Diposting oleh Abu Al-Jauzaa'
Saya terus terang masih bingung
mendefinisikan islAm NUSantara. Sebagian tokoh lokal menjelaskan ide baru ini
sebagai identitas keislaman orang Indonesia yang ‘moderat’ dan penuh ‘rahmat’;
mesti diinternasionalisasikan ke manca negara. Islam yang dalam pikiran
sebagian tokoh tergambarkan sebagai Islam yang mengadopsi budaya lokal, nggak
mau kearab-araban (atau bahkan anti Arab?), tapi sangat hobi – kalau tidak mau
dikatakan rakus – mengadopsi style kebarat-baratan. Islam yang menjadi opisisi
‘Islam Arab’ (?). Islam yang pemahaman nash-nashnya mesti di-reinterpretasi
sesuai kondisi dan kebutuhan, sebagaimana diskusi naas belum lama ini yang
berhasil membuat girang Benyamin Netanyahu.[1]
Saya menjadi bertanya-tanya, apakah Islam
yang ada sekarang ini tidak mencukupi kebutuhan para pengusung ide islAm
NUSantara?
‘Islam Arab’ – katakanlah untuk sementara
begitu – telah mengajarkan sikap pertengahan (moderat) dalam beragama. Versi
yang diajarkan Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ adalah sikap
pertengahan antara tafriith (meremehkan) dan ifrath (melampaui batas). Contoh
mudah tergambar dalam ayat yang minimal 17 kali kita ucapkan:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا
الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus,
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka,
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”
[QS. Al-Faatihah : 6-7].
Jalan pertengahan berupa
ash-shiraathul-mustaqiim adalah jalan yang senantiasa kita mohonkan. Tidaklah
kita diperintahkan untuk memohon suatu jalan kecuali jalan tersebut pasti
membawa keselamatan dunia dan di akhirat. Ash-Shiraathul-Mustaqiim adalah jalan
kehidupan yang ditempuh Rasulullah ﷺ dan para
shahabatnya radliyallaahu ‘anhum.
‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa ketika menjelaskan makna ash-shiraathul-mustaqiim berkata:
هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَاهُ "، قَالَ: فَذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلْحَسَنِ،
فَقَالَ: " صَدَقَ وَاللَّهِ وَنَصَحَ وَاللَّهِ هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا
“(Ash-shiraathul-mustaqiim) adalah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan para shahabatnya”.
Perawi (yaitu ‘Aashim) berkata : “Kemudian kami menyebutkan hal tersebut kepada
Al-Hasan (Al-Bashriy), lalu ia menjawab : ‘Ia benar, demi Allah, ia telah
memberikan nasihat, demi Allah. (Ash-shiraathul-mustaqiim) adalah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa aalihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa”
[Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak, 2/259; dan ia
menshahihkannya].
‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa, bukan orang ecek-ecek jebolan STAIN atau Leiden, tapi ia adalah pakar
tafsir yang direkomendasikan Nabi ﷺ dengan doanya:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ، وَعَلِّمْهُ
التَّأْوِيلَ
“Ya Allah, faqihkan ia dalam agama dan
ajarkanlah ilmu ta’wil (tafsir) kepadanya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/266 &
1/314 & 1/335, Ibnu Hibbaan 15/531 no. 7055, dan yang lainnya; shahih[2]].
Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah adalah
ulama besar generasi taabi’iin negeri Bashrah. Anak pesantren hampir semua tahu
nama besar beliau.
Lantas mengapa dikatakan kehidupan
Rasulullah dan para shahabatnya dulu dianggap sebagai jalan pertengahan
(moderat) yang membawa kepada keselamatan ?. Tidak lain karena Nabi ﷺ adalah orang yang
paling tahu kebaikan yang diinginkan Allah ﷻ bagi manusia,
paling tahu maksud dan implementasi Al-Qur’an yang menjadi pedoman kehidupan
manusia, dan paling kasih sayang terhadap orang-orang yang beriman. Allah ﷻ telah menjadikan
beliau ﷺ sebagai sosok teladan
sepanjang masa bagi orang-orang beriman.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ
اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS.
Al-Ahzaab : 21].
Adapun para shahabat radliyallaahu ‘anhum
secara komunitas, mereka adalah orang-orang pilihan yang telah Allah ridlai
jalan kehidupannya sebagaimana dalam firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshaar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan
mereka pun ridla kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100].
Allah ﷻ telah menegaskan
mereka adalah golongan orang yang diridlai oleh-Nya, sudah pasti perikehidupan
mereka adalah yang terbaik, meski secara individu (para shahabat) tidak lepas
dari kekeliruan, dan mereka adalah orang yang paling cepat rujuk/taubat dari kekeliruan.
Kembali ke Surat Al-Fatihah ayat 6-7…
Ketika Allah memerintahkan kita memohon
petunjuk agar dapat meniti ashi-shiraathul-mustaqiim, maka Allah ﷻ memberikan clue
bahwa jalan tersebut bukan jalan yang ditempuh dua golongan orang:
1.
(jalan) mereka yang dimurkai, yaitu Yahudi
2.
(jalan) mereka yang sesat, yaitu Nashara.
Dari salah seorang shahabat Nabi ﷺ, ia meriwayatkan:
وَسَأَلَهُ رَجُلٌ مِنْ بُلْقِينٍ، فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: " هَؤُلَاءِ الْمَغْضُوبُ
عَلَيْهِمْ "، فَأَشَارَ إِلَى الْيَهُودِ، فَقَالَ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ:
" هَؤُلَاءِ الضَّالُّونَ " يَعْنِي النَّصَارَى
Ada seorang laki-laki dari Bulqiin yang
bertanya kepada Nabi ﷺ : “Wahai Rasulullah,
siapakah mereka ?”. Beliau ﷺ menjawab : “Mereka adalah
al-maghdluub ‘alaihim (orang-orang yang dimurkai)”. Lalu beliau ﷺ berisyarat kepada
Yahudi. Laki-laki itu kembali bertanya : “Siapakah mereka ?”. Beliau ﷺ menjawab : “Mereka
adalah adl-dlaalluun (orang-orang yang sesat)” - yaitu Nashara [Diriwayatkan
oleh Ahmad 5/77; shahih].
