Monday, January 25, 2016

Membongkar Argumentasi Syi'ah


الشفيع الماحي أحمد
Dalam mengecek keabsahan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullahshallallahu alaihi wasallam,para ulama Islam bersandar kepada sanad. Karena tabiat dariIsnaditu mengharuskan penyandaran setiap informasi kepada penuturnya. Maka lumrah dikatakanhaddatsana fulan, 'an fulan, 'an fulan/kami diceritakan oleh fulan, dari fulan, dari fulan. Oleh karena itu makaIsnaddipandang sebagai jalan yang mengantar sampai kematan/teks hadits.
Isnadpada hakekatnya merupakan hikayat jalur sampainya matan hadits, atau penyandaran hadits kepada penuturnya.
Dengan kata lain,Isnadadalah upaya menguatkan keabsahan suatu informasi. Semua itu memberi indikasi kejujuran di satu sisi dan amanah pada sisi yang lain. Hal itu merupakan standar yang dipakai menerima atau menolak suatu informasi.
Dalam pandangan ulama, hadits yang disandarkan kepada Nabishallallahu alaihi wasallamtidak dipandang absah kecuali jika memiliki silsilahIsnadyang bersambung dan tidak terputus, terdiri dari sejumlah person yang dapat dipercaya periwayatannya.
Dalam upaya mengecek keabsahanIsnad, para ulama benar-benar melakukan penelitian yang luar biasa. Tidak cukup dengan mengecek nama-nama dan kondisi perawi untuk mengetahui masa hidup, kondisi kehidupan, tempat domisi, dan interaksinya dengan person perawi yang lain, tetapi mereka juga mengecek tingkat dan nilai kejujuran dan kedustaan seorang perawi. Di samping itu mereka juga mengecek tingkat amanah dan ketelitiannya dalam menukil matan hadits. Tujuan dari hal itu adalah agar dapat memastikan siapa di antara perawi tersebut yang dapat dipercaya riwayatnya.
Di atas keabsahanIsnaditulah dibangun argumentasi benar atau tidaknya suatu riwayat. Seandainya kita ingin menilai perdebatan dua orang yang saling berdebat maka tentu penilaian tersebut tidak dapat sempurna kecuali dengan melihat kepada argumentasi masing-masing.
Suatu hujjah atau argumentasi tidak tegak kecuali jika bersandar kepada suatu riwayat ataukhabar/informasi yang membuktikan bahwa hujjah dan argumentasi tersebut diperoleh dengan jalan sanad valid yang mengokohkan suatu hujjah atau dalil.
Jika suatu riwayat ataupunkhabartidak diketahui memiliki sanad maka riwayat dankhabartersebut dipandang tidak valid dan tidak dapat dijadikan sebagai dalil atau argumentasi. Oleh karena itu maka muncul ungkapan bahwa "khabar yang tidak memiliki sanad ibarat anak pungut yang tidak memiliki nasab." 
Prinsip yang tegas dan cermat dalam mengecek keabsahan setiap riwayat dankhabarini termasuk di antara kemuliaan yang Allah berikan kepada Umat Islam. Allah berikan keistimewaan  ini kepada Islam tanpa diberikan kepada agama mana pun sebagai bentuk penjagaan dan pemeliharaan terhadap Islam.
Tidak heran jikaIsnadtersebut dipandang sebagai sunnah yang dengannya tampak kebenaran dari kebatilan, kejujuran dari kedustaan yang pada gilirannya membawa hati menjadi tenang dan jiwa menjadi tentram.
Ibn Mubarak menyatakan:"Isnad itu bagian dari agama, sekiranya bukan karena Isnad niscaya seseorang leluasa mengatakan apa yang ia ingin katakan, tetapi jika ia ditanya ia akan diam dan bimbang."   
Intinya bahwa setiapkhabardan riwayat yang bersanad dengan sanad yang tidak diragukan menempati posisi yang lebih tinggi dari sekedar ilmu dan pengetahuan, yaitu posisi yakin atau bersifat pasti.  Selain itu,Isnadjuga merupakan karakteristik umat Islam yang tidak dimiliki umat lainnya.
