Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه
الله
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله
عَلَيهِ وَسَلَّمَ : مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ
لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
Dari Ka’ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu ia
berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua serigala yang
lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan
dengan sifat tamak manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak
agamanya.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi, no. 2376; Ahmad (III/456, 460); Ad-Darimi (II/304); Ibnu Hibban
(no. 3218–At-Ta’lîqâtul Hisân) ; Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr (XIX/96, no.
189) dan lainnya.
Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi,
Ibnu Hibban, dan lainnya. Lihat Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 1710 dan
3250)
SYARAH HADITS
Di dalam hadits ini Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ketamakan manusia terhadap
harta dan jabatan pasti akan merusak agamanya. Ketamakan manusia kepada harta
dan kepemimpinan akan membawa kepada kezhaliman, kebohongan dan perbuatan keji.
Bahkan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
TAMAK TERHADAP HARTA
Manusia sangat mencintai harta dan akan
terus senantiasa mencarinya, tidak merasa puas dengan yang sedikit, manusia
sangat tamak kepada harta dan panjang angan-angan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan
yang berlebihan. [Al-Fajr/89:20]
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
Dan sesungguhnya cintanya kepada harta
benar-benar berlebihan. [Al-‘Âdiyât/100:8]
Hati orang tua menjadi pemuda karena dua
hal, yaitu cinta dunia dan panjang angan-angan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَىٰ حُبِّ
اثْنَتَيْنِ : طُوْلُ الْـحَيَاةِ وَحُبُّ الْمَالِ
Hati orang yang tua renta senantiasa muda
dalam mencintai dua perkara: hidup yang panjang dan cinta terhadap harta.[1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda:
يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ
اثْنَانِ: حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ
Anak Adam (manusia) semakin tua dan
menjadi besar juga bersamanya dua hal: cinta harta dan panjang umur.[2]
Hikmah dari penyebutan dua hal tersebut
yaitu bahwa yang paling dicintai oleh manusia adalah dirinya, ia ingin hidup
kekal, maka itu ia mencintai panjang umur. Manusia juga mencintai harta, karena
harta merupakan sebab terbesar untuk senantiasa sehat, yang menjadi salah satu
sebab panjang umur. Jadi setiap ia merasa hartanya akan habis, bertambah
kuatlah kecintaannya kepadanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَلَا يَزْدَادُ
النَّاسُ عَلَى الدُّنْيَا إِلَّا حِرْصًا، وَلَا يَزْدَادُوْنَ مِنَ اللهِ إِلَّا
بُعْدًا
Hari Kiamat semakin dekat, dan tidak
bertambah (kemauan) manusia kepada dunia melainkan semakin rakus, dan tidak
bertambah (kedekatan) mereka kepada Allâh melainkan semakin jauh.[3]
Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang
manusia:
لَا يَسْأَمُ الْإِنْسَانُ مِنْ دُعَاءِ
الْخَيْرِ وَإِنْ مَسَّهُ الشَّرُّ فَيَئُوسٌ قَنُوطٌ
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan
jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang
harapannya.”[Fush-shilat/41: 49]
Al-Baghawi rahimahullaht berkata tentang
ayat ini, “Manusia senantiasa meminta kebaikan kepada Rabb-nya, yaitu harta,
kekayaan, dan kesehatan.”[4]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman,
بَلْ يُرِيدُ الْإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ
Tetapi manusia hendak membuat maksiat
terus menerus. [Al-Qiyâmah/75:5]
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata,
“Mereka cepat berbuat dosa dan menunda-nunda taubat. Mereka berkata, ‘Saya akan
bertaubat, saya akan beramal.’ (Tetapi mereka tidak melakukannya-pent) sampai
akhirnya kematian datang kepada mereka dalam keadaan mereka yang paling jelek
dan amalan yang paling buruk.”[5]
Panjang angan-angan, merasa masih berusia
panjang adalah penyakit berbahaya dan kronis bagi manusia. Jika penyakit ini
menjangkiti seorang Muslim, maka itu akan membawa kepada indikasi yang lebih
serius. Misalnya ia mulai menjauhi perintah Allâh Azza wa Jalla , enggan
bertaubat, cinta kepada dunia, lupa akan kehidupan akhirat yang abadi, dan
membuat hati menjadi keras. Allâhul Musta`ân.
