Thursday, June 16, 2016

Mewaspadai Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam

Hasil gambar untuk baran bunuh muslim

Berakhirnya Perang Salib tidak berarti dendam Barat (Kristen) terhadap Islam dan umatnya berakhir begitu saja. Dendam kesumat yang berkepanjangan itu akhirnya dapat mereka lampiaskan ketika Eropa (Barat) melalui Columbus dapat mengetahui dan membuka pintu jalur perjalanan dan perdagangan ke dunia Timur dan dunia Islam.

Dengan dalih mencari rempah-rempah, mereka akhirnya melakukan penjajahan terhadap dunia Timur pada umumnya dan Islam pada khususnya. Selain membawa panji-panji gold (emas) dan glory (kebanggaan), mereka pun mengibarkan panjigospel (penyebaran Bibel), dengan tujuan utama menyebarkan berita Bibel dan sekaligus mengkristenkan dunia Islam serta menenggelamkan al-Islam ke dasar panggung kehidupan manusia. Bagi dunia Timur dan Islam, misi ini bukan membawa glory, tetapi justru gory (berlumuran darah).

Seiring dengan terjadinya revolusi industri di Eropa, kebutuhan mereka terhadap sumber energi (minyak bumi) dijadikan alasan untuk melakukan penjajahan era kedua terhadap negara-negara Islam, yang merupakan daerah penghasil sumber energi tersebut. Untuk itu, mereka harus mematikan terlebih dahulu ghirah keislaman di dada setiap umat Islam sehingga perlawanan terhadap mereka dapat padam dan umat Islam dapat dipecah belah dan dikuasai (divide et impera). Akhirnya, selain melakukan penjajahan wilayah, mereka pun melakukan penjajahan budaya, pola berpikir, dan akidah.

Untuk itu semua, mereka melakukan al-ghazwul fikr untuk melemahkan dan membentuk pemahaman berpikir umat Islam yang sesuai dengan keinginan mereka. Di antaranya dengan melakukan demonologi Islam. Mereka mencitrakan Islam sebagai sesuatu yang ditakuti (monster) dan berbahaya bagi kelangsungan peradaban umat manusia di dunia ini. Mereka meracuni umat Islam dan umat manusia lainnya dengan anggapan bahwa umat Islam yang berupaya menerapkan ajaran Islam di dalam kehidupannya adalah kaum fundamentalis, fanatik, ekstremis, bahkan teroris.

DEMONOLOGI ISLAM BUKAN DISIPLIN ILMU BARU

Istilah demonologi (demonology) masih terasa asing di telinga kita. Ia bukanlah istilah populer. Istilah tersebut memang jarang sekali digunakan, bahkan hanya kamus-kamus bahasa Inggris tertentu yang memuat istilah tersebut. Kamus terkenal, Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily misalnya, hanya memasukkan kata demonyang berarti (1) setan, iblis, jin, dan (2) orang yang keranjingan tentang sesuatu.

Istilah demonology dapat ditemukan dalam The Concise Standard English Dictionary karya Collins Concise terbitan Glasgow & London. Dalam kamus tersebut, demonology diartikan sebagai study of demons (studi tentang setan, iblis, atau hantu). Kata demon-nya sendiri diartikan sebagai a derail; a person of preternatural cruelty or evil character (setan; seseorang yang kekejamannya di luar batas kewajaran atau sifat-sifat jahat).

Arti lebih lengkap tentang demonology dapat ditemukan pada Merriam Webster's Collegiate Dictionary. Disebutkan,demonology berarti (1) the study of demons or evil spirits (studi tentang setan atau semangat kejahatan), (2) belief in demons: a doctrine of evil spirits (kepercayaan kepada setan: doktrin tentang semangat kejahatan), dan (3) a catalog of enemies (daftar musuh).

Untuk memahami atau memakai istilah demonologi secara konteks dan faktual, kita dapat merujuk kepada buku Noam Chomsky, Pirates and Emperor: International Terrorism in The Real World. Hamid Basyaib -penerjemah buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia- mengartikan istilah "demonologi" sebagai 'perekayasaan sistematis untuk menempatkan sesuatu agar ia dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan dan karenanya ia harus dimusuhi, dijauhi, dan bahkan dibasmi.'

Dalam bukunya, Chomsky menggunakan istilah demonologi ketika membahas kasus Libya di bawah kepemimpinan Muammar Qaddafi. Di bawah judul "Libya dalam Demonologi Amerika Serikat", dalam buku tersebut, Chomsky menggambarkan bagaimana AS -dengan dukungan media massa internasional yang dikendalikannya- barhasil menggiring opini dunia untuk memandang Libya (Qaddafi) sebagai "momok bengis terorisme". Libya digambarkan sebagai "sponsor terorisme internasional" dan model utama bagi sebuah "negara teroris". Contoh kasus lain demonologi adalah perlakuan AS terhadap Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein. Sejak Krisis Teluk II (1991) akibat invasi Irak ke Kuwait (Agustus 1990), AS tidak henti-hentinya merekayasa agar Irak dipandang dunia sebagai musuh bersama yang berbahaya, negara teroris, agresor, dan karenanya harus dimusuhi dunia, dikucilkan, dihukum, dan diperangi.

Dalam dunia ilmu komunikasi, demonologi barangkali dapat dimasukkan ke dalam wacana teori penjulukan (labelling theory). Teori tersebut menyatakan bahwa proses penjulukan dapat sedemikian hebat sehingga korban-korban misinterpretasi ini tidak dapat menahan pengaruhnya.

Dari uraian di atas, jelas kiranya yang dimaksudkan demonologi bukanlah disiplin ilmu baru. Ia bukanlah "ilmu tentang setan atau hantu" -dari akar kata demon dan logos- seperti halnya psikologi, sosiologi, farmakologi, dan lain-lain. Istilah demonologi dimaksudkan sebagai penyederhanaan kata bagi sebuah upaya sistematis untuk menggambarkan sesuatu sebagai hal menakutkan -layaknya setan atau hantu- sehingga harus dimusuhi dan diperangi dengan dukungan media massa.