Sedang ilmu yakin sebagaimana didefinisikan oleh al-Gazali adalah"ilmu yang di dalamnya obyek pengetahuan tersingkap dengan penyingkapan yang tidak diragukan sedikitpun, tidak disertai kemungkinan keliru, tidak dibarengi kekacauan dan segala kemungkinan apapun yang bertentangan dengan penyingkapan tersebut tidak memiliki pintu masuk ke dalam hati.
Rasa aman dari kekeliruan menyertai keyakinan yang sekiranya ditantang dengan menjadikan sebuah batu menjadi emas dan tongkat menjadi ular yang nyata di depan mataku maka aku tidak ragu dengan pengetahuanku, paling aku hanya takjub dengan kemampuan dan keterampilannya, tetapi keyakinanku terhadap apa yang aku ketahui tidak goyah sedikitpun."
Prinsipnya, makna ilmu yakin itu berkisar pada hilangnya keraguan dari obyek pengetahuan dan tidak menyisakan sedikitpun bentuk keraguan dan menolak kemungkinan adanya kejahilan, prasangka dan kekurangan di dalamnya.
Indikasinya ilmu tersebut berada pada suatu kondisi yang stabil, tidak berubah sedikitpun apalagi berganti, kondisi tersebut tertanam dalam jiwa sehingga ilmu dan pengetahuan tetap menjadi keyakinan. Daripadanya lahir rasa aman, tuma'ninah, tenang, ketentraman jiwa, sehingga ia menangkap perkara gaib seakan berada di depan mata. Sedang pandangan mata itu merupakan jalan terakhir bagi setiap keyakinan.
Walaupun demikian, keyakinan umat dalam ilmu dan pengetahuannya itu kembali kepada ilmu itu sendiri. Tidak dikembalikan kepada umat atau kepada akalnya dan tidak lahir daripadanya. Penyandaran sifat yakin kepadanya sebenarnya realitas yang telah ada karena keyakinan itu masuk ke dalam obyek suatu ilmu dan menjadi kandungan pengetahuan. Posisinya seperti posisi roh dari suatu jasad. 
Keyakinan tersebut menjadi tanda, kondisi dan sifat pengetahuan yang didapati oleh umat ini pada setiap individu di kalangan mereka bahwa hal itu datangnya dari Allah. Akhirnya tampak di dalamnya hal baru yang membuat hati menjadi tenang dan jiwa menjadi tentram.
Makna tersebut telah diisyaratkan oleh Rasulullahshallallahu alaihi wasallamdalam sabdanya:"Tidak satupun umat yang diberi keyakinan yang lebih baik daripada keyakinan yang diberikan kepada umatku."
Umat Muhammadshallallahu alaihi wasallammemperoleh keutamaan, kemuliaan dan kelebihan atas umat-umat lain dengan keyakinan yang mendukung ilmu dan pengetahuannya. Dengan keyakinan tersebut hijab dan perkara gaib tersingkap bagi mereka, hingga hakikatnya seakan terlihat di depan mata.
Dengan keyakinan itu Allah memelihara dan menjaga umat ini dari berbagai aqidah menyimpang dan ilmu pengetahuan yang membawa mudharat dan tidak memberi manfaat. Hingga ia dapat menyembah Allah seakan Allah berada di tengah-tengah mereka.
Tidak heran jika amalan-amalan umat ini berkombinasi dengan keyakinannya, dan keyakinannya menyatu dengan amalannya dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Sehingga amalannya lahir dalam keadaan diharumi oleh keyakinan.
Dalam menggambarkan keterkaitan yang sangat erat antara amal dan keyakinan bagi umat Muhammadshallallahu alaihi wasallam, al-Sahrawardi menyatakan:"Suatu amalan tidak akan mampu dikerjakan kecuali dengan keyakinan, dan seseorang tidak akan beramal kecuali sesuai dengan  kadar keyakinannya. Seseorang yang beramal tidak akan berkurang amalnya kecuali karena keyakinannya berkurang. Jadi keyakinan itu seakan-akan lebih mulia daripada amalan itu sendiri karena ia dapat mendorong untuk beramal. Sedang hal yang mendorong untuk beramal itu lebih dekat kepada ubudiah, sedang hal yang mendorong untuk melakukan ubudiah lebih dekat kepada kesiapan menunaikan hak-hak rububiah Allah."