Manusia tidak akan pernah puas terhadap
apa yang sudah diperolehnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ
أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ، وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ،
وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ
Sungguh, seandainya anak Adam memiliki
satu lembah dari emas, niscaya ia sangat ingin mempunyai dua lembah (emas). Dan
tidak akan ada yang memenuhi mulutnya kecuali tanah.’ Kemudian Allâh mengampuni
orang yang bertaubat.[6]
Dari ‘Abbas bin Sahl bin Sa’ad, ia
berkata, “Saya pernah mendengar Ibnu Zubair dalam khutbahnya di atas mimbar di
Mekah berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
الله عَلَيهِ وَسَلَّمََ كَانَ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِيَ
وَادِيًا مَلْأً مِنْ ذَهَبٍ، أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا، وَلَوْ أُعْطِيَ
ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا، وَلَا يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا
التُّرَابُ، وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ.
Wahai manusia! Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh, seandainya anak Adam
diberikan satu lembah yang penuh dengan emas, pasti dia akan ingin memiliki
lembah yang kedua, dan jika seandainya dia sudah diberikan yang kedua, pasti
dia ingin mempunyai yang ketiga. Tidak ada yang dapat menutup perut anak Adam
kecuali tanah, dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat bagi siapa saja
yang bertaubat.’[7]
Dua hadits ini menjelaskan bahwa manusia
sangat tamak dan rakus kepada harta, meskipun hartanya sudah melimpah ruah.
Diumpakan, ia memiliki satu lembah emas, tetap saja ia ingin dua lembah emas,
kalau sudah memiliki dua lembah emas atau harta yang banyak, maka tetap dia
tamak dan berambisi untuk memiliki tiga lembah emas. Dan tidak ada yang dapat
mencegah keserakahan manusia, ambisinya dan angan-angannya kecuali kematian.
Oleh karena itu di dalam hadits ini, manusia
disuruh bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla atas ketamakannya dan
keserakahannya. Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menerima orang yang
bertaubat dengan taubat yang ikhlas, jujur, dan benar.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ ﴿١﴾ حَتَّىٰ زُرْتُمُ
الْمَقَابِرَ ﴿٢﴾ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ﴿٣﴾ ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ
﴿٤﴾ كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ ﴿٥﴾ لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ ﴿٦﴾
ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ ﴿٧﴾ ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ
النَّعِيمِ
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui
(akibat perbuatanmu itu), kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan
mengetahui. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, niscaya
kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim, kemudian kamu benar-benar akan
melihatnya dengan mata kepala sendiri, kemudian kamu benar-benar akan ditanya
pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” [At-Takâtsur/102:
1-8]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
يَـقُوْلُ ابْنُ آدَمَ : مَالِـيْ ، مَالِـيْ ،
وَهَلْ لَـكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ ،
أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
Anak Adam berkata, ‘Hartaku! Hartaku!’
Tidaklah harta yang engkau miliki melainkan apa yang telah engkau makan lalu
habis, atau apa yang engkau kenakan lalu usang, atau apa yang engkau sedekahkan
lalu engkau biarkan.[8]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda :
يَقُوْلُ الْعَبْدُ : مَالِـيْ ، مَالِـيْ ،
إِنَّمَا لَـهُ مِنْ مَالِهِ ثَلَاثٌ : مَا أَكَلَ فَأَفْنَى ، أَوْ لَبِسَ
فَأَبْلَـى ، أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى ، وَمَا سِوَى ذٰلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ
وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ.
Seorang hamba berkata, ‘Hartaku! Hartaku!
Sesungguhnya ia hanya memiliki tiga hal dari hartanya: apa yang telah ia makan
lalu habis, atau apa yang ia kenakan
lalu usang, atau apa yang ia berikan lalu ia simpan untuk akhiratnya. Adapun
selain itu, maka ia akan pergi dan ditinggalkannya untuk orang lain.”[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan dalam hadits ini tentang harta manusia yang dia kumpulkan atau yang
ia simpan. Harta manusia yang sebenarnya adalah yang ia sedekahkan. Apa saja
yang ia makan dan pakai pasti akan habis. Adapun harta yang ia kumpulkan dan ia
simpan itu sama sekali bukan miliknya. Jika ia meninggal dunia, maka seluruh
hartanya yang ia simpan dan kumpulkan itu menjadi milik ahli warisnya, bukan
miliknya lagi. Yang menjadi miliknya di akhirat hanyalah yang ia sedekahkan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ
مَالِهِ ؟ قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ
أَحَبُّ إِلَيْهِ، قَالَ : فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالَ وَارِثِهِ مَا
أَخَّرَ.
