Berakhirnya Perang
Salib tidak berarti dendam Barat (Kristen) terhadap Islam dan umatnya berakhir
begitu saja. Dendam kesumat yang berkepanjangan itu akhirnya dapat mereka
lampiaskan ketika Eropa (Barat) melalui Columbus dapat mengetahui dan membuka
pintu jalur perjalanan dan perdagangan ke dunia Timur dan dunia Islam.
Dengan dalih mencari rempah-rempah, mereka akhirnya melakukan penjajahan
terhadap dunia Timur pada umumnya dan Islam pada khususnya. Selain membawa
panji-panji gold (emas)
dan glory (kebanggaan),
mereka pun mengibarkan panjigospel (penyebaran Bibel), dengan tujuan
utama menyebarkan berita Bibel dan sekaligus mengkristenkan dunia Islam serta
menenggelamkan al-Islam ke
dasar panggung kehidupan manusia. Bagi dunia Timur dan Islam, misi ini bukan
membawa glory,
tetapi justru gory (berlumuran
darah).
Seiring dengan terjadinya revolusi industri di Eropa, kebutuhan mereka terhadap
sumber energi (minyak bumi) dijadikan alasan untuk melakukan penjajahan era
kedua terhadap negara-negara Islam, yang merupakan daerah penghasil sumber
energi tersebut. Untuk itu, mereka harus mematikan terlebih dahulu ghirah keislaman
di dada setiap umat Islam sehingga perlawanan terhadap mereka dapat padam dan
umat Islam dapat dipecah belah dan dikuasai (divide et impera).
Akhirnya, selain melakukan penjajahan wilayah, mereka pun melakukan penjajahan
budaya, pola berpikir, dan akidah.
Untuk itu semua, mereka melakukan al-ghazwul fikr untuk
melemahkan dan membentuk pemahaman berpikir umat Islam yang sesuai dengan
keinginan mereka. Di antaranya dengan melakukan demonologi Islam. Mereka
mencitrakan Islam sebagai sesuatu yang ditakuti (monster) dan berbahaya bagi
kelangsungan peradaban umat manusia di dunia ini. Mereka meracuni umat Islam dan
umat manusia lainnya dengan anggapan bahwa umat Islam yang berupaya menerapkan
ajaran Islam di dalam kehidupannya adalah kaum fundamentalis, fanatik,
ekstremis, bahkan teroris.
DEMONOLOGI ISLAM BUKAN DISIPLIN ILMU BARU
Istilah demonologi (demonology) masih terasa asing di telinga kita. Ia
bukanlah istilah populer. Istilah tersebut memang jarang sekali digunakan,
bahkan hanya kamus-kamus bahasa Inggris tertentu yang memuat istilah tersebut.
Kamus terkenal, Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily
misalnya, hanya memasukkan kata demonyang berarti (1) setan,
iblis, jin, dan (2) orang yang keranjingan tentang sesuatu.
Istilah demonology dapat
ditemukan dalam The
Concise Standard English Dictionary karya Collins Concise terbitan
Glasgow & London. Dalam kamus tersebut, demonology diartikan
sebagai study
of demons (studi
tentang setan, iblis, atau hantu). Kata demon-nya sendiri diartikan
sebagai a
derail; a person of preternatural cruelty or evil character (setan;
seseorang yang kekejamannya di luar batas kewajaran atau sifat-sifat jahat).
Arti lebih lengkap tentang demonology dapat
ditemukan pada Merriam
Webster's Collegiate Dictionary. Disebutkan,demonology berarti
(1) the
study of demons or evil spirits (studi tentang setan atau semangat
kejahatan), (2) belief
in demons: a doctrine of evil spirits (kepercayaan kepada setan: doktrin
tentang semangat kejahatan), dan (3) a catalog of enemies (daftar
musuh).
Untuk memahami atau memakai istilah demonologi secara konteks dan faktual, kita
dapat merujuk kepada buku Noam Chomsky, Pirates and Emperor: International
Terrorism in The Real World. Hamid Basyaib -penerjemah buku tersebut ke
dalam bahasa Indonesia- mengartikan istilah "demonologi" sebagai
'perekayasaan sistematis untuk menempatkan sesuatu agar ia dipandang sebagai
ancaman yang sangat menakutkan dan karenanya ia harus dimusuhi, dijauhi, dan
bahkan dibasmi.'
Dalam bukunya, Chomsky menggunakan istilah demonologi ketika membahas kasus
Libya di bawah kepemimpinan Muammar Qaddafi. Di bawah judul "Libya dalam
Demonologi Amerika Serikat", dalam buku tersebut, Chomsky menggambarkan
bagaimana AS -dengan dukungan media massa internasional yang dikendalikannya-
barhasil menggiring opini dunia untuk memandang Libya (Qaddafi) sebagai
"momok bengis terorisme". Libya digambarkan sebagai "sponsor
terorisme internasional" dan model utama bagi sebuah "negara
teroris". Contoh kasus lain demonologi adalah perlakuan AS terhadap Irak
di bawah kepemimpinan Saddam Hussein. Sejak Krisis Teluk II (1991) akibat
invasi Irak ke Kuwait (Agustus 1990), AS tidak henti-hentinya merekayasa agar
Irak dipandang dunia sebagai musuh bersama yang berbahaya, negara teroris,
agresor, dan karenanya harus dimusuhi dunia, dikucilkan, dihukum, dan
diperangi.
Dalam dunia ilmu komunikasi, demonologi barangkali dapat dimasukkan ke dalam
wacana teori penjulukan (labelling theory). Teori tersebut menyatakan
bahwa proses penjulukan dapat sedemikian hebat sehingga korban-korban
misinterpretasi ini tidak dapat menahan pengaruhnya.
Dari uraian di atas, jelas kiranya yang dimaksudkan demonologi bukanlah
disiplin ilmu baru. Ia bukanlah "ilmu tentang setan atau hantu" -dari
akar kata demon dan logos-
seperti halnya psikologi, sosiologi, farmakologi, dan lain-lain. Istilah
demonologi dimaksudkan sebagai penyederhanaan kata bagi sebuah upaya sistematis
untuk menggambarkan sesuatu sebagai hal menakutkan -layaknya setan atau hantu-
sehingga harus dimusuhi dan diperangi dengan dukungan media massa.