Dalam hal "demonologi Islam" yang mengacu kepada pengertian asli demon dan demonology, kita dapat mengartikannya sebagai pengkajian tentang "penyetanan Islam" atau "penghatuan Islam", yakni penggambaran atau pencitraan Islam sebagai demon (setan, iblis, atau hantu) yang jahat (evil) dan kejam (cruel). Adapun jika merujuk kepada pengertian demonologi dari Hamid Basyaib di atas, kita adapat mendefinisikan demonologi Islam sebagai perekayasaan sistematis untuk menempatkan Islam dan umatnya agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan. Hal itu dilakukan oleh pihak Barat (kaum Zionis Yahudi dan Salibis) yang memandang Islam sebagai ancaman bagi kepentingan mereka. Demonologi Islam menjadi bagian dari strategi Barat untuk meredam kekuatan Islam, yang mereka sebut sebagai The Green Menace (Bahaya Hijau).

Demonologi Islam yang sasarannya bukan saja masyarakat Barat melainkan juga masyarakat Islam sendiri agar mereka menjauhi ajaran agamanya ini, juga merupakan bagian dari apa yang disebut Anwar al-Jundy sebagai "pembaratan di dunia Islam". Pembaratan dalam pengertiannya yang paling luas berarti mendorong kaum Muslim dan bangsa Arab untuk menerima pemikiran-pemikiran Barat, menanamkan prinsip-prinsip pendidikan Barat dalam jiwa kaum Muslim, sehingga mereka tumbuh dalam kehidupan dan pemikiran Barat dan nilai-nilai keislaman menjadi kering dalam jiwa mereka.

Proses demonologi itu berlangsung melalui pencitraan negatif tentang Islam dan para pejuangnya, melalui penjulukan-penjulukan "fundamentalisme Islam" (Islamic Fundamentalism), "terorisme Islam" (Islamic Terrorism), dan "bom Islam" (Islamic Bomb), yang dipopulerkan media massa. Dengan cara itu, Barat pun berupaya menenggelamkan citra Islam sebagai rahmatan lil 'alamin dan sistem hidup (way of life) terbaik bagi umat manusia, membuat masyarakat dunia memusuhi dan memerangi Islam (menumbuhkan Islamophobia -ketakutan terhadap Islam), sekaligus mencegah dan melindas isu Kebangkitan Islam (The Revival of Islam).

Menurut Noam Chomsky yang ahli linguistik terkemuka dari MIT (Massachussetts Institute of Technology) AS, pemburukan citra Islam adalah bagian dari upaya Barat -khususnya negara adikuasa Amerika Serikat- menata dunia menurut kepentingan mereka. Barat mengklaim diri sebagai pemegang supremasi kebenaran, sedangkan semua yang mengancam kepentingannya -dalam hal ini Islam atau komunitas Islam- atau bahkan yang tidak bersepakat dengannya dianggap berada di jalan yang sesat. Media massa sekadar sarana pembentuk makna. Kesan buruk mengenai Islam perlu diciptakan agar penindasan Islam dapat dilakukan dengan persetujuan khalayak.

Jadi, terbentuknya opini publik (public opinion) tentang bahayanya Islam atau Islam sebagai ancaman akibat pemburukan citra Islam tersebut, dapat memberikan semacama legitimasi dan justifikasi bagi Barat dan antek-anteknya untuk membasmi siapa saja dan kelompok apa saja yang mengusung bendera Islam dalam perjuangan politiknya. Bahkan, serangan yang tadinya hanya dialamatkan kepada -yang Barat sebut sebagai- ekstremis Muslim dengan mudah berubah menjadi serangan terhadap seluruh umat Islam.

Umumnya, pembasmian kekuatan Islam itu dilakukan dengan pembubaran organisasi pergerakan Islam, penangkapan dan pemenjaraan para aktivisnya, membunuh atau menghukum mati para tokoh terasnya. Korban-korban atau objek-objek utama demonologi adalah sebagai berikut:

Pertama, orang-orang atau kelompok/organisasi orang Muslim yang berjuang untuk menegakkan syiar Islam di bumi ini.

Kedua, rezim atau pemerintahan negara mana saja yang berani menentang hegemoni Barat dalam percaturan sosial, politik, dan ekonomi dunia.

Ketiga, para aktivis Muslim yang berjuang, baik atas nama Islam maupun atas nama komunitas Muslim, di pentas dunia menentang kezaliman Barat dan antek-anteknya.

Mereka dicitrakan sebagai fundamentalis dan teroris. Amerika Serikat, menurut Noam Chomsky dalam tulisannya yang lain bahkan telah memanfaatkan terorisme sebagai instrumen kebijakan standar untuk memukul atau menindas lawan-lawannya dari kalangan Islam. Dengan alasan "memerangi terorisme", AS dan rezim-rezim sekutunya di berbagai negara merasa leluasa dan "berada di jalan yang benar" ketika membasmi gerakan-gerakan Islam penentangnya yang mereka sebut "kelompok fundamentalis Islam".

MOTIF DEMONOLOGI: PERSEPSI ANCAMAN "BAHAYA HIJAU"

The Green Menace! Bahaya Hijau! Demikian istilah yang muncul ke permukaan ketika kaum Zionis Yahudi, Salibis, atau negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat melihat kekuatan Islam dengan maraknya aktivitas gerakan Islam di berbagai belahan dunia, sebagai ancaman bagi kepentingan mereka. "Bahaya Hijau" digunakan sebagai pengganti "Bahaya Merah" (komunisme Sovyet) yang telah "kalah" dalam Perang Dingin (The Cold War).