Siapakah di antara kalian yang lebih
mencintai harta ahli warisnya daripada hartanya sendiri? Mereka menjawab, ”Ya
Rasûlullâh! Tidak ada seorang pun diantara kami melainkan lebih mencintai
hartanya sendiri.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Sesungguhnya hartanya sendiri itu ialah apa yang telah dipergunakannya
(disedekahkannya) dan harta ahli warisnya ialah apa yang ditinggalkannya.”[10]
Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada kita tentang fitnah harta yang banyak
membinasakan manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ
أُمَّتِيْ الْـمَـالُ
Setiap ummat memiliki fitnah (ujian), dan
fitnah ummatku adalah harta.[11]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda :
إِنَّمَا أَهْلَكَ مَـنْ كَـانَ قَبْلَكُمُ
الدِّيْنَارُ وَالدِّرْهَمُ، وَهُمَا مُهْلِكَاكُمْ
Sesungguhnya dinar dan dirham telah
membinasakan orang-orang sebelum kalian dan keduanya juga membinasakan
kalian.[12]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan bahwa harta adalah fitnah, maka wajib bagi kita untuk waspada.
Jangan sampai harta itu membinasakan kita. Allâh Azza wa Jalla menurunkan harta
agar manusia melaksanakan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Seorang Muslim
dan Muslimah wajib menggunakan hartanya untuk mendekatkan diri kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala menurut cara yang sesuai dengan syari’at Islam, seperti
mengeluarkan zakatnya, menginfakkan dan menyedekahkannya kepada fakir miskin,
membantu dakwah yang sesuai sunnah, membangun masjid, membantu pondok pesantren
ahlus sunnah, menunaikan ibadah haji dan umrah, menolong orang-orang yang
susah, dan lainnya.
Adapun orang yang tamak kepada harta dan
tidak menggunakannya di jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka orang yang
demikian pasti celaka dan binasa. Ia akan mengalami kesusahan di dunia dan
akhirat.
Penggila harta dan pecinta dunia yang
lebih mengutamakan dunia daripada akhirat adalah orang yang paling bodoh dan
paling idiot. Sebab, ia lebih mengutamakan khayalan daripada kenyataan, lebih
mengutamakan tidur daripada terjaga, lebih mengutamakan bayang-bayang yang
segera hilang daripada kenikmatan yang kekal, lebih mengutamakan rumah yang
segera binasa daripada tempat tinggal yang kekal, dan menukar kehidupan yang abadi nan nyaman
dengan kehidupan yang tidak lebih dari sekedar mimpi atau bayang-bayang yang
segera hilang.
Sesungguhnya orang yang cerdas tidak akan
tertipu dengan hal-hal semacam itu. [13]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
مُـحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ:
هَمٌّ لَازِمٌ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْقَضِى
Pecinta dunia tidak akan terlepas dari
tiga hal: (1) Kesedihan (kegelisahan) yang terus-menerus, (2) Kecapekan
(keletihan) yang berkelanjutan, dan (3) Penyesalan yang tidak pernah
berhenti.[14]
TAMAK TERHADAP JABATAN DAN KEPEMIMPINAN
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencela orang yang mencintai jabatan dan kepemimpinan. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ،
وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ
الْفَاطِمَةُ
Sesungguhnya kalian akan berambisi kepada
kempemimpinan. Dan hal itu nantinya akan jadi penyesalan pada hari Kiamat, maka
kenikmatan (bayi) yang menyusu dan kejelekan (bayi) yang disapih.”[15]
Kenikmatan bayi yang menyusu maksudnya
nikmat mendapat kedudukan, harta, kelezatan yang nyata dan tidak nyata ketika
ia mendapatkan kepemimpinan tersebut. Dan kejelekan bayi yang disapih maksudnya
ketika ia berpisah (lengser) dari kepemimpinan, apakah dengan sebab kematian
atau dengan sebab lainnya, dan juga keburukan ketika mendapatkan hukuman di
akhirat atas kepemimpinan tersebut.
