Dengan sebuah pos pemeriksaan militer di Kota Tua
Damaskus, dan hanya berada sekitar satu mil (1,6 km) saja dari garis
pertempuran, antara wilayah yang dikuasai rezim Syiah Nusyairiyah Suriah dengan
wilayah yang dikendalikan pejuang Muslim, kaum muda Damaskus menemukan
kesenangannya di malam hari.
Seperti
diberitakan oleh Reuters, mereka
tampak “nongkrong” di dekat taman, dekat dinding bangunan, bar, pub, kafe dan
sudut-sudut klasik kota tua itu. Sambil merokok, menenggak bir atau minuman
ringan, disertai saling bercengkerama banyak hal kecuali tentang perang.
Bar-bar
menjadi tempat bersosialisasi kaum muda, membuat kehidupan malam kembali
menggeliat. Hal ini termasuk salah satu aktivitas sosial dari 4 masalah yang
ingin dipulihkan di ibukota negara perang itu.
Pengeboman
sebenarnya sempat menghantam pusat kota Damaskus akhir tahun lalu, termasuk di
dekat gerbang Bab Sharqi.
Namun
sekarang, orang-orang kembali ramai menghisap pipa rokok di luar Pub Sharqi,
atau menonton sepak bola di bar sebelahnya. Keamanan memang terus meningkat
setelah intervensi teroris salibis Rusia dan gencatan senjata sejak akhir
Februari.
“Ini adalah
sesuatu yang sulit ditemui pada waktu dua tahun yang lalu, dan ini terjadi
baru-baru ini saja… Sekarang saya bisa pergi ke pub ini atau klub malam itu.
Tempatnya buka dan orang-orang mendatanginya,” kata Nicolas Rahal, seorang
desainer grafis, yang berkomentar sambil diiringi musik keras di sebuah bar.
Jumlah orang
yang keluar malam telah meningkat sementara tempat-tempat hiburan mulai buka
lagi satu demi satu, membuat lebih banyak orang kembali memiliki pekerjaan.
Suasana
perang sebenarnya masih terasa di dalam ibukota. Tentara rezim berpatroli
membawa senjatanya, atau antrian kendaraan militer yang menyebabkan kemacetan.
Suara tembakan artileri dari jauh kadang-kadang masih terdengar.
Kaum muda di
kota itu memang patut khawatir tentang masa depannya. Mereka telah kehilangan
keluarganya karena tewas atau lari mengungsi. Sementara kehidupan ekonomi makin
sulit.
Inflasi
merajalela, mata uang rezim ambruk nilainya, membuat biaya hidup menjadi sangat
mahal. Para pemuda juga berupaya menghindar dari perekrutan untuk menjadi
tentara rezim Assad.
Namun
suasana relatif tenang dalam beberapa waktu belakangan, telah membuat banyak
warga Damaskus ingin kembali “menikmati hidupnya” dengan cara yang mungkin.
“Orang-orang
sudah lelah dengan perang dan hanya ingin hidup normal lagi, sehingga mereka
keluar untuk bersosialisasi,” kata seorang gadis muda bartender bernama Dana
Daqqaq.
Ia adalah
seorang mahasiswi berusia 21 tahun dengan rambut bercat pirang yang bekerja
sambilan malam hari di bar yang sama dengan yang dikunjungi Rahal tadi.
Bagi Daqqaq,
aktivitas di bar ini bukan hanya sekedar tempat untuk melupakan perang, tapi
juga melupakan semua hal yang membuatnya trauma.
“Keluarga
dari pihak ayah saya yang bergabung dengan tentara telah tewas dalam
pengepungan di di Homs,” katanya.
Setelah
semua yang telah dilaluinya, Daqqaq tetap memilih tinggal di Damaskus dan mulai
bersosialisasi lagi, meski ia bisa saja lari ke Eropa seperti kawan-kawannya.
“Ketika saya
mulai melihat geliat kehidupan, saya memilih tinggal di sini. Saya tidak ingin
menjadi pengungsi,” katanya.
Nicolas
Rahal juga ingin tetap tinggal di kotanya, meskipun berbagai pengalaman pahit
sudah dirasakannya sejak konflik meletus.
