertujuan untuk meneror orang yang tidak bersalah,” lanjut pengumuman itu, yang dilansir Selasa (15/12/2015).
Iran yang menganut Syiah, tidak ikut serta dalam koalisi itu. Absennya Iran dari daftar negara Islam yang memerangi terorisme ini merepresentasi persaingan dua kekuatan regional di Timur Tengah, yang memengaruhi situasi politik dan keamanan di sejumlah negara, termasuk Suriah dan Yaman dan membuka kedok Siapa Sebenarnya Iran dimata Negara Islam, khususnya di Timur Tengah.
Dalam konferensi pers yang jarang digelar pada Selasa (15/12), putra mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, 30, yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan menyatakan bahwa kampanye akan “mengkoordinasikan” upaya untuk memerangi terorisme di Irak, Suriah, Libya, Mesir dan Afghanistan, tapi menawarkan beberapa indikasi konkret soal kemungkinan upaya militer dilanjutkan.”
“Akan ada koordinasi internasional dengan negara-negara besar dan organisasi internasional, dalam hal operasi di Suriah dan Irak. Kita tidak dapat melakukan operasi ini tanpa berkoordinasi dengan masyarakat internasional,” kata Salman tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Ketika ditanya apakah koalisi militer akan fokus hanya pada kelompok militan ISIS, Salman menyatakan koalisi ini siap menghadapi bukan hanya ISIS tetapi juga “organisasi teroris yang muncul di depan kami.” (DH)

Alasan Saudi Tak Ajak Iran ke Koalisi Anti-Teroris

Menhan Arab Saudi, Mohammed bin Salman (Foto: BBC) 

Selasa, 15 Desember 2015 - 15:47 wib
Iran dilaporkan menjadi satu-satunya negara yang tidak ikut dalam koalisi anti-teroris baru pimpinan Arab Saudi yang terdiri dari 34 negara Islam di Asia, Timur Tengah, dan Afrika.
Di antara negara-negara Timur Tengah lainnya, Pemerintah Saudi tidak mengajak Iran untuk masuk dalam koalisi internasional untuk memerangi ISIS di Irak dan Suriah. Hal itu disampaikan Menteri Pertahanan (Menhan) Saudi, Mohammed bin Salman.
“Saya pikir tindakan Iran yang masih dicurigai sebagai negara yang turut membantu kelompok radikal (Houthi) untuk menguasai pemerintahan sah di Yaman menjadi faktor besar mengapa Iran tidak masuk dalam koalisi internasional ini,” ujar Menhan Salman, sebagaimana dilansir BBC, Selasa (15/12/2015).
“Pembentukan koalisi internasional yang baru ini berangkat dari kekhawatiran dan kewaspadaan negara-negara Islam dalam memerangi penyakit (radikalisme yang mengatasnamakan Islam) ini, yang jelas sudah merusak dunia Islam,” sambungnya.
Sebagaimana diberitakan, 34 negara yang tergabung dalam koalisi internasional baru untuk memerangi terorisme ini memang terpisah dari tim koalisi besutan Pemerintah Amerika Serikat (AS).
Meski begitu, koalisi pimpinan Saudi ini tetap akan berkoordinasi dengan koalisi pimpinan AS dan organisasi internasional lainnya.
Negara-negara yang sudah pasti bergabung dalam koalisi anti-teroris ini, antara lain Mesir, Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), Turki, Malaysia, Pakistan, dan beberapa negara di koalisi Teluk, serta negara-negara Afrika.

Pujian Global Untuk Kepemimpinan Saudi Dalam Upaya Menyelesaikan Konflik Suriah

 Pujian Global Untuk Kepemimpinan Saudi Dalam Upaya Menyelesaikan Konflik Suriah

Pujian Global Untuk Kepemimpinan Saudi Dalam Upaya Menyelesaikan Konflik Suriah
NEW YORK: Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon telah memuji Arab Saudi atas upaya dan kepemimpinan dalam mengadakan konferensi oposisi Suriah di Riyadh  sebagai hal yang konstruktif, juru bicara Sekjen PBB menyampaikan dalam sebuah pernyataan.
Dia mengatakan Sekjen PBB juga menyoroti pentingnya menjaga momentum positif dari upaya International Syrian Support Group (ISSG), yang memungkinkan untuk mencapai kemajuan dan meluncurkan negosiasi politik yang kredibel antara pihak di Suriah pada bulan Januari untuk melaksanakan kesepakatan Geneva 2012 dan Pernyataan ISSG Wina.
Menteri Luar Negeri AS John Kerry, berbicara di Paris sebelumnya, mengatakan pembicaraan Riyadh tampaknya “sangat konstruktif” dan membuat kemajuan.

“Saya pikir semua orang ingin secepatnya bergerak ke arah menuju ke proses politik,” katanya.
“Jadi kami membuat kemajuan, tapi kami juga memiliki beberapa masalah yang sulit untuk diselesaikan.” katanya.

Pertemuan Riyadh terjadi di tengah meningkatnya konflik di Suriah dan diplomasi dipercepat untuk menemukan solusi politik untuk mengakhiri perang.
Negara besar sepakat di Wina bulan lalu untuk menghidupkan kembali upaya diplomatik untuk mengakhiri perang, menyerukan pembicaraan damai yang akan dimulai pada bulan Januari dan pemilu dalam waktu dua tahun.

