Pandangan Yahya Cholil Staquf Tentang
Islam dan Terorisme
Senin, 11 September 2017
ISLAMNUSANTARA.COM – Salah satu nama
penting dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) saat ini, Yahya Cholil Staquf
yang merupakan seorang anggota Pengurus Besar NU pernah diwawancarai oleh
sebuah media Jerman, Frankfurter Allgemeine Zeitung Pada 19 Agustus lalu
mengenai Islam dan terorisme, yang kemudian di publikasikan. Berikut hasil
wawancaranya;
Time menerjemahkan transkrip wawancara
Frankfurter Allgemeine Zeitung ke dalam Bahasa Inggris pada Jumat (8/9). Dalam
wawancara tersebut, Yahya mengeluarkan sejumlah pernyataan bahwa pandangan
fundamentalis mengenai Islam menjadi faktor pendorong terjadinya terorisme.
Ia mengkritik sejumlah politikus dunia Barat
yang justru mengatakan bahwa Islam ortodoks atau yang berpandangan keras tidak
memicu terorisme.
“Para politisi Barat harus berhenti
berpura-pura seakan ekstremisme dan terorisme tak ada hubungannya dengan Islam.
Padahal ada hubungan yang jelas antara fundamentalisme, terorisme dan asumsi
dasar dari Islam ortodoks,” ujarnya.
Ia pun tak mengelak bahwa ada pengaruh
negara-negara Teluk di Timur Tengah terhadap penyebaran paham yang melahirkan
terorisme. “Selama lebih dari 50 tahun, Arab Saudi dan negara-negara Teluk
lainnya mempromosikan secara besar-besaran versi ultra-konservatif dari Islam
ke seluruh dunia,” ucapnya.
Kejujuran bisa selesaikan masalah.
Menurut Yahya, untuk bisa menyelesaikan
persoalan terorisme, kita semua harus jujur dan mencapai kesepakatan bahwa
agama punya kontribusi dalam melahirkan kekerasan. Alasan itu juga yang
membuatnya berbicara terbuka.
“Jika kamu menolak mengakui keberadaan
sebuah masalah, kamu tak bisa menyelesaikannya. Seseorang harus
mengidentifikasi masalahnya dan secara jelas menyatakan siapa dan apa yang
bertanggungjawab atas itu,” tegasnya.
Hanya saja, Yahya menggarisbawahi bahwa
ada banyak faktor lain yang ikut mendukung lahir dan berkembangnya terorisme,
terutama di negara-negara Barat.
“Saya tidak berkata bahwa Islam adalah
satu-satunya faktor yang menyebabkan muslim minoritas di negara-negara Barat
terisolasi dari masyarakat secara keseluruhan,” ujarnya.
Menurut dia, ada faktor-faktor lain dari
negara yang mereka tinggali, seperti rasisme, yang terjadi di seluruh dunia.
Namun, Islam tradisional – yang melahirkan perilaku segregasi dan permusuhan
terhadap non-muslim – adalah faktor penting,” tambahnya.
Yahya sendiri menolak disebut
Islamofobia. Sebab sebagai akademisi ia hanya mengatakan apa yang menurutnya
memang sebuah fakta. Ia tidak ingin diskusi terkait Islam dan terorisme selalu
dikaitkan dengan Islamofobia.
Doktrin Islam Ortodoks sudah ketinggalan
zaman.
Sebagai salah satu akademisi, Yahya
berpendapat bahwa asumsi dasar dalam fundamentalisme Islam tidak sesuai dengan
kondisi saat ini. Asumsi yang dimaksud mulai dari, “hubungan antara muslim dan
non-muslim, hubungan antara muslim dan negara, serta hubungan muslim dengan
sistem hukum tempat mereka tinggal”.
“Dalam tradisi klasik, hubungan antara
muslim dan non-muslim diasumsikan sebagai permusuhan. Mungkin ini ada alasannya
selama Abad Pertengahan, ketika pemikiran Islam ortodoks digalakkan, tapi saat
ini doktrin itu tak masuk akal,” kata Yahya.
Terkait hubungan pandangan Islam ortodoks
dengan sistem negara, ia membenarkan bahwa mendirikan khilafah adalah bagian
dari tradisi Islam. “Dalam tradisi Islam, negara adalah entitas tunggal dan
universal yang menyatukan semua muslim dibawah kendali seorang laki-laki yang
memimpin mereka melawan dunia non-muslim.”
