Monday, June 20, 2016

Siapakah Yang Menciptakan Allah? ‘Aliy Bin Abi Thaalib Radliyallaahu ‘Anhu Membakar Kaum Atheis

“Artinya : Sesungguhnya salah seorang kamu akan didatangi syetan, lalu bertanya : “Siapakah yang menciptakan kamu?” Lalu dia mejawab : “Allah”. Syetan berkata : “Kemudian siapa yang menciptakan Allah?”. Jika salah seorang kamu menemukan demikian, maka hendaklah dia membaca “amantu billahi wa rasulih” (aku beriman kepada Allah dan RasulNya), maka (godaan) yang demikian itu akan segera hilang darinya”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (6/258): “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ismail dia berkata : “Telah bercerita kepadaku Adh-Dhahak, dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah, bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (kemudian dia menyebutkan hadits itu).

Saya menilai : Hadits ini sanadnya hasan, sesuai dengan syarat Muslim. Semua perawi hadits ini adalah para perawi Muslim yang beliau jadikan pegangan dalam Shahih-nya. Tetapi Adh-Dhahak adalah Ibnu Utsman Al-Asadi Al-Huzami, dimana sebagian imam masih memperbincangkan mengenai hafalannya. Namun insya Allah hal itu tidak menurunkan haditsnya dari tingkat hasan. Bahkan Sufyan Ats-Tsauri dan Laits bin Salim, menurut Ibnus Sunni (201) sungguh telah mengikuti periwayatannya. Jadi hadits ini dapat dinilai shahih. Sementara itu Al-Mundziri dalam At-Targhib (2/266) menjelaskan.

“Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang bagus, kemudian Abu Ya’la dan Al-Bazzar. Lalu Ath-Thabrani juga meriwayatkannya dalam Al-Kabir dan Al-Usath dari hadits Abdullah bin Amer. Bahkan Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari hadits Khuzaimah bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu”

Jadi adanya beberapa syahid (hadits pendukung) ini dengan sendirinya menaikkan tingkat hadits tersebut kepada derajat yang sangat shahih.

Hadits Ibnu Khuzaimah menurut Imam Ahmad (5/214) para perawinya adalah tsiqah, kecuali jika di antara mereka ada Ibnu Luhai’ah, sebab ia buruk hafalannya.

Mengenai hadits Ibnu Amer ini, Al-Haitsami (341) berkomentar : Para perawinya adalah perawi-perawi shahih, kecuali Ahmad bin Nafi’ Ath-Thihan, guru Ath-Thabrani”.

Demikian dia menandaskan namun tidak menyebutkan sedikitpun mengenai keadaan Ahmad bin Nafi Ath-Thihan tersebut, begitu tidak simpatiknya Al-Haitsami kepadanya. Demikian pula saya, sama sekali tidak mengenalnya kecuali bahwa dia orang Mesir, sebagaimana disebutkan dalam Mu’jam Ath-Thabrani Ash-Shaghir (hal. 10)

Kemudian sesungguhnya hadits itu juga diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah yang didapat dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu’ sebagaimana adanya (tidak ada perubahan apapun).

Hadits ini dikeluarkan pula oleh Imam Muslim (1/84) dan Ahmad (2/331) dari berbagai jalan dari Hisyam, tanpa kalimat, “sesungguhnya godaan itu akan hilang daripadanya”.

Selanjutnya hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Dawud (4121) yang kalimatnya sampai pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saya iman kepada Allah”. Dan ini merupakan riwayat Muslim.

“Artinya : Syetan akan datang pada salah seorang kamu, lalu berkata : “Siapakah yang menciptakan demikian ? Siapakah yang menciptakan demikian? Siapakah yang menciptakan demikian?” Sehingga dia bertanya : “Siapakah yang menciptakan Tuhanmu?” Apabila ia sampai demikian, maka hendaknya memohon perlindungan kepada Allah dan menghentikannya”

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari (2/321), Imam Muslim dan Ibnu Sunni.

Hadits ini juga mempunyai jalur lain yang besumber dari Abu Hurairah dengan lafazh.

“Artinya : Hampir orang-orang saling bertanya di antara mereka sehingga seorang di antara mereka berkata : “Ini Allah, menciptakan makhluk, lalu siapakah yang menciptakan demikian, maka katakanlah : “Allah Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. Kemudian hendaklah salah seorang kamu mengusir (isyarat meludah) ke kiri tiga kali dan memohon perlindungan dari syetan.

Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud (4732) dan Ibnu Sunni (621) dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata : “Telah bercerita kepadaku Utbah bin Muslim, seorang budak yang dimerdekakan Bani Tamim, dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah yang menuturkan : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kemudian ia menuturkan hadits itu)”.

Saya menilai : Hadits ini shahih sanadnya. Para perawinya tsiqah. Bahkan Ibnu Ishaq juga menjelaskan berita itu. Hingga dengan demikian amanlah hadits ini dari cela.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Umar bin Abi Salamah yang mendengar dari bapaknya, sampai perkataan : “Siapakah yang menciptakan Allah Azza wa Jalla?” Umar bin Salamah melanjutkan : “Abu Hurairah menceritakan : “Demi Allah, sesungguhnya, pada suatu hari aku duduk, tiba-tiba seseorang dari penduduk Iraq berkata kepadaku “ Ini Allah, pencipta kita. Lalu siapakah yang menciptakan Allah Azza wa Jalla?” Abu Hurairah melanjutkan ceritanya : “Kemudian aku tutupkan jariku pada telingaku lalu aku menjerit seraya berkata : “Maha benar Allah dan RasulNya”.

“Artinya : Allah Esa, tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/387). Para perawinya tsiqah kecuali Umar. Ia adalah lemah (dha’if).

Menurut Imam Ahmad (Juz II, hal. 539) hadits ini juga mempunyai jalur lain dari Ja’far dia memberitakan : “Telah bercerita kepadaku Yazid bin Al-Asham, dari Abu Hurairah secara marfu’, seperti hadits sebelumnya. Yazid mengisahkan : “Telah bercerita kepadaku Najmah bin Shabigh As-Salami, bahwa dia melihat para penunggang datang kepada Abu Hurairah. Kemudian mereka bertanya kepadanya mengenai hal itu. Lalu Abu Hurairah berkata : “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar). Tidaklah kekasihku bercerita kepadaku tentang sesuatu melainkan aku telah melihatnya dan aku menunggunya. “Ja’far berkata : “Telah sampai kepadaku bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Manakala orang-orang bertanya kepadamu tentang hal ini, maka katakanlah : “Allah adalah sebelum tiap-tiap sesuatu. Allah menciptakan tiap-tiap sesuatu dan Allah ada setelah tiap-tiap sesuatu”

Sanad marfu’nya adalah shahih adapun yang disampaikan oleh Ja’far alias Ibnu Burqan adalah mu’dhal (hadits yang perawi-perawinya banyak yang gugur), dan apa yang ada di antara shahih dan mu’dhal adalah mauquf. Tetapi Najmah disini tidak saya kenal. Demikian pula dalam Al-Musnad, Najmah ditulis dengan “mim” (Majmah) sedangkan dalam Al-Jarh wat Ta’dil (4/1/509), tertulis Najbah dengan “ba”. Selanjutnya Imam Ahmad menjelaskan.

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dimana Yazid Ibnul Asham juga meriwayatkan darinya, dan mengatakan : “Saya mendengar bapakku berkata demikian dan tidak menambahkan!” Juga Al-Hafidzh dalam At-Ta’jil, tidak menambahkannya dan itu sesuai dengan syarat yang dibuatnya.

HUKUM-HUKUM YANG TERKANDUNG DALAM HADITS

Hadits-hadits shahih ini menunjukkan bahwa sesungguhnya bagi orang yang digoda oleh syetan dengan bisikannya, “Siapakah yang menciptakan Allah?”, dia harus menghindari perdebatan dalam menjawabnya, dengan mengatakan apa yang telah ada dalam hadits-hadits tersebut.

Lebih amannya ialah dia mengatakan :

“Saya beriman kepada Allah dan RasulNya. Allah Esa, Allah tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. Kemudian hendaklah dia berisyarat meludah ke kiri tiga kali dan memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syetan, serta menepis keragu-raguan itu”.

Saya berpendapat : Orang yang melakukan demikian semata-mata karena taat kepada Allah dan RasulNya serta ikhlas. Maka keraguan dan godaan itu akan hilang darinya dan menauhlah setannya, mengingat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya godaan itu akan hilang darinya”.

Pelajaran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini jelas lebih bermanfaat dan lebih dapat mengusir keraguan daripada terlibat dalam perdebatan logika yang sengit diseputar persoalan ini. Sesungguhnya perdebatan dalam soal ini amatlah sedikit gunanya atau boleh jadi tidak ada gunanya sama sekali. Tetapi sayang, kebanyakan orang tidak menghiraukan pelajaran yang amat bagus ini. Oleh karena itu ingatlah wahai kaum muslimin dan kenalilah sunnah Nabimu serta amalkanlah. Sesungguhnya dalam sunnah itu terdapat obat dan kemulianmu.