Kabinet Saudi memuji ketajaman Kerajaan dalam upaya memecahkan krisis Suriah melalui cara-cara politik berdasarkan dari deklaras Jenewa I.
AS menyambut baik kesepakatan Riyadh tetapi memperingatkan bahwa beberapa masalah tetap harus diselesaikan antara pasukan oposisi jika pembicaraan damai yang didukung PBB ingin dilanjutkan minggu depan.
Berkumpul di Riyadh untuk pembicaraan besar pertama di antara berbagai faksi politik dan bersenjata, perwakilan menyetujui kerangka kerja untuk negosiasi yang didukung oleh kekuatan dunia.
Namun kelompok oposisi bersikeras bahwa Assad dan para pengikutnya harus dilucuti kekuasaannya sebagai syarat untuk dimulainya masa transisi yang disepakati dalam pembicaraan di Wina. (Arab News)
Middle EAST Update

Malaysia Masuk Dalam Aliansi Militer 34 Negara Dunia Berbasis Islam, Indonesia Tidak Dianggap

Selasa, 4 Rabiul Awwal 1437 H / 15 Desember 2015 15:30 WIB
Arab Saudi menggandeng negara negara yang berlatar belakang Islam membentuk aliansi militer Islam guna memerangi terorisme. Di aliansi tersebut terdapat 34 negara, baik dari kawasan Teluk, Afrika maupun bagian Asia lainnya.
Seperti dikutip RT ke-34 negara tersebut di antaranya,  Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab, Pakistan, Bahrain, Bangladesh, Benin, Turki, Chad, Togo, Tunisia, Djibouti, Senegal, Sudan, Sierra Leone, Somalia, Gabon, Guinea, Palestina, Republik Federal Islam COmoro, Qatar, Cote d’Ivoire, Kuwait, Lebanon, dan Libya.
Kemudian disusul Maladewa, Mali, Malaysia, Mesir, Maroko, Mauritania, Niger, Nigeria serta Yemen. Namun, di dalam daftar nama tersebut tidak terdapat Indonesia yang merupakan negara mayoritas Islam terbesar.
“Negara-negara yang disebutkanya telah memutuskan untuk membentuk aliansi militer yang dipimpin oleh Saudi guna memerangi terorisme. Markas operasi gabungan ini akan berbasis di Riyadh untuk mengkoordinasi serangan,” ujar kantor berita Saudi SPA dalam pernyataannya.
Di bawah, Raja Salman, Saudi sangat aktif di dalam kebijakan politik luar negeri. Mereka terlibat dalam operasi di Yaman, dan baru-baru ini Saudi mengumpulkan oposisi Suriah di Riyadh.
Anehnya, Indonesia yang selama ini gembar-gembor sebagai negeri mayoritas umat Islam dunia malah tidak diangap penting untuk dimasukkan ke dalam Aliansi Militer Negeri Islam ini. Apakah karena Indonesia sekarang tengah dirundung krisis pemimpin yang sangat parah sehingga tidak dianggap? (ts)

Berikut 3 Syarat untuk Sukseskan Misi Aliansi Militer Islam Perangi Terorisme


  Mohammad Alhodaif, akademisi ternama di Arab Saudi. (pbs.twimg.com)
Mohammad Alhodaif, akademisi ternama di Arab Saudi. (pbs.twimg.com)

Mohammad Alhodaif, seorang akademisi ternama asal Arab Saudi melalui akun twitternya memberikan 3 syarat apabila Aliansi Militer Islam ingin sukses menjalani misinya. Aliansi militer yang baru dibentuk pada hari Selasa (15/12/2015) kemarin ini memiliki misi untuk memerangi terorisme.
Seperti dilansir laman Islammemo.cc, Alhodaif melalui kicauannya di Twitter menuliskan, “Aliansi Militer Islam dalam memerangi teroris akan sukses dengan 3 syarat ini, pertama, jangan sertakan Iran dan agen-agennya masuk ke dalam aliansi ini, kedua, jangan mengidentikan terorisme sebagai bagian dari Islam, ketiga, memperjelas istilah dari terorisme itu sendiri.”
Sebagaimana yang diberitakan sebelumnya, baru-baru ini Kerajaan Arab Saudi mengumumkan pembentukan Aliansi Militer Islam yang terdiri dari 34 negara. Aliansi yang diketui oleh Arab Saudi ini bertujuan agar setiap anggotnya saling bahu-membahu dalam memerangi terorisme. (Baca: 34 Negara Bentuk Aliansi Militer Islam) (msy/dakwatuna)
Redaktur: M Syarief

Politikus Senior Kuwait Minta Aliansi Militer Islam Sasar Syiah Iran Sebagai Biang Kejahatan di Timur Tengah

Rabu, 5 Rabiul Awwal 1437 H / 16 Desember 2015 13:00 WIB
Mantan anggota parlemen Kuwait, Walid Tabtabai, mengingatkan Raja Salman dan Arab Saudi yang baru saja membentuk Aliansi Militer Islam untuk menyasar Syiah Iran dan rezim Bashar Al Assad yang menjadi biang kekacauan di Timur Tengah setelah Zionis Israel.
Pernyataan ini dikatakan Walid Tabtabai dalam akun Twitter miliknya menanggapi pembentukan Aliansi Militer Islam yang terdiri dari 34 negara dengan kantor pusat di ibukota Riyadh pada hari Selasa (15/12) kemarin.
“Aliansi Militer Islam wajib menyasar biang kejahatan Syiah Iran dan turunannya Bashar Al Assad di Suriah,” tulis Walid dalam kicauannya di Twitter.
Disisi lain, Menlu Arab Saudi Adil Al Jubeir dalam konferensi persnya mengatakan bahwa tidak menutup menutup kemungkinan bagi Aliansi MIliter Islam untuk mengirimkan pasukan darat melawan Negara Islam, jika nantinya dirasa perlu seperti di Yaman.
Berikut daftar negara-negara yang bergabung dengan Aliansi Militer Islam pada hari Selasa kemarin; Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab, Pakistan, Bahrain, Bangladesh, Benin, Turki, Chad, Togo, Tunisia, Djibouti, Senegal, Sudan, Sierra Leone, Somalia, Gabon, Guinea, Palestina, Republik Federal Islam COmoro, Qatar, Cote d’Ivoire, Kuwait, Lebanon, dan Libya.
Kemudian disusul Maladewa, Mali, Malaysia, Mesir, Maroko, Mauritania, Niger, Nigeria serta Yaman. (Rassd/Ram)