Dalam riwayat ‘Adiy bin Haatim, Nabi ﷺ bersabda:
فَإِنَّ الْيَهُودَ مَغْضُوبٌ عَلَيْهِمْ وَإِنَّ
النَّصَارَى ضُلَّالٌ
“Sesungguhnya Yahudi adalah maghdluubun
‘alaihim (orang-orang yang dimurkai), sedangkan Nashara adalah dlullaal
(orang-orang yang sesat)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2954 dan
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/183].
Yahudi disebut sebagai orang-orang yang
dimurkai karena mereka melakukan tafriith (peremehan). Mereka mengetahui
kebenaran, namun:
1.
Enggan mengerjakannya.
Allah ta’ala berfirman:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ
أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri,
padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” [QS.
Al-Baqarah : 44].
2.
Menutupinya.
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ
كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ
الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka
mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 146].
3.
Mengubah-ubahnya.
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ
عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ
وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ
قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا
قَلِيلا
"Yaitu orang-orang Yahudi, mereka
merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami
mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan
pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa.
Dan (mereka mengatakan): "Raa’ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan
mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami mendengar dan patuh, dan
dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka
dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka.
Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis" [QS. An-Nisaa' : 46].
4.
Menentangnya
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ
كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى
الْكَافِرِينَ
“Dan setelah datang kepada mereka Al
Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya
mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas
orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka
ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang
yang ingkar itu” [QS. Al-Baqarah : 86].
5.
Memusuhinya (kebenaran) dan orang-orang yang berpegang kepadanya.
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ
وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا
يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ
ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
“Lalu ditimpakanlah kepada mereka
(orang-orang Yahudi) nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari
Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan
membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena
mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas” [QS. Al-Baqarah: 61].
Inilah karakter-karakter Yahudi yang
banyak dicela dalam Al-Qur’an.
Adapun Nashara disebut sebagai
orang-orang sesat, karena mereka berani beramal tanpa ilmu dan berbicara
tentang Allah dengan sesuatu yang mereka tidak ketahui. Lihatlah bagaimana
kelancangan mereka dalam:
1.
Mempertuhankan ‘Iisaa
وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ
أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ
قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ
كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلا أَعْلَمُ مَا
فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman:
"Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia:
"Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?" Isa
menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang
bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau
telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak
mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui
perkara yang ghaib-ghaib” [QS. Al-Maaidah : 116].
2.
Membuat-buat konsep Trinitas
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ
ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا
عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang
mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal
sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang
kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih” [QS. Al-Maaidah : 73].
3.
Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal
Ini adalah konsep beragama yang lahir
dari buah pikir para pendeta/rahib mereka, sebagaimana firman Allah ta’ala:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا
لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا
يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya,
dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka
mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” [QS. At-Taubah : 31].
Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu
pernah ditanya tentang ayat ini : “Apakah mereka (orang-orang Nashara)
menyembah (shalat) kepada mereka (para pendeta/rahib) ?. Ia (Hudzaifah
menjawab:
لا، وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا يُحِلُّونَ لَهُمْ مَا
حُرِّمَ عَلَيْهِمْ، فَيَسْتَحِلُّونَهُ، وَيُحَرِّمُونَ عَلَيْهِمْ مَا أَحَلَّ
اللَّهُ لَهُمْ، فَيُحَرِّمُونَهُ، فَصَارُوا بِذَلِكَ أَرْبَابًا
“Tidak, akan tetapi mereka (para
pendeta/rahib) menghalalkan apa yang diharamkan Allah atas mereka, dan kemudian
orang-orang Nashara itu juga menghalalkannya. Dan mereka (para pendeta/rahib)
mengharamkan apa yang dihalalkan Allah atas mereka, dan kemudian orang-orang
Nashara itu juga mengharamkannya. Maka dengan sebab itu para pendeta/rahib itu
seperti rabb-rabb (bagi orang Nashara)” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam
As-Sunnah no. 1325, ‘Abdurrazzaaq dalam Tafsiir-nya no. 1073, serta Al-Baihaqiy
dalam Al-Kubraa, 10/116 no. 20351 dan dalam Al-Madkhal no. 258-259; shahih].
‘Islam Arab’ yang dibawa Nabi ﷺ memberi tatanan
kehidupan yang sempurna, paripurna, dan pertengahan (moderat) antara dua
karakter jelek Yahudi dan Nashara di atas. Yaitu : mengamalkan apa yang
diperintahkan Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ, berhenti dari apa
yang dilarang Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ, tidak membuat
aturan/syari’at baru dan/atau yang bertentangan dengan aturan/syari’at Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ, mencintai apa yang
dicintai Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ, serta membenci apa
yang dibenci Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ. Apa yang datang
dari Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ sudah pasti baik
dan memberikan kemaslahatan bagi manusia. Allah ta’ala yang menciptakan manusia
dan Ia lebih tahu kebaikan hakiki yang bermanfaat bagi umat manusia.
Inilah diantara sifat pertengahan (moderat) ‘Islam
Arab’.
‘Islam Arab’ mengajarkan sikap pertengahan
(moderat) dalam takfir.[3] Tidak bermudah-mudah dalam mengkafirkan kaum muslim
yang berbuat dosa, namun sebaliknya; (harus) tidak ragu dan pelo untuk
mengatakan kafir orang yang jelas-jelas kekafirannya.