[Disalain dari buku Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah wa Syaiun Min Fiqhiha wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka Mantiq, hal 368-372 penerjemah Drs.HM.Qodirun Nur]

Shahih : ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu Membakar Kaum Atheis

oleh Abu Al-Jauzaa'
Telah masyhur kisah ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu yang membakar satu kaum Atheis/zindiq yang memberhalakan dirinya. Tercantum baik dalam kitab-kitab hadits maupun sejarah.
عن عكرمة : أن عليا رضي الله عنه حرق قوما، فبلغ ابن عباس فقال: لو كنت أنا لم أحرقهم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تعذبوا بعذاب الله). ولقتلتهم، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: (من بدل دينة فاقتلوه).
Dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah membakar satu kaum. Sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbas, lalu ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3017].
Dalam riwayat At-Tirmidziy disebutkan :
فبلغ ذلك عليا فقال صدق بن عباس
“Maka sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Benarlah Ibnu ‘Abbas” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1458; shahih].
Diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi’iy 2/86-87, ‘Abdurrazzaaq no. 9413 & 18706, Al-Humaidiy no. 543, Ibnu Abi Syaibah 10/139 & 12/262 & 14/270, Ahmad 1/217 & 219 & 282, Abu Dawud no. 4351, Ibnu Maajah no. 2535, An-Nasaa’iy 7/104, Ibnul-Jaarud no. 843, Abu Ya’laa no. 2532, Ibnu Hibbaan no. 4476, dan yang lainnya.
Sebagian orang yang bukan ahlinya dalam ilmu hadits mendla’ifkan riwayat ini karena anggapan adanya keterputusan antara ‘Ikrimah dengan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Abu Zur’ah mengatakan bahwa riwayat ‘Ikrimah dari ‘Aliy adalah mursal [lihat Jaami’ut-Tahshiil fii Ahkaamil-Maraasil oleh Al-‘Alaaiy, hal. 239 no. 532, tahqiq : Hamdiy bin ‘Abdil-Majiid As-Salafiy; Maktabah ‘Aaalamil-Kutub, Cet. 2/1403].
Tentu saja anggapan itu keliru, karena ‘Ikrimah menerima khabar tersebut dari Ibnu ‘Abbaas, bukan dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Para Pembaca budiman bisa secara mudah melihat dhahir lafadh hadits yang dibawakan ‘Ikrimah di atas. Dan mari kita perhatikan lafadh riwayat berikut :
أخبرنا بن عيينة عن أيوب بن أبي تميمة عن عكرمة قال لما بلغ بن عباس أن عليا رضى الله تعالى عنه حرق المرتدين والزنادقة قال لو كنت أنا لم أحرقهم ولقتلتهم لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم من بدل دينه فاقتلوه ولم أحرقهم لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم لا ينبغي لأحد أن يعذب بعذاب الله
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Ayyuub bin Abi Tamiimah, dari ‘Ikrimah, ia berkata : “Ketika sampai khabar kepada Ibnu ‘Abbaas bahwa ‘Aliy radliyallaahu ta’alaa ‘anhu telah membakar orang-orang murtad dan zindiq, ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka. Dan niscaya aku akan bunuh mereka berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia”. Aku tidak membakar mereka berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak boleh bagi seorang pun mengadzab/menyiksa dengan siksaan Allah (yaitu api)” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 1616, tahqiq : Dr. Maahir bin Yaasin Al-Fahl; Cet. 1/1425. Dari jalan Asy-Syaafi’iy ini, diriwayatkan pula oleh Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 10/238 no. 2561 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/195 & Al-Ma’rifah no. 5018].
Atau dalam bentuk lafadh lain :
حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ ذَكَرَ نَاسًا أَحْرَقَهُمْ عَلِيٌّ، فَقَالَ: لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أَحْرِقْهُمْ بِالنَّارِ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ "، وَلَوْ كُنْتُ أَنَا لَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ، فَاقْتُلُوهُ "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Ayyuub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia (Ibnu ‘Abbaas) menyebutkan orang-orang yang dibakar ‘Aliy, maka ia berkata : “Seandainya itu terjadi padaku, niscaya aku tidak akan membakar mereka dengan api, karena larangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan niscaya aku juga akan bunuh mereka berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 7/655].
Dapat kita lihat dalam tiga bentuk lafadh ini bahwa ‘Ikrimah itu kemungkinan besar mendapatkan riwayat tentang pembakaran yang dilakukan ‘Aliy dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum.
Hadits ini mempunyai penguat di antaranya :
1.    Hadits Anas radliyallaahu ‘anhu :
أخبرنا محمد بن المثنى قال: حدثنا عبد الصمد قال: حدثنا هشام عن قتادة، عن أنس : أن عليا أتي بناس من الزط يعبدون وثنا فأحرقهم قال ابن عباس: إنما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من بدل دينه فاقتلوه.
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari Qataadah, dari Anas : Bahwasannya dihadapkan kepada ‘Aliy orang dari Az-Zuth yang menyembah berhala. Kemudian ia (‘Aliy) membakar mereka. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah ia" [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 4076; shahih - Lihat Shahih Sunan An-Nasaa’iy 3/92; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419 dan Irwaa’ul-Ghaliil 8/124-125 no. 2471; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 1/1399. Namun di sini terdapat Qataadah yang membawakan riwayat dengan ‘an’anah, sedangkan ia seorang mudallis].[1]
2.    Hadits Suwaid rahimahullah :
حدثنا أبو بكر بن عياش عن أبي حصين عن سويد بن غفلة أن عليا حرق زنادقة بالسوق ، فلما رمى عليهم بالنار قال : صدق الله ورسوله ، ثم انصرف فاتبعته ، فالتفت إلي قال : سويد ؟ قلت ، نعم ، فقلت : يا أمير المؤمنين سمعتك تقول شيئا ؟ فقال : يا سويد ! إني بقوم جهال ، فإذا سمعتني أقول : " قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " فهو حق
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, dari Abu Hushain, dari Suwaid bin Ghafalah : Bahwasannya ‘Aliy pernah membakar orang-orang zindiq di pasar. Ketika ia membakarnya, ia berkata : “Allah dan Rasul-Nya benar”. Kemudian ia berpaling dan akupun mengikutinya. Ia menengok kepadaku dan berkata : “Suwaid ?”. Aku berkata : “Benar”. Aku lalu berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, aku telah mendengarmu mengatakan sesuatu”.’Aliy berkata : “Wahai Suwaid, sesungguhnya aku tinggal bersama kaum yang bodoh. Jika engkau mendengarku mengatakan : ‘Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka itu benar” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 10/141 & 12/391-392; sanadnya hasan].[2]
Ibnu Abi Syaibah dalam periwayatannya dari Abu Bakr bin ‘Ayyaasy mempunyai mutaba’ah dari Khalaad bin Aslaam sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 570, Yahyaa bin ‘Abdil-Hamiid sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah no. 384, dan Asy-Syaafi’iy sebagaimana dalam Al-Umm 7/200. Oleh karena itu, riwayat ini menjadi shahih.
3.    Hadits ‘Ubaid bin Nisthaas rahimahullah.
حدثنا عبد الرحيم بن سليمان عن عبد الرحمن بن عبيد عن أبيه قال : كان أناس يأخذون العطاء والرزق ويصلون مع الناس ، وكانوا يعبدون الاصنام في السر ، فأتى بهم علي بن أبي طالب فوضعهم في المسجد ، أو قال : في السجن ، ثم قال : يا أيها الناس ! ما ترون في قوم كانوا يأخذون معكم العطاء والرزق ويعبدون هذه الاصنام ؟ قال الناس : اقتلهم ، قال : لا ، ولكن أصنع بهم كما صنعوا بأبينا إبراهيم ، فحرقهم بالنار
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahiim bin Sulaimaan, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Ubaid, dari ayahnya, ia berkata : “Ada sekelompok orang yang mengambil bagian harta dari baitul-maal, shalat bersama orang-orang lainnya, namun mereka menyembah berhala secara diam-diam. Maka didatangkanlah mereka ke hadapan ‘Aliy bin Abi Thaalib, lalu menempatkan mereka di masjid – atau di penjara – . ‘Aliy berkata : ‘Wahai sekalian manusia, apa pendapat kalian tentang satu kaum yang mengambil bagian harta dari baitul-maal bersama kalian, namun mereka menyembah berhala-berhala ini ?’. Orang-orang berkata : ‘Bunuhlah mereka !’. ‘Aliy berkata : ‘Tidak, akan tetapi aku melakukan sesuatu kepada mereka sebagaimana mereka dulu (yaitu para penyembah berhala) melakukannya kepada ayah kita Ibraahiim’.  Lalu ia membakar mereka dengan api” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 10/142 & 12/392; sanadnya shahih].[3]
