Mantan Kepala Mossad: Dalam Tiap Peperangan, HAMAS
Menjadi Semakin Kuat
TEL AVIV,
(Panjimas.com) – “Dalam tiap peperangan dengan Israel, HAMAS dapat
pulih dan menjadi lebih kuat”, demikian pernyataan mantan Kepala Mossad,
Lembaga Intelijen Israel, Efraim Halevy, dilansir oleh MEMO.
Saat
berbicara dalam Konferensi Tahunan Jerusalem Post di New York, AS, Efraim
Halevy mengatakan bahwa “HAMAS dapat pulih setelah setiap perang yang
dilancarkan kepada mereka. Oleh karena itu, Israel harus memikirkan kembali
tentang bagaimana menangani HAMAS.”
“Jika HAMAS
berhasil menang setelah 50 hari pertempuran sengit, lima tahun konfrontasi
militer, dua “Intifada” dan operasi militer yang sukses berturut-turut, ini
berarti bahwa semua apa yang kita lakukan [Israel] tidak mencapai tujuan kita.
Hal ini memerlukan cara berpikir yang baru.” [IZ]
Mantan Direktur Mossad
Serukan Zionis Israel Bernegosiasi Dengan Hamas
Kamis, 26
Sya'ban 1437 H / 2 Juni 2016 14:30 WIB
Mantan direktur badan intelejen luar negeri Zionis
Israel “Mossad”, Efraim Halevy, mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu
untuk segera bernegosiasi dengan Hamas, meskipun saat ini adalah bukan waktu
yang tepat untuk memulai hal tersebut.
Permintaan ini dilontarkan Efraim Halevy menanggapi
sambutan positif dari banyak warga Yahudi Zionis Israel mengenai hal tersebut,
terlebih setelah organisasi pejuang asal Palestina tersebut lulus dalam
berbagai agresi militer yang dilancarkan oleh negaranya.
“Saat ini memang bukan waktu yang tepat untuk mulai
bernegosiasi dengan Hamas, akan tetapi saya yakin bahwa pemerintah Tel Aviv
harus melaksanakan hal tersebut setelah organisasi ini mampu bertahan selama
lebih dari 30 tahun terlepas berbagai cobaan dan rintangan yang dilakukan
Zionis Israel,” ujar Efraim Halevy kepada situs berita www.nrg.co.il pada hari Rabu (01/05).
Efraim Halevy melanjutkan, “Kemenangan Hamas dalam
agresi tahun 2014 membuktikan bahwa Zionis Israel harus berpikir ulang untuk
menghadapi kelompok pejuang tersebut, terlebih Hamas ada di jutaan hati warga
Palestina tidak hanya di Jalur Gaza melainkan hingga wilayah Tepi Barat dan
al-Quds.”
Di blokade sejak akhir tahun 2007 lalu, Jalur Gaza
menjadi saksi ketabahan dan kesabaran pejuang-pejuang Palestina dalam
menghadapi penjajah Zionis Israel ditengah kesibukan masing-masing dunia Arab
dan umat Muslim di seluruh dunia. (Aljazeera/Ram)
Yahudi AS Paksa Israel Ambil Alih
‘Solusi Dua-Negara’
Kamis,
2 Juni 2016 - 09:45 WIB
RAKYAT Palestina seringkali dituduh sebagai hambatan utama tercapainya
‘Perdamaian’ di Timur-Tengah, namun sebuah inisiatif baru oleh satu kelompok
Yahudi yang paling berpengaruh di Amerika mungkin hanya membuktikan sebaliknya
pekan ini.
Selama beberapa dekade, sejumlah politisi Barat telah
berbicara mengenai solusi dua-negara (two-state
solution). Solusi yang sudah menjadi buah bibir di luar Israel
tapi tak pernah dianggap serius di dalam negara Zionis itu sendiri.
Sekarang, tiba-tiba, tampaknya Tel Aviv ingin
merangkul “dua negara” dan telah mengirimkan perintah ke kedutaan besar mereka,
sejawat di kampus-kampus universitas dan mereka yang berada di dalam institusi
lainnya secara jauh dan luas untuk mempromosikan gagasan bahwa Israel ingin
membicarakan tentang ‘Perdamaian’ dua negara.
Yiftah Curiel, kepala operasi media di Kedutaan Besar
Israel di London, misalnya, dikirim ke Oxford pekan lalu untuk memberikan
pendapat tentang nilai-nilai dan realitas dari solusi dua negara selama Debat
Persatuan (Union Debate) di
universitas bergengsi itu mengenai kelangsungan solusi tersebut.
Chutzpah adalah sebuah kata ekspresif Yiddi (bahasa yang digunakan Yahudi Eropa)
yang berasal dari bahasa Ibrani “ḥutspâ“; Saya
tidak yakin bahwa ada kata seperti itu dalam bahasa Inggris yang benar-benar
dapat menyampaikan keberanian dari pemerintah Israel. Dalam hal ini, oleh
karena itu, kita harus tetap dengan chutzpah, untuk mendeskripsikan dengan
tepat kinerja Curiel ini.
Kolumnis dan wartawan kebangsaan Israel, Gideon Levy,
yang mengikuti jalannya perdebatan tersebut, merespon dengan kecut, “Apa Anda
paham? Israel mengklaim dirinya mendukung dua negara – mungkin karena Israel
sudah sadar kalau solusi dua negara tidak lagi bisa berjalan.” Dia bertanya,
apa yang mencegah Israel menerapkan solusi ini selama 50 tahun atau lebih
penjajahan? “Dan bagaimana bisa perwakilan resmi dari negara -yang tidak pernah
berhenti membangun lebih banyak dan lebih banyak lagi pemukiman (Israel),
seluruh tujuan yang dimaksudkan untuk menggagalkan solusi dua negara- berani
bilang Israel berkeinginan membagi tanahnya?