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
قَالَ: " أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا
أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ"
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
: Bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda :
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya ‘wahai kafir’, sungguh akan kembali
pada salah seorang di antara keduanya. Apabila saudaranya itu seperti yang ia
katakan (yaitu kafir), maka perkataan itu akan tertuju padanya. Jika tidak,
maka tuduhan itu akan kembali kepada pengucapnya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 6104 dan Muslim no. 60].
Seandainya pun ada orang yang (secara dhahir)
melakukan perbuatan kekufuran – seperti misal minta tolong ke dukun,
ber-istighatsah kepada orang shalih yang telah mati, dan yang lainnya – tidak
boleh langsung dikafirkan sebelum terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang
berbagai penghalangnya.[4] Namun demian, tidak juga berkonsekuensi kita jadi
anti takfir. Orang yang jelas dikafirkan Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ harus kita katakan
kafir seperti orang kafir asli yang tidak pernah masuk agama Islam dari
kalangan Yahudi[5], Nashrani[6], orang-orang musyrik[7], Hindu, Budha,
Konghucu, Shinto, Tao, dan yang semisalnya yang kekufurannya ditegaskan Allah
dan Rasul-Nya tanpa ada perselisihan. Begitu juga atheis dan orang murtad yang
menyatakan dirinya keluar dari agama Islam menjadi selain Islam, harus kita
nyatakan kafir juga.[8]
Jangan seperti contoh kasus Pilkada DKI
tempo hari dimana ada segerombolan manusia yang tidak rela dan tidak mau
mengatakan Ah*k kafir. Gimana tidak kafir, lha wong dianya sendiri mengaku
tidak beragama Islam serta tidak mau mengatakan beriman kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ. KBBI sudah
menjelaskan definisi ‘kafir’:
ka.fir
n orang yang tidak percaya kepada Allah
Swt. dan rasul-Nya[9]
Alhamdulillah, para pakar bahasa kita di
Kemendikbud lebih jernih pikirannya daripada gerombolan tersebut.
Inilah ajaran ‘Islam Arab’ yang sangat
masuk akal dan sangat ilmiah. Pertengahan (moderat) antara dua sekte sampah :
Khawaarij yang mudah sekali mengkafirkan dan Murji’ah yang tidak mau
mengkafirkan.
Jangan karena adanya fakta ekstrimitas
ISIS (yang kebetulan media kita senang sekali mem-blow up-nya) – kelompok
minoritas Islam – digunakan untuk generalisasi sifat bagi seluruh kaum
muslimin. Saya yakin, banyak orang Kristen tidak senang agama mereka
direpresentasikan oleh Ku Klux Klan (KKK) dan Army of God (AOG).
‘Islam Arab’ mengajarkan sikap
pertengahan (moderat) dalam masalah muamalah terhadap para pemimpin muslim.
Taat kepada mereka hanya dalam perkara yang ma’ruuf dan tidak bertentangan
dengan syari’at dalam rangka mewujudkan persatuan, stabilitas, dan kemaslahatan
yang lebih besar. Ssenantiasa sabar atas kedhaliman mereka dan menasihati
mereka dalam kebaikan.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ :
59].
Nabi ﷺ bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ
أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim untuk
mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia
benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila
ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh
taat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2955 & 7144, Muslim no. 1839,
At-Tirmidziy no. 1707, dan Ibnu Majah no. 2864].
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ
فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan.
Ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf (kebajikan)” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 7257, Muslim no. 1840; Abu Dawud no. 2625; dan lain-lain].
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً
فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui
atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat – AbuAl-Jauzaa’).
Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7057 dan
Muslim no. 1845].
الدِّينُ النَّصِيحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ:
لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ،
وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat”. Kami bertanya :
“Untuk siapa ?”. Beliau ﷺ menjawab : “Untuk Allah,
kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 55].
Pertengahan antara sikap:
1.
‘Menjilat’ dan ABS (Asal Bapak Senang)
Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ
فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ
فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَلَا نُقَاتِلُهُمْ، قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا، أَيْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ
وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ
“Akan diangkat para penguasa untuk
kalian. Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau mengingkarinya (karena ia
telah berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas diri
(darinya). Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan
tetapi, (lain halnya dengan) orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin
tersebut”. Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh
memeranginya ?”. Beliau ﷺ menjawab : ”Tidak, selama
mereka mengerjakan shalat”. Yaitu barangsiapa yang membenci dan mengingkari
dengan hatinya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1854].
Oleh karena itu, tidak boleh menyebarkan
hoax - meski membangun – dalam rangka menjilat asal bapak senang, serta
membenarkan dan mendukung kebijakan pemimpin/pemerintah yang merugikan kaum
muslimin.
2.
Konfrontatif, provokatif, dan waton suloyo (asal beda).
Bahasa politik asal beda dan harus jadi
opisisi ketika tidak kebagian roti sudah menjadi trend di negara kita. Sudah
buncit perut rakyat kenyang tersumpal aksi teatrikal para pelawak. Sebagian
orang lebih suka menggunakan bahasa provokatif yang menyulut kemarahan dan aksi
masyarakat. Setiap rezim pemerintahan seakan dijadikan common enemy. Tinggal
menunggu giliran, siapa yang dilawan dan yang melawan.