4.    Hadits Qabiishah bin Jaabir rahimahullah.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا قَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو حَصِينٍ، عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ جَابِرٍ، قَالَ: " أُتِيَ عَلِيٌّ بِزَنَادِقَةٍ فَقَتَلَهُمْ ثُمَّ حَفَرَ لَهُمْ حُفْرَتَيْنِ فَأَحْرَقَهُمْ فِيهَا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ja’d, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Qais bin Ar-Rabii’, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hushain, dari Qabiishah bin Jaabir, ia berkata : “Didatangkan kaum Zanadiqah kepada ‘Aliy, lalu ia membunuhnya. Kemudian ia menggali dua buah lubang/parit, dan ‘Aliy pun membakar mereka di dalamnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam Al-Isyraaf fii Manaazilil-Asyraaf no. 270, dla’iif].[4]
5.    Hadits Al-Husain bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa.
عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، " أَنَّهُ حَرَقَ زَنَادِقَةً مِنَ السَّوَادِ بِالنَّارِ "
Dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia membakar orang-orang Zanaadiqah berkulit hitam dengan api” [Diriwayatkan oleh Zaid bin ‘Aliy dalam Musnad-nya 1/303; shahih].[5]
Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata :
وزعم أبو المظفر الاسفرايني في الملل والنحل إن الذين أحرقهم علي طائفة من الروافض ادعوا فيه الألاهية وهم السبائية وكان كبيرهم عبد الله بن سبأ يهوديا ثم أظهر الإسلام وابتدع هذه المقالة وهذا يمكن أن يكون أصله ما رويناه في الجزء الثالث من حديث أبي طاهر المخلص من طريق عبد الله بن شريك العامري عن أبيه قال قيل لعلي أن هنا قوما على باب المسجد يدعون أنك ربهم فدعاهم فقال لهم ويلكم ما تقولون قالوا أنت ربنا وخالقنا ورازقنا فقال ويلكم انما أنا عبد مثلكم أكل الطعام كما تأكلون وأشرب كما تشربون إن أطعت الله أثابني إن شاء وإن عصيته خشيت أن يعذبني فأتقوا الله وأرجعوا فأبوا فلما كان الغد غدوا عليه فجاء قنبر فقال قد والله رجعوا يقولون ذلك الكلام فقال ادخلهم فقالوا كذلك فلما كان الثالث قال لئن قلتم ذلك لأقتلنكم بأخبث قتلة فأبوا إلا ذلك فقال يا قنبر ائتني بفعلة معهم مرورهم فخد لهم أخدودا بين باب المسجد والقصر وقال أحفروا فابعدوا في الأرض وجاء بالحطب فطرحه بالنار في الأخدود وقال اني طارحكم فيها أو ترجعوا فأبوا أن يرجعوا فقذف بهم فيها حتى إذا احترقوا قال اني إذا رأيت أمرا منكرا أوقدت ناري ودعوت قنبرا وهذا سند حسن
“Abul-Mudhaffar Al-Isfirayini mengatakan dalam Al-Milal wan-Nihal bahwa yang dibakar oleh ’Ali itu adalah orang-orang Rafidlah yang mengklaim sifat ketuhanan pada diri ’Ali. Dan mereka itu adalah Saba’iyyah. Pemimpin mereka adalah ’Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang menampakkan keislaman. Dia membuat bid’ah berupa ucapan seperti ini. Dan sangatlah mungkin asal hadits ini adalah apa yang kami riwayatkan dalam juz 3 dari hadits Abu Thaahir Al-Mukhlish dari jalan ’Abdullah bin Syariik Al-’Aamiriy, dari ayahnya ia berkata : Dikatakan kepada ’Ali : ’Disana ada sekelompok orang di depan pintu masjid yang mengklaim bahwa engkau adalah Rabb mereka’. Lantas beliau memanggil mereka dan berkata kepada mereka : ’Celaka kalian, apa yang kalian katakan ?’. Mereka menjawab : ’Engkau adalah Rabb kami’., pencipta kami, dan pemberi rizki kami’. ’Aliy berkata : ’Celaka kalian, aku hanyalah seorang hamba seperti kalian. Aku makan makanan sebagaimana kalian makan, dan aku minum sebagaimana kalian minum. Jika aku mentaati Allah, maka Allah akan memberiku pahala jika Dia berkehendak. Dan jika aku bermaksiat, maka aku khawatir Dia akan mengadzabku. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah dan kemballah’. Tetapi mereka tetap enggan.
Ketika datang hari berikutnya, mereka datang lagi kepada ’Ali, kemudian datanglah Qanbar dan berkata,’Demi Allah, mereka kembali mengatakan perkataan seperti itu’. ’Ali pun berkata,’Masukkan mereka kemari’. Tetapi mereka masih mengatakan seperti itu juga. Ketiga hari ketiga, beliau berkata,’Jika kalian masih mengatakannya, aku benar-benar akan membunuh kalian dengan cara yang paling buruk’. Tetapi mereka masih berkeras masih menjalaninya. Maka ’Ali berkata,’Wahai Qanbar, datangkanlah kepadaku para pekerja yang membawa alat-alat galian dan alat-alat kerja lainnya. Lantas, buatkanlah untuk mereka parit-parit yang luasnya antara pintu masjid dengan istana’. Beliau juga berkata,’Galilah dan dalamkanlah galiannya’.
Kemudian ia memerintahkan mendatangkan kayu bakar lantas menyalakan api di parit-parit tersebut. Ia berkata,’Sungguh aku akan lempar kalian ke dalamnya atau kalian kembali (pada agama Allah)’. Maka ’Aliy melempar mereka ke dalamnya, sampai ketika mereka telah terbakar, ia pun berkata :
Ketika aku melihat perkara yang munkar
Aku sulut apiku dan aku panggil Qanbar
Ini adalah sanad yang hasan” [Fathul-Baari, 12/270].
Ibnu Hajar berkata saat menjelaskan biografi Ibnu Saba’ :
قال بن عساكر في تاريخه كان أصله من اليمن وكان يهوديا فأظهر الإسلام وطاف بلاد المسلمين ليلفتهم عن طاعة الأئمة ويدخل بينهم الشر ودخل دمشق لذلك ثم أخرج من طريق سيف بن عمر التميمي في الفتوح له قصة طويلة لا يصح إسنادها ومن طريق بن أبي خيثمة حدثنا محمد بن عباد ثنا سفيان عن عمار الدهني سمعت أبا الطفيل يقول رأيت المسيب بن نجبة أتى به دخل على المنبر فقال ما شأنه فقال يكذب على الله وعلى رسوله حدثنا عمرو بن مروزق حدثنا شعبة عن سلمة بن كهيل عن زيد بن وهب قال قال علي رضى الله تعالى عنه ما لي ولهذا الخبيث الأسود يعني عبد الله بن سبأ كان يقع في أبي بكر وعمر رضى الله تعالى عنهما ومن طريق محمد بن عثمان بن أبي شيبة ثنا محمد بن العلاء ثنا أبو بكر بن عياش عن مجالد عن الشعبي قال أول من كذب عبد الله بن سبأ وقال أبو يعلى الموصلي في مسنده ثنا أبو كريب ثنا محمد بن الحسن الأسدي ثنا هارون بن صالح عن الحارث بن عبد الرحمن عن أبي الجلاس سمعت عليا يقول لعبد الله بن سبأ والله ما أفضى إلي بشيء كتمه أحدا من الناس ولقد سمعت يقول إن بين يدي الساعة ثلاثين كذابا وإنك لأحدهم وقال أبو إسحاق الفزاري عن شعبة عن سلمة بن كهيل عن أبي الزعراء عن زيد بن وهب أن سويد بن غفلة دخل على علي في غمارته فقال إني مررت بنفر يذكرون أبا بكر وعمر يرون أنك تضمر لهما مثل ذلك منهم عبد الله بن سبأ وكان عبد الله أول من أظهر ذلك فقال علي ما لي ولهذا الخبيث الأسود ثم قال معاذ الله أن أضمر لهما إلا الحسن الجميل ثم أرسل إلى عبد الله بن سبأ فسيره إلى المدائن وقال لا يساكنني في بلدة أبدا ثم نهض إلى المنبر حتى اجتمع الناس فذكر القصة في ثنائه عليهما بطوله وفي آخره إلا ولا يبلغني عن أحد يفضلني عليهما إلا جلدته حد المفتري وأخبار عبد الله بن سبأ شهيرة في التواريخ وليس له رواية ولله الحمد وله أتباع يقال لهم السبائية معتقدون الأهية على بن أبي طالب وقد أحرقهم علي بالنار في خلافته
”Ibnu ’Asakir berkata dalam Tarikh-nya : ’Asalnya dari Yaman, dulunya dia seorang Yahudi kemudian dia menampakkan kesialaman. Kemudian dia berkeliling ke negeri-negeri muslimin untuk memalingkan mereka dari ketaatan kepada penguasa dan menyusupkan keburukan di tengah-tengah mereka. Dia memasuki kota Damaskus untuk tujuan tadi pada masa ’Utsman’.
Kemudian ia (Ibnu ’Asakir) meriwayatkan dari jalan Saif bin ’Umar At-Tamimi dalam Al-Futuh dengan kisah yang panjang, tetapi sanadnya tidak benar. Juga dari jalan Ibnu Abi Khaitsamah, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ’Abbaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ’Ammar Ad-Duhni, ia mengatakan : Aku mendengar Abu Ath-Thufail berkata : Aku melihat Al-Musayyib bin Najbah datang menyeretnya (yaitu Ibnu Saba’), sementara ’Aliy sedang berada di atas mimbar. Lantas ia (’Aliy) berkata : ’Ada apa dengannya ?’. Al-Musayyib berkata : ’Dia berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya’. [6]
Ibnu ’Asaakir juga berkata : Telah menceritakan kepada kami ’’Amru bin Marzuuq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Salamah bin Kuhail, dari Zaid bin Wahb, ia berkata : ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ta’ala ’anhu berkata : ’Apa urusanku dengan al-hamil[7] yang hitam ini – yaitu ’Abdullah bin Saba’ - ?. Dia biasa mencela Abu Bakar dan ’Umar radliyalaahu ta’ala ’anhuma’[8].
Dari jalan Muhammad bin ’Utsmaan bin Abi Syaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-’Allaa’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ayyaasy, dari Mujaalid, dari Asy-Sya’bi, ia berkata : ’Orang pertama yang berbuat kedustaan adalah ’Abdullah bin Saba’.
Abu Ya’laa Al-Muushiliy berkata dalam Musnad-nya : Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan Al-Asadiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Shaalih, dari Al-Haarits bin ’Abdirrahman, dari Abul-Jalas, ia berkata : Aku mendengar ’Ali berkata kepada ’Abdullah bin Saba’ :