Persepsi ancaman Islam yang menyebabkan Barat memusuhi dan memerangi Islam dan kaum Muslim sebenarnya bukan hal baru. Khususnya sejak terjadinya Perang Salib, Barat yang notabene kaum Zionis, Salibis, dan Sekularis, melihat betapa Islam merupakan kekuatan dahsyat yang dapat menguasai dunia sekaligus mengancam kepentingan mereka, sebagaimana telah dibuktikan sejak masa Khulafaur-Rasyidin hingga Khilafah Islam Utsmaniyah Turki. Karena itulah, Barat senantiasa merancang dan melaksanakan berbagai upaya untuk melemahkan Islam dan para pembelanya, antara lain melalui invasi pemikiran dan kebudayaan serta demonologi Islam, karena mereka menyadari tidak akan dapat menguasai dunia Islam dengan jalan peperangan militer.

Ketika kita akan memasuki ambang milenium ketiga Masehi, banyak futuris dan pengamat melontarkan pemikirannya tentang apa yang bakal terjadi pada masa mendatang atau bagaimana wajah dunia pada usianya menapaki keseribu tahun ketiga itu, dengan warna utama benturan kepentingan yang kian keras antara Barat dan Islam. Akbar S. Ahmed misalnya, mengatakan bahwa di ambang milenium mendatang, dua peradaban global tampaknya akan berhadapan dalam suatu konfrontasi kompleks di segala tingkat aktivitas manusia. Peradaban yang satu berpangkal di negara-negara Muslim (dunia Islam), sedangkan yang lain di dunia Barat (terutama Amerika Serikat dan Eropa Barat). "Para pengamat telah melihat konfrontasi ini sebagai suatu malapetaka dan menyebutnya perang suci terakhir," tulis Ahmed.

Apa yang dikemukakan antropolog Muslim asal Pakistan itu tentu saja senada dengan atau mengingatkan kita kepada tesis Samuel E. Huntington yang menghebohkan dan diekspos berbagai media massa, yakni tentang "benturan peradaban" (clash of civilizations). Menurut pakar politik dari Harvard University AS itu, pada masa depan akan terjadi konflik peradaban antara Barat dan Islam yang beraliansi dengan Konfusianisme di Asia.

Isu konflik Barat-Islam memang menghangat sejak kolapsnya komunisme (Uni Sovyet). Pasca-Perang Dingin, dunia Barat melihat Islam sebagai kekuatan baru yang menjadi ancaman mereka. Islam adalah The Green Menace (Bahaya Hijau) sekaligus the next enemy (musuh berikutnya) bagi Barat. Terlebih pasca-Perang Dingin kian marak bermunculan fenomena kebangkitan Islam berupa peningkatan intensitas dan aktivitas gerakan (politik) Islam di berbagai belahan dunia Islam. Ada pendapat bahwa semangat Perang Salib kembali berkobar. Memang, "Adalah kesalahan fatal bila menyangka semangat Perang Salib telah punah," kata Murad W. Hoffman.

A. SUMBER PERMUSUHAN

Apa yang menjadi sumber permusuhan Barat terhadap Islam dewasa ini, sehingga mereka mengerahkan segala upaya dan tipu daya untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslim? Pada garis besarnya ada dua sebab.

1. Dendam Historis

Selama berabad-abad, Barat takluk di bawah hegemoni Khilafah Islam. Kebencian kaum Kristen Barat pernah meledak dalam bentuk pengobaran api perang terhadap umat Islam, yaitu dengan terjadinya Perang Salib (1096-1291 M) yang bertujuan untuk menghancurkan Islam. Akan tetapi, melalui peperangan tersebut umat Islam gagal dilumpuhkan, bahkan kemenangan lebih banyak diraih pasukan Islam. Trauma perang tersebut berdampak pada tertanamnya rasa antipati dan saling curiga di kedua belah pihak.

Perang Salib membentuk fondasi pertama dan esensial untuk memantapkan sikap Eropa (baca: Barat) terhadap Islam. Dendam Perang Salib itu belum padam. Kebencian dan rasa permusuhan Barat terhadap Islam itu muncul lagi ke permukaan setelah Perang Dingin berakhir. Hal itu misalnya terungkap lewat ucapan Menteri Luar Negeri Italia menjelang sebuah persidangan NATO di London, "Benar, Perang Dingin antara Barat dan Timur (komunis Uni Sovyet) telah berakhir, tetapi timbul lagi pertarungan baru, yaitu pertarungan antara dunia Barat dan dunia Islam." Hal itu dipertegas seorang penulis ternama, Adrian Hamilton, dalam majalah bulanan terbitan London, Observer, edisi 17 Juni 1990, "Bagi Barat, tidak ada lagi yang mengancam peradaban mereka kecuali kebangkitan Islam dan gerakan kaum Muslimin yang terdiri atas kaum fundamentalis yang tidak takut mati sekalipun tidak dipersenjatai peluru-peluru kendali."

Benturan Barat-Islam sendiri terjadi terutama ketika pasukan Islam masuk ke Eropa melalui Selat Gibraltar. Menurut G. H. Jansen, seorang diplomat Inggris untuk urusan negeri-negeri Timur, setelah dibuat gentar oleh serbuan bala tentara Islam ke Perancis, kaum Kristen (Barat) menjadi benci, menyalahgunakan, dan menyerbu Islam dan dunia Islam selama dua belas abad berikitnya. Menurut Jansen, konfrontasi Kristen-Islam dimulai di bidang agama dan spiritual, yang karenanya Barat memprogram kristenisasi di dunia Islam.

