Oleh: DR. Faishal al-Bahr
Translate: Tim Media Farid Okbah
Murajaah: KH. Farid Ahmad Okbah. MA
Seorang ulama marja’ Syiah Muhammad Said
al-Hakim di Baghdad (tahun 1995) memfatwakan bolehnya nikah Mut’ah bagi
mahasiswa kampus dan lainnya. Namun fatwa itu ditentang dan difatwakan haram
oleh DR. Muhammad Mahrus al-Mudarris seorang tokoh madzhab Hanafi, lalu aparat
menangkap dan memenjarakan beliau.
Yang bertindak sebagai perantara bebasnya
tahanan beliau adalah Syaikh Rafi’ ar-Rifai mufti Iraq sekarang. Izzat ad-Douri
(komandan militer Iraq) berkata kepada Syaikh Rafi’, “Fatwanya itu menimbulkan
bencana fanatisme di negara ini!”
Syaikh Rifai pun menjawab dan
mengeluarkan pamflet fatwa al-Hakim yang membolehkan Mut’ah, seraya berkata,
“Sekarang siapa yang melahirkan bencana?”
Sebelumnya sang komandan belum mengetahui
akan adanya fatwa si Syiah, akhirnya ia pun membebaskan Syaikh al-Mudarris.
Setelah itu aparat ingin berbalik
menangkap al-Hakim, namun komandan ad-Douri melarang mereka, lalu ia meminta
para ulama mengirim utusan untuk mendebat tokoh-tokoh Syiah dalam masalah ini.
Maka Syaikh Abdul Malik as-Sa’di bersedia maju bersama sekelompok ulama yang di
antaranya adalah Syaikh ar-Rifai. Adapun dari pihak Syiah, muncullah al-Hakim
si pemilik fatwa, al-Madani, dan tokoh Syiah lainnya.
Akhirnya mereka pun berkumpul di Najaf
untuk melakukan dialog yang dihadiri langsung oleh komandan ad-Douri, para
aparat, dan di tengah-tengah mereka ada Shabri as-Sa’dun (panglima aparat di
Najaf saat itu).
Syaikh as-Sa’di pun mulai berbicara tentang
Mut’ah, begitu pula al-Hakim, namun keduanya belum menuai hasil. Syaikh Rafi’
ar-Rifai meminta kesempatan berbicara, lalu beliau diijinkan bicara. Syaikh
ar-Rifai bertanya kepada al-Hakim, “Sebenarnya apa yang menjadi pembeda antara
sunnah dan syiah, mengapa kami belum puas dengan pendapat kalian dan kalian
belum puas dengan pendapat kami? Hingga berbagai argumen belum membuahkan
hasil!”
Sekarang saya bertanya kepadamu, “Apakah
kamu meyakini Allah memiliki alasan dan tujuan dalam setiap hukum-Nya?”
Al-Hakim menjawab, “Tentu!”
Ar-Rifai kembali bertanya, “Apakah kamu
juga meyakini Maqashid Syariah, bahwa agama menjaga jiwa, agama,
keturunan, harta, dan akal? ”
Al-Hakim menjawab, “Tentu!”
Ar-Rifai bertanya, “Fatwamu ini untuk
setiap lelaki dan perempuan?”
Al-Hakim kembali menjawab, “Tentu!”
Ar-Rifai bertanya lagi, “Apakah wanita
memiliki waktu khusus untuk melakukan mut’ah?”
Al-Hakim menjawab, “Wanita boleh
melakukannya kapanpun!”
Ar-Rifai mendebat, “Meskipun ia baru
beberapa detik mut’ah dengan lelaki lain?”
Al-Hakim menjawab, “Tentu!”
Ar-Rifai mendebat, “Andaikata seluruh
atau kebanyakan wanita mengamalkan fatwamu lalu mut’ah, apakah anakmu ini (saat
itu hadir di majelis) mau kamu nikahkan dengan seorang perempuan yang setiap 5
menit selalu dilihat berada di pelukan lelaki?”
Saat itu al-Hakim langsung bungkam.
Ar-Rifai mendesak, “Demi Allah, jawablah
dengan jujur!”
Al-Hakim menjawab, “Tentu saja tidak,
lebih baik ia tetap membujang!”
Ar-Rifai mendebat, “Andaikata seluruh
atau kebanyakan lelaki mengamalkan fatwamu, lalu salah seorang mereka meminang
putrimu, apakah mau kamu nikahkan?”
Al-Hakim menjawab, “Tentu saja tidak,
lebih baik ia tetap perawan dan tak bersuami!”
Ar-Rifai bertanya, “Apakah kamu sudah
mendengar Syaikh Fulan (seorang Qari’ Syiah terkenal), putrinya banyak
melakukan mut’ah hingga ia familiar, tidakkah kamu dengar bahwa Syaikh itu
ingin membunuh putrinya?”
Al-Hakim menjawab, “Yaa.. aku sudah
mendengarnya!”
Ar-Rifai kembali bertanya, “Apakah kamu
membela Syaikh itu untuk membunuh putrinya, dan setelah itu ia tidak perlu
dihukum?”
Al-Hakim menjawab, “Yaa.. setiap ayah
yang menjaga kehormatan akan melakukan itu!”
Ar-Rifai kembali bertanya, “Lalu fatwa
macam apa itu, yang kontradiksi dengan dua Maqashid Syariah, jiwa dan
keturunan?”
Al-Hakim hanya terbungkam tak mampu
menjawab.
Komandan ad-Douri pun meminta kepada
al-Hakim untuk mencabut fatwa bolehnya mut’ah.
Al-Hakim pun menjawab, “Berilah saya
waktu 1 bulan, agar saya dapat mencari solusi, supaya orang-orang tidak
meragukan statusku sebagai marja’. ”
Saat itu panglima Shabri as-Sa’dun ingin
langsung membunuh al-Hakim, namun Syaikh ar-Rifai menghalangi dan meminta
ad-Douri untuk memberi tangguh.
Alhamdulillah, majelis pun selesai.