Wednesday, May 6, 2015

SYAHADAT KETIGA : Salah Satu Produk Kreatifitas Syi’ah [ Kritik Dr. Musa Al-Musawi ]

Pernah mendengar konsep syahadat ketiga Syi’ah ? Syahadat ketiga Syi’ah adalah konsep bid’ah yang diada-adakan kaum Syi’ah yang mengatasnamakan agama [1]. Syahadat ini adalah tambahan lafadh selain syahadatain yang dikenal oleh umat Islam, yang berisi tentang pengakuan keimamahan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. Syahadat tersebut berbunyi :
أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيّاً وَلِيُّ الله
”Aku bersaksi bahwa ‘Ali adalah wali Allah”
Tulisan ini merupakan nukilan dari buku yang berjudul Asy-Syi’ah wat-Tashhih : Ash-Shiraa’ bainasy-Syi’ah wat-Tasyayyu’ (الشيعة والتصحيح : الصراع بين الشيعة والتشيع) yang ditulis oleh Dr. Musa Al-Musawi, seorang (mantan) “Syi’ah” yang ingin “memperbaiki” kondisi kejumudan, kesesatan, dan kerusakan manhaj aqidah Syi’ah di negeri hitam tempat ia pernah tinggal : Iran. Penulis merupakan cucu dari salah seorang seorang tokoh besar Syi’ah : As-Sayyid Abul-Hasan Al-Musawi, yang dikatakan oleh Muhammad Al-Husain Kasyful-Githa’ dengan perkataannya : Ansaa man qablahu wa at’aba man-ba’dahu (“Dapat mengubur ingatan orang akan tokoh-tokoh sebelumnya dan mengecilkan nama-nama yang datang sesudahnya”).  Berikut perkataan Dr. Musa Al-Musawi dengan beberapa catatan kaki dari saya (Abul-Jauzaa’) :
*********
Sayyid Al-Murtadla, salah seorang tokoh ulama Syi’ah Imamiyyah pada abad ke-5 H, berkata bahwa barangsiapa mengatakan di dalam adzan :
أَشْهَدُ أَنَّ عَلِيّاً وَلِيُّ الله
”Aku bersaksi bahwa ‘Ali adalah wali Allah”
maka ia telah melakukan perbuatan yang diharamkan.
Dari pendapat ini jelaslah bahwa konsep syahadat ketiga yang digunakan untuk panggilan shalat, baru masuk ke dalam Syi’ah setelah muncul peristiwa Ghaibah Kubra. Namun kebiasaan itu belum muncul secara resmi dalam kehidupan bermadzhab kecuali setelah Syah Isma’il Ash-Shafawi memasukkan Iran ke dalam Syi’ah dan memerintahkan para muadzdzin menyerukan syahadat ketiga dalam panggilan shalat lima waktu.
Begitulah kisah tentang diberinya Imam Ali [2] kedudukan yang tetap dalam memegang khilafah sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sejak saat itu, seluruh masjid Syi’ah di dunia mengikuti tata cara yang ditentukan oleh Syah Isma’il Ash-Shafawi sehingga tanpa satu masjid pun menyimpang dari garis tersebut.
Sebenarnya fuqahaa kita – semoga Allah memaafkan mereka – berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang pro dan kontra untuk memasukkan syahadat ketiga ke dalam adzan. Namun sayangnya, kelompok yang pro tampak lebih mayoritas daripada kelompok yang kontra. Para fuqahaa yang kontra (yang melarang) bersepakat bahwa mengucapkan syahadat ketiga itu dijatuhi hukum mati atas pelakunya [3].
Sikap kelompok minoritas fuqahaa kita ini tentu mendapat tantangan dari kelompok mayoritas. Mereka dituduh keluar dari Tasyayyu’ [4] dan terlepas dari keterikatan dengan ‘Ali dan anak-anaknya. Mereka disisihkan dan diboikot, tanpa sedikitpun mendapat bantuan. Dan anehnya, sikap inilah yang diteladani oleh para pengikut yang awam dan bodoh.
Di sini tampak jelas bahwa ashabiyyah (fanatisme) buta telah menguasai sebagian fuqahaa dan orang-orang bodoh. Mereka saling dukung dalam kejelekan.