Sesungguhnya ilmu dan pengetahuan umat Muhammadshallallahu alaihi wasallammenyatu secara langsung dengan keimanan sehingga keduanya menjadi suatu cahaya utuh yang tidak dapat dibedakan di antara keduanya. Kecuali ibarat perbedaan antara orang buta dengan orang yang tidak buta jika masing-masing menggambarkan cahaya matahari yag sedang terbit. Karena gambaran yang diinformasikan oleh orang yang tidak buta lahir dari penglihatan yang ia lihat tentu berbeda dengan informasi yang disampaikan oleh orang buta seputar cahaya matahari.
Kesaksian mata dan pandangan hati disebut keyakinan, sedang keyakinan hati ibarat penglihatan yang ada di mata. Oleh karena itu hati dapat melihat dan meyaksikan hal-hal yang luput dari pandangan mata.
Orang-orang Syi'ah sama dengan orang-orang Yahudi dan Kristen. Mereka tidak memiliki kepedulian yang cukup terhadap keabsahan suatu hadits,khabar, ataupun riwayat. Sehingga pada gilirannya, mereka juga tidak memiliki kepedulian terhadapIsnad.
Orang-orang Syi'ah tidak memiliki pengalaman berinteraksi dengan sanad-sanad, dan cara membedakan antara perawi hadits dankhabar. Juga tidak mampu mendeteksi'adaalah/sikap keagamaan perawi yang dipandang sebagai kunci keabsahan dan tiangIsnad. Ataupun dalil-dalil yang dengannya dapat dibedakan antara hadits shahih dari hadits dhaif ataupun dusta.  Artinya mereka sama sekali tidak memiliki sanad yang shahih ataupun riwayat yang bersambung sanadnya yang dapat dijadikan hujjah saat berselisih. Dan dengannya agama dan sikap keberagamaan ini lebih sempurna lagi.
Kenyataan yang menonjol di kalangan Syi'ah ini dikomentari Ibn Taimiyah:"Rafidhah adalah orang-orang yang minim pengetahuannya tentang Isnad. Mereka kurang pengetahuan dan perhatian terhadap Isnad. Mereka tidak memperhatikan Isnad begitu pula dalil-dalil syar'i yang bersifat praktis apakah sejalan dengan Isnad atau tidak.
Oleh karena itu, mereka tidak memiliki sanad yang sahih dan bersambung. Kalau ada sanad mereka yang bersambung kepada Rasulullah maka pasti di antara personnya terdapat orang-orang dikenal pendusta ataupun banyak keliru hapalannya."
Ibn Taimiyah juga menulis:"Syi'ah tidak memiliki sanad yang bersambung dengan para perawi yang terkenal sebagaimana di kalangan Ahlus Sunnah supaya Isnad dan 'adaalah para perawinya dapat diteliti. Yang mereka miliki hanya nukilan-nukilan yang terpotong-potong dan dijadikan pegangan oleh kelompok dikenal banyak dusta di tengah mereka dan kontroversial dalam nukilan."
 Itu artinya Syi'ah tidak memiliki perhatian terhadap ilmu hadits, tidak dapat membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits dusta. Mereka tidak menghimpun atsar-atsar para sahabat dan meneliti jalan-jalannya. Mereka juga tidak mengembalikan perkara yang mereka perselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dasar dan tumpuan mereka kebanyakannya hanya kembali kepada riwayat-riwayat yang dinukil atau dinisbahkan kepada Alu al-Bait baik jujur ataupun yang pendusta.
Ketika orang-orang Syi'ah menyadari ketimpangan yang dapat meruntuhkan kejujuran mazhab mereka dan mencapnya sebagai pendusta(,) maka mereka menetapkan tiga prinsip yang dapat digunakan untuk mengukur keabsahankhabardan riwayat-riwayat yang dinukil dari imam-imam mereka.
 Prinsip-prinsip tersebut memiliki posisi sejajar dengan posisiIsnaddi kalangan Ahlus Sunnah, yaitu:
Pertama,hadist tersebut dinukil dari salah seorang imam yang maksum karena mereka memiliki kedudukan yang sejajar dengan Nabishallallahu alaihi wasallam yang sabdanya merupakan hujjah. Mereka  tidak berbicara kecuali kebenaran. Setiap haditsnyaqath'i al-shudur/pasti mereka yang mengeluarkannya sehingga tidak memerlukan sanad.