Ini Alasan Saudi Tak Ikutkan Iran dalam Koalisi Militer Islam


Ini Alasan Saudi Tak Ikutkan Iran dalam Koalisi Militer Islam

Penasihat Departemen Pertahanan Arab Saudi, Brigadir Jenderal Ahmad Asiri, mengungkapkan alasan Iran tidak diikutsertakan dalam “Koalisi Militer Islam” untuk memerangi teroris yang dibentuk Arab Saudi Senin lalu. Iran dianggap mendukung terorisme dan memusuhi negara-negara Arab.
“Bergabungnya Iran ke dalam Koalisi Militer Islam yang diumumkan baru-baru ini tergantung kesediaan Iran menghentikan permusuhannya terhadap negara-negara Arab dan Islam serta dukungannya terhadap teroris,” kata Asiri seperti dinukil Al-Arabiya dari koran Ar-Riyadh, Rabu (16/12).
Pernyataan ini disampaikan Asiri kepada wartawan di Kairo, Selasa (15/12). Saat itu, Asiri bersama delegasi Saudi lainnya menggelar pertemuan dengan para pejabat Mesir.
Asiri mengatakan, saat ini kami berbicara tentang operasi memerangi teroris. Jika Iran ingin bergabung dalam koalisi ini, dia harus menghentikan operasi di Suriah dan Yaman. Begitu juga, tambahnya, Iran harus menghentikan tindakan-tindakan mendukung teroris di Lebanon dan Iraq.
“Semua ini adalah milisi-milisi yang diciptakan oleh Iran,” jelasnya menegaskan.
“Langkah pertama yang harus dilakukan Iran sebelum bergabung koalisi menghentikan permusuhan terhadap negara-negara Arab dan Islam,” tegasnya lagi.
Seperti diketahui, Iran termasuk negara yang tidak tercantum dalam Koalisi Militer Islam kendati Iran anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Dari 57 negara anggota OKI, 34 lainnya bergabung dalam koalisi yang dipimpin Arab Saudi itu. Sementara sisanya ada yang mendukung namun tidak ikut bergabung dan sebagian menolak bergabung.
Sumber: Al-Arabiya

Penulis: Hunef Ibrahim


Saudi ke Iran: Kalau Mau Gabung Koalisi, Berhenti Ancam Negara-negara Arab dan Muslim

Jumat 6 Rabiulawal 1437 / 18 December 2015 06:20
ARAB Saudi bersama 34 negara mayoritas berpenduduk muslim telah membentuk koalisi militer baru untuk melawan terorisme.
Dari jumlah itu, tidak ada Iran sebagai anggotanya. Jika Iran ingin bergabung, Saudi sudah menetapkan syarat mutlak kepada negara Syiah ini yaitu berhenti mengancam negara-negara Arab dan Muslim.
Hal itu disampaikan oleh Brig. Jenderal Ahmed Al-Assiri, penasihat kementerian pertahanan dan juru bicara koalisi Arab untuk perdamaian Yaman. Demikian dilansir Arab News, Kamis (17/12/2015).
“Kita sekarang berbicara soal tindakan untuk mengalahkan teror dan jika Teheran bersedia untuk menjadi bagian dari koalisi ini, mereka harus berhenti campur tangan di Suriah dan Yaman dan berhenti mendukung terorisme di Lebanon dan Irak,” tandas Al-Assiri. [sa/islampos]

Ratusan Demonstran Kutuk Iran di Depan Kantor PBB

30 Sep 2015 09:18
New York – Ratusan orang menggelar demonstrasi di depan kantor pusat PBB di New York, AS, di saat konferensi Majelis Umum PBB yang 70. Mereka mengutuk kebijakan politik dan intervensi Iran dalam urusan negara-negara Arab.
Aksi yang dilakukan pada Selasa (29/09) bertepatan dengan pidato Presiden Iran Hassan Rauhani di hadapan peserta konferensi.
Dilansir dari Al-Jazeera, para demonstran adalah aktivis dan oposisi Iran, Suriah dan Yaman. Kendati demo ini digelar setiap tahun oleh aktivis, namun kali ini pesertanya lebih banyak dan dari berbagai warga negara.
Demonstran mengangkat slogan-slogan mengutuk dukungan Iran terhadap organisasi-organisasi zalim di Suriah dan Yaman. Begitu juga, dukungan Iran terhadap faksi-faksi bersenjata yang membuat kerusuhan di negara Arab.
Mereka menuduh Iran berada di balik kekacauan dan kerusakan di Suriah, Yaman dan Iraq. Segala peran rezim Iran dalam menyelesaikan kekacauan itu harus ditolak.
Para demonstran juga mendesak PBB mengakhiri kebijakan Iran di wilayah Arab. Iran harus dipaksa untuk tidak mengganggu urusan negara tetangga.
Sementara itu, Rauhani dalam pidatonya menyampaikan tentang pecahnya krisis di lebih dari satu negara Arab. Menurutnya, krisis itu lebih buruk karena ada campur tangan militer negara lain.
Sumber: Al-Jazeera