Dalam hal "demonologi Islam" yang mengacu kepada pengertian asli demon dan demonology,
kita dapat mengartikannya sebagai pengkajian tentang "penyetanan
Islam" atau "penghatuan Islam", yakni penggambaran atau
pencitraan Islam sebagai demon (setan,
iblis, atau hantu) yang jahat (evil) dan kejam (cruel). Adapun
jika merujuk kepada pengertian demonologi dari Hamid Basyaib di atas, kita
adapat mendefinisikan demonologi Islam sebagai perekayasaan
sistematis untuk menempatkan Islam dan umatnya agar dipandang sebagai ancaman
yang sangat menakutkan. Hal itu dilakukan oleh pihak Barat (kaum Zionis
Yahudi dan Salibis) yang memandang Islam sebagai ancaman bagi kepentingan
mereka. Demonologi Islam menjadi bagian dari strategi Barat untuk meredam
kekuatan Islam, yang mereka sebut sebagai The Green Menace (Bahaya
Hijau).
Demonologi Islam yang sasarannya bukan saja masyarakat Barat melainkan juga
masyarakat Islam sendiri agar mereka menjauhi ajaran agamanya ini, juga
merupakan bagian dari apa yang disebut Anwar al-Jundy sebagai "pembaratan
di dunia Islam". Pembaratan dalam pengertiannya yang paling luas berarti
mendorong kaum Muslim dan bangsa Arab untuk menerima pemikiran-pemikiran Barat,
menanamkan prinsip-prinsip pendidikan Barat dalam jiwa kaum Muslim, sehingga
mereka tumbuh dalam kehidupan dan pemikiran Barat dan nilai-nilai keislaman
menjadi kering dalam jiwa mereka.
Proses demonologi itu berlangsung melalui pencitraan negatif tentang Islam dan
para pejuangnya, melalui penjulukan-penjulukan "fundamentalisme
Islam" (Islamic Fundamentalism), "terorisme Islam" (Islamic
Terrorism), dan "bom Islam" (Islamic Bomb), yang
dipopulerkan media massa. Dengan cara itu, Barat pun berupaya menenggelamkan
citra Islam sebagai rahmatan
lil 'alamin dan
sistem hidup (way of life) terbaik bagi umat manusia, membuat masyarakat
dunia memusuhi dan memerangi Islam (menumbuhkan Islamophobia -ketakutan
terhadap Islam), sekaligus mencegah dan melindas isu Kebangkitan Islam (The
Revival of Islam).
Menurut Noam Chomsky yang ahli linguistik terkemuka dari MIT (Massachussetts
Institute of Technology) AS, pemburukan citra Islam adalah bagian dari upaya
Barat -khususnya negara adikuasa Amerika Serikat- menata dunia menurut
kepentingan mereka. Barat mengklaim diri sebagai pemegang supremasi kebenaran,
sedangkan semua yang mengancam kepentingannya -dalam hal ini Islam atau
komunitas Islam- atau bahkan yang tidak bersepakat dengannya dianggap berada di
jalan yang sesat. Media massa sekadar sarana pembentuk makna. Kesan buruk
mengenai Islam perlu diciptakan agar penindasan Islam dapat dilakukan dengan
persetujuan khalayak.
Jadi, terbentuknya opini publik (public opinion) tentang bahayanya Islam
atau Islam sebagai ancaman akibat pemburukan citra Islam tersebut, dapat
memberikan semacama legitimasi dan justifikasi bagi Barat dan antek-anteknya
untuk membasmi siapa saja dan kelompok apa saja yang mengusung bendera Islam
dalam perjuangan politiknya. Bahkan, serangan yang tadinya hanya dialamatkan
kepada -yang Barat sebut sebagai- ekstremis Muslim dengan mudah berubah menjadi
serangan terhadap seluruh umat Islam.
Umumnya, pembasmian kekuatan Islam itu dilakukan dengan pembubaran organisasi
pergerakan Islam, penangkapan dan pemenjaraan para aktivisnya, membunuh atau
menghukum mati para tokoh terasnya. Korban-korban atau objek-objek utama
demonologi adalah sebagai berikut:
Pertama, orang-orang
atau kelompok/organisasi orang Muslim yang berjuang untuk menegakkan syiar
Islam di bumi ini.
Kedua, rezim
atau pemerintahan negara mana saja yang berani menentang hegemoni Barat dalam
percaturan sosial, politik, dan ekonomi dunia.
Ketiga, para
aktivis Muslim yang berjuang, baik atas nama Islam maupun atas nama komunitas
Muslim, di pentas dunia menentang kezaliman Barat dan antek-anteknya.
Mereka dicitrakan sebagai fundamentalis dan teroris. Amerika Serikat, menurut
Noam Chomsky dalam tulisannya yang lain bahkan telah memanfaatkan terorisme
sebagai instrumen kebijakan standar untuk memukul atau menindas lawan-lawannya
dari kalangan Islam. Dengan alasan "memerangi terorisme", AS dan
rezim-rezim sekutunya di berbagai negara merasa leluasa dan "berada di
jalan yang benar" ketika membasmi gerakan-gerakan Islam penentangnya yang
mereka sebut "kelompok fundamentalis Islam".
MOTIF DEMONOLOGI: PERSEPSI ANCAMAN "BAHAYA HIJAU"
The Green Menace! Bahaya Hijau! Demikian istilah yang
muncul ke permukaan ketika kaum Zionis Yahudi, Salibis, atau negara-negara
Barat khususnya Amerika Serikat melihat kekuatan Islam dengan maraknya
aktivitas gerakan Islam di berbagai belahan dunia, sebagai ancaman bagi
kepentingan mereka. "Bahaya Hijau" digunakan sebagai pengganti
"Bahaya Merah" (komunisme Sovyet) yang telah "kalah" dalam
Perang Dingin (The Cold War).