Kedua,semua perkataan yang disampaikan oleh salah seorang di antara mereka adalah nukilan dari Rasulullahshallallahu alaihi wasallam. Konon diriwayatkan bahwa setiap imam tersebut telah menyatakan:"Aku menukil kepada kalian apa yang aku katakan dari Nabi." 
Artinya setiap perkataan yang keluar dari salah seorang mereka maka perkataan tersebut dikatakan langsung oleh Nabi. Kalau umumnya umat ini mengambil perkataan Nabi dari sesama umatnya maka mereka mengambilnya langsung dari Rasulullahshallallahu alaihi wasallam.
Ketiga,konsensus fuqaha mereka otomatis merupakan konsensus ahlul bait. Dan setiap nukilan atau riwayat yang datang dari salah seorang mereka memiliki posisi sama dengan posisi konsensus mereka.
Tentu prinsip-prinsip tersebut batil karena tidak berdasar kepada Al-Quran, sunnah dan ijma'. Pijakannya hanya pada imam yang diklaim maksum. Kemaksuman imam itulah yang dianggap sebagai argumentasi dan hujjah atas keabsahan riwayat daripadanya.
Tentu teori tersebut tidak termasuk kategoriIsnadyang di atasnya suatu argumentasi dibangun dan bukti itu kuat. Karena suatukhabaratau nukilan tidak dapat dipandang sah kecuali jika memiliki silsilahIsnadyang bersambung dan tidak terputus. Jadi terkait keabsahan penukilan suatukhabardan inilah yang tidak diketahui oleh Syi'ah.
Kalau demikian kondisi argumentasi riwayat dan nukilan di kalangan Syi'ah maka secara global dalil-dalil yang dikemukakan oleh para fuqaha mazhab Syi'ah tidak keluar dari dua kemungkinan:
Pertama,dalilnya benar dan sah, seperti pendalilan mereka dalam menetapkan kebolehan nikah mut'ah dan kewajiban membayar 1/5 dari harta milik dan contoh lain yang disebutkan dalam Al-Quran. hanya saja mereka mentakwilkannya sesuai dengan ajaran mazhab Syi'ah dengan takwil yang tidak dikenal di kalangan ulama sunnah dan para pengusung syariat.
Mayoritas pendalilan mereka cacat dan tertolak serta jauh dari takwil yang sebenarnya. Biasanya takwil mereka tidak lepas dari kritik, protes, sanggahan, dan bantahan. Juga tidak memberi manfaat ilmu yang bersifat pasti secara mutlak.
Kedua,pemalsuan dan kedustaan yang vulgar. Di atas dalil jenis inilahtasyayyu'itu dibangun dan berpusat. Cara ini pula yang menyebabkan Syi'ah itu "eksis" dan "dapat membendung arus protes dan perlawanan".
Mereka memalsukan banyak hadits yang disandarkan kepada Rasulullahshallallahu alaihi wasallamdan riwayat yang diatasnamakan para imam yang diklaim maksum tanpa peduli dengan kejujuran, amanah dan keadilan. Dan tanpa perhatian kepada metodologidokumentasi ilmiahyang dikenal secara luas.
Dengan cara itu, mereka telah mengisi buku-buku mereka dengan kedustaan, kebatilan, ilusi, dan khurafat yang sangat banyak, keberanianyangunik,sertakelancanganyangberlebihan. Yang membuatparaperawi kejujuran danpenuntutilmu melarikan diri karenapanik dan takutmendengarkannya.
Adapun upaya penegakan kebenaran yang didakwahkan  oleh para nabi, ahli hikmah dan reformis maka mereka jadikan sebagai agenda paling terakhir dipikirkan.
Metodologi dokumentasi mereka tidak berdasar kecuali padatasyayyu', fanatisme, hawa nafsu, kebencian, dan kecintaan. Oleh karena itu maka mereka melalukan inovasi berbagai cara untuk memperkuat, mempertahankan dan membelatasyayyu'lalu menyandarkannya kepada Rasulullah atau kepada salah seorang imam mereka.