Sungguh, seandainya kita mampu menahan
diri dan senantiasa berdoa dengan doa yang diucapkan Nabi Ibraahiim
‘alaihis-salaam:
رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ
أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Wahai, Rabbku, jadikanlah negeri ini
negeri aman sentausa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya
yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian” [QS. Al-Baqarah :
126]
dan berdoa:
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا،
اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ
وَالْمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِنْهُمْ عَلَى الْقِيَامِ بِمَهَامِهِمْ كَمَا
أَمَرْتَهُمْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ
السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ
وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِ
الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ
“Ya Allah, jadikanlah pemimpin kami orang
yang baik. Berikanlah taufik kepada mereka untuk melaksanakan perkara terbaik
bagi diri mereka, bagi Islam, dan kaum muslimin. Ya Allah, bantulah mereka
untuk menunaikan tugasnya, sebagaimana yang Engkau perintahkan, wahai Rabb
semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah mereka dari teman dekat yang jelek dan teman
yang merusak. Juga dekatkanlah orang-orang yang baik dan pemberi nasihat yang
baik kepada mereka, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, jadikanlah pemimpin kaum
muslimin sebagai orang yang baik, di mana pun mereka berada”
niscaya lebih baik.
Jadi, ajaran ‘Islam Arab’ yang tertera dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan penjelasan para ulama Ahls-Sunnah dari mulai
generasi salaf hingga khalaf sudah sangat memadai. Benar, tepat, akurat, dan
solutif.
Kemudian masalah ‘rahmah’. Katanya, islAm
NUSantara adalah bentukan Islam yang penuh kasih sayang dan kepedulian terhadap
sesama.
Yang jadi pertanyaan saya : Apakah selama ini
‘Islam Arab’ yang dibawa Nabi ﷺ serta yang dipraktekkan
para shahabat dan para ulama - yang notabene mereka orang Arab - kurang
menggambarkan ajaran ‘rahmah’ alias kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama
yang dimaui islAm NUSantara?. Bener dah…. pingin ketawa saya membaca ajaran islAm
NUSantara yang ini ….
Saya contohkan beberapa gambaran ‘rahmah’
yang diajarkan dan dipraktekkan Nabi Muhammad ﷺ - yang berasal dari
Arab – agar diteladani kaum muslimin secara universal baik di Timur dan di
Barat:
1.
Kasih sayang kepada binatang saat menyembelih
Diantara bentuk ‘rahmah’ atau kasih
sayang tersebut menjauhkan pandangan hewan sembelihan ketika menajamkan pisau.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: مَرَّ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ عَلَى رَجُلٍ
وَاضِعٍ رِجْلَهُ عَلَى صَفْحَةِ شَاةٍ وَهُوَ يُحِدُّ شَفْرَتَهُ وَهِيَ تَلْحَظُ
إِلَيْهِ بِبَصَرِهَا، فَقَالَ: " أَفَلا قَبْلَ هَذَا تُرِيدُ أَنْ
تُمِيتَهَا مَوْتَتَيْنِ
Dari Ibnu ’Abbaas, ia berkata :
”Rasulullah ﷺ melewati seorang
laki-laki yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing dalam keadaan ia
mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu memandang kepadanya. Maka beliau ﷺ berkata : ‘Apakah
sebelum ini engkau hendak mematikan dengan dua kali?” [Diriwayatkan oleh
Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 3590 dan dalam Al-Kabiir 11/332-333 no.
11916 HR. Al-Baihaqiy 9/280 no. 19141, dan Al-Haakim 4/231 & 4/233;
shahih].
Konsep ‘rahmah’ dalam adab penyembelihan
yang mungkin banyak tidak diketahui para pegiat islAm NUSantara.
2.
Mengutamakan kebutuhan orang lain daripada diri sendiri.
Allah ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ
مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي
صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ
كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati
Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung” [QS. Al-Hasyr : 9].
Ayat ini mempunyai sababun-nuzuul-nya,
sebagaimana diceritakan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu:
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ ﷺ
فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ، فَقُلْنَ: مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
" مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا "، فَقَالَ: رَجُلٌ مِنْ
الْأَنْصَارِ أَنَا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ، فَقَالَ: أَكْرِمِي
ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
فَقَالَتْ: مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي، فَقَالَ: هَيِّئِي طَعَامَكِ
وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً،
فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا، ثُمَّ
قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ، فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ
أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ، فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
فَقَالَ: " ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا
"، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ
بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ, lalu beliau
menghubungi istri-istri beliau. Mereka berkata : "Kami tidak punya apa-apa
selain air". Lalu Rasulullah ﷺ bersabda (kepada
para shahabat) : "Siapakah yang mau mengajak atau menjamu orang
ini?". Maka ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar yang berkata :
"Aku". Kemudian shahabat Anshar itu pulang bersama laki-laki tadi
menemui istrinya lalu berkata : "Muliakanlah tamu Rasulullah ﷺ ini". Istrinya
berkata : "Kita tidak memiliki apa-apa kecuali sepotong roti untuk
anakku". Shahabat Anshaar itu berkata : “Suguhkanlah makananmu itu lalu
matikanlah lampu dan tidurkanlah anakmu". Ketika mereka hendak menikmati
makan malam, maka istrinya menyuguhkan makanan itu lalu mematikan lampu dan
menidurkan anaknya. Lalu ia berdiri seakan hendak memperbaiki lampunya, lalu
dimatikannya kembali. Suami-istri tersebut hanya menggerak-gerakkan mulutnya
(seperti mengunyah sesuatu) seolah keduanya ikut menikmati hidangan. Kemudian
keduanya tidur dalam keadaan lapar karena tidak makan malam. Ketika pagi
harinya, pasangan suami istri itu menemui Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ bersabda :
"Malam ini Allah tertawa atau terkagum-kagum atas apa yang kalian berdua
lakukan". Kemudian Allah menurunkan firman-Nya : “Dan mereka lebih
mengutamakan orang lain (Muhajirin) dari pada diri mereka sendiri sekalipun
mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-Hasyr : 9)
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3798 & 4889].
Akhlaq dan keikhlasan orang Anshaar ini
tidak akan dapat disamai pegiat islAm NUSantara dimanapun. Sifat kasih sayang
dan kepedulian terhadap sesama yang dipersaksikan Allah ﷻ di atas langit.