Persepsi ancaman Islam yang menyebabkan Barat memusuhi dan memerangi Islam dan
kaum Muslim sebenarnya bukan hal baru. Khususnya sejak terjadinya Perang Salib,
Barat yang notabene kaum Zionis, Salibis, dan Sekularis, melihat betapa Islam
merupakan kekuatan dahsyat yang dapat menguasai dunia sekaligus mengancam
kepentingan mereka, sebagaimana telah dibuktikan sejak masa Khulafaur-Rasyidin hingga
Khilafah Islam Utsmaniyah Turki. Karena itulah, Barat senantiasa merancang dan
melaksanakan berbagai upaya untuk melemahkan Islam dan para pembelanya, antara
lain melalui invasi pemikiran dan kebudayaan serta demonologi Islam, karena
mereka menyadari tidak akan dapat menguasai dunia Islam dengan jalan peperangan
militer.
Ketika kita akan memasuki ambang milenium ketiga Masehi, banyak futuris dan
pengamat melontarkan pemikirannya tentang apa yang bakal terjadi pada masa
mendatang atau bagaimana wajah dunia pada usianya menapaki keseribu tahun
ketiga itu, dengan warna utama benturan kepentingan yang kian keras antara
Barat dan Islam. Akbar S. Ahmed misalnya, mengatakan bahwa di ambang milenium
mendatang, dua peradaban global tampaknya akan berhadapan dalam suatu
konfrontasi kompleks di segala tingkat aktivitas manusia. Peradaban yang satu
berpangkal di negara-negara Muslim (dunia Islam), sedangkan yang lain di dunia
Barat (terutama Amerika Serikat dan Eropa Barat). "Para pengamat telah
melihat konfrontasi ini sebagai suatu malapetaka dan menyebutnya perang suci
terakhir," tulis Ahmed.
Apa yang dikemukakan antropolog Muslim asal Pakistan itu tentu saja senada
dengan atau mengingatkan kita kepada tesis Samuel E. Huntington yang
menghebohkan dan diekspos berbagai media massa, yakni tentang "benturan
peradaban" (clash of civilizations). Menurut pakar politik dari
Harvard University AS itu, pada masa depan akan terjadi konflik peradaban
antara Barat dan Islam yang beraliansi dengan Konfusianisme di Asia.
Isu konflik Barat-Islam memang menghangat sejak kolapsnya komunisme (Uni
Sovyet). Pasca-Perang Dingin, dunia Barat melihat Islam sebagai kekuatan baru
yang menjadi ancaman mereka. Islam adalah The Green Menace (Bahaya
Hijau) sekaligus the
next enemy (musuh
berikutnya) bagi Barat. Terlebih pasca-Perang Dingin kian marak bermunculan
fenomena kebangkitan Islam berupa peningkatan intensitas dan aktivitas gerakan
(politik) Islam di berbagai belahan dunia Islam. Ada pendapat bahwa semangat
Perang Salib kembali berkobar. Memang, "Adalah kesalahan fatal bila
menyangka semangat Perang Salib telah punah," kata Murad W. Hoffman.
A. SUMBER PERMUSUHAN
Apa yang menjadi sumber permusuhan Barat terhadap Islam dewasa ini, sehingga
mereka mengerahkan segala upaya dan tipu daya untuk menghancurkan Islam dan
kaum Muslim? Pada garis besarnya ada dua sebab.
1. Dendam Historis
Selama berabad-abad, Barat takluk di bawah hegemoni Khilafah Islam. Kebencian
kaum Kristen Barat pernah meledak dalam bentuk pengobaran api perang terhadap
umat Islam, yaitu dengan terjadinya Perang Salib (1096-1291 M) yang bertujuan
untuk menghancurkan Islam. Akan tetapi, melalui peperangan tersebut umat Islam
gagal dilumpuhkan, bahkan kemenangan lebih banyak diraih pasukan Islam. Trauma
perang tersebut berdampak pada tertanamnya rasa antipati dan saling curiga di
kedua belah pihak.
Perang Salib membentuk fondasi pertama dan esensial untuk memantapkan sikap
Eropa (baca: Barat) terhadap Islam. Dendam Perang Salib itu belum padam.
Kebencian dan rasa permusuhan Barat terhadap Islam itu muncul lagi ke permukaan
setelah Perang Dingin berakhir. Hal itu misalnya terungkap lewat ucapan Menteri
Luar Negeri Italia menjelang sebuah persidangan NATO di London, "Benar,
Perang Dingin antara Barat dan Timur (komunis Uni Sovyet) telah berakhir,
tetapi timbul lagi pertarungan baru, yaitu pertarungan antara dunia Barat dan
dunia Islam." Hal itu dipertegas seorang penulis ternama, Adrian Hamilton,
dalam majalah bulanan terbitan London, Observer, edisi 17 Juni 1990, "Bagi
Barat, tidak ada lagi yang mengancam peradaban mereka kecuali kebangkitan Islam
dan gerakan kaum Muslimin yang terdiri atas kaum fundamentalis yang tidak takut
mati sekalipun tidak dipersenjatai peluru-peluru kendali."
Benturan Barat-Islam sendiri terjadi terutama ketika pasukan Islam masuk ke
Eropa melalui Selat Gibraltar. Menurut G. H. Jansen, seorang diplomat Inggris
untuk urusan negeri-negeri Timur, setelah dibuat gentar oleh serbuan bala
tentara Islam ke Perancis, kaum Kristen (Barat) menjadi benci, menyalahgunakan,
dan menyerbu Islam dan dunia Islam selama dua belas abad berikitnya. Menurut
Jansen, konfrontasi Kristen-Islam dimulai di bidang agama dan spiritual, yang
karenanya Barat memprogram kristenisasi di dunia Islam.