2. Kesalahpahaman Masyarakat Barat

Masyarakat Barat umumnya melakukan kesalahan dalam memahami Islam. Hal itu terjadi karena masyarakat Barat umumnya mempelajari dan memahami Islam dari buku-buku orientalis, sedangkan para orientalis mengkaji Islam dengan tujuan untuk menimbulkan miskonsepsi terhadap Islam atau menyelewengkan ajaran Islam, selain adanya motif politis yaitu untuk mengetahui rahasia kekuatan umat Islam yang tidak lepas dari ambisi imperialis Barat untuk menguasai dunia Islam. Umumnya, ketika berbicara tentang Islam, pandangan dan analisa para orientalis tidak objektif dan tidak fair, sudah bercampur dengan subjektivisme dan kepentingan tertentu. Karenanya, pandangan mereka bias dan berat sebelah. Hasilnya adalah kesalahpahaman terhadap Islam di dunia Barat. Citra Islam yang tampak di mata orang-orang Barat adalah kekejaman, kekerasan, fanatisme, kebencian, keterbelakangan, dan entah apa lagi.

Hal itu diperparah dengan sajian media massa mereka yang menampilkan Islam tidak secara utuh. Bahkan, Islam yang mereka kenalkan bukan "Islam kebanyakan" (Sunni), melainkan Islam Syi'ah (Iran) yang hanya dianut oleh 10% kaum Muslim dunia. "Syi'ah menjadi perwakilan Islam di media Barat," tulis Akbar S. Ahmed. "Karena ketakutan media Amerika," kata Ahmed, "citra Iran menjadi citra Islam di seluruh dunia. Citra ini antara lain memperlihatkan para mullah bermata kosong yang berteriak-teriak atau kaum wanita denga tubuh tertutup dari kepala hingga ujung jari kaki, atau para pemuda memegang senapan Kalashnikof."

Kekeliruan Barat dalam memahami Islam yang lain adalah menyamakan Islam dengan perilaku individu umat Islam. Misalnya, ketika ada orang atau sekelompok orang Islam yang melakukan kekerasan, cap "teroris" pun dilekatkan pada Islam tanpa mau tahu mengapa aksi kekerasan itu terjadi. Karenanya, populerlah istilah "terorisme Islam". Bagi Barat, Islam adalah genderang perang Khomeini dan Qaddafi terhadap Amerika, agresi Saddam terhadap Kuwait, pembunuhan Sadat, "bom bunuh diri" aktivis Hamas, dan sebagainya.

Kesalahpahaman tersebut diperparah lagi oleh gencarnya serangan propaganda Barat melalui berbagai media massanya untuk memojokkan agama dan umat Islam. Dalam pengemasan berita tentang umat Islam, Barat kerap mengekspos cap-cap seperti "fundamentalisme", "militanisme", "ekstremisme", "radikalisme", dan bahkan "terorisme" yang arahnya jelas: untuk mendiskreditkan Islam.

Fobi Islam (Islamophobia, ketakutan terhadap Islam) adalah produk utama propaganda media massa Barat. Parahnya, fobi Islam itu tidak saja melanda masyarakat Barat, tetapi juga sebagian (besar) umat Islam. Mereka -ini sebuah ironi- takut jika syariat Islam yang notabene ajaran agamanya sendiri, menjadi landasan bagi pembentukan sistem pemerintahan negara. Mereka merasa ngeri bila hukum Islam diberlakukan karena frame yang ada di kepala mereka adalah hukum rajam bagi pezina, hukum cambuk bagi pemabuk, hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum mati bagi pembunuh -isu-isu hukum Islam yang menjadi bahan propaganda Barat untuk menakutkan umat Islam dari ajaran agamanya dan menumbuhkan fobi Islam.

Revolusi Islam Iran (1979) umumnya dijadikan referensi: jika kekuatan Islam naik ke puncak kekuasaan di suatu negara, pemerintahan negara itu akan menerapkan syariat Islam dan anti-Barat, khususnya anti-Amerika. Adapun kepentingan Barat di dunia Islam sangat vital. Dunia Islam bagi Barat, yang terbentang dari Maroko hingga Merauke, letak geografisnya sangat strategis bagi kepentingan politik dan militer. Kekayaan alamnya, khususnya minyak, merupakan kebutuhan vital bagi industri-industri Barat. Bisa dikatakan bahwa roda perekonomian negara-negara Barat sangat bergantung pada minyak yang ada di sebagian besar negara-negara Islam. Timur Tengah, sebagai tempat kelahiran dan "pusat Islam", merupakan pemasok terbesar kebutuhan minyak dunia. Itulah salah satu alasan mengapa Barat merasa "wajib" menaklukkan dunia Islam.

B. BENTUK PERMUSUHAN

Pada awal tahun 1990-an atau pasca-Perang Dingin, kita menyaksikan "Perang Salib baru" telah terjadi atau kian kentara. Dapat pula hal itu dikatakan sebagai "Perang Dingin baru" -Barat versus Islam. Bentuknya, pertama, Barat yang diwakili/dipimpin Amerika Serikat menunjukkan permusuhan atau sikap tidak bersahabat terhadap sejumlah negara Muslim (Irak, Iran, Sudan, dan Libya) yang tidak mau tunduk pada kepentingan atau kemauannya. Kedua, Barat/AS membiarkan -kalau tidak dikatakan "membantu" dan "mendalangi"- terjadinya agresi, pembunuhan, dan terorisme terhadap umat Islam.

Kasus paling menonjol terjadi di satu-satunya negara Eropa yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, Bosnia-Herzegovina. Di sana, etnis Katolik Serbia yang didukung -atau setidaknya dibiarkan- negara-negara Kristen Barat "membersihkan" komunitas Muslim Bosnia (Muslim cleansing). Dalam memerangi Muslim Bosnia, orang-orang Serbia meneriakkan panji-panji Perang Salib. "Perang agama kembali tampil ke pentas drama dunia," kata Karen Amstrong. "Bosnia bukan merupakan akhir pertunjukkan (perang agama) ini, namun ia adalah anak Perang Salib," timpal Akbar S. Ahmed.