Penulis: Hunef Ibrahim

PBB Kutuk Pelanggaran HAM di Iran dan Korut

Tolak Ajakan Saudi Lawan Teroris, Jokowi Ternyata Sudah Berkoalisi Dengan Iran

 jokowi-indonesia-iran-rouhani

Kamis, 6 Rabiul Awwal 1437 H / 17 Desember 2015 12:00 WIB
Sebanyak 34 negara berpenduduk mayoritas muslim membentuk aliansi militer untuk memerangi terorisme, Selasa (15/12/2015). Aliansi ini dipimpin Arab Saudi dan berpusat di Riyadh.
Namun, di dalam daftar nama tersebut tidak terdapat Indonesia yang merupakan negara mayoritas Islam terbesar. Indonesia menganggap pembentukan aliansi bertentangan dengan Undang-Undang dan menolak ajakan Arab Saudi untuk bergabung dalam aliansi.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Armanatha Nasir menyatakan bergabung dalam aliansi Negara Islam dan koalisi militer internasional tidak sejalan dengan Undang-Undang Indonesia.
“Ini sejak awal tidak sejalan dengan Undang-Undang,” kata Arrmanatha Nasir seperti yang dilansir ROL pada Selasa (15/12).
Menurut dia, dua hari lalu, Arab Saudi menawarkan pada Indonesia melalu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk bergabung dengan rencana pembentukan Center for Counter Extremism and Terorism. “Saat itu, yang ditawarkan adalah sebuah Center,” kata Arrmanatha Nasir.
Selain Indonesia, Iran juga tidak masuk dalam daftar aliansi pimpinan Saudi ini.
Dari penelusuran, ternyata Indonesia dan Iran sudah menjalin kerjasama tersendiri untuk memerangi terorisme.
Berikut kutipan berita dari KOMPAS bulan April lalu:
Indonesia-Iran Jalin Kerja Sama Perangi Terorisme
Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Iran berkomitmen untuk melakukan perang terhadap segala aksi terorisme dengan kerja sama yang erat antar-kedua negara.
Demikian kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Iran Hassan Rouhani di sela-sela acara Konferensi Asia Afrika 2015, di Jakarta Convention Center, Kamis (23/4/2015).
“Dua negara sepakat bahwa kekerasan yang dilakukan atas nama agama oleh kelompok teroris harus diberantas dengan kerja sama yang erat antar-negara,” ujar Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto seusai pertemuan.
Andi mengatakan, kedua negara, yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam moderat, juga sepakat memperkuat kerja sama, terutama di bidang kebudayaan.
Sebelumnya, Presiden Jokowi dan Presiden Hassan Rouhani sama-sama menyinggung soal perang melawan terorisme. Secara khusus, mereka menyebut masalah keberadaan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
http://nasional.kompas.com/read/2015/04/23/10463381/Indonesia-Iran.Jalin.Kerja.Sama.Perangi.Terorisme
(ts/pkspiyungan)

TEMUI PRESIDEN IRAN, ALWI SHIHAB TEGASKAN KOMITMEN INDONESIA LAWAN TERORISME



SENIN, 16 MARET 2015 , 10:35:00 WIB
Iran dan Indonesia sepakat untuk bekerjasama melawan ekstrimis dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. 



Hal itu ditegaskan oleh Presiden Iran Hassan Rouhani saat bertemu dengan utusan khusus Presiden untuk Timur Tengah Alwi Shihab 

pada Minggu (15/3) di Tehran. 



Dalam pertemuan itu, Rouhani menyebut bahwa Tehran dan Jakarta sudah semestinya memainkan peran penting dalam melawan fenomena suram terorisme dan kekerasan dengan cara mempromosikan islam dengan cara yang nyata dan moderat. 



Bukan hanya itu, Rouhani juga memuji posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang memiliki hubungan persahabatan dan persaudaraan dengan Iran. Kata Rouhani, kedua negara bisa mengambil keuntungan dari latar belakang budaya bersama untuk memperluas hubungan.


Ia juga menyebut bahwa Tehran akan berupaya untuk memperluas kerjasama ekonomi dengan Jakarta. 

Sementara itu, seperti dimuat Press TV, di hadapan Rouhani, Alwi menyoroti soal peran inspirasional Iran dalam memerangi hegemoni kekuasaan global. Kata Alwi, rakyat Indonesia selalu mendukung Revolusi Islam Iran.

Ia pun menegaskan bahwa Indonesia siap untuk meningkatkan hubungan saling menguntungkan dengan Iran.

Dalam kesempatan itu, Alwi juga menyampaikan surat undangan dari Presiden Indonesia Joko Widodo yang mengundang Rouhani untuk ikut berpartisipasi dalam peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60 di Bandung dan Jakarta pada 19 hingga 24 April mendatang. [mel]