2. Kesalahpahaman Masyarakat Barat
Masyarakat Barat umumnya melakukan kesalahan dalam memahami Islam. Hal itu
terjadi karena masyarakat Barat umumnya mempelajari dan memahami Islam dari
buku-buku orientalis, sedangkan para orientalis mengkaji Islam dengan tujuan
untuk menimbulkan miskonsepsi terhadap Islam atau menyelewengkan ajaran Islam,
selain adanya motif politis yaitu untuk mengetahui rahasia kekuatan umat Islam
yang tidak lepas dari ambisi imperialis Barat untuk menguasai dunia Islam. Umumnya,
ketika berbicara tentang Islam, pandangan dan analisa para orientalis tidak
objektif dan tidak fair,
sudah bercampur dengan subjektivisme dan kepentingan tertentu. Karenanya,
pandangan mereka bias dan berat sebelah. Hasilnya adalah kesalahpahaman terhadap
Islam di dunia Barat. Citra Islam yang tampak di mata orang-orang Barat adalah
kekejaman, kekerasan, fanatisme, kebencian, keterbelakangan, dan entah apa
lagi.
Hal itu diperparah dengan sajian media massa mereka yang menampilkan Islam
tidak secara utuh. Bahkan, Islam yang mereka kenalkan bukan "Islam
kebanyakan" (Sunni), melainkan Islam Syi'ah (Iran) yang hanya dianut oleh
10% kaum Muslim dunia. "Syi'ah menjadi perwakilan Islam di media
Barat," tulis Akbar S. Ahmed. "Karena ketakutan media Amerika,"
kata Ahmed, "citra Iran menjadi citra Islam di seluruh dunia. Citra ini
antara lain memperlihatkan para mullah bermata kosong yang berteriak-teriak
atau kaum wanita denga tubuh tertutup dari kepala hingga ujung jari kaki, atau
para pemuda memegang senapan Kalashnikof."
Kekeliruan Barat dalam memahami Islam yang lain adalah menyamakan Islam dengan
perilaku individu umat Islam. Misalnya, ketika ada orang atau sekelompok orang
Islam yang melakukan kekerasan, cap "teroris" pun dilekatkan pada
Islam tanpa mau tahu mengapa aksi kekerasan itu terjadi. Karenanya, populerlah
istilah "terorisme Islam". Bagi Barat, Islam adalah genderang perang
Khomeini dan Qaddafi terhadap Amerika, agresi Saddam terhadap Kuwait,
pembunuhan Sadat, "bom bunuh diri" aktivis Hamas, dan sebagainya.
Kesalahpahaman tersebut diperparah lagi oleh gencarnya serangan propaganda
Barat melalui berbagai media massanya untuk memojokkan agama dan umat Islam.
Dalam pengemasan berita tentang umat Islam, Barat kerap mengekspos cap-cap
seperti "fundamentalisme", "militanisme",
"ekstremisme", "radikalisme", dan bahkan
"terorisme" yang arahnya jelas: untuk mendiskreditkan Islam.
Fobi Islam (Islamophobia, ketakutan terhadap Islam) adalah produk utama
propaganda media massa Barat. Parahnya, fobi Islam itu tidak saja melanda
masyarakat Barat, tetapi juga sebagian (besar) umat Islam. Mereka -ini sebuah
ironi- takut jika syariat Islam yang notabene ajaran agamanya sendiri, menjadi
landasan bagi pembentukan sistem pemerintahan negara. Mereka merasa ngeri bila
hukum Islam diberlakukan karena frame yang
ada di kepala mereka adalah hukum rajam bagi pezina, hukum cambuk bagi pemabuk,
hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum mati bagi pembunuh -isu-isu hukum
Islam yang menjadi bahan propaganda Barat untuk menakutkan umat Islam dari
ajaran agamanya dan menumbuhkan fobi Islam.
Revolusi Islam Iran (1979) umumnya dijadikan referensi: jika kekuatan Islam
naik ke puncak kekuasaan di suatu negara, pemerintahan negara itu akan
menerapkan syariat Islam dan anti-Barat, khususnya anti-Amerika. Adapun
kepentingan Barat di dunia Islam sangat vital. Dunia Islam bagi Barat, yang
terbentang dari Maroko hingga Merauke, letak geografisnya sangat strategis bagi
kepentingan politik dan militer. Kekayaan alamnya, khususnya minyak, merupakan
kebutuhan vital bagi industri-industri Barat. Bisa dikatakan bahwa roda
perekonomian negara-negara Barat sangat bergantung pada minyak yang ada di
sebagian besar negara-negara Islam. Timur Tengah, sebagai tempat kelahiran dan
"pusat Islam", merupakan pemasok terbesar kebutuhan minyak dunia.
Itulah salah satu alasan mengapa Barat merasa "wajib" menaklukkan
dunia Islam.
B. BENTUK PERMUSUHAN
Pada awal tahun 1990-an atau pasca-Perang Dingin, kita menyaksikan "Perang
Salib baru" telah terjadi atau kian kentara. Dapat pula hal itu dikatakan
sebagai "Perang Dingin baru" -Barat versus Islam. Bentuknya, pertama,
Barat yang diwakili/dipimpin Amerika Serikat menunjukkan permusuhan atau sikap
tidak bersahabat terhadap sejumlah negara Muslim (Irak, Iran, Sudan, dan Libya)
yang tidak mau tunduk pada kepentingan atau kemauannya. Kedua, Barat/AS
membiarkan -kalau tidak dikatakan "membantu" dan
"mendalangi"- terjadinya agresi, pembunuhan, dan terorisme terhadap
umat Islam.
Kasus paling menonjol terjadi di satu-satunya negara Eropa yang berpenduduk
mayoritas beragama Islam, Bosnia-Herzegovina. Di sana, etnis Katolik Serbia
yang didukung -atau setidaknya dibiarkan- negara-negara Kristen Barat
"membersihkan" komunitas Muslim Bosnia (Muslim cleansing).
Dalam memerangi Muslim Bosnia, orang-orang Serbia meneriakkan panji-panji
Perang Salib. "Perang agama kembali tampil ke pentas drama dunia,"
kata Karen Amstrong. "Bosnia bukan merupakan akhir pertunjukkan (perang
agama) ini, namun ia adalah anak Perang Salib," timpal Akbar S. Ahmed.