Please, jangan disamakan dengan acara
bagi-bagi sembako dalam kresek yang diberi foto dua orang sambil dikasih stiker
bertulis : ‘Adil, Merakyat, Kasih Sayang, dan Peduli terhadap Sesama’. Jauh
sekali antara dasar bumi dan langit ketujuh.
3.
Memperhatikan dan peduli terhadap tetangga
Memberikan makanan kepada tetangga kafir:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّهُ
ذُبِحَتْ لَهُ شَاةٌ، فَجَعَلَ يَقُولُ لِغُلامِهِ: أَهْدَيْتَ لِجَارِنَا
الْيَهُودِيِّ ؟ أَهْدَيْتَ لِجَارِنَا الْيَهُودِيِّ ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
يَقُولُ: مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ
سَيُوَرِّثُهُ "
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru : Bahwasannya ia
pernah disembelihkan kambing untuknya. Lalu ia berkata kepada pembantunya :
“Sudahkah engkau hadiahkan kepada tetangga Yahudi kita ? Sudahkah engkau
hadiahkan kepada tetangga Yahudi kita ? Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : ‘Jibriil
senantiasa berwasiat kepadaku terhadap tetangga, hingga aku mengira mereka akan
mewarisinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 105 dan
At-Tirmidziy no. 1943; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih
Al-Adabil-Mufrad hal. 66].
Menjenguk tetangga kafir yang sedang
sakit:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
" كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ ﷺ
فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ ﷺ
يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ، فَنَظَرَ إِلَى
أَبِيهِ، وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ ﷺ
فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ ﷺ
وَهُوَ يَقُولُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ "
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata
: “Ada anak laki-laki Yahudi yang bekerja membantu Nabi ﷺ sedang sakit. Maka
Nabi ﷺ datang menjenguknya. Lalu
beliau ﷺ duduk di dekat kepalanya
seraya bersabda : “Masuk Islamlah”. Anak laki-laki memandang bapaknya yang
kebetulan ada di dekatnya. Lalu bapaknya tersebut berkata : "Taatilah
Abul-Qaasim ﷺ”. Maka anak laki-laki itu
pun masuk Islam. Setelah itu Nabi ﷺ keluar dan
mengucapkan : "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu
dari neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1356, Abu Daawud no. 3095,
Ahmad 3/175, dan yang lainnya].
Menerima titipan orang kafir dan
menjaganya dengan penuh amanat.
Saat di Makkah, Rasulullah ﷺ banyak dititipi
barang oleh orang-orang kafir. Mereka percaya karena sifat amanah beliau ﷺ - dan beliau adalah
orang Arab – . Ketika hendak hijrah ke Madiinah, maka beliau ﷺ menyuruh ‘Aliy bin
Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu mengembalikan semua barang titipan yang ada
pada beliau ﷺ kepada pemiliknya
masing-masing [Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyaam 2/142 dan Ath-Thabariy dalam
Taariikh-nya 2/378 – melalui perantaraan As-Siirah An-Nabawiyyah fii
Dlauil-Mashaadiril-Ashliyyah hal. 268]. Nabi ﷺ melarang segala
bentuk khianat, termasuk khianat dalam masalah titipan:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَا
تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang
mempercayakannya kepadamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1264 dan Abu Daawud no. 3535; dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/36].
4.
Kasih sayang terhadap tawanan perang
Sedikit diantara banyak yang dapat
dicontohkan adalah memberi mereka (para tawanan) makan dan pakaian.
Allah ﷻ berfirman:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ
مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang
disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan” [QS.
Al-Insaan : 8].
عَنْ أَبِي رَزِينٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ شَقِيقِ
بْنِ سَلَمَةَ فَمَرَّ عَلَيْهِ أُسَارَى مِنَ الْمُشْرِكِينَ، فَأَمَرَنِي أَنْ
أَتَصَدَّقَ عَلَيْهِمْ، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ: وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ
عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Dari Abu Raziin, ia berkata : “Aku pernah
bersama Syaqiiq bin Salamah. Lalu ada beberapa orang tawanan dari kalangan
musyrikin melewatinya. Ia pun memerintahkanku agar bershadaqah kepada mereka,
kemudian ia membaca ayat : ‘Dan mereka memberikan makanan yang disukainya
kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan’ (QS. Al-Insaan : 8)”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/68 no. 10494].
عَنْ جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، قَالَ: " لَمَّا كَانَ يَوْمَ بَدْرٍ أُتِيَ بِأُسَارَى، وَأُتِيَ
بِالْعَبَّاسِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ ثَوْبٌ، فَنَظَرَ النَّبِيُّ ﷺ لَهُ
قَمِيصًا فَوَجَدُوا قَمِيصَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ يَقْدُرُ عَلَيْهِ
فَكَسَاهُ النَّبِيُّ ﷺ
إِيَّاهُ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata : “Ketika terjadi perang Badr, para tawanan perang
didatangkan dan diantaranya Al-'Abbaas yang tidak mengenakan pakaian. Kemudian
Nabi ﷺ memandang perlu dicarikan
baginya gamis (baju), lalu mereka (para shahabat) pun mendapatkan gamis
'Abdullah bin Ubay yang cocok buat ukuran badannya. Kemudian Nabi ﷺ memberikan gamis
tersebut kepadanya (Al-'Abbaas)….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3008].
Beliau ﷺ juga melarang
memisahkan antara antara ibu dan anak yang ditawan.