“Lebih dari
sekali, orang dekat rumah saya (menjadi korban), saya telah melihat kehancuran
akibat pengeboman,” katanya.
Rahal sempat
ditangkap karena ikut melakukan protes pada tahun 2011, di masa awal revolusi
sebelum pecah perang melawan rezim Assad.
Karena
perbedaan pandangan politik itu juga, ia pernah bertengkar hebat dengan
sahabatnya. Dari perdebatan di Facebook, menjadi
perkelahian fisik di jalan.
Ia juga
menjelaskan tentang wajib militer yang dilakukan rezim Assad dengan merekrut
para pemuda untuk dikirim ke medan perang.
“Saya tidak
(mau) ikut wajib militer. Saya bisa saja dipanggil, ini akan terjadi, dan anda
tidak tahu dimana akan dikirim atau berapa lama anda akan berada di sana… Bisa
Aleppo atau Palmyra, misalnya,” kata Rahal.
“Jika mereka
memanggil saya (dalam wajib militer), maka saya akan meninggalkan negara ini.
Saya bisa mencoba mengadu nasib di Beirut (Libanon),” imbuhnya.
Di Wilayah Pertempuran, Kaum Muda Hampir Tak
Punya Pilihan
Berbeda
dengan kaum muda di ibukota Damaskus, mereka yang tinggal di lokasi perang atau
wilayah yang dikepung oleh rezim Assad tak bisa berbuat banyak untuk menentukan
pilihan.
Kota-kota
pejuang Islam jauh lebih terancam oleh serangan udara dan pembantaian massal
tiap saat. Ditambah krisis kemanusiaan parah akibat tak ada bantuan yang masuk
karena dihalangi tentara Assad.
Di sebelah
timur dan barat daya ibukota Damaskus, wilayah-wilayah seperti Daraya, Douma
dan Ghouta berada di bawah kontrol pejuang Muslim.
Kelompok
Jihad Jaisyul Islam mengontrol kota Ghouta yang terus dikepung dan dibom oleh
militer rezim selama bertahun-tahun. Sedangkan kota Daraya nyaris hancur lebur
di segala penjurunya.
Sementara di
kamp Yarmouk di sebelah selatan Damaskus yang menampung pengungsi Palestina,
warga sipil terus menghadapi ancaman kelaparan serta baru-baru ini terjadi
pertempuran sengit antara Jabhah Nushrah melawan ISIS.
Maher Abu
Jaafar, seorang mahasiswa teknik pertanian berusia 23 tahun yang tinggal di
sisi barat Ghouta, dekat Damaskus, mengatakan bahwa peningkatan kekerasan dan
pengepungan oleh tentara rezim Assad membuatnya tak mungkin bisa meninggalkan
kota.
“Saya
bekerja sebagai sales yang menjual barang-barang rumah tangga. Keluarga saya
banyak, kami tidak bisa menjamin akan selalu mendapat kebutuhan utama. Dan ini
semakin buruk karena (tingginya) biaya hidup,” keluhnya.
Ibukota Mujahidin Suriah di Idlib Relijius,
Sementara Ibukota Assad Cenderung Sekuler
Basis
terkuat pejuang Islam Suriah adalah provinsi Idlib, karena hampir seluruh
wilayahnya telah bebas dari pendudukan rezim Assad.
Di kota-kota
utama provinsi, seperti Idlib, Jisr Tsughur, Ma’arat Nu’man dan lain-lain,
berbagai kelompok Jihad termasuk Jabhah Nushrah berupaya membangun kehidupan
masyarakat sipil Islam di sana.
Hal itu
dilakukan dengan cara menghilangkan hal-hal yang dilarang oleh Islam dari
masyarakat, dakwah sosial, pendidikan Islam dan mahkamah Syari’ah untuk
ketertiban sipil. Suasana Islami juga sangat terasa di berbagai kamp
pengungsian di utara Latakia, dimana para wanita menjaga hijabnya, sementara
anak-anak menghafal Al-Qur’an.
Bukan hanya
provinsi Idlib, tetapi hampir di semua wilayah kaum Muslimin yang telah bebas,
masyarakat makin melekat dengan Islam. Membuat mereka tetap kuat bertahan, meski
terus dibom selama bertahun-tahun.
Sumber : Risalah