Monday, April 5, 2021

Bagaimana Hukum Musik ? Bantahan Untuk Ruwaibidhah Dan Yang Menyembunyikan Ilmu Di YouTube (QS. Al-A’raf: 33, Al-Israa’ : 36, Al-Baqarah : 168-169 Dan168-169)

Silahkan anda baca dan kompare, daftar beberapa artikel terkait hujjah yang haq mengenai  musik. Bagaimana pendapat Salafus shalih (3 generasi terbaik setelah Nabi), Para Imam Mazhab dan Ahlul Hadits, "Ijma' Ulama" serta Fatwa Ulama- ulama Syafi’iyyah. Yang menghalalkan musik, umumnya  bersandar kepada penukilan dari Asy-Syaukaaniy (...merujuknya ke Ibnu Hazm, lahir 384 H - 457 H, 143 thn setelah Imam Mazhab terakhir meninggal), para ulama Mesir kontemporer (Muhammad Al Ghazali, Muhammad Abu Zahrah, Yusuf Al-Qaradlawiy, Ali Jumah), Ulama Suriah (Wahbah Az Zuhailiy), pemahaman hadits ma'aazif dalam Shahih Al-Bukhaariy.


BERANI BACA ?


●Bagus Sekali, Penjelasan Seputar Hukum Musik Beserta Khilafiyahnya, bagi anda yang merujuk ke Ibnu.Hazm  (Syekh Dr. Utsman Al-Khamis)
●Hadits Haramnya Musik Tidak Cacat - Syaikh Utsman Al Khamis
●Hukum Musik dan Nyanyian (2) : Dalil As-Sunnah (lihat Comments).
●Hukum Musik dan Nyanyian (3) : Perkataan Ulama Mengenai Keharaman Nyanyian yang Disertai Alat Musik (lihat Comments).
●Haramnya Musik dan Ijmaa’ (lihat Comments).
●Takhrij Hadits Musik
●Derajat Hadits Merajalelanya Musik Dan Penyanyi
●Ajaran- ajaran Imam Syafi'i yang ditinggalkan oleh sebagian pengikut2 – Haramnya Musik.
●Buku : "Radd 'alal'-Qaradlawiy wal-Juda'iy fii Mas'alatil-Ghinaa' wal-Muusiiq" (Bantahan terhdap Al-Qaradlawiy dan Al-Juda'iy dalam Permasalahan Nyanyian dan Musik).
●Buku : Polemik Seputar Hukum Lagu dan Musik, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al- Albani.
●Hukum Syair (Syi'ir).
●Fatwa Ulama Syafi’iyyah Tentang Musik
●.Kata Sepakat Ulama dalam Haramnya Musik
●Status Hukum Lagu Dan Musik Dalam Islam
●Musik Haram! Jawaban Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i
●Saatnya Meninggalkan Musik 
●Alumni Al Azhar- Ustadz Ahmad Sarwat Alasan Imam 4 Madzbab Mengharamkan Musik  (beliau membenarkan 4 mazhab mengharamkan musik !!)
●Takhrij Hadits (al-Ma’âzif), Penjelasan Para Shahabat dan Ulama Salaf 
●Tentang Keharaman Musik. 
untuk bantahan terhadap pendapat Syaikh Al-Judai' tentang masalah nyanyian ada. Judulnya : Ar-Radd 'alal-Qaradlawiy wal-Judail fii mas-alatil-Ghinaa' wal-Muusiiq tulisan 'Abdullah bin Ramadlaan bin Muusaa, muraja'ah : Dr. Muhammad Hijaaziy. Buku ini sangat bagus untuk dibaca.

Apakah Musik Haram ? (Ustadz DR. Firanda Andirja, LC, MA)
Musik Dalam alQur'an & Hadits - Zakir Naik
Hukum MUSIK Lengkap | Syaikh Utsaimin,Zakir Naik,Syafiq Riza,Dzulqarnain,Firanda,Khalid,&Badrusalam"
Empat mazhab tak ada khilaf musik haram
Emat Madzhab Mengharamkan Musik  -  DR Firanda Andirja MA
Musik Haram Menurut Madzhab Syafi'i ? - Ustdaz Dr Firanda Andirja, MA
Benarkah Hadits tentang Haramnya Musik Itu Cacat?
Membantah Syubhat Abdusshomad yg Menyatakan Hadits Tentang Musik Dho'if.
Ulama yang Membolehkan Musik - Ustadz Syafiq Riza Basalamah
Penjelasan Ilmiah, baik dari Al Quran maupun Hadits Bahwa Musik Haram  (Ustadz Nizar Sa'ad Jabal).