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ:
أَنَّ أَبَا أَيُّوبَ كَانَ فِي جَيْشٍ فَفُرِّقَ بَيْنَ الصِّبْيَانِ وَبَيْنَ
أُمَّهَاتِهِمْ، فَرَآهُمْ يَبْكُونَ، فَجَعَلَ يَرُدُّ الصَّبِيَّ إِلَى
أُمِّهِ.وَيَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
قَالَ: " مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا، فَرَّقَ اللَّهُ
بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْأَحِبَّاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ "
Dari Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hubuliy :
Bahwasannya Abu Ayyuub pernah berada dalam sebuah pasukan. Ada anak-anak yang
dipisahkan dengan ibu-ibu mereka. Ia (Abu Ayyuub) melihat anak-anak tersebut
menangis, sehingga mengembalikan masing-masing ke ibunya seraya berkata :
“Rasulullah ﷺ pernah bersabda :
‘Barangsiapa yang memisahkan apntara anak dengan orang tuanya, niscaya Allah
akan memisahkannya dengan orang-orang yang ia cintai pada hari kiamat”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1283 & 1566, Ad-Daarimiy no. 2522, dan
Ahmad 5/414; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/45].
5.
Dan lain-lain.
Saya kira akan terlalu banyak untuk
menyebutkan kebaikan Islam asli (baca : ‘Islam Arab’) yang diajarkan Nabi ﷺ. Jika di atas
dicontohkan bagaimana baiknya muamalah Nabi ﷺ dan para shahabat
radliyallaahu ‘anhum terhadap orang kafir, maka terhadap orang Islam (muslim)
terlebih lagi. [10]
Semua terbingkai dalam ayat :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ
عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ
فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ
السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ
كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ
يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِي
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari
karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari
bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka
dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Fath : 29].
Selagi orang-orang kafir tidak berbuat
aniaya kepada kita, maka kita dilarang berbuat aniaya terhadap mereka. Kita
diperbolehkan bermuamalah dan berbuat baik kepada mereka dalam urusan dunia.
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ
وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarangkamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].
Meski demikian, kita tetap harus membenci
mereka karena kekafiran mereka, serta tidak boleh menjadikan mereka pemimpin
dan teman dekat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ
تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?” [QS. An-Nisaa’ : 144].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ
يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 51].
Bagi mereka yang berlaku aniaya atau
dhalim, seperti kelakuan Yahudi Israel, harus tegas, nggak boleh
cengengas-cengenges dan cengar-cengir menjilat untuk riuh tepuk tangan audiens
dan akomodasi PP.
Al-walaa’ dan al-baraa’ harus tetap
jelas.[11]
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا
آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka” [QS.
Al-Mujaadilah : 22].
Semua aturan ini bukan buatan orang Arab,
akan tetapi buatan Allah ﷻ, Tuhan yang menciptakan
manusia, yang kelak akan memasukkan mereka ke dalam surga atau neraka.
Barangsiapa yang mematuhi aturan-Nya, akan masuk surga; sebaliknya barangsiapa
yang berpaling dari aturan-Nya, akan masuk neraka. Begitu simple….
Apakah agama Islam
perlu di-reinterpretasi sesuai RPJMN 2014-2019, renstra Kemenag, kurikulum utan
kayu[12], atau ide islAm NUSantara ? Tentu tidak, karena agama Islam sudah
sempurna, lengkap, dan paripurna. Allah ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai
Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
Mengomentari ayat di atas, Ibnu Katsiir
rahimahullah berkata:
هذه أكبر نعم الله ، عز وجل، على هذه الأمة حيث
أكمل تعالى لهم دينهم ، فلا يحتاجون إلى دين غيره، ولا إلى نبي غير نبيهم، صلوات
الله وسلامه عليه؛ ولهذا جعله الله خاتم الأنبياء، وبعثه إلى الإنس والجن، فلا
حلال إلا ما أحله، ولا حرام إلا ما حرمه، ولا دين إلا ما شرعه
“Ini adalah nikmat Allah ‘azza wa jalla
yang paling besar terhadap umat ini ketika Allah ta’ala menyempurnakan bagi
mereka agama mereka. Maka, mereka tidak lagi butuh kepada agama selain Islam,
tidak butuh nabi selain nabi mereka (yaitu Muhammad shalawaatullahu wa
salaamuhu ‘alaih). Oleh karena itu, Allah menjadikan beliau sebagai penutup
para nabi serta mengutus beliau kepada manusia dan jin, sehingga tidak ada
kehalalan kecuali apa yang dihalalkannya, tidak ada keharaman kecuali yang
diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali apa yang disyari’atkan olehnya”
[Tafsiir Ibni Katsiir, 3/26].
Rasulullah ﷺ sudah menjelaskan
segala sesuatu yang dapat mendekatkan manusia ke surga dan menjauhkan mereka
dari neraka. Baik ‘aqidah, ibadah, muamalah, adab/akhlaq, dan semua hal yang
terdefinisi masuk dalam perkara agama (syari’at).
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ وَمَا طَائِرٌ
يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا،
قَالَ: فَقَالَ ﷺ: مَا
بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلا وَقَدْ
بُيِّنَ لَكُمْ
Dari Abu Dzarr, ia berkata : “Rasulullah ﷺ meninggalkan kami
dalam keadaan tudak ada burung yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali
beliau telah menyebutkan kepada kami ilmu tentangnya. Lalu Nabi ﷺ bersabda : ‘Tidak
tersisa sesuatupun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali
telah dijelaskan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam
Al-Kabiir 2/155-156 no. 1647; sanadnya shahih].
Jika ada ribut-ribut saling klaim
kebenaran, maka kembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ :
59].
Mengembalikan Al-Qur’an dan As-Sunnah
dengan pemahaman dan praktek di zaman Nabi ﷺ dan para shahabat
masih hidup. Nabi ﷺ bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي
فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ.....