Menulis di media Haaretz, Levy mengaku: “Tapi chutzpah Israel tidak
mengenal batas, dan begitu juga dengan keberanian dari para propagandisnya.”
Jadi, ada apa di balik antusiasme baru pemerintah
Israel ini terhadap solusi dua negara? Jawabannya, mungkin, terletak ribuan mil
jauhnya di Amerika, di mana dua dokumen kerja yang terpisah akan segera
diterbitkan dalam upaya untuk mempersiapkan tanah untuk solusi dua-negara yang
akan memuaskan tuntutan keamanan Israel.
Proposal tersebut akan mencakup RELOKASI pemukim;
PEMBEKUAN pemukiman ilegal; KEDAULATAN untuk Palestina; Keberangkatan RADIKAL
dari kebijakan pemerintah sayap kanan Israel; dan MEMPERSIAPKAN presiden AS
berikutnya untuk mendesak pembicaraan damai.
Berita mengenai rencana-rencana berani tersebut
tentunya menjadi tamparan keras bagi Benjamin Netanyahu, karena ia telah
membuatnya cukup jelas untuk pemerintahan Obama – serta pihak lain yang
berkepentingan, seperti PBB, Inggris dan Prancis – bahwa ia tidak akan
mentolerir gangguan luar.
Sementara memukul mundur kemajuan Washington telah
relatif mudah sampai sekarang, bahkan Netanyahu tampaknya telah sadar dengan
kenyataan bahwa baik Donald Trump atau Hillary Clinton cenderung mentolerir
perlakuan kasar yang sama.
Kedua calon presiden potensial itu telah membuatnya
cukup jelas bahwa mereka memiliki ambisi untuk membawa ‘Perdamaian’ ke wilayah
tersebut dengan mengakhiri konflik Palestina-Israel, meskipun Netanyahu dan
para pendahulunya telah berhasil membuat banyak presiden AS menyingkir selama
masa jabatannya.
Meskipun begitu, geliat terbaru dalam semua hal ini
berbeda. Apa yang akan mengguncang perdana menteri Israel adalah bahwa
inisiatif terbaru ini sedang didorong oleh beberapa organisasi independen dan
berpengaruh yang selalu memastikan bahwa mereka berada di halaman yang sama
dengan Tel Aviv – sampai sekarang. Dalam sebuah langkah yang langka, sepertinya
Forum Kebijakan Israel (Israel Policy Forum ) yang memiliki pengaruh yang
besar telah menguasai proyek Zionis, meninggalkan Netanyahu terisolasi atau
harus bermain mengejar ketinggalan. Setelah retorika Curiel ini di Oxford Union
pada Kamis (26/05/2016) lalu, menampakkan seolah-olah Tel Aviv panik hingga
akhir nanti.
Israel Policy Forum, dikatakan khawatir pada
perkembangan dan ketidakpastian pemerintah sayap kanan Netanyahu, dan sekarang
sedang bekerja dengan sejumlah pensiunan militer dan para pejabat keamanan
Israel begitu juga wadah pemikir (think
tank) Washington. Penyandang dana IPF, Alan Solow,
komandan Keamanan Israel dan the
Centre for a New American Security, wadah pemikir kebijakan luar negeri
yang didukung oleh banyak politik kelas berat termasuk mantan Senator Joe
Lieberman, akan mengungkap rencana dua-negara mereka pekan ini.
Sementara sayap kanan Komite Urusan Publik
Amerika-Israel (AIPAC – atau biasa disebut sebagai lobi utama pro-Israel di AS)
juga mempromosikan gagasan pembicaraan ‘perdamaian’, AIPAC tidak akan pernah
mendorong inisiatif apapun tanpa lampu hijau dari Tel Aviv. Begitu juga tidak
akan mempublikasikan rencana yang menunjukkan seperti apa bentuk solusi dua
negara tanpa berkonsultasi dengan Israel terlebih dahulu, tapi itu adalah
persis apa yang kelompok-kelompok AS lainnya akan lakukan beberapa hari nanti.
“Perdebatan mengenai masa depan Israel tidak terjadi
di Israel,” komentar Gideon Levy setelah acara Oxford itu. “(Perdebatan) itu
terjadi di mana-mana kecuali di Israel. Israel tidak berurusan dengan masa
depan – (Israel) berurusan dengan waktu di masa sekarang dan, terutama, masa
lalu. Orang tidak membicarakan masa depan di sini.”
Inisiatif baru di Washington ini, pernah dianggap oleh
banyak pihak akan menjadi dibawah kependudukan politik Israel sementara
Palestina sendiri menderita di bawah kependudukan militernya, kemungkinan
mengubah narsisme Tel Aviv. Namun, jika Israel dan sayap kanan mereka, Perdana
Menteri Netanyahu kembali ke posisi asal mereka, maka negara Zionis akan
dianggap sebagai hambatan nyata untuk ‘perdamaian’ tersebut, hal yang telah
diketahui oleh Palestina dan pendukung mereka selama ini. Ia akan mengambil
lebih banyakchutzpah Zionis dari
biasanya untuk keluar dari lubang itu.*
Yvonne Ridley, jurnalis Inggris yang pernah
ketangkap Taliban dan memeluk Islam. Artikel dimuat di middleeastmonitor.com.
Diterjemahkan Karina
Chaffinch
Nakba, Duka Rakyat Palestina Pasca
1948