’Demi Allah, beliau tidak pernah menyampaikan kepadaku sesuatupun yang beliau sembunyikan dari manusia. Benar-benar aku mendengar beliau bersabda : Sesungguhnya sebelum terjadinya kiamat ada tiga puluh pendusta’; dan engkau adalah salah satu dari mereka’.[9]
Abu Ishaq Al-Fazaariy berkata : Dari Syu’bah, dari Salamah bin Kuhail, dari Abu Az-Za’raa’, dari Zaid bin Wahb : Bahwasannya Suwaid bin Ghafalah masuk menemui ’Ali radliyallaahu ’anhu di masa kepemimpinannya. Lantas ia berkata : ’Aku melewati sekelompok orang menyebut-nyebut Abu Bakr dan ’Umar (dengan kejelekan). Mereka berpandangan bahwa engkau juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua. Diantara mereka adalah ’Abdullah bin Saba’ dan dialah orang pertama yang menampakkan hal itu’. Lantas ’Aliy berkata : ’Aku berlindung kepada Allah untuk menyembunyikan sesuatu terhadap mereka berdua kecuali kebaikan’. Kemudian beliau mengirim utusan kepada ’Abdullah bin Saba’ dan mengusirnya ke Al-Madaain. Ia juga berkata : ’Jangan sampai engkau tinggal satu negeri bersamaku selamanya’. Kemudian ia bangkit menuju mimbar sehingga manusia berkumpul. Lantas ia menyebutkan kisah secara panjang lebar yang padanya terdapat pujian terhadap mereka berdua (Abu Bakar dan ’Umar), dan akhirnya ia berkata : ’Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorangpun yang mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta’.[10]
Berita tentang ’Abdullah bin Saba’ ini sangatlah masyhur dalam buku-buku sejarah dan dia tidak mempunyai satu riwayat hadits pun, walhamdulillah. Dia mempunyai pengikut yang dikenal dengan Saba’iyyah yang meyakini sifat ketuhanan ’Aliy bin Abi Thalib dan ’Aliy telah membakarnya dengan api pada masa kekhalifahannya” [Lisaanul-Miizaan, 4/483-485 no. 4253, tahqiq : ’Abdul-Fattaah Abu Ghuddah; Maktabah Al-Mathbuu’aat Al-Islaamiyyah, Cet. 1/1424].
Ada lagi syubhat lain yang mengatakan bahwa dalam riwayat Al-Humaidiy [Al-Musnad, 1/461 no. 543, tahqiq : Husain Saliim Asad] terdapat perkataan ‘Ammaar Ad-Duhniy yng menegaskan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu tidak membakar kaum penyembah berhala dan atheis itu (yaitu Saba’iyyah).
Dan diriwayatkan bahwa Ammar Ad Duhni berkata kalau Imam Ali tidak membakar mereka hanya membuat lubang lalu memasukkan mereka ke dalamnya dan mengalirkan asap ke lubang tersebut kemudian membunuh mereka [Musnad Al Humaidi 1/244 no 533]. Ammar Ad Duhni adalah tabiin kufah yang otomatis menyaksikan persitiwa tersebut sehingga kesaksiannya patut diambil dan melalui penjelasannya Imam Ali tidak membakar kaum murtad yang dimaksud. Wallahu’alam.
‘Ammaar Ad-Duhniy termasuk tingkatan shighaarut-taabi’iin yang meninggal pada tahun 133 H. Adapun ‘Aliy adalah shahabat pada thabaqah yang pertama, meninggal pada tahun 40 H. Lantas bagaimana bisa dipastikan bahwa ‘Ammaar menyaksikan peristiwa tersebut ? Alih-alih menyaksikan peristiwa, kepastian ‘Ammaar pernah bertemu/melihat dengan ‘Aliy bin Abi Thaalib saja masih menjadi pertanyaan besar. Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (21/208-209) dan juga Ibnu Hajar dalam Tahdziibut-Tahdzib (7/406) tidak menyebutkan ‘Aliy bin Abi Thaalib sebagai syaikh dari ‘Ammaar Ad-Duhniy.
Apakah jenis kesaksian seperti ini bisa dianggap/dipertimbangkan ? Ibnu Hajar setelah menyebutkan riwayat Al-Humaidiy dan Ismaa’iiliy dari Sufyaan yang menyebutkan mudzkarah antara ‘Amru bin Diinaar, Ayyuub, dan ‘Ammaar Ad-Duhniy – dan juga perkataan Ad-Duhniy di atas - , menjelaskan bahwa ‘Amru bin Diinaar menyanggah perkataan Ad-Duhniy dengan hadits dan syi’ir [lihat Fathul-Baariy, 6/151]. Tentu saja perkataan ‘Amru bin Diinaar lebih patut untuk diambil karena berkesesuaian dengan dalil daripada perkataan ‘Ammaar Ad-Duhniy rahimahumallaah.
Ada syubhat terakhir yang mengatakan :
Jika kita menerima kedua perkataan ini maka yang dimaksud oleh Imam Ali dengan “benarlah Ibnu Abbas” adalah membenarkan hadis yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW bahwa tidak boleh menyiksa dengan siksaan Allah SWT dan orang murtad cukup dibunuh saja karena Beliau Imam Ali juga mengetahui hadis tersebut. Dan yang dimaksud dengan perkataan “kasihan Ibnu Abbas” adalah Imam Ali mengasihani Ibnu Abbas yang terlalu mudah mempercayai apa saja yang disampaikan kepadanya.
Riwayat yang dimaksudkan adalah :
حدثنا أحمد بن محمد بن حنبل، ثنا إسماعيل بن إبراهيم، أخبرنا أيوب، عن عكرمة : أن عليّاً عليه السلام أحرق ناساً ارتدُّوا عن الإِسلام، فبلغ ذلك ابن عباس فقال: لم أكن لأحرقهم بالنار، إن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم قال: "لاتعذبوا بعذاب اللّه" وكنت قاتلهم بقول رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم، فإِن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم قال: " من بدل دينه فاقتلوه" فبلغ ذلك عليّا عليه السلام، فقال: ويح ابن عباس.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim : Telah mengkhabarkan kepada kami Ayyuub, dari ‘Ikrimah : Bahwasannya ‘Aliy ‘alaihis-salaam pernah membakar orang-orang yang murtad dari Islam. Lalu sampailah berita itu kepada Ibnu ‘Abbaas hingga ia berkata : "Sungguh, aku tidak akan membakar mereka dengan api. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah’. Dan aku memerangi mereka berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia’. Maka sampailah perkataan itu pada ‘Aliy, dan ia berkata : ‘Waiha Ibna ‘Abbaas’ [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4351].
Apa makna waiha Ibn ‘Abbaas (وَيْحَ ابْنِ عَبَّاسٍ) ? Kata وَيحٌ dalam bahasa ‘Arab bisa bermakna iba, kasih sayang, kecelakaan, pujian, atau kaguman;  tergantung konteks kalimatnya. Di sini – sesuai konteks kalimatnya – kata tersebut bermakna pujian, kekaguman, dan sekaligus pembenaran, sebab kata وَيحٌ telah dijelaskan dalam riwayat yang dibawakan oleh At-Tirmidziy dengan : صَدَقَ ابْنُ عَبَّاسٍ (‘Benarlah Ibnu ‘Abbas’). Oleh karena itu, antara riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidziy ini bukan riwayat yang bertolak belakang, namun saling menjelaskan satu dengan yang lainnya [lihat An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits oleh Ibnul-Atsiir, hal. 993, taqdim : Aliy Al-Halabiy, Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 1/1421; Al-Mu’jamul-Wasiith hal. 1061, Maktabah Asy-Syuruuq Ad-Dauliyyah, Cet. 4/1425; dan Lisaanul-‘Arab oleh Ibnul-Mandhur, hal. 4937-4938, Daarul-Ma’aarif].
Kalaupun misal kata ini dibawa kepada makna iba atau kasih sayang, maka ini tidak ‘nyambung’ dengan makna penerjemahan si penebar syubhat di atas. Dalam bahasa Arab, makna tarahhum atau tawajju’ ini diberikan kepada orang yang meninggal atau tertimpa musibah. Intinya, syubhat di atas muncul karena ketidakpahaman dalam bahasa ‘Arab.
Perlu diketahui bahwa peristiwa pembakaran ini pun juga disitir dalam beberapa referensi kitab-kitab Syi’ah. Para Pembaca budiman bisa membaca kembali artikel kami di : ‘Abdullah Bin Saba’ – Tokoh Nyata Yang Difiktifkan.
Masih ada beberapa keterangan lain dalam buku hadits, biografi, atau sejarah yang tidak ditampilkan di sini. Semuanya menunjukkan satu keterangan yang pasti bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu memang pernah membakar orang-orang zindiq di masa kekhalifahannya. Membantah satu kenyataan dan kebenaran tidaklah menghasilkan apa-apa kecuali kepayahan dan kepenatan.
Di sini mengandung satu pelajaran berharga bagi kita bahwa di kalangan shahabat itu ada yang lebih, ada pula yang kurang dalam hal ilmu. Ada di antara mereka yang punya satu ilmu yang tidak dimiliki shahabat lain. Tidaklah ada satu shahabat pun yang memiliki semua perbendaharaan ilmu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak terkecuali dalam hal ini ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Dalam satu atau beberapa hal, ada ilmu yang tidak diketahuinya yang itu berada di tangan shahabat lainnya, sehingga menyebabkan ijtihadnya keliru.