Kita juga melihat Barat "bermain" dalam kasus Aljazair dan Turki.
Barat -diwakili Perancis- berada di belakang penjegalan kemenangan partai Islam
FIS pada pemilu nasional Desember 1991 oleh militer Aljazair yang berbuntut
krisis berkepanjangan itu. FIS dicap Barat sebagai "partai fundamentalis
Muslim" dan karenanya ia berbahaya bagi kepentingan Barat. Barat juga
berdiri di belakang militer dan kaum Kemalis-sekuler yang menghambat laju
kejayaan partai Islam Rafah (Welfare Party) Turki. Kemenangan Rafah pada
pemilu nasional Desember 1995 dibuat tidak berarti karena atas desakan Barat
kubu sekuler "bersatu" untuk tidak mau diajak berkoalisi bagi
pembentukan pemerintahan. Kalaupun Necmettin Erbakan, pemimpin Rafah, akhirnya
merasakan kursi Perdana Menteri atau berhasil membentuk pemerintahan (Juni
1996), usia jabatannya tidak sampai setahun. Ia mengundurkan diri karena
mendapat tekanan kuat dari militer Turki yang mengklaim diri sebagai
"penjaga warisan sekularisme Turki modern".
Tentu saja, salah satu front besar "Perang Dingin baru" itu masih
pada masalah Palestina. langkah-langkah Israel tetap mendapat dukungan Barat
(AS) ketika negara Zionis Yahudi itu sekuat tenaga menghalangi terbentuknya
negara Palestina merdeka dan membasmi gerakan-gerakan Islam (Hamas, Jihad
Islam, juga Hizbullah di Lebanon) yang terus berjuang dengan membawa bendera
Islam.
Bentuk-bentuk permusuhan Barat terhadap Islam menurut Murad W. Hoffman meliputi
tiga hal berikut:
Pertama, penyia-nyiaan.
Barat bersikap masa bodoh terhadap keberhasilan peradaban umat Islam yang
mengagumkan di Andalusia dari abad ke-8 hingga abad ke-15. Tokoh-tokoh ilmuwan
Muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Kind, ar-Razi, al-Farabi, dan
sebagainya diabaikan dalam penulisan sejarah dunia.
Kedua, penerapan double
standard, misalnya pada penggunaan istilah "fanatik Muslim",
namun tidak keluar istilah "fanatik Katolik" atau "fanatik
sosialis". Barat menisbatkan tindakan Saddam Hussein dengan Islam, namun
tidak ada penisbatan kejahatan Hitler dengan Kristen atau Katolik. Barat, atas
nama demokrasi, membela penguasa Haiti yang terpilih secara demokratis, namun
diam ketika FIS yang juga menang dalam pemilu di Aljazair, diberangus junta
militer. Barat juga "diam" dalam kasus Bosnia dan Palestina atau
ketika Rusia menginvasi Muslim Chechnya. Barat pun bungkam dengan jargon
HAM-nya atas kasus Kashmir, Moro, Pattani, dan lain-lain, namun
"lancang" meneror Indonesia dalam kasus Timor Timur yang mayoritas
berpenduduk umat Katolik.
Dan ketiga, permusuhan
ateisme-rasialisme. Sekarang ini berkembang ketakutan orang-orang Eropa akan
berdirinya pemerintahan Islam, takut bahwa ia akan tidak sesuai dengan
pemerintahan sekuler di Barat. Persangkaan mereka adalah salah sekali karena
pemerintahan Barat adalah Republik Kristen Demokrat.
C. STRATEGI PENAKLUKKAN
Secara umum, sekurang-kurangnya ada empat strategi yang dilakukan Barat -dengan
kepemimpinan AS- untuk menaklukkan dunia Islam atau negara-negara Islam
(berpenduduk mayoritas Muslim).
Pertama, menciptakan
kondisi ketergantungan. Program bantuan luar negeri (foreign aid),
seperti bantuan ekonomi, tenaga ahli, militer, dan pemberian pinjaman (utang
luar negeri), yang mengalir deras dari negara-negara Barat ke negara-negara
Islam, merupakan bagian dari penciptaan kondisi ketergantungan itu. Dengan
"ikatan" bantuan tersebut, Barat dapat mengendalikan kebijakan
negara-negara penerima bantuan atau pinjamannya, atau paling tidak
"menguasai" elite-elite politiknya agar melayani kepentingan mereka
atau minimal tidak memusuhi mereka.
Suatu negara yang menerima bantuan dari negara lain tentu saja harus
"tunduk" dan berada dalam pengaruh pemberi bantuan tersebut, sehingga
setiap keputusan politik negara penerima bantuan harus disesuaikan, atau paling
tidak harus mendapat "restu" dari negara pemberi bantuan. Alasan
pemberian bantuan oleh suatu negara, terutama karena tercakupself-interest politik,
strategi, dan ekonomi, sekalipun pada umumnya alasan itu berupa motivasi moral
atau bantuan kemanusiaan.
Secara kelembagaan, Barat/AS menggunakan IMF (International Monetary Fund)
sebagai sarana penciptaan kondisi ketergantungan tersebut. Bantuan yang
dikucurkan IMF ke sebuah negara, seperti dialami Indonesia pada masa krisis
ekonomi, selalu diiringi "pendiktean" kebijakan ekonomi-politik yang
harus dilaksanakan sebagai prasyarat lancarnya kucuran dana. Tentu, kebijakan
tersebut disesuaikan dengan kepentingan Barat dalam kerangka menancapkan kuku
hegemoninya.
Kedua, penanaman
rasa permusuhan dan saling curiga di antara negara-negara Islam (politik pecah
belah, devide
et impera). Persatuan umat Islam adalah hantu menakutkan bagi Barat.
Karenanya, Barat terus berupaya agar umat Islam bermusuhan dan berpecah-belah
bahkan bila perlu berperang satu sama lain.
