Monday, June 6, 2016

Dalam Tiap Peperangan, HAMAS Menjadi Semakin Kuat Dan Mampu Bertahan Lebih Dari 30 Tahun. Pengungsi 1948 (Nakba) harus Kembali Ke Tanah Palestina Yang Diduduki Israel, Bukan “Solusi Dua-Negara” !

Brigade Izzudin Al Qasam
Nakba, Duka Rakyat Palestina Pasca 1948

Mantan Kepala Mossad: Dalam Tiap Peperangan, HAMAS 
Menjadi Semakin Kuat

TEL AVIV, (Panjimas.com) – “Dalam tiap peperangan dengan Israel, HAMAS dapat  pulih dan menjadi lebih kuat”, demikian pernyataan mantan Kepala Mossad, Lembaga Intelijen Israel, Efraim Halevy, dilansir oleh MEMO.
Saat berbicara dalam Konferensi Tahunan Jerusalem Post di New York, AS, Efraim Halevy mengatakan  bahwa “HAMAS dapat pulih setelah setiap perang yang dilancarkan kepada mereka. Oleh karena itu, Israel harus memikirkan kembali tentang bagaimana menangani HAMAS.”
“Jika HAMAS berhasil menang setelah 50 hari pertempuran sengit, lima tahun konfrontasi militer, dua “Intifada” dan operasi militer yang sukses berturut-turut, ini berarti bahwa semua apa yang kita lakukan [Israel] tidak mencapai tujuan kita. Hal ini memerlukan cara berpikir yang baru.” [IZ]

Mantan Direktur Mossad Serukan Zionis Israel Bernegosiasi Dengan Hamas

Kamis, 26 Sya'ban 1437 H / 2 Juni 2016 14:30 WIB
Mantan direktur badan intelejen luar negeri Zionis Israel “Mossad”, Efraim Halevy, mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk segera bernegosiasi dengan Hamas, meskipun saat ini adalah bukan waktu yang tepat untuk memulai hal tersebut.
Permintaan ini dilontarkan Efraim Halevy menanggapi sambutan positif dari banyak warga Yahudi Zionis Israel mengenai hal tersebut, terlebih setelah organisasi pejuang asal Palestina tersebut lulus dalam berbagai agresi militer yang dilancarkan oleh negaranya.
“Saat ini memang bukan waktu yang tepat untuk mulai bernegosiasi dengan Hamas, akan tetapi saya yakin bahwa pemerintah Tel Aviv harus melaksanakan hal tersebut setelah organisasi ini mampu bertahan selama lebih dari 30 tahun terlepas berbagai cobaan dan rintangan yang dilakukan Zionis Israel,” ujar Efraim Halevy kepada situs berita www.nrg.co.il pada hari Rabu (01/05).
Efraim Halevy melanjutkan, “Kemenangan Hamas dalam agresi tahun 2014 membuktikan bahwa Zionis Israel harus berpikir ulang untuk menghadapi kelompok pejuang tersebut, terlebih Hamas ada di jutaan hati warga Palestina tidak hanya di Jalur Gaza melainkan hingga wilayah Tepi Barat dan al-Quds.”
Di blokade sejak akhir tahun 2007 lalu, Jalur Gaza menjadi saksi ketabahan dan kesabaran pejuang-pejuang Palestina dalam menghadapi penjajah Zionis Israel ditengah kesibukan masing-masing dunia Arab dan umat Muslim di seluruh dunia. (Aljazeera/Ram)

Yahudi AS Paksa Israel Ambil Alih 
‘Solusi Dua-Negara’