Seseorang di antara mereka memandang bahwatasyayyu'nya tidak akan sempurna kecuali apabila ia berhasil menambahkan apa yang ia yakini dapat memperkuat (mazhabnya walau dengan jalan dusta, pent.). Hingga mereka dikenal sebagai sekte Islam yang paling banyak berdusta, melakukan pemalsuan dan kebohongan. Sampai-sampai kebohongannya menjadikan orang-orang berakal bimbang sekaligus mendorongnya mentahzir riwayat-riwayat mereka dan menjelaskan kedustaannya.
Ibn Taimiyah menukil konsensus ulama sebelumnya dengan menyatakan:"Para pakar dalam ilmu riwayat dan Isnad telah konsensus bahwa Rafidhah adalah sekte yang paling banyak berdusta. Kedustaan mereka telah berlangsung sejak lama. Oleh karena itu para ulama Islam mengenal mereka dengan kedustaannya yang banyak."
Al-Qadhi Syuraik, meski dikenal loyal kepada Syi'ah secara moderat, menyatakan:"Saya dapat meriwayatkan dari semua orang yang aku jumpai kecuali orang-orang Rafidhah karena mereka memalsukan hadits dan menjadikannya sebagai tradisi dan kebiasaan."
Imam Malik pernah ditanya tentang Rafidhah lalu dijawab:"Jangan berbicara dengan mereka, dan jangan membantah karena mereka senantiasa berdusta."
Semakna dengan itu, Said ibn Harun berpendapat bahwa:"Setiap pelaku bid'ah dapat ditulis haditsnya selama ia tidak mengajak kepada bid'ahnya kecuali Rafidhah. Karena mereka senantiasa berdusta."
Ibn Mubarak menggambarkan tingkat kedustaan orang-orang Syi'ah:"Komitmen keagamaan itu menjadi ciri ahlul hadits, kalam dan tipu daya menjadi ciri ahlu ra'yi, sedang kedustaan menjadi ciri orang-orang Rafidhah."
Dalam kesaksiannya tentang orang-orang Syi'ah, Imam Syafi'i menegaskan:"Aku tidak pernah mendapati ahli hawa yang lebih banyak berbohong daripada orang-orang Rafidhah."
Kedustaan yang banyak atas nama para imam yang diklaim maksum itu mengakibatkan banyak kontroversi yang terjadi dalam riwayat ataupun hadits yang satu yang terkadang mencapai angka puluhan. Dan dalam banyak kasus, kontroversi itu tidak dapat dikonfirmasi sama sekali dan tidak dapat diketahui mana yang benar dan mana yang palsu alias dusta.
Kontroversi danperselisihan di antara merekabukan perselisihanbiasa, tetapi perselisihan dalam segala hal dan atas segala perkara. Tidak hanya dalam perkara fiqh, tetapi juga dalam perkara-perkara prinsip yang menjadi dasar dan fondasitasyayyu'.
Dalam perkara prinsipil, tidak satupun di antara prinsip-prinsip mereka kecuali ada perselisihan dan silang pendapat di dalamnya.
Kini kontroversi dan perselisihan itu telah bersifat aksiomatis sehingga dikatakan bahwa di kalangan Syi'ah, tidak ada satu pun masalah kecuali muncul masalah lain yang meruntuhkannya. Tidak ada satu punkhabarkecuali adakhabarlain yang menentangnya. Dan tidak ada satu haditspun kecuali terdapat hadits lain yang menyelisihinya.
Dengan realita itu, banyak di antara ulama berkesimpulan bahwa dalam masalah yang satu, Syi'ah itu dapat berselisih menjadi dua puluh hingga tiga puluh pendapat, bahkan lebih. Tidak terdapat satu pun perkara furu' kecuali mereka berselisih di dalamnya atau di dalam salah satu bagiannya.
Kenyataan ini diakui oleh ulama Syi'ah itu sendiri.
Abu Ja'far al-Thusi menyatakan:"Aku diingatkan oleh sebagian kawan-kawan yang wajib ditunaikan haknya, semoga Allah membalasnya, dengan hadits-hadits imam-imam kami, semoga Allah meneguhkan mereka dan merahmati salafnya. Yaitu hadits-hadits yang saling bertentagan, kontroversi dan saling menafikan, hingga para penentang kita menjadikan hal itu sebagai bahan cacian dan bantahan terbesar terhadap mazhab kita. Bahkan dijadikan sebagai jalan masuk untuk meruntuhkan aqidah kita.