Strategi ini, misalnya, terungkap dalam sebuah memorandum orientalis yang cukup
akrab di telinga kita, Snouck Hurgronje, "Tidak ada faedahnya kita
memerangi kaum Muslimin atau berkonfrontasi untuk menghancurkan Islam dengan
kekuatan senjata. Itu semua bisa kita lakukan dengan mengadu domba mereka dari
dalam dengan menanamkan perselisihan agama, pemikiran, dan mazhab, dan
menumbuhkan keraguan kaum Muslimin pada kebersihan pemimpin-pemimpin
mereka."
Kawasan Islam yang paling sering menjadi korban strategi ini adalah Timur
Tengah (dunia Arab). Perang Irak-Iran, Irak-Kuwait, ketegangan Arab Saudi-Irak
dan Aran Saudi-Iran, konflik perbatasan Arab Saudi-Qatar dan Irak-UEA, konflik
Mesir-Sudan dan Taliban-Iran, dan sebagainya adalah contoh keberhasilannya
-setidaknya kalau memang tidak didalangi Barat, ia menjadi sasaran empuk
strategi Barat ini. Penciptaan dikotomi "Islam/Muslim moderat" dan
"Islam/Muslim radikal" atau "Islam/Muslim garis keras" pun
termasuk bagian dari politik pecah belah untuk melemahkan kekuatan umat Islam.
Umumnya, kelompok "moderat" didekati atau mendekati dan dibantu
Barat. Sebaliknya, kelompok "radikal" dimusuhi.
Ketiga, pencegahan
program persenjataan nuklir di negara-negara Islam, tidak saja untuk
melanggengkan supremasi Barat dalam persenjataan nuklir, tapi juga agar
negara-negara Islam lemah secara militer. Barat bereaksi keras jika ada negara
Islam yang memprogram pengembangan kemampuan nuklirnya. Lihat saja bagaimana AS
mengotaki penggulingan Zulfikar Bhutto (1977) karena pemimpin Pakistan ini
merencanakan pembangunan proyek nuklir, mendiamkan Israel menyerang pusat
nuklir Irak (1981), melakukan demonologi terhadap Pakistan dengan mencapnya
sebagai negara "Bom Islam" (Islamic Bomb) ketika ia diduga
memiliki senjata nuklir, menolak dan mencegah kerjasama tenaga nuklir antara
Iran dan Cina sekalipun dalam pengawasan IAIE (Dewan Energi Atom
Internasional), dan lain-lain. Sebaliknya, Amerika (Barat) mendukung dan
mendiamkan Israel (musuh Arab/Islam) atau India (musuh Pakistan) memiliki
kemampuan nuklir.
Keempat, peredaman
dan pembasmian "kekuatan Islam", khususnya gerakan-gerakan Islam (harakah
Islamiyah) yang merupakan oposisi terdepan terhadap hegemoni Barat.
Terlebih, harakah
Islamiyah yang
berjuang demi tegaknya syariat Islam di dunia ini umumnya berkarakater
anti-Barat atau anti-AS. Barat habis-habisan membantu Israel menumpas Hamas dan
Jihad Islam di Palestina serta Hizbullah di Lebanon.
Strategi ini juga dilaksanakan dengan taktik menciptakan dan mendukung
pemerintahan tirani, diktator, dan otoriter di negara-negara Muslim. Tiranisme,
diktatorianisme, dan otoriterianisme yang dalam kamus Barat merupakan musuh
demokrasi itu, diberlakukan jika sebuah rezim atau penguasa di negara Muslim
"bersahabat" dengan Barat dan memusuhi gerakan-gerakan Islam.
Demokrasi atau demokratisasi yang menjadi jargon Barat selama ini, hanya
berlaku di sebuah negara jika hal itu menguntungkan mereka atau tidak
menimbulkan ancaman bagi mereka. Demokrasi tidak berlaku di dunia Islam jika
ternyata hanya memunculkan kekuatan Islam atau melahirkan sebuah pemerintahan
Islam. Sebaliknya, kediktatoran yang mampu memelihara kepentingan Barat harus
didukung.
Tokoh Yahudi Menachem Begin, misalnya, yang membela habis-habisan langkah
Presiden Mesir Anwar Sadat dalam menangkapi para aktivis Ikhwanul Muslimin,
mengatakan bahwa praktek demokrasi harus dilupakan kalau hal itu bersangkutan
dengan kaum Muslimin. Hal senada dikemukakan orientalis berkebangsaan Amerika,
W.C. Smith, "Jika kaum Muslim diberi kebebasan di negerinya sendiri (dunia
Islam) dan hidup di bawah sistem demokrasi (syura), Islam akan mampu
berkuasa di negeri ini. Jalan satu-satunya yang mampu memblokade dan
mendiskualifikasikan masyarakat Islam dan agamanya adalah dengan sistem
pemerintahan diktator."
Karenanya, tidak mengherankan kita, Barat tidak pernah berteriak tentang
demokrasi di negara-negara Muslim Timur Tengah. Mendorong proses demokrasi di
kawasan Islam itu berarti memberikan peluang bagi kemenangan
"fundamentalisme Islam" yang dipandang dapat mengancam kepentingan
Barat.
Tidak mengherankan kita pula, sejumlah pemimpin negara Arab, termasuk para emir
dan raja mampu bertahan lama dan tidak diusik di tampuk kekuasaannya, meskipun
mereka bertindak anti-demokrasi dan melanggar HAM dengan tidak membuat ruang bagi
adanya oposisi dan menindas para aktivis gerakan Islam.
D. GHAZWUL FIKRI
Selain keempat strategi tersebut, kaum kuffar secara
sistematis juga berupaya mengeliminasi Islam supaya tidak berkembang dan
menghantam Islam dari dalam, yang terangkum dalam program al-ghazwul
fikr (penyerbuan
pemikiran).
Menurut Abu Ridha, al-ghazwul
fikr merupakan
bagian tak terpisahkan dari uslub qital (metode
perang) yang bertujuan menjauhkan umat Islam dari agamanya. Ia adalah
penyempurnaan, alternatif, dan penggandaan cara peperangan dan penyerbuan
mereka terhadap dunia Islam. Program al-ghazwul fikr ini
meliputi hal-hal berikut:
Tasykik, yakni
gerakan yang berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan kaum Muslimin
terhadap agamanya, Misalnya, dengan terus menyerang (melecehkan) Al-Qur'an dan
hadits, melecehkan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam,
atau mengampanyekan bahwa hukum Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman.