“Karena siapa saja di antara kalian yang
hidup setelahku akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Wajib atas kalian
berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang
mendapatkan petunjuk. Peganglah erat dan gigitlah ia dengan gigi geraham….”
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, Ahmad 4/126-127,
dan yang lainnya; shahih].
Beliau ﷺ juga bersabda:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ
مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh
puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu (yang masuk surga)”.
Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau
menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Haakim 1/218-219, Ibnu Wadldlah
dalam Al-Bida’ hal. 85, Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah 1/127-128 no. 23-24, dan
yang lainnya].
Dalam riwayat lain:
مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ
وَأَصْحَابِي
“Siapa saja yang berada di atas jalan
yang aku dan para shahabatku berada di atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir 2/29-30 no. 724 dan Al-Ausath 5/137 no.
4886].
Karena di masa mereka lah Islam yang
murni sepanjang zaman eksis. Apabila ada yang keliru dalam memahami ayat, maka
Allah ﷻ dan/atau Rasul-Nya akan
segera mengoreksinya dengan ayat ataupun sunnah (hadits). Oleh karena itu,
merekalah (para shahabat) generasi terbaik dalam Islam. Nabi ﷺ bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik ummatku adalah yang
orang-orang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang
setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka"
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3650, Muslim no. 2535, An-Nasaa’iy 7/17,
Ahmad 4/426-427, dan Abu Dawud no. 4657].
Jadi jangan sampai ada yang bilang :
a.
Makna jilbab harus direinterpretasi sesuai dengan kearifan lokal. Cukup
pakai handuk 15 ribuan yang ditaruh di kepala, itu sudah dikatakan jilbab.
b.
Keharaman riba mesti ditinjau kembali karena ada kebutuhan investasi.
Haramnya jika berlebihan atau tanpa ada kerelaan orang yang berhutang.
c.
Pemahaman kebencian Islam terhadap orang-orang kafir dan kekafirannya
sudah selayaknya disingkirkan untuk memantapkan kebhinekaan.
d.
Syari’at Islam dan pengamalannya 1400 tahun yang lalu (oleh Nabi ﷺ dan para
shahabatnya) di sejengkal tanah purba – katanya – sudah tidak relevan, dan
orang yang ingin menerapkan Islam secara kaaffah dianggap tidak waras.
e.
Dan semisalnya
Semua ini adalah perkataan kufur yang
dapat mengeluarkan seseorang dari wilayah Islam.
Setelah sedikit kita tuliskan pemahaman ‘Islam
Arab’, ternyata memang induknya dari Nabi ﷺ dan para shahabat.
Ajaran Islam itu sendiri, Islam yang universal. Islam yang dipahami para ulama
Ahlus-Sunnah di seluruh penjuru dunia. Penyebutan ’Islam Arab’ hanyalah cara
pendikotomian syari’at Islam oleh segelintir orang idiot yang mengatasnamakan Islam.
Tak ada konsep Islam secara geografis.
Saya khawatir, penyebutan ‘Islam Arab’ ini
muncul karena ada angapan Islam (baca : Arab) ‘menginvasi’ Nusantara seperti
mirip cerita orang-orang Majapahit yang merasa diinvasi orang-orang Islam (lalu
lahirlah Mataram Islam) sehingga mereka berhijrah menepi ke wilayah Dieng,
Bromo, Semeru, dan Bali untuk mempertahankan agama dan budaya mereka.
Seandainya benar demikian, konsep Islam geografis Indonesia – yaitu islAm
NUSantara – dikhawatirkan justru ingin menghidupkan kembali budaya klenik dan
pagan yang memang dulunya menjadi platform budaya Nusantara dengan baju Islam.
Bahaya banget gan !!
So, para pegiat islAm NUSantara yang
menyuarakan sentiment anti Arab (baik langsung maupun tidak langsung) dengan
jargon-jargon menghidupkan budaya lokal, jangan nanggung-nanggung lah yang
ujungnya cuma bikin marah umat Islam. Bikin saja yang lebih jelas. Lebaran
jangan pakai penanggalan Islam, pakai saja penanggalan Masehi. Pilih 17 Agustus
misalnya, pas hari kemerdekaan RI dan lomba makan krupuk. Pasti ramai. Buka
puasa, makanlah petai dan jengkol yang asli spesies Indonesia – bukan kurma,
makanan Arab. Setelah penciptaan tilawah Al-Qur’an langgam Jawa, apa nggak
sekalian dicoba pembacaan serat Darmo Gandhul dengan nada ala murattal Su’uud
Asy-Syuraim dan Misyari Rasyid Al-‘Affasiy biar semakin nge-blend ajaran
gado-gadonya?. Hewan kurban, carilah yang murah meriah yang banyak tersedia di
masyarakat kita : ayam kampung, lebih legit. Shalat dengan bahasa daerah, yang
penting artinya sama. Muatan lokal (mulok). Dan lain-lain. Biar nanti lebih
jelas garis pembeda antara ajaran islAm NUSantara dengan Islam yang dibawa Nabi
ﷺ yang notabene orang Arab.
Btw,…. sudah cukup untuk sementara sebagian
uneg-uneg dituliskan.
Pesan saya, jauhi paham islAm NUSantara dan
orang-orangnya. Doakan saja agar mereka mendapat hidayah, atau kalau tidak,
kita berdoa agar kita dapat beristirahat dari gangguan mereka.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – 3 Syawwaal 1439 H di
Ciper].
[1]
Sebagaimana kicauan Twitter-nya tertanggal 14 Juni 2018.
[2]
Takhrij selengkapnya dilakan baca artikel : Shahih Atsar Ibnu ‘Abbas.
[3]
Mumpung lagi hangat (kembali) masalah takfir pasca bom pra-Ramadlaan di
Jawa Timur dan beberapa tempat lainnya dari kaum ekstrimis Islam (baca :
Khawaarij).