Mereka (non Syi'ah, pent.) menyebutkan bahwa syekh-syekh kalian, baik yang terdahulu ataupun yang kontemporer mengkritik para penentangnya dengan perselisihan dan perbedaan pendapat mereka dalam perkara-perkara furu' dan menyatakan bahwa realita seperti itu tidak dibolehkan untuk beribadah kepada Allah al-Hakim dan beramal dengannya. Padahal kami mendapati perselisihan kalian jauh lebih dahsyat daripada perselisihan para penentang kalian.
Realita perselisihan kalian ini, ditambah dengan keyakinan batilnya hal tersebut dalam pandangan mereka menunjukkan kebatilan perkara yang kalian perselisihkan itu. Hingga pernah datang kepadaku sekelompok orang yang sebetulnya tidak kuat ilmunya, tidak ahli dalam makna-makna lafaz. Kebanyakan di antara mereka meninggalkan keyakinannya yang hak saat syubhat itu muncul dan tidak dapat mereka bantah."
Dalam perkara fikih Syi'ah saja, al-Subhani menegaskan:"Pada saat kita menelaah kedua kitab "al-Wasail" dan "al-Mustadrak" misalnya, kita mendapati bahwa tidak satu pun bab di antara bab-bab fiqh kecuali di dalamnya terdapat kontroversi dalam periwayatannya. Hal ini mengakibatkan keluarnya orang-orang yang memahami realita tersebut dari mazhab Imamiah."
Tidak hanya pengakuan atas banyaknya kedustaan dalam riwayat-riwayat dari para imam mereka. Allamah al-Hilli bahkan mengodifikasikan perselisihan ulama dan fuqaha Syi'ah sejak munculnya hingga yang hidup di zamannya dalam kitabnya yang diberi judulMukhtalaf al-Syi'ah. Kitab ini terdiri atas sepuluh juz dan mencakup semua bab-bab pembahasan fiqh.
Dalam kitab ini, al-Hilli menyingkap dengan lugas segala perselisihan fuqaha. Dengan gaya penyajiannya yang bersifat debat, kajiannya tidak terbatas pada masalah tertentu saja, tetapi mencakup segala permasalahan dalam bidang fiqh. Perdebatan mereka dalam berbagai permasalahan tersebut sangat seru dan tajam. Dalam banyak kasus perdebatan tersebut kadang kala melahirkan fatwa yang saling bertentangan. Di mana sebagian mereka memfatwakan halal sedang sebagian yang menfatwakan haram.
Dalam muqaddimah kitab tersebut, Allamah al-Hilli menulis bahwa: "Ketika aku menelaah berbagai kitab dan tulisan para ulama terdahulu dalam ilmu fiqh, aku menemukan perbedaan yang sangat banyak dan tuntutan besar yang berserakan. Maka aku ingin mengumpulkan dalam sebuah kitab berbagai permasalahan yang sampai  kepada kita dari berbagai perselisihan mereka dalam bidang hukum-hukum syariah dan masalah-masalah fiqhiah.
Untuk membuktikan tajamnya perselisihan riwayat dan banyaknya ragamnya, maka cukuplah dengan menyebut beberapa contoh yang terkait dengan prinsip-prinsip dasartasyayyu'yang daripadanya lahir segala kebijakannya. Antara lain:
Doktrin Distorsi Al-Quran:
 Maklum bagi semua bahwa doktrin distorsiAl-Quran termasuk di antara aqidah yang sangat mengakar di kalangan mazhab Syi'ah. Karena kuatnya aqidah tersebut dan didasarkannyatasyayyu'itu sendiri kepadanya sehingga perkataan tersebut menjadi aksiomatis.
Banyak riwayat yang tersebar seputar distorsi Al-Quran dalam berbagai karya tulis ulama dan fuqaha Syi'ah telah memancing al-Nuri al-Thabarsi untuk mengumpulkannya ke dalam sebuah kitab yang dengan sangat yakin dan pasti ia namakanFashl al-Khitab fi Istbat Tahrif Kitab Rabb al-Arbab.