Tasywih, gerakan
yang berupaya menghilangkan kebanggaan kaum Muslimin terhadap agamanya. Caranya,
memberikan gambaran Islam secara buruk sehingga timbul rasa rendah diri di
kalangan umat Islam. Di sini, mereka melakukan pencitraan negatif tentang agama
dan umat Islam lewat media massa dan lain-lain sehingga terkesan menyeramkan,
kotor, kejam, dan sebagainya.
Tadzwib, yakni
pelarutan budaya dan pemikiran. Di sini, kaum kuffar melakukan
pencampuradukkan antara hak dan batil, antara ajaran Islam dan non-Islam,
sehingga umat Islam kebingungan mendapatkan pedoman hidupnya.
Taghrib, yakni
pembaratan dunia Islam, mendorong umat Islam agar menerima pemikiran dan budaya
Barat, seperti sekularisme, nasionalisme, dan sebagainya. Sekularisme
memisahkan antara urusan keduniaan dan agama (urusan ibadah, akhirat). Isme ini
disusupkan atau dicekokkan Barat ke dunia Islam sehingga umat Islam tidak
memedomani ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan, tetapi hanya pada aspek
ritual seperti shalat dan puasa. Tatanan politik dan ekonomi, misalnya, mengacu
pada konsep Barat (kapitalisme, demokrasi, sosialisme, dan lain-lain).
Nasionalisme merupakan seruan fanatisme kesukuan dan kebangsaan. Akibat
merasuknya paham ini, dunia Islam terkoyak dalam pecahan-pecahan "negara
bangsa" (nation-states). Tak jarang, akibat benturan
"kepentingan nasional" antara umat Islam yang satu dan lainnya,
misalnya Iran-Irak atau Irak-Kuwait, berseteru. Umat tidak lagi merasa
"umat yang satu" (ummatun wahidah) yang disatukan oleh akidah
Islam, sehingga kerjasama dan kesatuan mereka pun rapuh.
Tentu saja, demonologi Islam adalah bagian dari strategi Barat memerangi dan
melumpuhkan Islam dan umatnya. Ia berkaitan erat atau merupakan mata rantai
yang tidak terpisahkan dari keseluruhan strategi dan taktik Barat dalam menghadapi
Islam, khususnya dengan gerakan tasywih dalam
program al-ghazwul
fikr tersebut.
Pada era informasi ini, pelumpuhan kekuatan Islam melalui media massa itu
tampak efektif.
Akan tetapi, kita tetap optimistis, Islam akan tetap eksis. "Saat ini,
tidak ada seorang pun yang berani memprediksikan bahwa Islam akan lenyap.
Bahkan sebaliknya, Islam akan terus berkembang , bahkan meledak," tulis
Hoffman. "Islam tidak akan membiarkan umatnya tertidur seperti tidurnya Ahlul
Kahfi, sebab Islam adalah agama yang dinamis dan hidup. Allah senantiasa
mengutus individu, kelompok, institusi, atau gerakan yang akan membangunkan
umat dari tidurnya dan menghidupkan gerakan Islam. Selain itu, kebangkitan
merupakan naluri umat Islam," timpal Dr. Yusuf Qaradhawi.
AKTOR DEMONOLOGI: DOMINASI YAHUDI ATAS MEDIA MASSA
Sarana utama dan paling efektif yang Barat gunakan untuk melakukan demonologi
Islam -sebagai bagian dari bentuk kebencian, permusuhan, peperangan,
penghambatan, tipu daya, dan pemadaman cahaya Allah (Islam)- adalah media massa
yang mereka kuasai. Demonologi Islam mereka lakukan dengan memunculkan berbagai
penjulukan berkonotasi negatif tentang Islam, sekaligus melakukan disinformasi
dan pemutarbalikan fakta tentang Islam dan aktivitas umatnya.
Adapun yang menjadi "aktor-aktor figuran" demonologi Islam adalah
para wartawan, penulis, atau media massa di dunia Islam sendiri yang secara
langsung ataupun tidak langsung, secara sadar ataupun tidak sadar, dipengaruhi
pola pikir atau cara pandang kaum Zionis-Salibis dalam penyajian berita dan
analisisnya. Mengenai hal itu, Hamilton Gibb dalam sebuah bukunya mengungkapkan
bahwa sebagian besar pemimpin redaksi surat kabar harian di dunia Islam
berhubungan dengan kaum progresif. Karenanya, sebagian besar media itu berada
di bawah pengaruh pandangan-pandangan dan gaya-gaya Barat. Menentukan opini
masyarakat sesuai dengan opini dan pandangan-pandangan yang beredar di Barat.
Barat, atau tepatnya orang-orang Yahudi, jaringan Zionisme Internasional, dan
kaum Salibis, dewasa ini telah menguasai media massa dan arus informasi dunia.
Mereka menguasai era informasi ini dengan segala keunggulan sistem, teknik, dan
media informasinya yang tersebar luas dan menjangkau seluruh dunia. Tentu hal
ini membuat mereka leluasa melakukan demonologi Islam, membentuk opini publik (public
opinion) yang sesuai dengan kepentingan mereka, atau pemutarbalikkan fakta
dalam pemberitaan sehingga menguntungkan mereka sendiri. Sementara itu di pihak
lain, yakni umat Islam, boleh dikatakan tidak memiliki satu media massa pun
yang memadai untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai Islam atau membela
kepentingan agama dan umat Islam.
Dalam dunia komunikasi ada istilah populer, "siapa yang menguasai
informasi, dialah penguasa dunia". Hal senada dengan yang dikemukakan
Ziauddin Sardar bahwa informasi bukan hanya kebutuhan, melainkan juga dapat
menjadi sumber kekuasaan. "Teknologi informasi dapat menjadi alat
terpenting untuk manipulasi dan alat kendali," katanya. Memang telah
menjadi pendapat umum bahwa siapa yang menguasai informasi, dialah penguasa
masa depan, bahwa sumber kekuatan baru masyarakat bukanlah uang di tangan
segelintir orang, melainkan informasi di tangan banyak orang (The new source
of power is not money in the hand of few, but information in the hand of many).
