Tuesday, May 10, 2016

Saat Alepo Terbakar, Mengapa Eropa Hanya Jadi Penonton. Tak Satupun Media Beritakan Penderitaan Muslim Suriah, Ada Ada Dengan Pers Kita? Orang-Orang Yahudi Dan Nasrani Tidak Akan Pernah Senang Kepadamu (Muhammad) Hingga Kamu Mengikuti Millah (Pola Hidup Atau Agama) Mereka.

anak%2Bsuriah

Tak Satupun Media Beritakan Penderitaan Muslim Suriah, Ada Ada dengan Pers Kita?

06 Mei 2016
Ada Apa dengan Pers Kita?
Shulhan Syamsur Rijal  |  Global Philanthropy Media - ACT Foundation
Memprihatinkan, jika bangsa yang pengakuan kemerdekaannya disokong banyak bangsa bahkan oleh bangsa-bangsa yang sedang tertindas, saat merdeka malah tak peka dan enggan bersikap atas krisis kemanusiaan bangsa lain. 

Dua pekan terakhir, Aleppo berdarah, hancur lebur dihantam konflik. Walaupun begitu, isu ini seperti tak menarik minat jurnalis negeri ini sigap meresponnya sebagai informasi yang bernilai berita? Padahal di saat yang sama, kepekaan dan kepedulian bangsa ini atas isu kemanusiaan di Aleppo menyeruak hebat. Berbagai media sosial cukup riuh berisi simpati, kecamam dan ajakan kepedulian. Alih-alih bersimpati, pers menuliskannya saja tidak. Di puncak penghilangan nyawa warga sipil Suriah, sama sekali tak muncul satu pun artikel, baik itu opini, feature, softnews, apalagi hardnews tentang isu Aleppo. ‘Gugatan nurani’ ini berdasar pada penelusuran online di Antaranews. Ketik kata 'Aleppo' di kolom pencariannya, kita takkan menemukan satupun artikel yang bercerita tentang Aleppo.

Tulisan terakhir yang bercerita tentang Suriah dirilis oleh Kantor Berita Antara tanggal 22 April dengan judul Amerika Serikat Terpecah Akibat Kebijakan Rusia di Suriah. Kemudian tulisan berikutnya yang bercerita tentang Aleppo dirilis tanggal 12 April mengambil judul Militer Suriah Kerahkan Balatentara ke Aleppo. Selain dua tanggal itu, tak ada lagi pemutakhiran tentang Aleppo dan Suriah oleh kantor berita Antara.
Ini menggelitik. Bukankah Antara kantor berita nasional yang menjadi kiblat, rujukan informmasi dan data dari berbagai media nasional lainnya di Tanah Air? Jika Antara saja tak menulis tentang Aleppo, maka media lokal lain pun bisa dipastikan takkan menuliskannya.

Saya mencatat hanya Kompas.com - media milik kelompok usaha Gramedia - menulis kisah Aleppo dalam hari-hari terakhir meskipun krisis kemanusiaan yang menyeruak hebat di Aleppo tetap tak jadi agenda utama apalagi fokus utamanya.

Framing yang demikian oleh media daring nasional kita mengisyaratkan pemerintah dan media tak ingin terlibat terlalu jauh dengan Aleppo sehingga harus berdiri di "jarak aman". Meskipun harus menutup mata terhadap hilangnya nyawa dan sengsaranya ribuan orang sebagai akibat penanganan bersenjata di Suriah beberapa hari belakangan ini.

Hasil pencarian dengan mesin pencari google bertolakbelakang untuk kata kunci "Aleppo". Media internasional arusutama seperti Aljazeera, theguardian, New York Times, thehufftingtonpost, BBC, Deutsche Welle, middleeastonline, terus memperbarui kabar Aleppo dalam hitungan menit. Tiap memperbarui laman internet di mesin pencari google, kita bisa menemukan isu baru tentang Aleppo.

Judul-judul yang diangkat oleh ragam media online internasional ini pun amat variatif. Ini sebagian diantaranya: Crisis in Aleppo on UN Security Council's Agenda (RTE.ie media Rusia), Syrian Peace Talks Move to Berlin with Aleppo on the Brink (Deutsche Welle, media Jerman), In Aleppo, We Are Running Out of Coffins (New York Times, media Amerika), Hanging By Thread: Aleppo Hostilities Risk Pushing Syria to Point of No Return (Times of India, media India), Rebuilding Syria's Aleppo Under Fire (Aljazeera, media Qatar),  Aleppo Hospital Hit as City Faces Humanitarian Catastrophe (theguardian media Inggris), Dozens Killed in Aleppo Battle” oleh (Channel News Asia, media internasional Asia), Rebels Launch Assault in Syria's Aleppo (dailytelegraph.com.au,  media australia).