‘Aliy bin Abi Thaalib bukanlah sosok ma’shum yang semua pendapat, perkataan, atau perbuatannya diterima dan tidak salah. Dalam riwayat hadiitsul-ifk, ‘Aliy dan Usaamah pernah dimintai pendapat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang permasalahan yang sedang beliau hadapi terkait dengan ‘Aaisyah. Usaamah memberikan pendapat agar beliau mempertahankan ‘Aaisyah, sedangkan ‘Aliy berpendapat sebaliknya.[11] Ternyata beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah mempertimbangkannya lebih memilih pendapat Usaamah yang akhirnya Allah ta’ala menurunkan wahyu untuk membebaskan ‘Aaisyah dari segala macam tuduhan. Dapat kita lihat bahwa pendapat/pertimbangan yang diberikan Usaamah bin Zaid kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih tepat dibandingkan Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhumaa.
Banyak sebenarnya contoh yang dapat diberikan dari perkara-perkara yang semisal. Namun kita – Ahlus-Sunnah – bukanlah orang yang gemar mensensus kekeliruan para shahabat dan menyebarkannya. Jika bukan karena ghulluw yang dilakukan orang-orang Syi’ah terhadap ‘Aliy bin Abi Thaalib dan sebagian keturunannya, niscaya kita tidak berhajat untuk menuliskannya di sini.
Semoga apa yang dituliskan di sini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – 30 Mei 2010 – direvisi[12] tanggal 27 Mei 2011].
[1]Pada artikel sebelum revisi ini saya menuliskan penghukuman dalam hadits ini dla’iif, karena sebab Qataadah. Ia seorang mudallis yang membawakan riwayat dengan ‘an’anah. Akan tetapi setelah meneliti lebih lanjut tentang tadlis Qataadah ini, nampak bagi saya bahwa tadlis Qataadah ini harus dikembalikan pada asal pertemuan antara ia dengan syaikhnya. Banyak ulama terdahulu yang mengistilahkan irsaal dengan tadlis. Penyifatan tadlis para ulama kepada Qataadah maknanya adalah irsaal (yaitu ia banyak memursalkan riwayat).
Qataadah adalah salah seorang perawi yang banyak meriwayatkan dari Anas. ‘An’anah Qataadah dari Anas ini dihukumi bersambung. Al-Bukhaariy dan Muslim telah berhujjah dalam kitab Shahih-nya atas ‘an’anah Qataadah dari Anas. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah semula tidak berhujjah ‘an’anah Qataadah, namun kemudian beliau rujuk menerima jika dapat dipastikan bahwa ia memang pernah bertemu dengan syaikhnya.
Lebih lanjut bahasan akan ‘an’anah Qataadah, bisa dibaca dalam kitab Manhajul-Mutaqaddimiin fit-Tadliis oleh Naashir bin Hamd Al-Fahd.
[2]Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, ia adalah Ibnu Saalim Al-Asadiy – perawi yang dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah lagi ahli ibadah, akan tetapi berubah hapalannya di usia tua; sedangkan riwayat yang berasal dari kitabnya adalah shahih” [Taqriibut-Tahdziib – bersama At-Tahriir 4/160 no. 7985]. Ia meninggal pada tahun 173 pada usia 96 tahun. Dalam Shahih-nya, Al-Bukhaariy mengambil riwayat Ibnu Abi Syaibah yang berasal dari Abu Bakr bin ‘Ayyaasy.
Abu Hushain, ia adalah ‘Utsmaan bin ‘Aashim bin Hushain Al-Asadiy Al-Kuufiy, seorang yang tsiqah lagi tsabat, dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Dikatakan, ia meninggal pada tahun 127/128/129/132 H.
Suwaid bin Ghafalah, ia adalah Ibnu ‘Ausajah bin ‘Aamir Al-Ju’fiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Meninggal pada tahun 80/81/82 H.
[3]‘Abdurrahiim bin Sulaimaan, ia adalah Al-Kinaaniy Al-Marwaziy; seorang perawi tsiqah, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Meninggal pada tahun 187 H.
‘Abdurrahmaan bin ‘Ubaid, ia adalah Ibnu Nisthaas bin Abi Shafiyyah Al-‘Aamiriy Al-Kuufiy; seorang tsiqah, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Termasuk shighaarut-taabi’iin.
‘Ubaid bin Nisthaas, seorang perawi tsiqah, termasuk kalangan tabi’iin pertengahan.
[4]‘Aliy bin Al-Ja’d bin ‘Ubaid Al-Jauhariy, Abul-Hasan Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya. Meninggal tahun 230 H.
Qais bin Ar-Rabii’ Al-Asadiy, Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq, namun berubah hapalannya ketika tua (dan para ulama banyak mendla’ifkannya dengan sebab ini). Meninggal tahun 163 H.
Abu Hushain, namanya adalah : ‘Utsmaan bin ‘Aashim bin Hushain Al-Asadiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, namun kadang melakukan tadlis, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Meninggal tahun 127 H. Akan tetapi, penyifatan akan tadlis ini perlu diteliti kembali, sebab Ibnu Hajar tidak menyebutkannya dalam Ath-Thabaqaat.
Qabiishah bin Jaabir bin Wahb bin Maalik Al-Asadiy, Abul-‘Alaa’ Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Meninggal tahun 69 H.
Walhasil, sanad riwayat ini lemah dengan kelemahan ringan, dan ia menjadi shahih (lighairihi) dengan penguat hadits yang lain.
[5] ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Haasyimiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Meninggal tahun 93 H.
[6]Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Tarikh Dimasyqiy 29/7 dan sanadnya hasan.
[7]Al-Hamil adalah sebutan untuk segala sesuatu yang busuk, dan dia berarti orang yang botak dan tidak mempunyai rambut. (Al-Qaamus).
[8]Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aasakir dalam Taarikh Ad-Dimasyqi (29/7) dengan sanad shahih.
[9]Atsar ini tsabit (kokoh) Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 1325, Abu Ya’laa dalam Musnad-nya no. 449, dan Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 982. Al-Haitsamiy berkata dalam Majma’uz-Zawaaid 7/333 : “Para perawinya tsiqah (terpercaya)”.
[10]Atsar ini tsabit.
[11]Dalam sebuah hadits yang panjang, ‘Aisyah menceritakan :
وَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ وَأُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ حِينَ اسْتَلْبَثَ الْوَحْيُ يَسْتَشِيرُهُمَا فِي فِرَاقِ أَهْلِهِ قَالَتْ فَأَمَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَأَشَارَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالَّذِي يَعْلَمُ مِنْ بَرَاءَةِ أَهْلِهِ وَبِالَّذِي يَعْلَمُ فِي نَفْسِهِ لَهُمْ مِنْ الْوُدِّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هُمْ أَهْلُكَ وَلَا نَعْلَمُ إِلَّا خَيْرًا وَأَمَّا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لَمْ يُضَيِّقْ اللَّهُ عَلَيْكَ وَالنِّسَاءُ سِوَاهَا كَثِيرٌ وَإِنْ تَسْأَلْ الْجَارِيَةَ تَصْدُقْكَ قَالَتْ فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِيرَةَ فَقَالَ أَيْ بَرِيرَةُ هَلْ رَأَيْتِ مِنْ شَيْءٍ يَرِيبُكِ مِنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَهُ بَرِيرَةُ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ إِنْ رَأَيْتُ عَلَيْهَا أَمْرًا قَطُّ أَغْمِصُهُ عَلَيْهَا أَكْثَرَ مِنْ أَنَّهَا جَارِيَةٌ حَدِيثَةُ السِّنِّ تَنَامُ عَنْ عَجِينِ أَهْلِهَا فَتَأْتِي الدَّاجِنُ فَتَأْكُلُهُ
“Dan, ketika itu Rasulullah shallaallaahu 'alaihi wa sallam memanggil ‘Aliy bin Abi Thaalib dan Usaamah bin Zaid untuk mengajak keduanya bermusyawarah dalam rangka memisahkan (menceraikan) isterinya selama wahyu belum turun. Adapun Usaamah bin Zaid, ia menunjuki kepada Rasulullah shallaallaahu 'alaihi wa sallam dengan apa yang ia ketahui akan jauhnya istri beliau dari perbuatan tersebut dan dengan apa yang ia ketahui tentang kecintaannya kepada beliau. Usaamah berkata : 'Wahai Rasulullah, mereka adalah isteri-isterimu, kami tidak mengetahui kecuali kebaikan'. Adapun ‘Aliy bin Abi Thaalib, ia berkata : ‘Allah 'azza wa jalla tidak akan memberi kesempitan kepadamu. Masih banyak wanita-wanita lain selain dirinya. Dan sungguh, jika engkau bertanya kepada budakmu, pasti dia akan jujur". Aisyah berkata : "Kemudian Rasulullah shallaallaahu 'alaihi wa sallam memanggil Bariarah. Beliau bertanya : "Wahai Bariirah, apakah engkau melihat ada sesuatu yang meragukan bagimu dari diri ‘Aaisyah?". Bariirah menjawab : ‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak melihat pada dirinya suatu yang kurang selain tak lebih saat ia masih kecil umurnya, ia ketiduran dari menunggu adonan tepung di keluarganya lantas ada binatang jinak yang memakan tepung itu" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2770. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhaariy dalam beberapa tempat dalam Shahih-nya].
[12]Yaitu dengan penambahan riwayat-riwayat penguat. Semua riwayat yang disebutkan di atas menyebutkan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu memang benar-benar membakar orang-orang Zanaadiqah. Tidak ada jalan sebenarnya untuk mendla’ifkannya. Kalau pun seandainya dla’iif – dan itu sangatlah jauh - , maka tetap saja hadits-hadits itu dapat saling menguatkan satu dengan yang lain yang membentuk satu faedah : ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu membakar kaum Zanaadiqah.