Rupanya, Zionis Yahudi menyadari dan menghayati besar teori tersebut. Mereka
pun mencurahkan perhatian dan upaya khusus untuk menguasai media massa dunia.
Mereka pun merancang strategi, sebagaimana tercantum dalam Protokolat Zionis
XII seperti dikutip dan diulas Dr. Majid Kalilany,
"Peran apakah yang dapat dimainkan oleh media massa akhir-akhir ini?
Salah satu di antaranya adalah untuk membangkitkan opini rakyat yang keliru.
Hal ini dapat membangkitkan emosi rakyat. Kadang juga bermanfaat guna
mengobarkan konfrontasi antar-partai politik, tentunya akan banyak
menguntungkan pihak kita. Apalagi saat mereka sedang bertikai, kesempatan baik
bagi kita untuk mengadu domba. Akan tetapi, dengan media massa, kita juga dapat
memakainya sebagai ajang orang yang tidak mengerti kesemuanya itu. Kita akan
mengendalikan peran media ini dengan sungguh-sungguh. Sastra dan pers adalah
dua kekuatan yang amat berpengaruh. Oleh karena itu, kita akan banyak
menerbitkan buku-buku kita dengan oplah yang besar."
"Kita harus menguasai sepenuhnya peranan penerbitan, tanpa kecuali.
Jika kita buka pintu lebar-lebar kesempatan media massa untuk menyuarakan
maksudnya tanpa pengawasan ketat dari pihak kita, tak ada gunanya sedikit pun
strategi yang telah kita sepakati bersama."
Protocols of Zion tersebut dibuat pada saat
penyelenggaraan Kongres Zionisme International I tahun 1897 yang diprakarsai
Theodore Hertzl -penggagas utama Zionisme- di Kota Paal, Swiss. Jauh sebelum
kongres itu berlangsung, pers di negara-negara Barat telah dikuasai orang-orang
Yahudi. Seperti diberitakan surat kabar Inggris The
Graphic No.
22/Juli 1897, "Pers benua Eropa berada di bawah cengkeraman Yahudi."
Sebelumnya pun, tahun 1896, seorang rabi Yahudi bernama Rashoron, dalam sebuah
pidatonya di Praha menggambarkan perhatian Yahudi yang cukup besar terhadap
media massa. Katanya, "Jika emas merupakan kekuatan kita yang pertama,
pers harus merupakan kekuatan kita yang kedua."
Demikianlah, Zionisme jauh-jauh hari sudah memprogram sebuah imperialisme media
massa untuk mencapai tujuannya, bukan saja untuk mencitrakan bangsa Yahudi
sebagai bangsa yang beradab, cerdas, bersih, dan citra positif lainnya -untuk
menggantikan atau mengubah citra Yahudi sebelumnya yang dekil, kikir, jelek,
busuk, licik, pengecut, pembuat onar, dan sebagainya- tetapi juga untuk
menyerang dan menaklukkan setiap kekuatan yang dianggap sebagai ancaman bagi
mereka, utamanya kekuatan Islam.
Dewasa ini, orang-orang Yahudi telah menguasai link media
massa yang utama, mencakup kantor-kantor berita terkemuka dunia (news agency),
surat kabar (press) dan jaringan TV/radio, industri sinema dan program
TV, serta industri percetakan, penerbitan (publishing), dan penyaluran (distribution).
Kantor-kantor berita raksasa yang dikuasai orang-orang Yahudi antara lain Reuter (didirikan
di Jerman oleh Julius Paul Reuter, seorang Yahudi kelahiran Jerman bernama asal
Israel Beer Josaphat), Associated Press (AP)
yang berpusat di Amerika Serikat, dan United Press International (UPI)
di AS.
Di Inggris, orang-orang Yahudi menguasai media massa utama, antara lain surat
kabar terkemuka Inggris The Times yang
kini dimiliki "raja media" dan milyuner Yahudi dari Australia, Robert
Murdoch. Sunday
Times, majalah porno Sun, dan News
of the World juga
milik Murdoch di samping majalah City Magazine dan Pirus.
Di Amerika, Murdoch memiliki koran New York Post serta
majalah Star dan The
Newsweek.
Media massa besar lainnya di Inggris juga dikuasai orang-orang Yahudi, yakni The
Daily Teleghraph, The
Economist, The
Daily Express, News
Cronical, Daily
Mail, Daily
Herald, Manchester
Guardian, dan lain-lain. Adapun di AS, koran-koran yang dikuasai Yahudi
antara lain Wall
Street Journal, Daily
News, New
York Times, The
Washington Post, The
Times Herald, dan lain-lain. Dua majalah kaliber dunia Time dan Newsweek juga
dikuasai orang-orang Yahudi.
Tidak hanya itu, orang-orang Yahudi juga mendominasi perfilman internasional
dan jaringan TV internasional (ABC, CBS, NBS). Perusahaan-perusahaan
film yang didominasi mereka antara lain Fox Company, Golden Company, Metro
Company, Warner & Bros Company, Paramount Company, dan masih banyak
lagi. Melalui media massa elektronik (sinema) itu pun mereka gencar melakukan
demonologi Islam, di samping melakukan "pembaratan dunia Islam" dan
demoralisasi khususnya kampanye free sex dan
pornografi.
Zionis Yahudi dan Salibis (Barat) setiap hari mengendalikan pikiran kita
melalui penggunaan kata-kata dan pemberian makna tertentu. Pandangan kita
tentang realitas menjadi dibatasi karena peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya
terjadi diberitakan melalui filter dan distorsi sedemikian rupa. Tentu, check
and recheck, tabayyun,
dan tidak menerima begitu saja informasi yang datang kepada kita merupakan
langkah bijak.
Sumber: Demonologi
Islam; Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam dengan
editan