Kamis, 2 Juni 2016 - 09:45 WIB
RAKYAT Palestina seringkali dituduh sebagai hambatan utama tercapainya ‘Perdamaian’ di Timur-Tengah, namun sebuah inisiatif baru oleh satu kelompok Yahudi yang paling berpengaruh di Amerika mungkin hanya membuktikan sebaliknya pekan ini.
Selama beberapa dekade, sejumlah politisi Barat telah berbicara mengenai solusi dua-negara (two-state solution). Solusi yang sudah menjadi buah bibir di luar Israel tapi tak pernah dianggap serius di dalam negara Zionis itu sendiri.
Sekarang, tiba-tiba, tampaknya Tel Aviv ingin merangkul “dua negara” dan telah mengirimkan perintah ke kedutaan besar mereka, sejawat di kampus-kampus universitas dan mereka yang berada di dalam institusi lainnya secara jauh dan luas untuk mempromosikan gagasan bahwa Israel ingin membicarakan tentang ‘Perdamaian’ dua negara.
Yiftah Curiel, kepala operasi media di Kedutaan Besar Israel di London, misalnya, dikirim ke Oxford pekan lalu untuk memberikan pendapat tentang nilai-nilai dan realitas dari solusi dua negara selama Debat Persatuan (Union Debate) di universitas bergengsi itu mengenai kelangsungan solusi tersebut.
Chutzpah adalah sebuah kata ekspresif Yiddi (bahasa yang digunakan Yahudi Eropa) yang berasal dari bahasa Ibrani “ḥutspâ“; Saya tidak yakin bahwa ada kata seperti itu dalam bahasa Inggris yang benar-benar dapat menyampaikan keberanian dari pemerintah Israel. Dalam hal ini, oleh karena itu, kita harus tetap dengan chutzpah, untuk mendeskripsikan dengan tepat kinerja Curiel ini.
Kolumnis dan wartawan kebangsaan Israel, Gideon Levy, yang mengikuti jalannya perdebatan tersebut, merespon dengan kecut, “Apa Anda paham? Israel mengklaim dirinya mendukung dua negara – mungkin karena Israel sudah sadar kalau solusi dua negara tidak lagi bisa berjalan.” Dia bertanya, apa yang  mencegah Israel menerapkan solusi ini selama 50 tahun atau lebih penjajahan? “Dan bagaimana bisa perwakilan resmi dari negara -yang tidak pernah berhenti membangun lebih banyak dan lebih banyak lagi pemukiman (Israel), seluruh tujuan yang dimaksudkan untuk menggagalkan solusi dua negara- berani bilang Israel berkeinginan membagi tanahnya?
Menulis di media Haaretz, Levy mengaku: “Tapi chutzpah Israel tidak mengenal batas, dan begitu juga dengan keberanian dari para propagandisnya.”
Jadi, ada apa di balik antusiasme baru pemerintah Israel ini terhadap solusi dua negara? Jawabannya, mungkin, terletak ribuan mil jauhnya di Amerika, di mana dua dokumen kerja yang terpisah akan segera diterbitkan dalam upaya untuk mempersiapkan tanah untuk solusi dua-negara yang akan memuaskan tuntutan keamanan Israel.
Proposal tersebut akan mencakup RELOKASI pemukim; PEMBEKUAN pemukiman ilegal; KEDAULATAN untuk Palestina; Keberangkatan RADIKAL dari kebijakan pemerintah sayap kanan Israel; dan MEMPERSIAPKAN presiden AS berikutnya untuk mendesak pembicaraan damai.
Berita mengenai rencana-rencana berani tersebut tentunya menjadi tamparan keras bagi Benjamin Netanyahu, karena ia telah membuatnya cukup jelas untuk pemerintahan Obama – serta pihak lain yang berkepentingan, seperti PBB, Inggris dan Prancis – bahwa ia tidak akan mentolerir gangguan luar.
Sementara memukul mundur kemajuan Washington telah relatif mudah sampai sekarang, bahkan Netanyahu tampaknya telah sadar dengan kenyataan bahwa baik Donald Trump atau Hillary Clinton cenderung mentolerir perlakuan kasar yang sama.
Kedua calon presiden potensial itu telah membuatnya cukup jelas bahwa mereka memiliki ambisi untuk membawa ‘Perdamaian’ ke wilayah tersebut dengan mengakhiri konflik Palestina-Israel, meskipun Netanyahu dan para pendahulunya telah berhasil membuat banyak presiden AS menyingkir selama masa jabatannya.
Meskipun begitu, geliat terbaru dalam semua hal ini berbeda. Apa yang akan mengguncang perdana menteri Israel adalah bahwa inisiatif terbaru ini sedang didorong oleh beberapa organisasi independen dan berpengaruh yang selalu memastikan bahwa mereka berada di halaman yang sama dengan Tel Aviv – sampai sekarang. Dalam sebuah langkah yang langka, sepertinya Forum Kebijakan Israel (Israel Policy Forum ) yang memiliki pengaruh yang besar telah menguasai proyek Zionis, meninggalkan Netanyahu terisolasi atau harus bermain mengejar ketinggalan. Setelah retorika Curiel ini di Oxford Union pada Kamis (26/05/2016) lalu, menampakkan seolah-olah Tel Aviv panik hingga akhir nanti.
Israel Policy Forum, dikatakan khawatir pada perkembangan dan ketidakpastian pemerintah sayap kanan Netanyahu, dan sekarang sedang bekerja dengan sejumlah pensiunan militer dan para pejabat keamanan Israel begitu juga wadah pemikir (think tank) Washington. Penyandang dana IPF, Alan Solow, komandan Keamanan Israel dan the Centre for a New American Security, wadah pemikir kebijakan luar negeri yang didukung oleh banyak politik kelas berat termasuk mantan Senator Joe Lieberman, akan mengungkap rencana dua-negara mereka pekan ini.
Sementara sayap kanan Komite Urusan Publik Amerika-Israel (AIPAC – atau biasa disebut sebagai lobi utama pro-Israel di AS) juga mempromosikan gagasan pembicaraan ‘perdamaian’, AIPAC tidak akan pernah mendorong inisiatif apapun tanpa lampu hijau dari Tel Aviv. Begitu juga tidak akan mempublikasikan rencana yang menunjukkan seperti apa bentuk solusi dua negara tanpa berkonsultasi dengan Israel terlebih dahulu, tapi itu adalah persis apa yang kelompok-kelompok AS lainnya akan lakukan beberapa hari nanti.
“Perdebatan mengenai masa depan Israel tidak terjadi di Israel,” komentar Gideon Levy setelah acara Oxford itu. “(Perdebatan) itu terjadi di mana-mana kecuali di Israel. Israel tidak berurusan dengan masa depan – (Israel) berurusan dengan waktu di masa sekarang dan, terutama, masa lalu. Orang tidak membicarakan masa depan di sini.”
Inisiatif baru di Washington ini, pernah dianggap oleh banyak pihak akan menjadi dibawah kependudukan politik Israel sementara Palestina sendiri menderita di bawah kependudukan militernya, kemungkinan mengubah narsisme Tel Aviv. Namun, jika Israel dan sayap kanan mereka, Perdana Menteri Netanyahu kembali ke posisi asal mereka, maka negara Zionis akan dianggap sebagai hambatan nyata untuk ‘perdamaian’ tersebut, hal yang telah diketahui oleh Palestina dan pendukung mereka selama ini. Ia akan mengambil lebih banyakchutzpah Zionis dari biasanya untuk keluar dari lubang itu.*
Yvonne Ridley, jurnalis Inggris yang pernah ketangkap Taliban dan memeluk Islam. Artikel dimuat di middleeastmonitor.com. Diterjemahkan Karina Chaffinch


Nakba, Duka Rakyat Palestina Pasca 1948