Pakistan Sambut Seruan Arab Saudi Bergabung Dengan Aliansi Militer Islam

zahid – Jumat, 18 Desember 2015 13:30 WIB
Kamis 17 Desember 2015, pemerintah Pakistan melalui Menteri Luar Negeri Hakim Khalilullah mengkonfirmasi partisipasi mereka dalam Aliansi Militer Islam yang barus aja dibentuk Kerajaan Arab Saudi pada hari Selasa (15/12) kemarin.
“Ya kami berpartisipasi bersama Arab Saudi dalam Aliansi Militer Islam yang bertujuan untuk memerasngi terorisme,” ujar Menlu Hakim Khalillullah kepada wartawan di ibukota Islamabad.
Menlu Hakim Khalillullah melanjutkan, “Kami akan meminta penjelasan dari Kerajaan Arab Saudi untuk mengetahui sejauh mana partisipasi kami dalam berbagai kegiatan aliansi ini, dan tentunya akan membutuhkan waktu.”
Perlu diketahui bahwa Pakistan adalah salah satu negara penduduk Muslim yang selama ini cenderung mengkritik intervensi militer asing ke suatu negara, khususnya Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah.
Tercatat ada 34 yang dinyatakan bergabung dalam aliansi baru dunia Islam yang berpusat di ibukota Arab Saudi, Riyadh.
Penjajahan Zionis Israel terhadap Al Aqsha dan Palestina, serta konflik di Irak dan Suriah menjadi 2 tantangan awal Aliansi Militer Islam di awal pendiriannya. (Rassd/Ram)

Habib Zein: Hampir Tak Ada Negara Aman Berhubungan dengan Syiah

 Habib Zein: Hampir Tak Ada Negara Aman Berhubungan dengan Syiah

Senin, 14 Desember 2015 - 14:57 WIB
Menurut A’wan Syuriah PWNU Jawa Timur ini, Syiah tidak hanya berbahaya bagi agama, juga berbahaya bagi bangsa dan Negara karena doktrin Imamah
A’wan Syuriah PWNU Jawa Timur, Habib Achmad bin Zein Alkaf menganggap saat ini sedang terjadi pemurtadan secara massif di Indonesia, baik dari agama Islam ke agama lain maupun “permurtadan” dari agama Islam ke aliran-aliran sesat.
“Aliran-aliran sesat ini masuk dari berbagai Negara, dengan tujuan akan mengubah iman kaum muslimin. Kalau iman sudah rusak, otomatis persatuan dan ukhuwah Islamiyah akan rusak pula,” ujarnya pada Muhadloroh Ilmiah dengan tema “Pererat Ukhuwah Perkokoh Aqidah Ummah” di Masjid Manarul Ilmi Kampus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Ahad, (13/12/2015).
Namun, menurut Habib Zein, di antara sekian banyak aliran yang masuk ke Indonesia, Syiah dinilai sebagai yang paling berbahaya. Dikarenakan selain ajarannya yang bertentangan dengan Al-Quran dan hadits, juga karena didukung oleh satu Negara yang kaya.
“Mereka mampu melobi tokoh-tokoh kita, ada yang didatangi ada juga yang diundang ke Iran, yang memerlukan dana mereka bantu, baik untuk pribadi maupun organisasinya, pelajarnya diberikan beasiswa belajar di sana, sewaktu pulang akidahnya berubah,” jelasnya.
Olehnya, Ketua Majelis Syuro Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) ini menilai bahwa Syiah tidak hanya berbahaya bagi agama, juga berbahaya bagi bangsa dan Negara, diisebabkan salah satunya adalah doktrin yang juga termasuk rukun iman Syiah, yakni Imamah. Dimana mereka diharuskan patuh dengan pimpinan mereka di Iran.
“Sudah banyak contoh bagaimana Syiah memberontak di negara-negara Timur Tengah. Hampir tidak ada satu Negara di dalam keadaan aman apabila Negara tersebut berhubungan dengan Syiah,” ungkapnya.
Untuk itu, Habib Zein meminta pejabat dan aparat untuk tegas dalam menyikapi persoalan Syiah ini, demi menjaga stabilitas yang telah diciptakan pemerintah.
“Apabila aparat dan pejabat tidak mengambil sikap yang lebih tegas, maka kami khawatir dalam beberapa tahun lagi, apa yang terjadi di Timur Tengah juga akan terjadi di Indonesia,” terangnya.
“Jangan pura-pura tidak tahu dan menutup mata. Jangan menunggu hal-hal yang tidak diinginkan baru bertindak,” pungkasnya.
Kegiatan Muhadloroh Ilmiah ini sendiri diselenggarakan oleh Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MUIMI) Jawa Timur dan Lembaga Dakwah Kampus Jamaah Masjid Manarul Ilmi (JMMI) Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.*
Rep: Yahya G. Nasrullah
Editor: Cholis Akbar

“Eh… Kok Malah Iran Diajak Kerjasama Berantas Teroris dan Radikalisme?”

Jumat, 24 April 2015 (10:31)
Presiden Joko Widodo dan Presiden Republik Iran Hassan Rouhani bersepakat untuk melakukan kerjasama pemberantasan radikalisme dan terorisme, pada Kamis (23/04/2015). Hal itu dilakukan di sela acara Konferensi Asia Afrika 2015, di Jakarta Convention Center. Dengan kerjasama tersebut, kedua negara akan segera mengaktifkan lagi Komisi Bersama (SKB) kedua negara untuk pemberantasan radikalisme dan pengentasan terorisme dengan mengedepankan sisi kebudayaan dan agama, serta melalui kerjasama tukar informasi untuk mengatasi terorisme.
Kerjasama antara Indonesia dan Iran untuk memberantas terorisme itu pun menuai banyak kecaman. “Eh… kok malah Iran diajak kerjasama untuk memberantas teroris dan radikalisme?,” tulis Jonru di facebooknya
Kritikan serupa dilontarkan oleh anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH. Menurutnya, kerjasama terlalu tergesa-gesa dan akan lebih banyak membawa mudharat dibanding kebaikannya.
“Kita harus paham dulu, apa pengertian radikalisme dalam pikiran Iran. Bagi Iran yang Syiah, semua yang melawan usaha-usaha syiahisasi dinilai intoleran dan takfiri. Jika takfiri akan melahirkan gerakan radikal. Dan gerakan radikal bisa berujung tindakan terorisme, begitu cara pikir Iran,” jelas Abdul Chair Ramadhan, lansir Hidayatullah.
Sementara sejumlah netizen ikut menyesalkan kerjasama tersebut. Seperti netizen Usman Akadir yang berkomentar, “Sekarang syiah merasa diatas angin…inilah akibatnya kalau presiden gak ngerti agama…”
Sedang netizen Harto Indrawan mengungkapkan “Itulah salah satu alasan saya dari dulu kurang suka dengan jokowi, karena ada syiah dibelakang jokowi.”