Bahkan, Yahya memandang bahwa seruan ISIS
untuk membentuk khilafah memang diakui dalam tradisi Islam ortodoks. “Namun,
kita tinggal di dunia yang terdiri dari negara-bangsa. Segala usaha untuk
mendirikan negara Islam di abad 21 hanya akan mengakibatkan kekacauan dan
kekerasan,” tegasnya.
Hukum syariah Islam sendiri menurutnya
juga ada dalam Islam, tapi jika diterapkan saat ini akan sangat bertentangan
dengan sistem legal yang sudah diakui. Agar ini tak terjadi, ia melanjutkan, ajaran
Islam harus menyesuaikan dengan kondisi waktu dan tempat yang terus berubah.
Yahya mencontohkan mayoritas muslim
Indonesia berpendapat bahwa beragam asumsi yang terdapat dalam tradisi Islam
harus dilihat dalam konteks sejarah, politik dan sosial saat kemunculannya di
Abad Pertengahan [di Timur Tengah] dan bukan sebagai perintah mutlak untuk
mendikte perilaku muslim saat ini”.
Terkait pernyataannya yang mungkin memicu
kontroversi publik, IDN Times sendiri sudah melakukan konfirmasi kepada Yahya.
Melalui akun twitternya, dia membenarkan bahwa pendapat yang dimuat dalam
berita tersebut adalah benar dari dirinya. Bahkan, akun Yahya, @Staquf juga
menautkan berita dari Time tersebut pada cuitannya. (ISNU)
Sumber: Harakatuna
Yahya Cholil Staquf, “Terroris dan Islam
Terhubung Sangat Erat!”
JUNE 13, 2018
Kontroversi yang dilakukan oleh Katib Aam
PBNU Yahya Cholil Staquf ketika memenuhi undangannya sebagai pembicara ke
Israel ternyata bukan sesuatu hal yang baru.
Pada 19 Agustus 2017 tahun lalu, Yahya
Chohil pernah diwawancarai dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Jendral
Organisasi Muslim terbesar di Indonesia, oleh Frankfurter Allgemeine, sebuah
salah satu media online dan cetak terbesar di Jerman.
Pada kesempatan wawancara tersebut, Marco
Stahlhut menanyakan pendapat Yahya Cholil tentang “Pandangan politisi dan
intelektual barat yang menyimpulkan bahwa terrorisme tidak ada hubungannya
dengan Islam”
“Politisi Barat harus berhenti mengklaim
bahwa ekstremisme dan terorisme tidak ada hubungannya dengan Islam. Ada
hubungan yang sangat jelas antara fundamentalisme, teror, dan asumsi dasar
Ortodoksi Islam.”
Yahya menyanggah pandangan tersebut
dengan menyatakan bahwa terorisme dan Islam memiliki hubungan yang sangat erat.
Politisi barat harus berhenti berpura-pura kalau ekstrimis dan teroris tidak
ada hubungannya dengan Islam. Terdapat hubungan yang sangat jelas antara
fundamentalis, terror dan asumsi-asumsi dasar dalam Islam Ortodoks. Ia juga menyebutkan
kalau radikalisme dalam Islam bukan hal yang baru.
Pernyataan Yahya ini menjadi sebuah
kejutan yang sangat besar saat itu, terutama dalam kapasistasnya sebagai
seorang Muslim dan tokoh NU yang memiliki massa puluhan juta orang di
Indonesia.
Pernyataan tersebut menghiasi headline
Frankfurter Allgemeine Zeitung (FAZ) dan di repeat oleh beberapa media main
stream luar negeri baik online maupun media cetak beberapa hari setelah FAZ
merilisnya.
Terrorismus und Islam hängen zusammen!
Eine weitere These der #AfD hält
Einzug in linken Journalismus!https://t.co/dYd1EXbGWd via @faznet
Ratusan komentar dari beragam media yang
meng-quote- pernyataan Yahya Cholil menghiasi forum-forum dengan berbagai
tanggapan. Jerman saat ini dikejutkan dengan kemunculan Partai “Alternative for
Germany” (AfD), sebuah partai yang “Islamophobia”, yang pernah mengungkapkan
“Islam Raus aus Europa” (Islam keluar dari Eropa). Pendapat Yahya Cholil
tersebut bisa dijadikan dasar bagi AfD untuk semakin menguatkan kampanye dalam
rangka mempersempit gerak Islam di Jerman khususnya ataupun di Eropa pada
umumnya.