Bayangkan saja beragam judul tulisan dari puluhan media internasional itu, sama sekali tak menjadi rujukan. Tergantikan dengan judul-judul atau peristiwa-peristiwa yang "kering kemanusiaan" di media nasional kita. Apa yang salah? Mengapa media lokal enggan mengedukasi masyarakat tentang krisis di Aleppo? Sangat mungkin ini imbas dari ‘global stigmatic terror’ yang memukul rata sikap empatik atas krisis Suriah segaris dengan simpati atas ISIS. Sekumpulan besar orang-orang lintas negara yang muncul dari antah-berantah, memberi warna kusam pada perjuangan (warga) Islam di belahan Timur Tengah yang tengah menginginkan perubahan besar di negerinya.

Krisis kemanusiaan dalam situasi apapun, di mana nyawa manusia dibuat tak berharga, adalah info sangat layak berita. Padahal peran suci media massa, yang memegang ‘satu hukum besi jurnalisme’ harus menginformasikan apa yang berguna, terutama yang membela harkat kemanusiaan. Bukankah hakikat berita itu tentang dan demi manusia? Kalau krisis kemanusiaan sehebat tragedi Aleppo luput dari publikasi media nasional Indonesia, media sedang meninggalkan pilar prinsipilnya. Ia mengurangi kesungguhan dalam menyandang mandat atau hukum bekerja atas eksistensinya sebagai bagian dari jurnalisme.

Tak ada cara lain untuk memulihkan ini, kecuali segera bersikap obyektif dan berdiri di atas landasan moral demi kemanusiaan. Lalu ikut menghidangkan terus fakta terkini Aleppo. Jika tidak, siap-siap kehilangan trust, yang jadi pilar penting penopang eksistensi media massa. Saya percaya, LKBN Antara dan media nasional kita segera bangkit mengatasi ‘stigmatic terror’ ini dan lebih obyektif menyebarluaskan informasi yang pro-kemanusiaan. (act.id)

Saat Alepo Terbakar, Mengapa Eropa Hanya Jadi Penonton?

Pasukan Helm Putih mengevakuasi gedung yang terbakar dihantam bom Assad dan Rusia
Oleh Sodikin Maulana