Kita juga melihat Barat "bermain" dalam kasus Aljazair dan Turki. Barat -diwakili Perancis- berada di belakang penjegalan kemenangan partai Islam FIS pada pemilu nasional Desember 1991 oleh militer Aljazair yang berbuntut krisis berkepanjangan itu. FIS dicap Barat sebagai "partai fundamentalis Muslim" dan karenanya ia berbahaya bagi kepentingan Barat. Barat juga berdiri di belakang militer dan kaum Kemalis-sekuler yang menghambat laju kejayaan partai Islam Rafah (Welfare Party) Turki. Kemenangan Rafah pada pemilu nasional Desember 1995 dibuat tidak berarti karena atas desakan Barat kubu sekuler "bersatu" untuk tidak mau diajak berkoalisi bagi pembentukan pemerintahan. Kalaupun Necmettin Erbakan, pemimpin Rafah, akhirnya merasakan kursi Perdana Menteri atau berhasil membentuk pemerintahan (Juni 1996), usia jabatannya tidak sampai setahun. Ia mengundurkan diri karena mendapat tekanan kuat dari militer Turki yang mengklaim diri sebagai "penjaga warisan sekularisme Turki modern".

Tentu saja, salah satu front besar "Perang Dingin baru" itu masih pada masalah Palestina. langkah-langkah Israel tetap mendapat dukungan Barat (AS) ketika negara Zionis Yahudi itu sekuat tenaga menghalangi terbentuknya negara Palestina merdeka dan membasmi gerakan-gerakan Islam (Hamas, Jihad Islam, juga Hizbullah di Lebanon) yang terus berjuang dengan membawa bendera Islam.

Bentuk-bentuk permusuhan Barat terhadap Islam menurut Murad W. Hoffman meliputi tiga hal berikut:

Pertama, penyia-nyiaan. Barat bersikap masa bodoh terhadap keberhasilan peradaban umat Islam yang mengagumkan di Andalusia dari abad ke-8 hingga abad ke-15. Tokoh-tokoh ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Kind, ar-Razi, al-Farabi, dan sebagainya diabaikan dalam penulisan sejarah dunia.

Kedua, penerapan double standard, misalnya pada penggunaan istilah "fanatik Muslim", namun tidak keluar istilah "fanatik Katolik" atau "fanatik sosialis". Barat menisbatkan tindakan Saddam Hussein dengan Islam, namun tidak ada penisbatan kejahatan Hitler dengan Kristen atau Katolik. Barat, atas nama demokrasi, membela penguasa Haiti yang terpilih secara demokratis, namun diam ketika FIS yang juga menang dalam pemilu di Aljazair, diberangus junta militer. Barat juga "diam" dalam kasus Bosnia dan Palestina atau ketika Rusia menginvasi Muslim Chechnya. Barat pun bungkam dengan jargon HAM-nya atas kasus Kashmir, Moro, Pattani, dan lain-lain, namun "lancang" meneror Indonesia dalam kasus Timor Timur yang mayoritas berpenduduk umat Katolik.

Dan ketiga, permusuhan ateisme-rasialisme. Sekarang ini berkembang ketakutan orang-orang Eropa akan berdirinya pemerintahan Islam, takut bahwa ia akan tidak sesuai dengan pemerintahan sekuler di Barat. Persangkaan mereka adalah salah sekali karena pemerintahan Barat adalah Republik Kristen Demokrat.

C. STRATEGI PENAKLUKKAN

Secara umum, sekurang-kurangnya ada empat strategi yang dilakukan Barat -dengan kepemimpinan AS- untuk menaklukkan dunia Islam atau negara-negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim).

Pertama, menciptakan kondisi ketergantungan. Program bantuan luar negeri (foreign aid), seperti bantuan ekonomi, tenaga ahli, militer, dan pemberian pinjaman (utang luar negeri), yang mengalir deras dari negara-negara Barat ke negara-negara Islam, merupakan bagian dari penciptaan kondisi ketergantungan itu. Dengan "ikatan" bantuan tersebut, Barat dapat mengendalikan kebijakan negara-negara penerima bantuan atau pinjamannya, atau paling tidak "menguasai" elite-elite politiknya agar melayani kepentingan mereka atau minimal tidak memusuhi mereka.

Suatu negara yang menerima bantuan dari negara lain tentu saja harus "tunduk" dan berada dalam pengaruh pemberi bantuan tersebut, sehingga setiap keputusan politik negara penerima bantuan harus disesuaikan, atau paling tidak harus mendapat "restu" dari negara pemberi bantuan. Alasan pemberian bantuan oleh suatu negara, terutama karena tercakupself-interest politik, strategi, dan ekonomi, sekalipun pada umumnya alasan itu berupa motivasi moral atau bantuan kemanusiaan.

Secara kelembagaan, Barat/AS menggunakan IMF (International Monetary Fund) sebagai sarana penciptaan kondisi ketergantungan tersebut. Bantuan yang dikucurkan IMF ke sebuah negara, seperti dialami Indonesia pada masa krisis ekonomi, selalu diiringi "pendiktean" kebijakan ekonomi-politik yang harus dilaksanakan sebagai prasyarat lancarnya kucuran dana. Tentu, kebijakan tersebut disesuaikan dengan kepentingan Barat dalam kerangka menancapkan kuku hegemoninya.

Kedua, penanaman rasa permusuhan dan saling curiga di antara negara-negara Islam (politik pecah belah, devide et impera). Persatuan umat Islam adalah hantu menakutkan bagi Barat. Karenanya, Barat terus berupaya agar umat Islam bermusuhan dan berpecah-belah bahkan bila perlu berperang satu sama lain.

Strategi ini, misalnya, terungkap dalam sebuah memorandum orientalis yang cukup akrab di telinga kita, Snouck Hurgronje, "Tidak ada faedahnya kita memerangi kaum Muslimin atau berkonfrontasi untuk menghancurkan Islam dengan kekuatan senjata. Itu semua bisa kita lakukan dengan mengadu domba mereka dari dalam dengan menanamkan perselisihan agama, pemikiran, dan mazhab, dan menumbuhkan keraguan kaum Muslimin pada kebersihan pemimpin-pemimpin mereka."