INDONESIA “GATAL” RADIKALISME

Ketika cahaya Islam mulai menerangi pelosok bumi, melalui seorang rasul nan agung, Muhammad saw.  seluruh jiwa insan memperoleh nuur hidaayah (petunjuk) dan nuur sa’adah (kebahagiaan). Pada saat itu musuh-musuh Islam tidak dapat menyembunyikan rasa jengkel dan marahnya, manakala berhadapan dengan umat Islam, bukan karena kezalimannya tetapi karena kewibawaan dan keteguhan aqidah yang terhujam di dalam kalbu setiap insan beriman. Umat Islam ketika itu menunjukkan loyalitas dan komitmennya yang tinggi kepada Islam, dengan cara menyerahkan segala aktivitas kehidupannya hanya kepada Allah semata.
Kini umat Islam mulai dipandang sebelah mata oleh musuh-musuhnya, bukan karena jumlah yang sedikit atau prinsip-prinsip ajarannya yang berubah, tetapi karena umat Islam mulai meninggalkan komitmennya, dan membuang jauh aqidah islamiyyah dari dalam dirinya. Sedangkan musuh-musuh Islam senantiasa ingin menjatuhkan umat Muhamad ke dalam lembah kehinaan dengan segala cara yang mampu mereka lakukan. Berbagai taktik dan strategi mereka pergunakan. Gagal melalui penjajahan fisik dan serangan militer, mereka berusaha menjajah pemikiran umat Islam, secara politis maupun ekonomi, melalui lembaga pendidikan yang sengaja mereka dirikan. Bahkan mereka berusaha menguasai jaringan teknologi informasi untuk menciptakan image dan membentuk opini publik dengan cara memberikan kesan buruk tentang Islam dan umat Islam di mata dunia. Salah satu di antara kesan buruk yang dibentuk itu bahwa Islam adalah agama yang mentolelir kekerasan dan kekejaman, melalui ungkapan bahasa atau label yang mudah diingat oleh masyarakat seperti terorisme, fundamentalisme, dan radikalisme.
Istilah terorisme kembali mencuat setelah terjadinya serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) di New York dan Gedung Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Pentagon di Washington Amerika Serikat, 14 tahun silam.
Dengan merujuk kepada Afganistan, tempat Osama bin Laden menjadi tamu khusus milisi Taleban, pihak AS dan mereka yang tidak menyukai Islam bertekad menyerang sasaran-sasaran bernilai strategis di negara yang disebut oleh mereka “menyembunyikan teroris”. Sejak itu beberapa negara, termasuk Indonesia, menyatakan siap bekerja sama dengan AS untuk melawan terorisme. Sejak itu pula, terbentuk image(imaji) seakan-akan pelaku teror ini adalah umat Islam, dan label terorisme, fundamentalisme, dan radikalisme identik dengan Islam dan umatnya.
Dewasa ini, saat isu ISIS mencuat, istilah terorisme, fundamentalisme, dan radikalisme kembali menghangat. Label isme-isme itu telah menjadi hantu yang amat menakutkan, sekaligus label yang secara serampangan gampang ditudingkan kepada orang atau kelompok orang, tanpa melihat duduk soal sebenarnya. Saking serampangannya, hanya karena bersikap tegas terhadap persoalan Bid’ah, misalnya, kini orang bisa saja dicurigai sebagai penganut, pengikut, bahkan penganjur terorisme, fundamentalisme, dan radikalisme.
Di Indonesia, labelisasi isme-isme itu terus “digoreng” tanpa kenal waktu dan event hingga terasa renyah, tak terkecuali hajat KAA (Konferensi Asia Afrika) ke-60 yang baru lalu. Di sela-sela acara KAA ke-60 itu, Kamis, 23 April 2015, di Jakarta Convention Center, Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Republik Iran Hassan Rouhani sepakat melakukan kerja sama memberantas radikalisme dan terorisme.
Jika kita merujuk pengertian terorisme dan radikalisme secara netral atau lazim, tentu saja kesepakatan kerjasama itu sangat membingungkan namun juga menggelikan. Sebab, definisi terorisme dan radikalisme versi Indonesia—selain ambigu secara implementatif (penerapan)—sudah pasti berbeda dengan versi Iran.
Dalam pengertian netral atau lazim, terorisme adalah perbuatan dengan kekerasan yang menimbulkan kekacauan dan ketakutan pada rakyat. Sedangkan radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketika kepentingan pengguna label “ikut bermain”, maka secara implementatif kedua label ini seringkali dipisahkan dari makna lazimnya.
Cerita Alexander Agung (Alexander The Great) menangkap bajak laut, sangat tepat dijadikan contoh sebuah tafsir ketika penggunaan label itu di Barat sarat kepentingan.
Alexander: “Mengapa kamu berani mengacau lautan ? Mengapa kamu berani mengacau seluruh dunia ? Pembajak menjawab, “Karena aku melakukannya hanya dengan sebuah perahu kecil. Aku disebut maling, kalian yang melakukannya dengan kapal besar disebut Kaisar/Raja.” Alexander berkomentar atas jawaban itu, “Sangat bagus dan jitu.”
Dari cerita di atas kita dapat mengambil pemahaman bahwa istilah terorisme pada umumnya ditujukan untuk aksi-aksi teror yang dilakukan oleh orang Arab. Sedangkan aksi-aksi oleh Kaisar (Amerika dan sekutunya) disebut “pembalasan” atau “serangan-serangan lebih dahulu yang sah untuk menghindari terorisme”. Oleh karena itu, dapat difahami jika pembantaian Israel terhadap pengungsi warga Palestina dikatakan bukan terorisme.
Nah, dalam konteks kepentingan kerjasama Iran-Indonesia, kita harus memahami apa pengertian radikalisme dalam pikiran Iran. Bagi Iran yang Syiah, semua yang melawan usaha-usaha syiahisasi dinilai intoleran dan takfiri (pengkafiran). Jikatakfiri akan melahirkan gerakan radikal, maka gerakan radikal bisa berujung tindakan terorisme. Ini berarti, terorisme dan radikalisme versi Iran dapat dimaknai sebagai “semua pihak yang menentang syiah”. Dengan begitu, label radikalisme secara serampangan gampang ditudingkan kepada orang atau kelompok orang yang bersikap tegas terhadap Syi’ah di Indonesia.
Jadi, tidak salah jika kerjasama Iran-Indonesia untuk memberantas radikalisme dan terorisme ditafsirkan sebagai usaha Syiah-Iran untuk menghalangi sekaligus mengamankan usaha syiahisasi di Indonesia.