Walaupun demikian, tetap diakui bahwa terdapat sejumlah ulama dan fuqaha abad pertama yang mengingkari doktrin distorsi Al-Quran. Di antaranya: Sayyid al-Murtadha, penulis kitabNahj al-Balagah,Abu Bakar al-Thusi, Abu Ali al-Thabarsi, penulis tafsirMajma' al-Bayan, Ibn Babawaih al-Qummi yang digelar al-Shaduq sekaligus yang menyatakan:"Barang siapa menisbatkan kepada Syi'ah pernyataan ini, maksudnya pertanyaan bahwa Al-Quran telah didistorsi, maka dia dusta. Karena riwayat-riwayat seperti ini tidak pernah kedengaran. Seandainya riwayat-riwayat tersebut benar niscaya ketahuan atau minimal kedengaran."
Pendapat itu pula yang didengung-dengungkan oleh para ulama kontemporer mereka.
Al-Khawa'i menyatakan:"Sesungguhnya perbincangan seputar doktrin distorsi Al-Quran adalah perbincangan khurafat dan hayalan yang tidak akan dikatakan kecuali oleh orang lemah yang  akal. Adapun orang adil dan menghayati ungkapan tersebut maka ia tidak akan meragukan kebatilan dan kekhurafatannya."
Nikah Mut'ah
Tidak jauh berbeda dengan doktrin distorsi Al-Quran, nikah mut'ah juga termasuk praktek yang sangat kokoh dalam mazhab Syi'ah, bahkan termasuk salah satu di antara ajaran pokoknya. Praktek ini diterima dan diridhai oleh mayoritas besar fuqaha mereka. Bahkan mereka mendorong praktek tersebut karena diklaim memiliki ganjaran dan pahala.
Meski demikian tetap diakui bahwa terdapat sejumlah riwayat dari para imam maksum mereka yang mengharamkan dan mensifatinya dengan seburuk-buruk sifat. Antara lain:
Penegasan Imam al-Shadiq yang disampaikan saat ia ditanya tentang mut'ah dan dijawabnya bahwa"Praktek itu adalah zina."
Juga pernyataannya saat ditanya tentang hal itu:"Jangan Anda kotori diri Anda dengan perbuatan tersebut."Artinya praktek tersebut merupakan praktek yang diharamkan secara pasti dan mengakibatkan pelakunya melumuri dirinya dengan kotoran.
Di samping itu, Imam al-Shadiq juga mengancam pengikutnya dan menegaskan kepadanya agar tidak melakukan praktek nikah mut'ah. Ia menyatakan:"Tidakkah malu salah seorang di antara kalian melihat sesuatu lalu menuduhkan hal itu kepada orang-orang shaleh di antara saudara dan sahabatnya!?"
PerkaraKhumus
Khumusatau 1/5 (seperlima) dari total harta dan penghasilan orang-orang Syi'ah merupakan hak ahli bait. Tetapi di sana terdapat sejumlah riwayat dari imam-imam maksum mereka yang semuanya menyatakan bahwa imam-imam tersebut bebas dari kewajiban tersebut.
Riwayat-riwayat tersebut tersebar di dalam kitab-kitab fuqahaqudama'danmutaakhirinmereka.
Silang pendapat di antara mereka seputar khumusterus terjadi hingga daulah Shafawiah berdiri. Sejak itu Abdul 'Al al-Karaki menyerahkan urusan penyerahan hak imam dari hartakhumustersebut kepada pemimin syar'i mereka.  
Kemudian pada akhirnya, hasil ijtihad mereka menghasilkan wajibnya menyerahkan hartakhumustersebut kepadaal-Faqih. Bukan karena statusnya sebagainaib/pengganti dari imam yang gaib, tetapi dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dan penguasa Syi'ah.
Kewajiban Shalat Jum'at
Di antara perkara furu' yang lahir dari prinsip-prinsip Syi'ah dan masih mengundang pro kontra yang tajam hingga saat ini adalah kewajiban shalat Jum'at yang dahulu orang-orang Syi'ah jaga dan tegakkan hingga akhir abad ke-V hijriah.
Di masa itu para fuqaha Syi'ah tidak mempersyaratkan wajibnya shalat Jum'at kecuali tercapainya jumlah yang cukup dari orang-orang shalat. Mereka tidak mempersyaratkan munculnya imam maksum atau yang menggantikanya dalam halwilayahdanimamah.
