Tuesday, May 3, 2016

Kota Kekuasaan Assad Mulai Sarat Maksiat, Kota Pejuang Muslim Makin Relijius


Dengan sebuah pos pemeriksaan militer di Kota Tua Damaskus, dan hanya berada sekitar satu mil (1,6 km) saja dari garis pertempuran, antara wilayah yang dikuasai rezim Syiah Nusyairiyah Suriah dengan wilayah yang dikendalikan pejuang Muslim, kaum muda Damaskus menemukan kesenangannya di malam hari.
Seperti diberitakan oleh Reuters, mereka tampak “nongkrong” di dekat taman, dekat dinding bangunan, bar, pub, kafe dan sudut-sudut klasik kota tua itu. Sambil merokok, menenggak bir atau minuman ringan, disertai saling bercengkerama banyak hal kecuali tentang perang.
Bar-bar menjadi tempat bersosialisasi kaum muda, membuat kehidupan malam kembali menggeliat. Hal ini termasuk salah satu aktivitas sosial dari 4 masalah yang ingin dipulihkan di ibukota negara perang itu.
Pengeboman sebenarnya sempat menghantam pusat kota Damaskus akhir tahun lalu, termasuk di dekat gerbang Bab Sharqi.
Namun sekarang, orang-orang kembali ramai menghisap pipa rokok di luar Pub Sharqi, atau menonton sepak bola di bar sebelahnya. Keamanan memang terus meningkat setelah intervensi teroris salibis Rusia dan gencatan senjata sejak akhir Februari.
“Ini adalah sesuatu yang sulit ditemui pada waktu dua tahun yang lalu, dan ini terjadi baru-baru ini saja… Sekarang saya bisa pergi ke pub ini atau klub malam itu. Tempatnya buka dan orang-orang mendatanginya,” kata Nicolas Rahal, seorang desainer grafis, yang berkomentar sambil diiringi musik keras di sebuah bar.
Jumlah orang yang keluar malam telah meningkat sementara tempat-tempat hiburan mulai buka lagi satu demi satu, membuat lebih banyak orang kembali memiliki pekerjaan.
Suasana perang sebenarnya masih terasa di dalam ibukota. Tentara rezim berpatroli membawa senjatanya, atau antrian kendaraan militer yang menyebabkan kemacetan. Suara tembakan artileri dari jauh kadang-kadang masih terdengar.
Kaum muda di kota itu memang patut khawatir tentang masa depannya. Mereka telah kehilangan keluarganya karena tewas atau lari mengungsi. Sementara kehidupan ekonomi makin sulit.
Inflasi merajalela, mata uang rezim ambruk nilainya, membuat biaya hidup menjadi sangat mahal. Para pemuda juga berupaya menghindar dari perekrutan untuk menjadi tentara rezim Assad.
Namun suasana relatif tenang dalam beberapa waktu belakangan, telah membuat banyak warga Damaskus ingin kembali “menikmati hidupnya” dengan cara yang mungkin.
“Orang-orang sudah lelah dengan perang dan hanya ingin hidup normal lagi, sehingga mereka keluar untuk bersosialisasi,” kata seorang gadis muda bartender bernama Dana Daqqaq.
Ia adalah seorang mahasiswi berusia 21 tahun dengan rambut bercat pirang yang bekerja sambilan malam hari di bar yang sama dengan yang dikunjungi Rahal tadi.
Bagi Daqqaq, aktivitas di bar ini bukan hanya sekedar tempat untuk melupakan perang, tapi juga melupakan semua hal yang membuatnya trauma.
“Keluarga dari pihak ayah saya yang bergabung dengan tentara telah tewas dalam pengepungan di di Homs,” katanya.
Setelah semua yang telah dilaluinya, Daqqaq tetap memilih tinggal di Damaskus dan mulai bersosialisasi lagi, meski ia bisa saja lari ke Eropa seperti kawan-kawannya.
“Ketika saya mulai melihat geliat kehidupan, saya memilih tinggal di sini. Saya tidak ingin menjadi pengungsi,” katanya.
Nicolas Rahal juga ingin tetap tinggal di kotanya, meskipun berbagai pengalaman pahit sudah dirasakannya sejak konflik meletus.