AntiLiberalNews – DEWAN Eropa, Komisi Eropa dan Parlemen Eropa kini hanya menjadi penonton tragedi di Aleppo, Suriah tanpa rasa peduli. Sebuah tragedi kemanusiaan besar kini tengah dialami warga Aleppo, menjadi babak akhir yang paling penting di Suriah.
Ratusan warga sipil Aleppo gugur akibat serangan bom yang dilakukan oleh kelompok pembunuh profesional milik rezim diktator Bashar Assad, bersama dengan serangan udara dari angkatan udara Rusia. Warga Muslim Aleppo berjuang untuk menyelamatkan tetangga mereka yang terjebak di bawah puing-puing. Mereka juga mencoba membuat suara yang bisa didengar oleh dunia melalui media sosial dengan hashtag “Aleppo terbakar.” Namun seperti yang kita lihat, tidak ada yang bersedia untuk memperhatikan Aleppo, terutama Uni Eropa dan Parlemen Eropa, meski anggota-anggotanya dicap sebagai negara yang kerap memperjuangankan hak asasi manusia.
Ada peningkatan tanda-tanda yang menunjukkan prajurit Assad tengah mempersiapkan operasi darat besar, menyusul pemboman intensif. Dunia, khususnya masyarakat Eropa tetap bersikap acuh tak acuh, saat jet Rusia menghujani kota dengan peluru dan Assad mengambil keuntungan dari ketidakpedulian dunia ini.
Berapa lama anggota Parlemen Eropa akan menjadi penonton pembantaian di Aleppo, di saat rumah sakit dan klinik juga dihancurkan? Untuk beberapa alasan, mereka yang mengatur pertemuan “bagi kemanusiaan dan perdamaian” di Eropa, tidak melakukan apa-apa untuk Muslim yang dibantai di Suriah.
Dalam 12 hari terakhir, sekitar empat rumah sakit dan tiga mesjid Aleppo telah diratakan. Banyak warga sipil yang gugur akibat serangan secara langsung.
Ketika para militan dari organisasi teroris PKK membunuh ratusan warga sipil dan baru-baru ini telah mengubah Turki menjadi arena pertumpahan darah, Barat justru memunculkan kebohongan. Mereka menyebut anggota PKK yang tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan dengan “Pemerintah Turki membantai Kurdi.” Eropa mengangkat kasus ini sebagai alat propaganda. Namun anehnya, Eropa tidak membuat propaganda serupa pada kasus Suriah. Apakah mereka masih memiliki hati nurani?
Apa bukti Uni Eropa membela nilai-nilai mereka yang sangat terhormat? Apakah mempertahankan nilai-nilai Uni Eropa berarti mendukung pembunuh, namun bersikap acuh tak acuh terhadap orang yang tidak bersalah? Mungkin kita harus menulis ini ratusan kali untuk membuat Eropa memahami realitas bahwa “Aleppo terbakar dan Anda hanya jadi penonton.”
Namun, mereka yang bersikap acuh tak acuh akan menyesal esok hari.
Uni Eropa akhir-akhir ini merasa lega sampai batas tertentu pada masalah krisis pengungsi, berkat Turki. Perlu diingat, jika Aleppo jatuh maka orang-orang di dalam dan sekitar Aleppo akan melarikan diri ke Turki untuk bertahan hidup. Pada akhirnya Uni Eropa juga akan dipengaruhi oleh hal ini.
Pihak berwenang Uni Eropa akan menyadari bahwa ketidakpedulian mereka terhadap pembantaian warga Muslim oleh Assad dan Rusia di Suriah akan langsung menyebabkan ratusan ribu pengungsi baru menuju Eropa.
Uni Eropa tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan krisis pengungsi hanya dengan menandatangani beberapa perjanjian. Apalagi jika tindakan barbar Assad dan Rusia dibiarkan, maka masalah pengungsi akan tumbuh jauh lebih rumit.
Saat ini kita dapat memantau krisis demokrasi yang tengah berlangsung di negara-negara Uni Eropa dengan keprihatinan yang mendalam.
Di Austria, Partai Kebebasan Austria pimpinan Norbert Hofer menerima pangsa suara tertinggi di putaran pertama pemilihan presiden dengan 35,1 persen. Dia bertepuk tangan setelah rencananya untuk menggunakan senjata Glock-26 demi melawan para pengungsi bisa berhasil. Fenomena “Glock Norbert” adalah salah satu contoh yang paling jelas menunjukkan bagaimana Eropa telah menjadi aib dalam krisis pengungsi.
Minggu lalu, Partai Rasis Alternatif Jerman (AFD), telah mencapai keberhasilan penting dalam pemilihan terakhir. AFD telah mengumumkan bahwa Islam tidak boleh ada di Jerman pada pertemuan partai kongres di Stuttgart. Pengumuman ini mengkhawatirkan bagi demokrasi Jerman.
Semua ini terjadi karena jumlah pengungsi Muslim yang tiba di negara Uni Eropa berada di atas ekspektasi. Jumlah pengungsi Muslim yang meningkat di negara-negara Uni Eropa membuat pihak rasis berang. Terlepas dari itu semua, orang-orang seperti “Glock Norbert” dan Ketua AFD Frauke Petry telah menawarkan solusi seperti “semua pengungsi yang melintasi perbatasan secara ilegal harus ditembak.” Cara kejam seperti ini jelas amat mengkhawatirkan.
Untuk alasan ini, sikap Uni Eropa sangat penting. Uni Eropa yang mengklaim sebagai ‘agen’ yang memberikan contoh kepada dunia untuk hak asasi manusia dan demokrasi, harus melakukan intervensi di Suriah, terutama di Aleppo sesegera mungkin.
Sikap keras terhadap Assad dan beberapa sanksi juga harus dijatuhkan pada Rusia, yang telah menumpahkan darah di Suriah, seakan membalas dendam pada Uni Eropa.
Aleppo terbakar dan Uni Eropa seharusnya tidak lagi menjadi penonton belaka.
Sumber: Islampos
Edit: Adiba Hasan

99% Mujahidin Ahlus Sunnah Yang Memerangi Kekejaman Syiah Shafawiyah –Nushairiyah, Negara-Negara Besar Salibis, Komunis Adalah Penduduk Asli Suriah ! Kenapa Organisasi Islam Besar Di Indonesia Diam/Tidak Ada Ghirahnya ? Mungkin Pimpinannya Terkooptasi Dengan Propaganda Duniawi Syiah Iran ( Membenci Arab ) Dan Cenderung Membela Salibis/ Komunis/Syiah ! Bukan Mustahil Kejadian di Suriah Menimpa Mereka/Negeri Kita. Naudzubillahimindzalik