Sebenarnya saya sudah bosan mendiskusikan persoalan ini dengan para fuqahaa kita. Sebab, mereka selalu melontarkan jawaban klise yang sudah ada sejak berabad-abad. Tak sedikit pun muncul hal-hal baru. Mereka mengatakan bahwa syahadat ketiga bukan merupakan (tidak diyakini sebagai) bagian dari shalat. Oleh karena itu, tidak ada halangan untuk memasukkan syahadat ini ke dalam adzan.
Saya telah mengatakan kepada mereka bahwa persoalannya bukan terletak pada : Apakah syahadat ketiga itu merupakan bagian dari shalat atau tidak, tapi lebih dari itu. Jelasnya, karena adzan merupakan ucapan (syahadat) yang disetujui Rasul, maka jadilah ia sunnah taufiqiyyah (yaitu perbuatan shahabat yang disepakati Rasul) yang tidak boleh dikurangi atau ditambah, sekalipun kalimat tambahan itu sesuai dengan kenyataan, kebenaran, dan kejujuran.
Mereka juga berkata bahwa syahadat ketiga telah menjadi bagian syi’ar bagi Syi’ah. Sebab itu, saya katakan kepada mereka bahwa syiar Islam itu lebih penting daripada syiar Tasyayyu’. Apakah Syi’ah dan Islam itu adalah dua hal yang berbeda sehingga Syi’ah perlu mempunyai syi’ar khusus sebagai ciri khasnya ??
Mendapat pertanyaan seperti ini, para fuqahaa itu hendak melemparkan tanggung jawab kepada selain mereka dengan menyatakan : “Kami tidak dapat meminta kaum Syi’ah meninggalkan syahadat ketiga dalam adzan karena ia telah menjadi bagian dari tabiat Syi’ah dan ia tergantung kepadanya sebagaimana ketergantungan seorang anak dengan susu ibunya”.  Sampai di sini pembicaraan kami sia-sia.
Saya telah menyatakan kepada mereka,”Seandainya Anda semua sepakat atas satu pendapat serta Anda menerangkan hukum Allah dengan kejelasan dan keberanian, tidak akan timbul perselisihan tentang persoalan tersebut. Sesungguhnya kewajiban Anda adalah menjelaskan hukum Allah dan melaksanakannya”.
Mereka (untuk mempertahankan argumentasinya) juga menyatakan : Sesungguhnya Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghapus kalimat  حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَلdari seruan adzan dan menggantinya dengan  الصَّلاةُ خَيْرٌ مِن النَوْم.
Saya katakan kepada mereka : Jawaban yang bersifat menentang tidak sedikitpun dapat menyampaikan kebenaran. Sekarang seandainya persoalannya benar seperti yang Anda katakan, pastilah Imam Ali tidak menguatkannya ketika beliau menjadi khalifah, dan tentulah beliau akan memerintahkan agar mengganti kalimat tersebut dengan lainnya. Menurut logika Anda, perbuatan Imam adalah sebagai bukti atas kebenaran atau sahnya perbuatan tersebut. Selain itu, Anda telah sepakat secara mutlak bahwa syahadat ketiga tidak pernah ada pada masa Rasul dan para Imam. Ia dimasukkan ke dalam adzan pada waktu belakangan.
Adapun kalimat  الصَّلاةُ خَيْرٌ مِن النَوْمadalah persoalan yang diperselisihkan. Golongan Islam selain Syi’ah sepakat bahwa ia telah ada di masa Rasul, sedangkan Syi’ah berpendapat bahwa ia dibuat oleh Khalifah ‘Umar bin Khaththab.[5] Sungguh jauh bedanya antara persoalan yang telah disepakati dan tidak diperselisihkan, dengan masalah khilafiyah yang di dalamnya terdapat banyak perbedaan dan pertentangan pendapat.