“Lebih dari sekali, orang dekat rumah saya (menjadi korban), saya telah melihat kehancuran akibat pengeboman,” katanya.
Rahal sempat ditangkap karena ikut melakukan protes pada tahun 2011, di masa awal revolusi sebelum pecah perang melawan rezim Assad.
Karena perbedaan pandangan politik itu juga, ia pernah bertengkar hebat dengan sahabatnya. Dari perdebatan di Facebook, menjadi perkelahian fisik di jalan.
Ia juga menjelaskan tentang wajib militer yang dilakukan rezim Assad dengan merekrut para pemuda untuk dikirim ke medan perang.
“Saya tidak (mau) ikut wajib militer. Saya bisa saja dipanggil, ini akan terjadi, dan anda tidak tahu dimana akan dikirim atau berapa lama anda akan berada di sana… Bisa Aleppo atau Palmyra, misalnya,” kata Rahal.
“Jika mereka memanggil saya (dalam wajib militer), maka saya akan meninggalkan negara ini. Saya bisa mencoba mengadu nasib di Beirut (Libanon),” imbuhnya.
Di Wilayah Pertempuran, Kaum Muda Hampir Tak Punya Pilihan
Berbeda dengan kaum muda di ibukota Damaskus, mereka yang tinggal di lokasi perang atau wilayah yang dikepung oleh rezim Assad tak bisa berbuat banyak untuk menentukan pilihan.
Kota-kota pejuang Islam jauh lebih terancam oleh serangan udara dan pembantaian massal tiap saat. Ditambah krisis kemanusiaan parah akibat tak ada bantuan yang masuk karena dihalangi tentara Assad.
Di sebelah timur dan barat daya ibukota Damaskus, wilayah-wilayah seperti Daraya, Douma dan Ghouta berada di bawah kontrol pejuang Muslim.
Kelompok Jihad Jaisyul Islam mengontrol kota Ghouta yang terus dikepung dan dibom oleh militer rezim selama bertahun-tahun. Sedangkan kota Daraya nyaris hancur lebur di segala penjurunya.
Sementara di kamp Yarmouk di sebelah selatan Damaskus yang menampung pengungsi Palestina, warga sipil terus menghadapi ancaman kelaparan serta baru-baru ini terjadi pertempuran sengit antara Jabhah Nushrah melawan ISIS.
Maher Abu Jaafar, seorang mahasiswa teknik pertanian berusia 23 tahun yang tinggal di sisi barat Ghouta, dekat Damaskus, mengatakan bahwa peningkatan kekerasan dan pengepungan oleh tentara rezim Assad membuatnya tak mungkin bisa meninggalkan kota.
“Saya bekerja sebagai sales yang menjual barang-barang rumah tangga. Keluarga saya banyak, kami tidak bisa menjamin akan selalu mendapat kebutuhan utama. Dan ini semakin buruk karena (tingginya) biaya hidup,” keluhnya.
Ibukota Mujahidin Suriah di Idlib Relijius, Sementara Ibukota Assad Cenderung Sekuler
Basis terkuat pejuang Islam Suriah adalah provinsi Idlib, karena hampir seluruh wilayahnya telah bebas dari pendudukan rezim Assad.
Di kota-kota utama provinsi, seperti Idlib, Jisr Tsughur, Ma’arat Nu’man dan lain-lain, berbagai kelompok Jihad termasuk Jabhah Nushrah berupaya membangun kehidupan masyarakat sipil Islam di sana.
Hal itu dilakukan dengan cara menghilangkan hal-hal yang dilarang oleh Islam dari masyarakat, dakwah sosial, pendidikan Islam dan mahkamah Syari’ah untuk ketertiban sipil. Suasana Islami juga sangat terasa di berbagai kamp pengungsian di utara Latakia, dimana para wanita menjaga hijabnya, sementara anak-anak menghafal Al-Qur’an.
Bukan hanya provinsi Idlib, tetapi hampir di semua wilayah kaum Muslimin yang telah bebas, masyarakat makin melekat dengan Islam. Membuat mereka tetap kuat bertahan, meski terus dibom selama bertahun-tahun.
Sumber : Risalah