Al-Muhallab rahimahullah berkata, “Ambisi
manusia kepada jabatan dan kedudukan (kepemimpinan) merupakan sebab terjadinya
peperangan di antara manusia sampai banyak orang yang terbunuh, harta mereka
dirampas, kemaluan mereka diperkosa dan juga berbagai kerusakan besar terjadi
di muka bumi dengan sebab ketamakan manusia kepada kepemimpinan.”[16]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sudah mengingatkan manusia agar tidak tamak, tidak bercita-cita dan tidak
berambisi kepada jabatan dan kekuasaan, karena kalau itu diberikan kepada orang
yang tidak berhak menerimanya, atau kepada orang yang tidak mampu atau tidak
jujur dan amanah, maka pasti akan terjadi kerusakan di muka bumi dan pemutusan
silaturrahim.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ﴿٢٢﴾أُولَٰئِكَ الَّذِينَ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu
akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka
itulah orang-orang yang dikutuk Allâh; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan
dibutakan penglihatannya. [Muhammad/47:22-23]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri tidak mau dijadikan sebagai raja. Dalam sebuah hadits, dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Jibril duduk menghadap Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian melihat ke arah langit, ternyata ada seorang
Malaikat yang turun. Jibril Alaihissallam berkata, “Sesungguhnya Malaikat ini
belum pernah turun (sebelum ini) sejak ia diciptakan. Ketika Malaikat tersebut
turun, ia berkata,
يَا مُحَمَّدُ ، أَرْسَلَنِيْ إِلَيْكَ رَبُّكَ :
أَفَمَلِكًا نَبِيًّا يَجْعَلُكَ ، أَوْ عَبْدًا رَسُوْلًا ؟
Wahai Muhammad! Rabbmu telah mengutusku
kepadamu (untuk memberimu pilihan), apakah engkau ingin Allâh menjadikanmu
sebagai seorang raja sekaligus nabi? Atau seorang hamba sekaligus rasul?”
Lalu Jibril berkata, “Tawadhu’lah
(merendahlah) kepada Rabbmu, wahai Muhammad!” Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab:
بَلْ عَبْدًا رَسُوْلاً
Bahkan aku ingin menjadi hamba sekaligus
rasul.[17]
Orang yang beriman dengan iman yang benar
dan berakal sehat, maka dia tidak cinta kepada dunia dan tidak mau disibukkan
dengan dunia, tidak suka dengan kedudukan dan jabatan, karena kecintaan manusia
kepada jabatan atau kepemimpinan akan membawa kepada kerusakan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata,
“… Cinta kepada kepemimpinan (kedudukan atau jabatan) merupakan sumber
kejahatan dan kezhaliman.”[18]
Orang-orang yang gila kepada harta,
kedudukan, jabatan, dan cinta kepada dunia, mereka akan menyesal pada hari
kiamat. Yaitu ketika mereka diberikan catatan amalnya dari sebelah kirinya.
Semua kekuasaan, jabatan, dan hartanya tidak bermanfaat di akhirat. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ
فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ﴿٢٥﴾وَلَمْ أَدْرِ مَا
حِسَابِيَهْ﴿٢٦﴾يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ﴿٢٧﴾مَا أَغْنَىٰ عَنِّي
مَالِيَهْ ﴿٢٨﴾هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
Dan adapun orang yang kitabnya diberikan
di tangan kirinya, maka dia berkata, “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak
diberikan kepadaku. Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku,
Wahai, kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu. Hartaku sama
sekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku.”
[Al-Hâqqah/69:25-29]
Jadi cinta harta, dunia, kedudukan,
jabatan, dan lainnya akan merusak agama seseorang dan merusak kehormatannya.
Kemudian akan menjadi penyesalan yang berkepanjangan sampai hari Kiamat. Inilah
akibat orang yang mengutamakan dunia daripada akhirat. Padahal hidup ini untuk
beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Mudah-mudahan kita diberikan hidayah
taufik untuk melaksanakan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan ikhlas
semata-mata karena-Nya.
Semoga Allâh menjadikan kita para
hamba-Nya yang tujuan hidupnya akhirat dan tidak tertipu dengan dunia.
FAWAA’ID:
Dunia merupakan tempat ujian dan cobaan.
Manusia dihiasi dengan kecintaan kepada
harta, wanita, dan perhiasan dunia lainnya.
Manusia sangat tamak kepada harta.
Hati manusia senantiasa muda dengan cinta
dunia dan panjang angan-angan.
Manusia tidak pernah puas dengan apa yang
diperolehnya.
Harta merupakan fitnah bagi ummat Islam.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak khawatir ummat Islam fakir, tapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
khawatir dibukakan pintu-pintu dunia kepada manusia sehingga mereka
berlomba-lomba mencarinya.
Harta banyak membinasakan manusia.
Harta yang baik adalah yang dipegang dan
dikuasai oleh orang yang shalih.
Islam tidak melarang ummat Islam kaya,
tapi kekayaan yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla
dan beribadah kepada-Nya, serta digunakan untuk menegakkan agama Islam dan
menolong kaum Muslimin.
Manusia sangat ambisi dan serakah kepada
jabatan dan kepemimpinan.