Kawasan Islam yang paling sering menjadi korban strategi ini adalah Timur Tengah (dunia Arab). Perang Irak-Iran, Irak-Kuwait, ketegangan Arab Saudi-Irak dan Aran Saudi-Iran, konflik perbatasan Arab Saudi-Qatar dan Irak-UEA, konflik Mesir-Sudan dan Taliban-Iran, dan sebagainya adalah contoh keberhasilannya -setidaknya kalau memang tidak didalangi Barat, ia menjadi sasaran empuk strategi Barat ini. Penciptaan dikotomi "Islam/Muslim moderat" dan "Islam/Muslim radikal" atau "Islam/Muslim garis keras" pun termasuk bagian dari politik pecah belah untuk melemahkan kekuatan umat Islam. Umumnya, kelompok "moderat" didekati atau mendekati dan dibantu Barat. Sebaliknya, kelompok "radikal" dimusuhi.

Ketiga, pencegahan program persenjataan nuklir di negara-negara Islam, tidak saja untuk melanggengkan supremasi Barat dalam persenjataan nuklir, tapi juga agar negara-negara Islam lemah secara militer. Barat bereaksi keras jika ada negara Islam yang memprogram pengembangan kemampuan nuklirnya. Lihat saja bagaimana AS mengotaki penggulingan Zulfikar Bhutto (1977) karena pemimpin Pakistan ini merencanakan pembangunan proyek nuklir, mendiamkan Israel menyerang pusat nuklir Irak (1981), melakukan demonologi terhadap Pakistan dengan mencapnya sebagai negara "Bom Islam" (Islamic Bomb) ketika ia diduga memiliki senjata nuklir, menolak dan mencegah kerjasama tenaga nuklir antara Iran dan Cina sekalipun dalam pengawasan IAIE (Dewan Energi Atom Internasional), dan lain-lain. Sebaliknya, Amerika (Barat) mendukung dan mendiamkan Israel (musuh Arab/Islam) atau India (musuh Pakistan) memiliki kemampuan nuklir.

Keempat, peredaman dan pembasmian "kekuatan Islam", khususnya gerakan-gerakan Islam (harakah Islamiyah) yang merupakan oposisi terdepan terhadap hegemoni Barat. Terlebih, harakah Islamiyah yang berjuang demi tegaknya syariat Islam di dunia ini umumnya berkarakater anti-Barat atau anti-AS. Barat habis-habisan membantu Israel menumpas Hamas dan Jihad Islam di Palestina serta Hizbullah di Lebanon.

Strategi ini juga dilaksanakan dengan taktik menciptakan dan mendukung pemerintahan tirani, diktator, dan otoriter di negara-negara Muslim. Tiranisme, diktatorianisme, dan otoriterianisme yang dalam kamus Barat merupakan musuh demokrasi itu, diberlakukan jika sebuah rezim atau penguasa di negara Muslim "bersahabat" dengan Barat dan memusuhi gerakan-gerakan Islam. Demokrasi atau demokratisasi yang menjadi jargon Barat selama ini, hanya berlaku di sebuah negara jika hal itu menguntungkan mereka atau tidak menimbulkan ancaman bagi mereka. Demokrasi tidak berlaku di dunia Islam jika ternyata hanya memunculkan kekuatan Islam atau melahirkan sebuah pemerintahan Islam. Sebaliknya, kediktatoran yang mampu memelihara kepentingan Barat harus didukung.

Tokoh Yahudi Menachem Begin, misalnya, yang membela habis-habisan langkah Presiden Mesir Anwar Sadat dalam menangkapi para aktivis Ikhwanul Muslimin, mengatakan bahwa praktek demokrasi harus dilupakan kalau hal itu bersangkutan dengan kaum Muslimin. Hal senada dikemukakan orientalis berkebangsaan Amerika, W.C. Smith, "Jika kaum Muslim diberi kebebasan di negerinya sendiri (dunia Islam) dan hidup di bawah sistem demokrasi (syura), Islam akan mampu berkuasa di negeri ini. Jalan satu-satunya yang mampu memblokade dan mendiskualifikasikan masyarakat Islam dan agamanya adalah dengan sistem pemerintahan diktator."

Karenanya, tidak mengherankan kita, Barat tidak pernah berteriak tentang demokrasi di negara-negara Muslim Timur Tengah. Mendorong proses demokrasi di kawasan Islam itu berarti memberikan peluang bagi kemenangan "fundamentalisme Islam" yang dipandang dapat mengancam kepentingan Barat.

Tidak mengherankan kita pula, sejumlah pemimpin negara Arab, termasuk para emir dan raja mampu bertahan lama dan tidak diusik di tampuk kekuasaannya, meskipun mereka bertindak anti-demokrasi dan melanggar HAM dengan tidak membuat ruang bagi adanya oposisi dan menindas para aktivis gerakan Islam.

D. GHAZWUL FIKRI

Selain keempat strategi tersebut, kaum kuffar secara sistematis juga berupaya mengeliminasi Islam supaya tidak berkembang dan menghantam Islam dari dalam, yang terangkum dalam program al-ghazwul fikr (penyerbuan pemikiran).

Menurut Abu Ridha, al-ghazwul fikr merupakan bagian tak terpisahkan dari uslub qital (metode perang) yang bertujuan menjauhkan umat Islam dari agamanya. Ia adalah penyempurnaan, alternatif, dan penggandaan cara peperangan dan penyerbuan mereka terhadap dunia Islam. Program al-ghazwul fikr ini meliputi hal-hal berikut:

Tasykik, yakni gerakan yang berupaya menciptakan keraguan dan pendangkalan kaum Muslimin terhadap agamanya, Misalnya, dengan terus menyerang (melecehkan) Al-Qur'an dan hadits, melecehkan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, atau mengampanyekan bahwa hukum Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman.