COMMENTS

Anonim mengatakan...
subhanalloh...akhirnya keluar jg jurus simpanan antum ust, tuk membantah si 'pencari kebenaran'.
Baarokallohu fiik
31 Mei 2010 10.49
Anonim mengatakan...
Si secondprince kembali membantah tuliasn antum ini. Tapi lihatlah bagaimana lemahnya bantahannya bahkan lebih lemah dari sarang laba-laba...:D
6 Juni 2010 20.22
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ada bantahan pada artikel ini. Tapi kalau dibaca sebenarnya penyakitnya cuma satu, yaitu keyakinan : Beliau adalah pribadi yang selalu dalam kebenaran, beliau adalah Ahlul Bait yang menjadi pedoman bagi umat agar tidak tersesat dan selalu bersama Al Qur’an tidak berpisah sampai kembali kepada Rasulullah SAW di Al Haudh.
Oleh karena itu, hujjah apapun yang menunjukkan kekeliruan 'Aliy bin Abi Thaalib akan ditolak, bahkan dengan cara yang paling lucu sekalipun.
Perkataannya bahwa hadits Ibnu 'Abbas yang berasal dari 'Ikrimah adalah mursal karena anggapan bahwa 'Ikrimah tidak bertemu dengan 'Aliy adalah mengada-ada. Telah disebutkan di atas dalam riwayat Asy-Syaafi'iy bahwa yang menyatakan 'Aliy membakar orang-orang zindiq bukan dari 'Ikrimah, tapi ada orang yang menyampaikan kepada Ibnu 'Abbaas. Apalagi 'Ikrimah punya mutaba'ah dari Anas yang memang haditsnya bisa dijadikan penguat. Lucunya, rekan Rafidlah itu menegaskan bahwa Anas tidak menyaksikan peristiwa pembakara itu. Darimana ia bisa berkesimpulan ? Aneh sekali.
Dari sini saja sudah tampak akan tsabitnya khabar pembakaran tersebut.
Pembenaran 'Aliy setelah sampainya pengingkaran Ibnu 'Abbas pun sangat bisa terpahami dari hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidziy. Lucunya (lagi), ia mempertentangkan antara kalimat shadaqa Ibn 'Abbaas dengan waiha Ibn 'Abbas dengan alasan yang lagi-lagi mengada-ada. Padahal tidak ada pertentangan antara dua kalimat tersebut dalam bahasa 'Arab. Penafsirannya bahwa waiha Ibn 'Abbas merupakan pengingkaran 'Aliy terhadap Ibnu 'Abbaas adalah karena 'aqidahnya yang menyatakan : 'Aliy tidak mungkin keliru. Tidak lebih dari ini. Perkataannya yang mengatakan lafadh At-Tirmidziy adalah syaadz adalah dikarenakan ia tidak paham ilmu mushthalah, tidak paham bahasa 'Arab, plus keyakinan ghulluw-nya terhadap 'Aliy. Antara kata shadaqa Ibn 'Abbaas dan waiha Ibn 'Abbaas bukanlah satu kata yang saling bertentangan. Sudah saya sertakan referensinya, tinggal dibuka. Oleh karena itu, ini bukan katagori syaadz. Dan tidak ada satu pun ulama mengatakan hadits itu syaadz kecuali rekan Raafidliy itu. Justru perkataannya itu lah yang syaadz (atau bahkan munkar) karena menyelisihi para ulama ahli hadits. Silakan baca penjelasan Ibnu Shalah yang berkaitan dengan hadits syaadz ini.
Kritikannya terhadap riwayat Suwaid bin Ghafalah yang ia lakukan pun sangat-sangat tidak mengena. Ia mengkritik rawi Abu Bakr bin 'Ayyaasy karena ada masalah pada hapalannya. Memang benar, itu pun telah saya sebutkan. Tapi ingat, ia merupakan perawi yang dipakai oleh Bukhaari dan Muslim dalam Shahih-nya. Al-Bukhaariy (dalam Shahih-nya) mengambil riwayatnya melalui perantaraan Ibnu Abi Syaibah. Selain itu, dapat kita lihat bahwa pertemuan antara Abu Bakr bin 'Ayyaasy dengan 'Utsmaan bin 'Aashim adalah sebelum Abu Bakr bin 'Ayyaasy berubah hapalannya (perhatikan tahun kelahiran dan kematian pada foot note 1). Maka, riwayatnya ini sangat layak untuk dikatakan hasan. Ditambah lagi, riwayat tentang pembakarannya ini juga diikuti oleh riwayat-riwayat lainnya. Bagaimana bisa ia mendla'ifkan riwayat ini ?
9 Juni 2010 13.26
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tentang kritikannya terhadap 'Ubaid bin Nisthaas, ini lebih mengada-ada. Ia mengatakan bahwa 'Ubad ini tidak melihat peristiwa pembakaran itu. Lagi-lagi, bagaimana ia bisa menyimpulkan hal itu ? dengan peramalan ? Anaknya yang bernama 'Abdurrahman adalah perawi yang menerima hadits dari Asy-Sya'biy, sedangkan Asy-Sya'biy ini menerima hadits dari 'Aliy bin Abi Thaalib (meskipun hanya satu hadits), 'Abdullah bin 'Abbaas, dan yang lainnya dari kalangan shahabat besar. Di sini dapat dipahami bahwa 'Abdurrahmaan adalah ashhaab dari Asy-Sya'biy. Sama halnya dengan ayahnya. Bukanlah satu hal yang berlebihan jika 'Ubaid bin Nisthaas ini minimal aqraan dari Asy-Sya'biy. Lebih-lebih, 'Ubaid menerima riwayat dari shahabat Al-Mughiiirah bin Syu'bah radliyallaahu 'anhu, sedangkan anaknya sendiri masih menerima riwayat Anas bin Maalik dan Ibnu Abi Aufaa, sebagaimana dikatakan Ibnu Hibbaan dalam Ats-Tsiqaat (5/104).
Maka, sangat-sangat memungkinkan jika 'Ubaid ini menyaksikan peristiwa pembakaran itu, mengingat ia juga tinggal di Kuffah, sama seperti 'Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu 'anhu.
Tidak ada pernyataan satu ulama pun yang memursalkan hadits 'Ubaid dari 'Aliy, atau minimal mengisyaratkannya. Maka, riwayatnya dihukumi muttashil. Beda halnya dengan kasus Maalik Ad-Daar yang telah lalu, karena Al-Khaliiliy telah mengisyaratkan para ulama berbeda pendapat bersambung tidaknya riwayat Abu Shaalih dengan Maalik Ad-Daar.
Terakhir, adanya perbedaan lafadh tentang siapa yang dibakar 'Aliy, tapi riwayat-riwayat itu bersatu dalam penegasan bahwa 'Aliy memang pernah membakar orang-orang yang ia anggap melakukan kesyirikan. Dikuatkan lagi dalam pernyataan ahli sejarah tentang hal itu, baik dari kalangan Ahlus-Sunnah maupun Syi'ah. Juga beberapa hadits lemah yang dapat menguatkannya. Selebihnya,(tentang siapa yang dibakar), maka ini dapat dilakukan tarjih atau penjamakan sebagaimana dilakukan Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy.
Itu saja komentar singkat saya. Wallaahu a'lam bish-shawwaab.
9 Juni 2010 13.26
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ada lagi tanggapan ngawur atas revisi artikel di atas. Bantahan iu berkisar pada anggapan bahwa saya telah melakukan kedustaan tentang peristiwa pembakaran kaum zanadiqah. Kalau kita tanya, dimana sih letak kedustaan saya ? Jangan berkhayal jika memang tidak bisa berlogika sehat.
Pokok bantahan itu hanyalah pembelaannya bahwa 'Aliy membunuh dulu kaum Zanaadiqah, baru kemudian membakarnya.
Kalau kita melihat beberapa riwayat di atas, maka dapat kita lihat bahwa 'Aliy membakar kaum Zanadiqah adalah shahih --- padahal dulu orang Syi'ah Raafidlah ini mati-matian menolaknya.
Riwayat 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbaas itu shahih dan sanadnya muttashil. Itu bisa ditunjukkan pada sanad lain yang juga saya bawakan (Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 1616 dan Ibnu Abi Syaibah 7/655) bahwa 'Ikrimah mendapatkan riwayat tersebut dari Ibnu 'Abbaas. Oleh karena itu, perkataan 'Aliy bin Abi Thaalib : "Benarlah Ibnu ‘Abbas" adalah muttasil alias bersambung. 'Ikrimah mendapat riwayat tersebut dari Ibnu 'Abbaas. Tidak ada masalah jika orang Syi'ah itu menolaknya, karena memang sudah tabiatnya.