Tetapi pada priode berikutnya persyaratan adanya imam atau pemimpin yang adil telah dimunculkan dan dijadikan sebagai persyaratan utama bagi tegaknya shalat Jum'at. Tentu pemimpin adil yang dimaksud hanya imam maksum saja. Sehingga persyaratan ini diperluas dengan menyatakan kehadiran imam maksum atau yang menggantikannya.
Berhubung karena imam tersebut berada pada kondisi gaib yang besar dan tidak diketahui secara pasti kapan ia muncul. Maka salah satu persyaratan tegaknya shalat Jum'at dianggap tidak ada maka para fuqaha menyimpulkan pembekuan pelaksanaan shalat Jum'at atau tidak mewajibkannya, bahkan ada yang mengharamkannya dan diganti dengan shalat zhuhur.
Walau demikian, terdapat sejumlah kecil fuqaha, seperti al-Hurr al-Amili, yang tetap menfatwakan kewajiban shalat Jum'at meski di zamangaibubah/tidak munculnya imam maksum.
Di hadapan nashqath'i/pasti yang mewajibkan  penegakan shalat Jum'at, mayoritas fuqaha Syi'ah tetap memasukkan persyaratan baru yaitu muncul dan hadirnya imam maksum secara langsung. Dan dalam kondisigaibubah, maka kewajiban tersebut gugur dari kewajiban personal. Sehingga orang-orang Syi'ah dapat memilih antara mengerjakan shalat Jum'at atau menggantikannya dengan shalat zhuhur.
Para penguasa Shafawi sangat tegas dalam penegakan shalat Jum'at sejak mereka berkuasa. Mesjid-mesjid jami' di zamannya dikenal sebagai mesjid jum'at. Waktu itu tidak satu pun kota di Iran kecuali terdapat di dalamnya mesjid seperti ini.
Imam-imam yang memimpin shalat di mesjid-mesjid tersebut digelari imam jum'at dan diangkat dengan SK langsung dari para raja Shafawi. Kedudukan mereka sangat terpandang sehingga tidak dijabat kecuali oleh ulama dan fuqaha besar.
Meski demikian, perselisihan di kalangan fuqaha di era rezim shafawi tetap ada. Syaikh Ibrahim al-Qathifi misalnya, memfatwakan haramnya shalat Jum'at di zamangaibubah. Dalam hal ini Ia berseberangan dengan Abdul 'Al al-Karaki yang membolehkannya dan membolehkan para fuqaha menegakkannya karena kapasitas mereka sebagainaibdari imam.
Kontroversi ini masih tetap berlangsung di kalangan para fuqaha Syi'ah hingga hari ini. Sehingga di antara mereka ada yang menentang pelaksanaan shalat Jum'at, sementara fuqaha yang lain komitmen dengan hasil ijtihad klasik yang membolehkannya. Sehingga shalat Jum'at kadang-kadang ditegakkan di mesjid mereka, tetapi juga sering kali ditinggalkan dan diganti dengan shalat zhuhur. Namun di antara mereka terdapat pula orang-orang berupaya mengabungkan antara keduanya sehingga mereka menjamaknya dengan shalat zhuhur.
Kesimpulannya, selain nihilnyaIsnaddalam hadits-hadits dan riwayat-riwayat para imam yang mereka klaim maksum, juga karena faktor perselisihan dan kontroversi mereka dalam berbagai hal menyebabkan orang-orang Syi'ah sama sekali tidak memiliki daya kritis dan analis. Pada galirannya, mereka sangat lemah dan berguguran di depaninvestigasi yang telitidan tidak gegabah.
Orang yang demikian kondisi dan kedudukannya tentu tidak berhak mengantongi kebenaran. Dan itu makna yang tepat dari kebatilan. Karena kebatilan itu tidak stabil, sedang sesuatu yang tidak stabil dan selalu berubah-ubah pasti akan binasa sehingga ia dapat dihukumi sebagai nihil.
Dengan kata lain, kebatilan itu tidak berguna sama sekali. Oleh karena itu, biasanya ia diilustrasikan sebagai sesuatu keburukan yang membawa mudharat dan tidak memberi manfaat.
Kondisi itu pada akhirnya akan membawatasyayyu'itu ke dalam lingkaran nihil dan tak berguna.