Tasywih, gerakan yang berupaya menghilangkan kebanggaan kaum Muslimin terhadap agamanya. Caranya, memberikan gambaran Islam secara buruk sehingga timbul rasa rendah diri di kalangan umat Islam. Di sini, mereka melakukan pencitraan negatif tentang agama dan umat Islam lewat media massa dan lain-lain sehingga terkesan menyeramkan, kotor, kejam, dan sebagainya.

Tadzwib, yakni pelarutan budaya dan pemikiran. Di sini, kaum kuffar melakukan pencampuradukkan antara hak dan batil, antara ajaran Islam dan non-Islam, sehingga umat Islam kebingungan mendapatkan pedoman hidupnya.

Taghrib, yakni pembaratan dunia Islam, mendorong umat Islam agar menerima pemikiran dan budaya Barat, seperti sekularisme, nasionalisme, dan sebagainya. Sekularisme memisahkan antara urusan keduniaan dan agama (urusan ibadah, akhirat). Isme ini disusupkan atau dicekokkan Barat ke dunia Islam sehingga umat Islam tidak memedomani ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan, tetapi hanya pada aspek ritual seperti shalat dan puasa. Tatanan politik dan ekonomi, misalnya, mengacu pada konsep Barat (kapitalisme, demokrasi, sosialisme, dan lain-lain).

Nasionalisme merupakan seruan fanatisme kesukuan dan kebangsaan. Akibat merasuknya paham ini, dunia Islam terkoyak dalam pecahan-pecahan "negara bangsa" (nation-states). Tak jarang, akibat benturan "kepentingan nasional" antara umat Islam yang satu dan lainnya, misalnya Iran-Irak atau Irak-Kuwait, berseteru. Umat tidak lagi merasa "umat yang satu" (ummatun wahidah) yang disatukan oleh akidah Islam, sehingga kerjasama dan kesatuan mereka pun rapuh.

Tentu saja, demonologi Islam adalah bagian dari strategi Barat memerangi dan melumpuhkan Islam dan umatnya. Ia berkaitan erat atau merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan dari keseluruhan strategi dan taktik Barat dalam menghadapi Islam, khususnya dengan gerakan tasywih dalam program al-ghazwul fikr tersebut. Pada era informasi ini, pelumpuhan kekuatan Islam melalui media massa itu tampak efektif.

Akan tetapi, kita tetap optimistis, Islam akan tetap eksis. "Saat ini, tidak ada seorang pun yang berani memprediksikan bahwa Islam akan lenyap. Bahkan sebaliknya, Islam akan terus berkembang , bahkan meledak," tulis Hoffman. "Islam tidak akan membiarkan umatnya tertidur seperti tidurnya Ahlul Kahfi, sebab Islam adalah agama yang dinamis dan hidup. Allah senantiasa mengutus individu, kelompok, institusi, atau gerakan yang akan membangunkan umat dari tidurnya dan menghidupkan gerakan Islam. Selain itu, kebangkitan merupakan naluri umat Islam," timpal Dr. Yusuf Qaradhawi.

AKTOR DEMONOLOGI: DOMINASI YAHUDI ATAS MEDIA MASSA

Sarana utama dan paling efektif yang Barat gunakan untuk melakukan demonologi Islam -sebagai bagian dari bentuk kebencian, permusuhan, peperangan, penghambatan, tipu daya, dan pemadaman cahaya Allah (Islam)- adalah media massa yang mereka kuasai. Demonologi Islam mereka lakukan dengan memunculkan berbagai penjulukan berkonotasi negatif tentang Islam, sekaligus melakukan disinformasi dan pemutarbalikan fakta tentang Islam dan aktivitas umatnya.

Adapun yang menjadi "aktor-aktor figuran" demonologi Islam adalah para wartawan, penulis, atau media massa di dunia Islam sendiri yang secara langsung ataupun tidak langsung, secara sadar ataupun tidak sadar, dipengaruhi pola pikir atau cara pandang kaum Zionis-Salibis dalam penyajian berita dan analisisnya. Mengenai hal itu, Hamilton Gibb dalam sebuah bukunya mengungkapkan bahwa sebagian besar pemimpin redaksi surat kabar harian di dunia Islam berhubungan dengan kaum progresif. Karenanya, sebagian besar media itu berada di bawah pengaruh pandangan-pandangan dan gaya-gaya Barat. Menentukan opini masyarakat sesuai dengan opini dan pandangan-pandangan yang beredar di Barat.

Barat, atau tepatnya orang-orang Yahudi, jaringan Zionisme Internasional, dan kaum Salibis, dewasa ini telah menguasai media massa dan arus informasi dunia. Mereka menguasai era informasi ini dengan segala keunggulan sistem, teknik, dan media informasinya yang tersebar luas dan menjangkau seluruh dunia. Tentu hal ini membuat mereka leluasa melakukan demonologi Islam, membentuk opini publik (public opinion) yang sesuai dengan kepentingan mereka, atau pemutarbalikkan fakta dalam pemberitaan sehingga menguntungkan mereka sendiri. Sementara itu di pihak lain, yakni umat Islam, boleh dikatakan tidak memiliki satu media massa pun yang memadai untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai Islam atau membela kepentingan agama dan umat Islam.

Dalam dunia komunikasi ada istilah populer, "siapa yang menguasai informasi, dialah penguasa dunia". Hal senada dengan yang dikemukakan Ziauddin Sardar bahwa informasi bukan hanya kebutuhan, melainkan juga dapat menjadi sumber kekuasaan. "Teknologi informasi dapat menjadi alat terpenting untuk manipulasi dan alat kendali," katanya. Memang telah menjadi pendapat umum bahwa siapa yang menguasai informasi, dialah penguasa masa depan, bahwa sumber kekuatan baru masyarakat bukanlah uang di tangan segelintir orang, melainkan informasi di tangan banyak orang (The new source of power is not money in the hand of few, but information in the hand of many).