Kemudian tentang riwayat 'Ubaid bin Nisthaas. Ia menolak deengan logika yang amat dipaksakan, karena ia tahu bahwa sebenarnya ia tidak punya hujjah untuk itu. Hadits mu'an'an tetap dihukumi muttashil apabila si perawi bukan mudallis, tidak ada perkataan ahli hadits yang menunjukkan adanya keterputusan, dan keduanya memungkinkan untuk bertemu. Logika sederhananya bagi mereka yang telah belajar thabaqah perawi,.... 'Ubaid bin Nisthaas ini termasuk thabaqah ketiga (kalangan tabi'iy pertengahan). Thabaqah ini adalah thabaqah yang sangat memungkinkan untuk meriwayatkan dari generasi 'Aliy bin Abi Thaalib (thabaqah satu). Lantas apa yang musykil ?. Belajar dulu ilmu thabaqah perawi bung, dan tanya-tanya kalau tidak paham.
Al-Mizziy menyebutkan beberapa perawi di thabaqah ketiga yang meriwayatkan dari 'Aliy, di antaranya : Asmaa' bintu Al-Hakam Al-Fazaariy, Hayyaan bin Hushain, 'Abdurrahmaan bin Qais Al-Hanafiy, Yahyaa bin Al-Jazaar, dan yang lainnya. Jika itu memungkikan bagi mereka, lantas, atas dasar apa orang Raafidliy itu mengeluarkan 'Ubaid bin Nisthaas dari kemungkinan ini ?. Jawabannya tidak ada. Pendek kata, riwayat 'Ubaid bin Nisthaas ini adalah shahih. Adapun keraguan perawi apakah 'Aliy menempatkannya di masjid atau di penjara, maka itu sama sekali tidak memudlaratkan riwayatnya secara keseluruhan.
Tentang riwayat Suwaid,.... orang Raafidliy tersebut membawakan riwayat lain dari Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd no. 193 dan Asy-Syaafi'iy dalam Al-Umm 7/192 bahwasannya 'Aliy membunuh terlebih dahulu baru kemudian membakarnya. Sedangkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah 10/141 & 12/391-392 disebutkan secara mutlak bahwa 'Aliy bin Abi Thaalib membakar kaum Zanaadiqah. Sudah saya tuliskan bahwa beberapa mutaba'ah untuk Ibnu Abi Syaibah dalam periwayatannya dari Abu Bakr bin 'Ayyaasy, yaitu Khalaad bin Aslam sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dan Yahyaa bin 'Abdil Hamiid sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah no. 384, dan Asy-Syaafi’iy sebagaimana dalam Al-Umm 7/200.
12 Agustus 2011 07.27
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya pribadi merasa tidak masalah dengannya, toh dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Al-Bazzaar menunjukkan bahwa 'Aliy memang membakar kaum Zanadiqah tanpa membuat perincian. Perbedaan lafadh ini kemungkinan disebabkan oleh Abu Bakr bin 'Ayyaasy karea faktor hapalannya. Dan jika kita lihat, dalam sanad Asy-Syaafi'iy, disebutkan Ibnu Hushain, bukan Abu Hushain sebagaimana riwayat jama'ah.
Adapun hadits Qabiishah bin Jaabir, maka ia dla'iif - sebagaimana telah saya katakan.
Hadits-hadits shahih jelas sekali menunjukkan bahwa 'Aliy memang benar-benar pernah membakar kaum Zanaadiqah.
Orang Syi'ah itu - dengan kegemarannya - selalu mempertentangkan riwayat-riwayat yang shahih tanpa mau melakukan usaha penjamakan. Karena kita tahu bahwa usaha penjamakan hanya akan merugikan hasil usahanya.
Jika kita lakuan penjamakan, maka itu menunjukkan bahwa pembakaran itu tidak hanya dilakukan sekali. Dan silakan rekan-rekan mencermati keseluruhan riwayat di atas.
Adakalanya dilakukan dengan membunuhnya terlebih dahulu baru dibakar, atau dilakukan dengan dibakar (dalam pembunuhannya). Semuanya itu shahih dan terekam dalam sejarah.
Kedua cara tersebut adalah hal yang terlarang dalam Islam. Aneh sekali orang Syi'ah itu membela bahwa kalau dibunuh terlebih dahulu baru kemudian dibakar adalah boleh. Subhaanallaah, fitrah Islam pun mengingkari hal ini. Karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hadits lain telah melarang pembunuhan secara sabr, yaitu dengan mencabik-cabik jasad. Apakah mencabik-cabik jenazah itu lebih mudah dan enteng daripada membakar jasad ?.
Jika orang Syi'ah itu membolehkan, ya itu hanyalah kilahnya saja....
Adapun perkataan orang Syi'ah itu :
"Perkataan di atas disebutkan oleh salah seorang salafy dan ini adalah perkataan dusta. Ada dua kedustaan, pertama Syiah yang kami ketahui [jika yang ia maksud Syiah adalah Syiah Imamiyah, Zaidiyah dan Ismailiyah] tidak pernah mencintai Ahlul Bait sampai ke taraf menuhankan mereka. Kedustaan kedua ia mengatakan bahwa Imam Ali telah membakar Syiah yang menuhankan mereka seperti dalam riwayat shahih maka ini sangat jelas kedustaannya".
Pertama, sungguh kerdil pengetahuannya tentang Syi'ah. Ya lain kali kita akan tunjukkan bagaimana kaum Syi'ah menuhankan Ahlul-Bait (dan sebenarnya dalam artikel blog ini sudah banyak ditunjukkan). Dan kedua bahwa dusta yang dibakar adalah orang Syi'ah, maka dia lah yang berpura-pura bodoh karena kecintaan akut atas agama Syi'ah nya yang rusak. Dalam kitab-kitab sejarah sudah banyak dijelaskan tentang siapakah yang dibakar oleh 'Aliy. Atau mungkin anggapannya, agama Syi'ah itu bukan agama Zindiq ?. Kalau dia orang Syi'ah, ya wajar kalau tidak mengakuinya. Pengakuannya hanya akan merugikan agama kaumnya saja.....
12 Agustus 2011 08.52
orang awam mengatakan...
Assalamu'alaikum,
to : admin
afwan akhi ... (lagi-lagi) mengganggu waktu antum,
ada yang mau saya tanyakan perihal 'Ikrimah, mengenai Jarh (kadzaab) yang di tuduhkan kepada beliau :
روى عبد الله بن أحمد بن حنبل في كتاب (العلل ج2 ص 70) تكذيب سعيد بن المسيب لعكرمة عن أبيه أحمد بن حنبل عن إبراهيم بن سعد عن أبيه عن سعيد بن المسيب.
وقال محقق كتاب العلل الدكتور وصي الله بن محمد عباس :
( إسناده صحيح )
قال الحافظ يعقوب بن سفيان الفسوي في كتاب (المعرفة والتاريخ ج2 ص5 ، تحقيق أكرم ضياء العمري ) حدثنا عبد العزيز بن عبدالله الأويسي حدثنا ابراهين بن سعد عن أبيه (سعد بن ابراهيم ) عن سعيد بن المسيب أنه كان يقول لبرد مولاه:
يا برد لا تكذب على كما كذب عكرمة على ابن عباس
( رجاله ثقات )
yang ini saya bingung akhiy :
_____مقدمة فتح الباري - ابن حجر_____
وقال وهب بن خالد : كان يحيى بن سعيد الأنصاري يكذبه ، وقال إبراهيم بن المنذر عن معن بن عيسى وغيره : كان مالك لا يرى عكرمة ثقة ويأمر أن لا يؤخذ عنه ، وقال الربيع : قال الشافعي : لا أرى لأحد أن يقبل حديث عكرمة
sementara dalam at-Tagrib
عكرمة أبو عبد الله مولى ابن عباس أصله بربري ثقة ثبت عالم بالتفسير لم يثبت تكذيبه عن ابن عمر ولا تثبت عنه بدعة من الثالثة مات سنة أربع ومائة وقيل بعد ذلك
Syukraan katsiir atas penjelasannya,
Jazakallahu khairan wa barakallahu fiik.
23 September 2012 18.53
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Coba antum baca :
23 September 2012 20.32