Menimbang Maslahat dan Madarat
Kerja sama Indonesia-Iran, termasuk salah satu bagian keberhasilan Syiah Iran mempengaruhi pemerintah Indonesia. Kerjasama ini secara tidak langsung memberi jaminan keamanan dan kenyamanan “berkeyakinan” bagi penganut Syiah Indonesia, yang konon berjumlah 2.5 Juta orang. Anggap saja ini sebagai dampak positif kerja sama itu bagi sebagian kecil warga negara Indonesia. Namun, apa dampak positif bagi mayoritas warga Indonesia, yang notabene berbeda, bahkan bertentangan dengan keyakinan resmi Iran?
Syiah dan Iran ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Sejarah Syiah dalam banyak kasus telah menimbulkan konflik dan bahkan mampu mengambil alih pemerintahan. Di Indonesia selama ini, keberadaan Syiah—tanpa “dukungan resmi Iran” saja—telah berani “unjuk gigi” hingga menimbulkan konflik dengan umat Islam. Fakta yang ada menunjukkan terdapat 19 kejadian konflik Syiah dengan umat Islam, ditambah kasus Adz Dzikra menjadi 20 kasus. Setelah terwujudnya kerjasama Indonesia-Iran itu, diyakini konflik faktor Syiah ini akan kian memanas. Karena kerja sama dalam penanggulan terorisme dan radikalisme itu, selain menjadi “bola liar” dalam implementasinya, juga memuluskan “jalur pemasaran” ideologi-politik Syiah Iran yang mengarah kepada konsep Wilaayatul Faqiih sebagai pemegang kekuasaan Islam sedunia (lihat, Pasal 5 UUD Republik Iran). Cepat atau lambat nantinya akan terjadi benturan ideologi, bukan saja dengan umat Islam, namun ideologi negara. Karena ideologi Imamah Syiah Iran tidak dapat dipertemukan dengan ideologi manapun, termasuk NKRI. Ini berarti kerjasama itu akan membawa banyak madharat (mendatangkan keburukan) dibanding kebaikan bagi bangsa Indonesia.
Jika demikian halnya, mengapa rezim Jokowi-JK mau bekerjasama dengan Iran? Jawabnya, barter politik para tokoh Syi’ah Indonesia pada Pilpres 2014 lalu tidaklah sia-sia, karena kompensasi dukungan pada hajat demokrasi lima tahunan itu sedang mereka nikmati. Ini berarti, “manuver resmi” yang telah diupayakan mereka selama ini, tampaknya sedang “menuai hasil”.
Semoga saja, label terorisme dan radikalisme—yang secara serampangan gampang ditudingkan kepada orang itu—tidak ditudingkan kepada saya—dan tidak meneror istri saya—gara-gara tulisan sederhana ini. He…he…
By Amin Muchtar, sigabah.com

Artikel terkait bahasan diatas :