Saran Perbaikan :
Saya (Dr. Musa Al-Musawi) tidak pernah ragu bahwa syahadat ketiga yang sekarang menjadi bagian dari adzan shalat bagi Syi’ah bukan lagi perbuatan yang bersifat individu, tapi telah memiliki kharakteristik yang bersifat sentimental, sosial, dan kemadzhaban Kebiasaan ini memang tidak mudah diubah, apalagi dasar negara (Iran) yang sistem pemerintahannya berdasarkan madzhab, yang mengembangkan sentimen kemadzhaban [6], dan memanfaatkan madzhab sebagai alat untuk berkonfrontasi dengan negara-negara tetangganya yang mayoritas dari golongan Ahlus-Sunnah; usaha perbaikan di dalam negeri Iran tampaknya menemui kesulitan yang luar biasa, sebagaimana yang telah saya usahakan itu.
Namun saya optimis, bahwa suatu saat pemerintahan “Republik Islam” yang ekstrem itu akan berubah menjadi pemerintahan yang moderat yang menjadikan persatuan kaum muslimin dan maslahat Islam sebagai nilai dasarnya. Jika datang itu, maka segala usaha perbaikan tampaknya akan mendapatkan tanggapan positif, termasuk persoalan syahadat ketiga.
Namun, sebelum sampai ke masa itu, dari sekarang saya berkewajiban menghimbau kaum Syi’ah, terutama di luar Iran, agar berusaha dengan sungguh-sungguh untuk kembali kepada adzan yang pernah berkumandang pada masa Rasul, Imam Ali, dan para Imam Syi’ah. Kemudian, kewajiban yang harus dipikul oleh kalangan terpelajar dan mereka yang telah sadar dari generasi muda Syi’ah adalah mengambil peranan dalam memperbaiki madzhab yang mereka ikuti.
Sekali lagi, saya ingin mengatakan bahwa sebenarnya saya sudah lelah mengharapkan fuqahaa kita agar berani mengatakan yang haq dan mau berdiri bersama kita dalam arena perjuangan ini. Sebab, kenyataan yang selama ini kita dapat, selalu bertolak belakang dengan apa yang saya harapkan. Mereka justru adalah orang yang paling keras mendukung bid’ah ini, baik dalam pemikiran maupun dalam pratek mereka di masjid-masjid.
Demi Allah, seandainya Imam Ali masih hidup dan mendengar namanya disebut dalam seruan-seruan shalat yang akan dikumandangkan dari menara-menara masjid, tentulah ia akan menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku dan penyebab timbulnya perbuatan tersebut. Apakah sesungguhnya yang kita inginkan dari melakukan perbuatan demi Ali yang ia sendiri tidak meridlainya ?
Sekali lagi, saya mengharap kepada kaum Syi’ah agar kembali kepada adzan yang dikumandangkan oleh Bilal Al-Habsyi dari dalam masjid Rasul dan di hadapan Rasul serta para shahabat, termasuk Imam Ali; dan hendaklah mereka meminta kepada para muadzdzin di masjid-masjid Syi’ah berpegang teguh dengan amaliah tersebut. Jika para muadzdzin mau berpegang teguh dengan amaliah tersebut, maka hal itu akan membuka jalan yang lebih jauh lagi dan adzan itu akan masuk ke rumah-rumah Syi’ah sebagaimana dahulu ia telah masuk ke rumah ‘Ali dan Fathimah.
------selesai perkataan Dr. Musa Al-Musawi--------- 
Sebenarnya masih banyak lagi perkataan-perkataan Dr. Musa Al-Musawi yang mengkritisi cara beribadah kaum Syi’ah baik dalam masalah ‘aqidah, manhaj, maupun muamalah dalam kitabnya Asy-Syi’ah wat-Tashhih : Ash-Shiraa’ bainasy-Syi’ah wat-Tasyayyu’ ; termasuk masalah imamah, wilayatul-faqih, kebiasaan caci-maki terhadap para shahabat, raj’ah, bada’, ziarah kubur, dan lain-lain. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari makar dan tipu daya kaum Syi’ah.
Wallaahu a’lam bish-shawwab.

Ditulis ulang oleh Abu Al-Jauzaa’.


[1]     Syi’ah adalah salah satu sekte yang paling jago dan produktif dalam membuat bid’ah-bid’ah dalam agama untuk menyesatkan kaum muslimin.