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ، وَالْـمَعَازِفَ

Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik.....
TAKHRIJ HADITS Hadits ini diriwayatkan oleh: al-Bukhâri secara mu’allaq[1] dengan lafazh jazm (pasti) dalam Shahîh–nya (no. 5590). Lihat Fat-hul Bâri (X/51), Ibnu Hibbân (no. 6719-at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Baihaqi dalam Sunan-nya (X/221), Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4039).
Ibnu Hazm rahimahullah (wafat th. 456 H) dan Muhammad bin Thahir al-Maqdisi rahimahullah (wafat th. 507 H) mendha’îfkan hadits ini karena menyangka ada cacat dalam hadits ini, yaitu sanadnya terputus antara al-Bukhâri dan Hisyâm bin ‘Ammar dan juga shahabat yang ada dalam hadits ini (yaitu Abu ‘Amir atau Abu Malik) tidak dikenal. Padahal para Imam ahli hadits yang lainnya telah menyatakan bahwa sanad hadits ini bersambung, di antara mereka adalah Ibnu Hibbân rahimahullah dalam Shahîhnya, ath-Thabrani rahimahullah dalam al-Mu’jamul Kabîr, dan selain keduanya. Selain itu, Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam al-Bukhâri. Adapun shahabat Rasûlullâh Abu ‘Amir atau Abu Malik yang dikenal, maka kita katakan bahwa seluruh shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah adil, sebagaimana telah menjadi kesepakatan kaum Muslimin. Pada saat membantah Muhammad al-Ghazali (Mesir) yang taklid kepada Ibnu Hazm dalam hal ini, Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Dia (al-Ghazali) tidak mengetahui bahwa Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam al-Bukhâri. Sehingga perkataan al-Bukhâri, “Telah berkata Hisyâm bin ‘Ammar.’’ bukanlah sekedar ta’lîq (adanya pemisah antara al-Bukhâri dengan Hisyâm) bahkan sebenarnya muttashil (bersambung) karena bagi Imam al-Bukhâri tidak ada beda antara perkataannya, “Hisyâm telah berkata,” atau “Hisyâm telah mengabarkan kepadaku.”[14] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang menganggap cacat hadits di atas -seperti Ibnu Hazm- untuk mempertahankan pendapatnya yang bathil tentang dibolehkannya nyanyian dan musik. Dia menyangka hadits itu tidak sah, karena munqathi’ (terputus sanadnya) karena al-Bukhâri -katanya- tidak memiliki sanad yang bersambung dalam hal hadits di atas !
Banyak salaf yang membenci nyanyian (walau tanpa diiringi alat musik).
’Utsman bin ’Affan radliyallaahu ’anhu, ia berkata :
لَقَدِ اخْتَبَأْتُ عِنْدَ رَبِّي عَشْرًا ، إِنِّي لَرَابِعُ أَرْبَعَةٍ فِي الإِسْلامِ ، وَمَا تَعَنَّيْتُ وَلا تَمَنَّيْتُ
”Sungguh aku telah bersumbunyi dari Rab-ku selama sepuluh tahun. Dan aku adalah orang keempat dari empat orang yang pertama kali masuk Islam. Aku tidak pernah bernyanyi dan berangan-angan.....” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Mu’jamul-Kabiir no. 122 – Maktabah Sahab; hasan].
‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
الغناء ينبت النفاق في القلب
“Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam Dzammul-Malaahi 4/2 serta Al-Baihaqi dari jalannya dalam Sunan-nya 10/223 dan Syu’abul-Iman 4/5098-5099; shahih. Lihat Tahrim Alaatith-Tharb hal. 98; Maktabah Sahab].
‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai berikut :
ومر ابن عمر رضي الله عنه بقوم محرمين وفيهم رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم
”Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar doa kalian” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr 1421].
dan yang lainnya.
Tentang syi'ir (syair), maka itu boleh pada asalnya.
عن عمرو بن الشريد عن أبيه قال ردفت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فقال هل معك من شعر أمية بن أبي الصلت شيئا قلت نعم قال هيه فأنشدته بيتا فقال هيه ثم أنشدته بيتا فقال هيه حتى أنشدته مائة بيت
Dari ‘Amru bin Asy-Syarid dari ayahnya (Asy-Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqafy) ia berkata : ”Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka beliau bertanya : ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abish-Shalat ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau berkata : ‘Lantunkanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau pun berkata : ‘Teruskanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), beliau pun berkata hal yang sama : ‘Teruskanlah !’. Hingga aku melantunkan sekitar seratus bait syair” [HR. Muslim no. 2255].
Jika berlebihan, maka makruh.
عن بن عمر رضى الله تعالى عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأن يمتلئ جوف أحدكم قيحا خير له من أن يمتلئ شعرا
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bersabda : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5802].