Mengapa Orang Ateis Sangat Membenci Islam?

Profesor ateis terkenal Richard Dawkins menerima tepuk tangan meriah dalam komunitas tradisional Kristen Stornoway beberapa hari yang lalu, setelah berpidato selama 2 jam di mana ia mengatakan tidak mungkin ada Tuhan.

Profesor berusia 71 tahun itu menggambarkan Islam sebagai “salah satu kejahatan terbesar dunia” dalam ceramahnya yang bertajuk “The God Delusion”, sebagai bagian dari kunjungan langkanya ke Western Isles.

Pernyataan itu disampaikan selama Festival Buku Hebrides di tengah kerumunan massa yang berjumlah 220 orang. Bahkan ada daftar tunggu hingga 60 orang untuk tiket, setelah tiket acara terjual habis dalam waktu 40 menit.

Para peserta acara bersorak keras pada saat Prof Dawkins menggunakan penampilannya untuk menyerang Islam, sembari dirinya menekankan bahwa “mayoritas muslim” tidak jahat, hanya agama mereka yang jahat.

Prof. Dawkins adalah ahli biologi terkenal asal Inggris. Beliau dikenal sebagai "anjing buldognya" Charles Darwin dalam membela mati-matian Teori Evolusi. Para ilmuwan dunia termasuk Harun Yahya telah berdebat dengan Dawkins. Ateismenya bermula dari kefanatikannya terhadap Teori Evolusi bahwa alam semesta beserta isinya wujud secara kebetulan. Serangan Dawkins terhadap agama secara umum bukan suatu hal yang baru. Dia pernah mengatakan, ada tiga hal yang merupakan alasan buruk untuk mempercayai sesuatu: tradisi, otoritas, dan wahyu, yang biasanya diwariskan turun-temurun dan sulit diuji. Jebakan-jebakan ini, ujarnya, telah terbukti terlalu sering menyebabkan manusia kehilangan kemampuan berpikir kritisnya.

Dalam hal ini Dawkins sedang menantang Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya berikut kerumitan yang ada didalamnya. Dia mengkritisi Tuhan tetapi dia sendiri tidak mengkritisi dirinya sendiri, seolah dirinya lebih hebat dari Tuhan. Seolah dia mengatakan bila dia adalah orang terpandai di dunia. Bahwa orang pandai itu pasti ateis. Padahal kenyataannya tidak demikian. Banyak orang pandai justru relijius. Bahkan dalam Islam, dikenal istilah integralisme sains dan agama. Banyak ilmuwan muslim tidak hanya pandai ilmu-ilmu keduniaan tetapi mereka juga pandai ilmu-ilmu keakhiratan. Para ilmuwan muslim adalah orang-orang logis sekaligus relijius. Mereka ilmuwan yang percaya pada Tuhan, masih menjalankan syariat-Nya, dan masih beribadah kepada-Nya. Dan mereka jelas-jelas lebih hebat ilmunya daripada Dawkins.

Orang-orang atheis mempunyai masalah dalam kehidupan pribadinya. Paul Vitz dalam bukunya Psychology as Religion: The Cult of Self Worship (1998) menunjukkan bahwa para ateis "dengan sedikit kekecualian" adalah orang-orang yang ditinggalkan ayah pada usia dini atau karena sesuatu hal yang membenci ayahnya itu. Seperti Nietzshe, Freud memandang ayahnya sebagai bapak yang lemah, pengecut, dan berprilaku seksual yang menyimpang. Ia membenci ayahnya, dan selanjutnya membenci Tuhan, yang tercipta berdasarkan citra ayahnya. Psikoanalisis akhirnya membuang Tuhan sebagai sekadar ilusi kekanak-kanakan.

Kebalikan dari Richard Dawkins yang masih ateis hingga sekarang, justru ilmuwan terkenal lainnya yang semula ateis kini mempercayai adanya Tuhan. Antony Flew menyesali apa yang pernah dilakukannya dulu, yaitu menganjurkan ateisme pada banyak orang. Dia berkata, "Karena orang-orang sudah pasti terpengaruh oleh saya, saya ingin berusaha dan memperbaiki kerusakan besar yang mungkin telah saya lakukan."

Dari segi pengalaman dan umur, Prof. Flew jauh lebih hebat dan lebih senior daripada Dawkins. Berita tentang "taubat"nya Flew ini menjadi berita hangat dibeberapa media terkenal.

Dari segi pengalaman dan umur, Prof. Flew jauh lebih hebat dan lebih senior daripada Dawkins. Berita tentang "taubat"nya Flew ini menjadi berita hangat dibeberapa media terkenal. (http://philosophynow.org/issues/47/Letter_from_Antony_Flew_on_Darwinism_and_Theology)

Mengapa Dawkins sangat membenci Islam? Karena dia tahu Islam adalah antitesis dari kepercayaannya. Di dalam Al Quran bertaburan ayat tentang Sang Maha Pencipta. Dan, seorang muslim artinya berserah diri kepada Allah. Dalam artian tunduk, patuh, menjalankan syariat-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ketika mereka menyeru atheisme, rasa-rasanya sulit bagi mereka untuk tidak menghajar Islam dan penganutnya. Karena, Islamlah penghalang yang masih murni ajarannya. Dan, dalam sejarah terbukti agama yang paling sulit ditaklukan, dipreteli, dimanipulasi adalah Islam. Mungkin juga kebencian Dawkins terhadap Islam disebabkan masih tersimpannya Sindrom Perang Salib dalam dirinya sebagaimana terjangkiti pada orang-orang Barat kebanyakan. Ketika Islam mengusik ketenangannya, dia kemudian menggunakan jurus terakhirnya untuk menghancurkan Islam dengan cara melancarkan tuduhan keji sebagaimana yang disampaikan berita di atas. Oleh karena itu, ketika Anda menemukan orang-orang atheis membenci Islam, janganlah Anda merasa heran.