[2]     Mengkhususkan pengebutan gelar ”Al-Imam” kepada ’Ali bin Abi Thalib adalah perbuatanghulluw yang biasa dilakukan oleh kaum Syi’ah dan sebagian habaaib (orang yang mengaku keturunan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam). Jika kita menyebut ’Ali bin Abi Thalib dengan gelar ”Al-Imam”, maka Abu Bakar dan ’Umar bin Khaththab tentu lebih berhak daripada ’Ali radliyallaahu ’anhum. Telah menjadi salah satu prinsip ’aqidah Ahlus-Sunnah bahwa shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang paling utama adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq kemudian ’Umar bin Khaththab. Adapun setelah dua shahabat tersebut, maka Ahlus-Sunnah berselisih pendapat mana yang lebih utama antara ’Utsman bin ’Affan dan ’Ali bin Abi Thalib. Yang rajih, ’Utsman bin ’Affan lebih utama, baru kemudian setelah itu ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhum.
Dalam pembicaraan ini (yaitu dalam penyebutan ”Al-Imam” bagi ’Ali bin Abi Thalib), nampaknya Dr.Musa Al-Musawi ingin berbicara dengan orang Syi’ah sesuai dengan kebiasaan penyebutan mereka dengan harapan apa yang beliau nasihatkan dapat diterima – sebagaimana telah beliau tegaskan di awal kitab. Wallaahu a’lam. [Abul-Jauzaa’].
[3]     Karena memang bukan agama yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallamdan yang dilakukan para shahabatnya, termasuk ‘Ali bin Abi Thalib sendiri [Abu Al-Jauzaa’].
[4]     Tasyayyu’  pada awalnya hanya sebatas pada sikap mencintai ’Ali dan mengutamakan ’Ali dalam hal kekhalifahan (tanpa diiringi sikap membenci para shahabat yang lain). Akan tetapi kemudian istilah tasyayyu’  ini berkembang menjadi ’aqidah dan sikap ghulluw dalam mencintai ’Ali, me-ma’shum-kannya dan keturunannya, membenci para shahabat lain (bahkan mengkafirkannya) karena dianggap merebut tahta kekuasaan dari ’Ali, dan yang lain sebagainya. Allahul-Musta’an [Abul-Jauzaa’].
[5]     Perkataan Dr. Musa Al-Musawi ini adalah benar. Telah shahih riwayat Abu Mahdzurah – salah satu muadzdzin Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam – secara marfu’ ketika mengajarkan lafadh adzan :
فإذا أذنت بالأولى من الصبح فقل الصلاة خير من النوم مرتين
”Apabila engkau adzan pertama di waktu shubuh, maka ucapkanlah : Ash-shalaatu khairum-minan-naum (Shalat itu lebik baik daripada tidur)" [Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni no. 4 dalam Kitabush-Shalah, Bab : Fii Dzikri Adzaani Abi Mahdzurah wakh-tilaafir-riwaayaati fiih].
عن أنس قال من السنة إذا قال المؤذن في أذان الفجر حي على الفلاح قال الصلاة خير من النوم الصلاة خير من النوم
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Termasuk sunnah : Apabila muadzdzin berkata dalam adzan fajar Hayya ‘alal-falaah ; adalah mengucapkan : Ash-Shalaatu khairum-minan-naum (2x)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no. 1835; shahih. Riwayat inimauquf, namun dihukumi marfu’ karena perkataan Anas “Termasuk sunnah” (minas-sunnati) adalah termasuk salah satu lafadh yang dihukumi marfu’ dalam ilmu hadits].
Adapun anggapan Syi’ah bahwa ‘Umar adalah orang yang membuat bid’ah tatswib ini tidak lain adalah karena kedengkian mereka yang amat sangat kepada beliau. Semoga Allah selalu merahmati ‘Umar bin Khaththab dan membalas segala amalnya dengan surga. Kita katakan kepada kaum Syi’ah : Muutuu bighaidlikum (”Matilah kalian dengan kemarahan kalian”) !! [Abul-Jauzaa’].
[6]     Khususnya kepada Ahlus-Sunnah. Dan lebih khusus lagi kepada Salafiyyun (yang lebih sering mereka sebut dengan Wahabiyyun) ! [Abul-Jauzaa’]