Rupanya, Zionis Yahudi menyadari dan menghayati besar teori tersebut. Mereka pun mencurahkan perhatian dan upaya khusus untuk menguasai media massa dunia. Mereka pun merancang strategi, sebagaimana tercantum dalam Protokolat Zionis XII seperti dikutip dan diulas Dr. Majid Kalilany,

"Peran apakah yang dapat dimainkan oleh media massa akhir-akhir ini? Salah satu di antaranya adalah untuk membangkitkan opini rakyat yang keliru. Hal ini dapat membangkitkan emosi rakyat. Kadang juga bermanfaat guna mengobarkan konfrontasi antar-partai politik, tentunya akan banyak menguntungkan pihak kita. Apalagi saat mereka sedang bertikai, kesempatan baik bagi kita untuk mengadu domba. Akan tetapi, dengan media massa, kita juga dapat memakainya sebagai ajang orang yang tidak mengerti kesemuanya itu. Kita akan mengendalikan peran media ini dengan sungguh-sungguh. Sastra dan pers adalah dua kekuatan yang amat berpengaruh. Oleh karena itu, kita akan banyak menerbitkan buku-buku kita dengan oplah yang besar."

"Kita harus menguasai sepenuhnya peranan penerbitan, tanpa kecuali. Jika kita buka pintu lebar-lebar kesempatan media massa untuk menyuarakan maksudnya tanpa pengawasan ketat dari pihak kita, tak ada gunanya sedikit pun strategi yang telah kita sepakati bersama."

Protocols of Zion tersebut dibuat pada saat penyelenggaraan Kongres Zionisme International I tahun 1897 yang diprakarsai Theodore Hertzl -penggagas utama Zionisme- di Kota Paal, Swiss. Jauh sebelum kongres itu berlangsung, pers di negara-negara Barat telah dikuasai orang-orang Yahudi. Seperti diberitakan surat kabar Inggris The Graphic No. 22/Juli 1897, "Pers benua Eropa berada di bawah cengkeraman Yahudi." Sebelumnya pun, tahun 1896, seorang rabi Yahudi bernama Rashoron, dalam sebuah pidatonya di Praha menggambarkan perhatian Yahudi yang cukup besar terhadap media massa. Katanya, "Jika emas merupakan kekuatan kita yang pertama, pers harus merupakan kekuatan kita yang kedua."

Demikianlah, Zionisme jauh-jauh hari sudah memprogram sebuah imperialisme media massa untuk mencapai tujuannya, bukan saja untuk mencitrakan bangsa Yahudi sebagai bangsa yang beradab, cerdas, bersih, dan citra positif lainnya -untuk menggantikan atau mengubah citra Yahudi sebelumnya yang dekil, kikir, jelek, busuk, licik, pengecut, pembuat onar, dan sebagainya- tetapi juga untuk menyerang dan menaklukkan setiap kekuatan yang dianggap sebagai ancaman bagi mereka, utamanya kekuatan Islam.

Dewasa ini, orang-orang Yahudi telah menguasai link media massa yang utama, mencakup kantor-kantor berita terkemuka dunia (news agency), surat kabar (press) dan jaringan TV/radio, industri sinema dan program TV, serta industri percetakan, penerbitan (publishing), dan penyaluran (distribution).

Kantor-kantor berita raksasa yang dikuasai orang-orang Yahudi antara lain Reuter (didirikan di Jerman oleh Julius Paul Reuter, seorang Yahudi kelahiran Jerman bernama asal Israel Beer Josaphat), Associated Press (AP) yang berpusat di Amerika Serikat, dan United Press International (UPI) di AS.

Di Inggris, orang-orang Yahudi menguasai media massa utama, antara lain surat kabar terkemuka Inggris The Times yang kini dimiliki "raja media" dan milyuner Yahudi dari Australia, Robert Murdoch. Sunday Times, majalah porno Sun, dan News of the World juga milik Murdoch di samping majalah City Magazine dan Pirus. Di Amerika, Murdoch memiliki koran New York Post serta majalah Star dan The Newsweek.

Media massa besar lainnya di Inggris juga dikuasai orang-orang Yahudi, yakni The Daily Teleghraph, The Economist, The Daily Express, News Cronical, Daily Mail, Daily Herald, Manchester Guardian, dan lain-lain. Adapun di AS, koran-koran yang dikuasai Yahudi antara lain Wall Street Journal, Daily News, New York Times, The Washington Post, The Times Herald, dan lain-lain. Dua majalah kaliber dunia Time dan Newsweek juga dikuasai orang-orang Yahudi.

Tidak hanya itu, orang-orang Yahudi juga mendominasi perfilman internasional dan jaringan TV internasional (ABC, CBS, NBS). Perusahaan-perusahaan film yang didominasi mereka antara lain Fox Company, Golden Company, Metro Company, Warner & Bros Company, Paramount Company, dan masih banyak lagi. Melalui media massa elektronik (sinema) itu pun mereka gencar melakukan demonologi Islam, di samping melakukan "pembaratan dunia Islam" dan demoralisasi khususnya kampanye free sex dan pornografi.

Zionis Yahudi dan Salibis (Barat) setiap hari mengendalikan pikiran kita melalui penggunaan kata-kata dan pemberian makna tertentu. Pandangan kita tentang realitas menjadi dibatasi karena peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya terjadi diberitakan melalui filter dan distorsi sedemikian rupa. Tentu, check and recheck, tabayyun, dan tidak menerima begitu saja informasi yang datang kepada kita merupakan langkah bijak.

Sumber: Demonologi Islam; Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam dengan editan