Ketamakan dan ambisi manusia kepada
jabatan dan kepemimpinan merupakan sumber kejahatan dan kezhaliman.
Kerusakan yang ada di muka bumi di
antaranya disebabkan keserakahan manusia kepada harta dan jabatan.
Banyak di antara manusia yang diberikan
kekayaan kemudian mereka menjadi sombong dan angkuh.
Banyak juga di antara manusia yang
diberikan kekuasaan atau jabatan, lalu mereka berbuat kezhaliman, kejahatan,
dan memutuskan silaturrahim.
Ketamakan manusia kepada harta dan
jabatan akan merusak agama mereka, dan ini merupakan musibah yang besar.
Ketamakan manusia kepada harta dan
jabatan lebih sangat merusak agama dan kemuliaan seseorang daripada serigala
yang menerkam sekumpulan kambing.
Hadits ini sebagai peringatan bagi
manusia agar berhati-hati dan zuhud terhadap dunia dan jabatan (jangan mengharap
jabatan).
Hadits ini menganjurkan untuk bertaubat
kepada Allâh Azza wa Jalla dari segala macam perbuatan dosa dan maksiat dan
dari ketamakan terhadap dunia sebelum datangnya kematian.
Kita dianjurkan mengambil pelajaran dari
kebinasaan ummat-ummat terdahulu dengan sebab harta dan wanita.
Hendaknya seorang Muslim membekali
dirinya di dunia dengan ilmu yang bermanfaat, melakukan amal-amal shalih, dan
berlomba melakukan kebajikan dengan ikhlas dan ittiba’ sebagai bekal menuju
kehidupan yang abadi, yakni akhirat.
MARAAJI’:
●Tafsîr al-Baghawi, cet. Daar Thaybah.
●Kutubus Sittah, Musnad Imam Ahmad, dan kitab
hadits lainnya.
●Fat-hul Bâri, Darul Fikr.
● ‘Uddatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn,
karya Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim al-Hilali, dan tahqiq
Isma’il bin Ghazi Marhaba, Daar ‘Alamil Fawa`id.
●Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
●Ighâtsatul Lahafân min Mashâyidis Syaithâ
●Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafâ
●Shahîh at-Targhîb wat tarhîb, Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani.
●Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani.
●Dunia Lebih Jelek Dari Bangkai Kambing, karya
penulis, cet. Pustaka at-Taqwa.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
07/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi
08122589079]
_______
Footnote
[1]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6420 dan Muslim, no. 1046 (114). Lafazh ini
milik Muslim.
[2]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6421 dan Muslim, no. 1047, dari Anas bin
Malik rahimahullah .
[3]
Shahih: HR. Al-Hakim, IV/324 dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu .
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no.
1510
[4]
Tafsîr al-Baghawi, IV/71, cet. Daar Thaybah.
[5]
Tafsîr al-Baghawi, IV/513, cet. Daar Thaybah.
[6]
Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri, no. 6439 dan Muslim, no. 1048
[7]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6438
[8]
Shahih: HR. Muslim, no. 2958, dari Abdullah bin asy-Syikhkhir
Radhiyallahu anhu.
[9]
Shahih: HR. Muslim, no. 2959, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[10]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6442. Dari ’Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu
anhu
[11]
Shahih: HR. At-Tirmidzi, no. 2336;
Ahmad, IV/160; Ibnu Hibban, no. 2470-al-Mawaarid), dan al-Hakim
(IV/318). Lafazh ini milik at-Tirmidzi, beliau t berkata, “Hadits ini hasan
shahih.” Dari Sahabat Ka’ab bin ‘Iyadh z . Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah, no. 592
[12]
Shahih: HR. Al-Bazzar, V/51, no. 1612 dengan sanad jayyid.
[13]
Diringkas dari ‘Uddatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, hlm.
355-356, karya Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim al-Hilali, dan
hlm. 434-435 tahqiq Isma’il bin Ghazi Marhaba, cet. Daar ‘Alamil Fawa`id.
[14]
Ighâtsatul Lahafân (I/87-88) dan lihat Mawâridul Amân al-Muntaqa min
Ighâtsatil Lahafân (hlm. 83-84).
[15]
Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 7148
[16]
Fat-hul Baari (XIII/126), cet. Darul Fikr.
[17]
Shahih: HR. Ahmad, II/231 dan Ibnu Hibban (no. 2137-Mawâriduz Zham`aan).
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no.
1002 dan Shahîh Mawâridhuz Zham`ân, no. 1290
[18]
Majmû’ Fatâwâ, XVIII/162