[4]
Silakan baca artikel Kaidah-Kaidah dalam Pengkafiran.
[5]
Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ
وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ
بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ
اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair
itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra
Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru
perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka;
bagaimana mereka sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
[6]
Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ
هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang
yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam"
[QS. Al-Maaidah : 17].
[7]
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ
الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni
ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal
di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” [QS. Al-Bayyinah : 6].
[8]
Silakan baca : Mengkafirkan Orang Kafir.
Semoga smartphone mereka segera diinstal
aplikasi KBBI. Sia-sia HP berlabel smartphone, jika pemiliknya tidak smart.
[10]
Bagaimana menurut Anda jika dibandingkan gerakan kasih sayang pasukan
akar rumput : bubarkan pengajian dan siap jaga gereja ?
[11]
Silakan baca artikel : Al-Walaa’ wal-Baraa’ dalam Islam.
[12]
Islam Liberal.
Gus Najih Maimoen : Awas Islam Nusantara Akan
Mengembalikan Pada Kemusyrikan.
Ada sorotan tajam dari kalangan kyai NU
di Jawa Tengah mengenai Islam Nusantara, di antaranya diberitakan sebaga
berikut.
Putra ulama terkenal KH Maemoen Zubair,
KH Najih Maemoen (Gus Najih) mengkritik keras Islam Nusantara.
Gus Najih membuat makalah berjudul “Islam
Nusantara dan Konspirasi Liberal”. “Islam Nusantara hadir untuk mensinkronkan
Islam dengan budaya dan kultur Indonesia. Ada doktrin sesat di balik lahirnya
wacana Islam Nusantara,” ungkap Gus Najih.
Kata pria ini, dengan Islam Nusantara
mereka mengajak umat untuk mengakui dan menerima berbagai budaya sekalipun
budaya tersebut kufur, seperti doa bersama antar agama, pernikahan beda agama,
menjaga Gereja, merayakan Imlek, Natalan dan seterusnya.
Menurut Gus Najih, para pengusung Islam
Nusantara juga ingin menghidupkan kembali budaya-budaya kaum abangan seperti
nyekar, ruwatan, sesajen, blangkonan, sedekah laut dan sedekah bumi (yang
dahulu bernama nyadran).
“Dalam anggapan mereka, Islam di
Indonesia adalah agama pendatang yang harus patuh dan tunduk terhadap
budaya-budaya Nusantara. Tujuannya agar umat Islam di Indonesia terkesan ramah,
tidak lagi fanatik dengan ke-Islamannya, luntur ghiroh islamiyahnya,” jelas Gus
Najih.
Gus Najih menegaskan, ada misi
“Pluralisme Agama” di balik istilah Islam Nusantara, di samping juga ada tujuan politik (baca; partai)
tertentu, yang jelas munculnya ide tersebut telah menimbulkan konflik,
pendangkalan akidah serta menambah perpecahan di tengah-tengah umat.
Demikian berita yang dilansir
suaranasional.com, 09/10/2015.
Mengembalikan kepada kemusyrikan.
Dalam berita itu disebutkan, Menurut Gus
Najih, para pengusung Islam Nusantara juga ingin menghidupkan kembali
budaya-budaya kaum abangan seperti nyekar, ruwatan, sesajen, blangkonan,
sedekah laut dan sedekah bumi.
Ritual bukan dari Islam yang namanya
ruwatan, sesajen, sedekah laut dan
sedekah bumi itu bukan sekadar budaya, namun mengandung keyakinan yang
kaitannya minta perlindungan (dari aneka bala’ bencana, celaka, sial dan
nasib-nasib buruk lainnya) kepada selain Allah Ta’ala.
Padahal, dalam Islam telah ditegaskan,
وَإِن يَمۡسَسۡكَ ٱللَّهُ بِضُرّٖ فَلَا كَاشِفَ
لَهُۥٓ إِلَّا هُوَۖ وَإِن يُرِدۡكَ بِخَيۡرٖ فَلَا رَآدَّ لِفَضۡلِهِۦۚ يُصِيبُ
بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦۚ وَهُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ١٠٧ [سورة
يونس,١٠٧]
Jika Allah menimpakan sesuatu
kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia.
Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak
kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Yunus
: 107]
Ketika orang meminta perlindungan kepada
selain Allah untuk dientaskan atau dicegah dari bencana dan sebagainya, padahal
yang mampu dan yang berhak mengentasnya dan mencegahnya itu hanya Allah Ta’ala,
maka berarti orang itu telah membuat tandingan terhadap Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Itulah kemusyrikan besar (syirik akbar), dosa paling besar yang tidak diampuni
oleh Allah Ta’ala bila sampai meninggal tidak bertaubat, dapat mengeluarkan
pelakunya dari Islam, segala amal kebaikannya hapus, dan tempatnya di neraka
kekal.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah,
niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’am:
88]
Juga firman Allah Ta’ala,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya
akan terhapuslah amalanmu.” [Az-Zumar: 65]
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ
أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang
penolong pun.” [Al-Maidah: 72]
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ
الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka
jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” [Al-Bayyinah:
6]
Ritual yang dilakukannya berupa ruwatan,
sesajen/ sesaji, sedekah bumi, larung laut dan sebagainya itu juga merupakan
peribadahan kemusyrikan untuk selain Allah. Itu sangat bertentangan dengan
sifat pribadi Muslim yang shalatnya, sembelihannya (nusuk), hidupnya, dan
matinya hanya untuk Allah Rabbul ‘alamiin.
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ وَبِذَٰلِكَ
أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ١٦٣ [سورة الأنعام,١٦٢-١٦٣]
Katakanlah: sesungguhnya shalatku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, Tiada
sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” [Al An’am,162-163]
●Dari WA●