Akademisi: Iran Jadi Ancaman Stabilitas Regional
Dianggap Biang Kerok, Negara Teluk Akan Putuskan Hubungan Diplomatik Dengan Iran
Menhan Sentil Iran yang Suka Berperang dan Urusi Agama Lain ( Ini Baru Menteri )
Biadab ! Iran Belum Sadar Juga Mengacaukan Negara Islam/Arab, Jordania Berhasil Gagalkan Serangan Teroris Milisi Syiah Iran
Syiah Begitu Bernafsu Ingin Menyerang dan Menguasai Mekah Dan Madinah
Presiden Yaman : Iran Inginkan Masalah Untuk Kami
Kenapa Iran Sangat Berambisi??!
Dunia Islam Diambang Kejatuhan ke Tangan Syiah?
Kampanye Ide Khomeini di Balik Duka Mina 1436 H.
Tragedi Mina, Syiah Iran Biangkeroknya
Kami Diperkosa dan Disiksa Hanya Karena Nama Kami ‘Aisyah’ ( Ya Allah, Binasakanlah Syiah Al-Saba Majusi Dajjal )
Setelah Bikin Kacau, Si Yahudi Abdullah bin Saba (Dubes Iran ) Kabur Meninggalkan Ibu Kota Yaman (Pecundang !).
Dibanding ISIS, Tentara Assad Lebih Sadis dan Lebih Banyak Membunuh Rakyatnya Sendiri
Biadabnya Syiah, Setelah Ngebom Khubar ( Saudi ) Lari/Sembunyi Kehabitatnya ( Seperti Buron BLBI ), Akhirnya Ketangkap Juga.
Brigade Pembebasan Syam; Target Syiah Iran Sebenarnya Adalah Kota Makkah Dan Madinah
Video .. Mengapa Syiah Minta Agar Presiden Mohamed Morsi Segera Dibunuh?
Nuklir Iran Menjadi Ancaman Bagi Umat Islam (Karena Iran Adalah Musuh Dalam Selimut Bagi Umat Islam Sedunia)
Suku Ahwaz, Aswaja Yang Ditindas Rezim Syiah Iran ( Update )
Bedebah ! Iran Hancurkan Satu-Satunya Masjid Ahlus Sunnah Di Teheran, Pada Saat Yang Sama Iran Tawarkan Kerja Sama Bahas Islam ( Versi Majusi ? )
Iran ( Syiah Majusi ) Bernafsu Merebut Al-Haramain (Makkah-Madinah). Apa Yang Akan Terjadi Terhadap Ahlus Sunnah ? Baca Fakta Dibawah Ini !
Dendam Kesumat Bangsa Majusi(Persia) Syi'ah Kepada Umat Islam Hingga Kini.
Syiah ( Ayatullah ) Iran dan Rusia ( Gereja Ortodoks ) Anggap Perang di Suriah Sebagai “Holy War ”. Arab Saudi Tidak Akan Membiarkan Suriah Jatuh Ke Tangan Iran
Breaking News : Jenderal Iran Akui Negaranya Memimpin Perang Melawan Mujahidin di Suriah [ Baca Paragraf Terakhir ]
Bagaimana Menghadapi Tumor Ganas Syiah? Syiah dan Yahudi, Bersama Menaklukkan Dunia Islam
Standar Ganda Iran: Antara Yaman dan Suriah [ Kedustaan Rafidhah dan Dendam Majusi ]
Bahrain Ringkus Jaringan Teroris Iran Berikut Bahan Peledak Tingkat Tinggi Jenis Tnt & Rdx Seberat 1.5 Ton!
Jenderal ( أحمق و مجنون ) Iran “Serang” Arab Saudi. Tipikal Rafidhi, Gemar Mengancam dan Menghujat !
Syiah Iran Incar Palestina dan Lebanon, Setelah Kuasai Irak, Suriah, dan Yaman
Iran: Suriah Akan Segera Dipecah ( Terkuak Kejinya Syiah ! )
Derita Muslim Ahwaz dari penjajahan Syi'ah Iran [ Ya Allah Ya Rabb, Binasakanlah Syiah Majusi (Iran) Laknatullah Seperti “Kaum-kaum Terdahulu” Yang Telah Engkau Binasakan ]
Syiah : Sumber Segala Musibah
Pasukan Iran Persia Majusi di Suriah Bantai Islam
-------ooooooo--------

Breaking News : Malaysia Negeri Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswj) Bermazhab Syafi'i, Bergabung Dengan “Wahabi” Saudi Lawan Syiah Di Yaman ! Mari Kita Tiru !
Malaysia Berencana Gabung Operasi Militer Koalisi Teluk

--------ooooooo-------

Ironis; Muslim Suriah Membenci Iran, Indonesia Malah Jadi Teman Akrab
Kerjasama Indonesia-Iran Yang Tidak Berimbang
Mewaspadai Hubungan Bilateral Indonesia-Iran
Indonesia Dicaplok Syi'ah Iran Untuk Menggayang Radikalisme
Iran Dinilai Jadikan Isu Radikalisme Sebagai Palu Godam Halangi Syiahisasi di Indonesia
http://lamurkha.blogspot.co.id/2015/04/iran-dinilai-jadikan-isu-radikalisme.html
Indonesia Diambang Ideologi Syiah; Iran akan Bangun Rumah di Tanah Air
Kerjasama Iran dan Indonesia Adalah Celah Kudeta Syiah di Indonesia
Kerjasama Iran-Indonesia Kenalkan Islam Moderat
Habib Zein: Hampir Tak Ada Negara Aman Berhubungan dengan Syiah
Indonesia Lakukan Kerja Sama Pemberantasan Radikalisme dan Terorisme dengan Iran
Menhan Ajak Tiongkok Perangi ISIS
Indonesia-Iran Jalin Kerja Sama Perangi Terorism
Ini Respon Netizen Soal Kerjasama Iran-Indonesia

--------ooooooo-------

Arab Saudi yang Berubah: Umat yang Bangkit dan Bergairah
Iran Tahu Persis Kekuatan Militer Arab Saudi
Bagi Yang Membenci SAUDI, Bacalah Surat Cinta Ini,.
Teruntuk Mereka yang Alergi Arab
APA YANG MEREKA DENDAMKAN TERHADAP NEGERI SAUDI ?

--------ooooooo-------

Waspadai Bahaya Syiah: Di Nigeria, Sekte Syiah Lakukan Perlawanan Terhadap Negara
Militer Nigeria Gerebek Rumah Pemimpin Syiah, Bentrok Sengit Meletus
Kelompok Syiah Lakukan Pembunuhan Terhadap Panglima Militer Nigeria

--------ooooooo-------

Kenya Tangkap 2 Teroris yang Diduga Intelijen Iran

--------ooooooo-------