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يمتلئ جوف رجل قيحا يريه خير من أن يمتلئ شعرا
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah hingga merusak perutnya daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5803 dan Muslim no. 2257].
Jika nyanyian diiringi dengan alat musik, maka inilah yang jelas tentang keharamannya.
wallaahu a'lam.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah –dalam bab washiat- berkata
وَإِنْ كان لَا يَصْلُحُ إلَّا لِلضَّرْبِ بَطَلَتْ عِنْدِي الْوَصِيَّةُ وَهَكَذَا الْقَوْلُ في الْمَزَامِيرِ كُلِّهَا
“Jika al-uud (kayu yang dimaksud oleh pewasiat) tidak bisa digunakan kecuali untuk dimainkan (semacam gitar-pen) maka wasiatnya batal menurutku. Demikian juga pembicaraan mengenai seluruh jenis seluring (alat musik)”  (Al-Umm 4/92)
Sangat jelas bahwa Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengharamkan seseorang yang berwasiat untuk memberikan al-‘uud (kayu) yang ia miliki kepada orang lain, jika yang dimaksud dengan al-‘uud tidak ada selain kayu yang bersenar (gitar). Adapun jika sang pewasiat ternyata memiliki jenis al-uud yang lain, seperti busur panah dan tongkat maka washiat yang dijalankan hanyalah pada busur dan tongkat untuk diberikan kepada orang lain tersebut.
Imam Asy-Syafi’i juga menegaskan bahwa hukum haramnya washiat ini juga berlaku pada seluruh jenis mizmar (alat musik/seruling).
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata –tentang hukum potong tangan bagi pencuri-:
فَكُلُّ ما له ثَمَنٌ هَكَذَا يُقْطَعُ فيه إذَا بَلَغَ قِيمَتُهُ رُبُعَ دِينَارٍ مُصْحَفًا كان أو سَيْفًا أو غَيْرَهُ مِمَّا يَحِلُّ ثَمَنُهُ فَإِنْ سَرَقَ خَمْرًا أو خِنْزِيرًا لم يُقْطَعْ لِأَنَّ هذا حَرَامُ الثَّمَنِ وَلَا يُقْطَعُ في ثَمَنِ الطُّنْبُورِ وَلَا الْمِزْمَارِ
“Maka segala barang yang berharga menyebabkan dipotong tangan sang pencuri jika harga barang tersebut mencapai seperempat dinar. Barang tersebut baik mushaf (al-Qur’an) atau pedang atau yang lainnya yang hasil penjualannya halal. Jika ia mencuri khomr atau babi maka tidaklah dipotong tangannya karena hasil penjualan khomr dan babi adalah haram. Dan juga tidak dipotong tangan sang pencuri jika mencuri tunbur (kecapi/rebab) dan mizmar (seruling)” (Al-Umm 6/147)
Sangat jelas bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i menyamakan hukum alat musik sama seperti hukum khomr, sama-sama haram, dan tidak halal hasil penjualannya, karenanya jika ada pencuri yang mencuri barang-barang haram ini maka tidaklah dipotong tangannya.
Al-Imam Asy-Syafi’i juga berkata (tentang hukum di antara orang-orang kafir ahli al-jizyah):
وَلَوْ كَسَرَ له طُنْبُورًا أو مِزْمَارًا أو كَبَرًاوَإِنْ لم يَكُنْ يَصْلُحُ إلَّا لِلْمَلَاهِي فَلَا شَيْءَ عليه وَهَكَذَا لو كَسَرَهَا نَصْرَانِيٌّ لِمُسْلِمٍ أو نَصْرَانِيٌّ أو يَهُودِيٌّ أو مُسْتَأْمَنٌ أو كَسَرَهَا مُسْلِمٌ لِوَاحِدٍ من هَؤُلَاءِ أَبْطَلْت ذلك كُلَّهُ
“Kalau seandainya ia menghancurkan kecapi atau seruling atau gendang maka…. jika benda-benda ini tidak bisa digunakan kecuali sebagai alat musik maka tidak ada sesuatu yang harus ia ganti rugi. Dan demikian pula jika seorang muslim yang merusak (kecapi dan seruling) milik seorang muslim atau yang merusak adalah orang nasrani atau orang yahudi atau orang kafir musta’man, atau orang muslim yang lain yang telah merusak salah satu dari benda-benda tersebut maka aku anggap semuanya batil (tidak perlu diganti rugi-pen)”(Al-Umm 4/212)
Lihatlah… bahkan menurut Imam Syafi’i jika yang melakukan pengrusakan adalah seorang yang kafir terhadap alat-alat musik milik seorang muslim maka sang kafir tidak perlu menanggung biaya ganti rugi.
Dalam kitab Az-Zawaajir
وَقَدْ عُلِمَ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّمَ سَائِرَ أَنْوَاعِ الزَّمْرِ
“Dan telah diketahui tanpa keraguan bahwasanya Imam Asy-Syafi’i radhiallahu ‘anhu mengharamkan seluruh jenis alat musik” (Az-Zawaajir ‘an iqtiroofil kabaair 2/907)
 
Anda menulis : Imam Syafi-'i dalam al-Umm 6/209 menyatakan laysa bimuharramin alias tidak haram ??? Kalau mengutip harus lengkap, jangan "mengaburkan".
Para ulama yang membolehkan nyanyian maka maksud mereka adalah bersenandung dengan pembicaraan yang mubah. Barang siapa yang membencinya atau melarangnya maksudnya adalah jika terlalu sering melakukan nyayian tersebut.
Dalam kitab Al-Umm
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى في الرَّجُلِ يُغَنِّي فَيَتَّخِذُ الْغِنَاءَ صِنَاعَتَهُوَالْمَرْأَةُ لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَذَلِكَ أَنَّهُ من اللَّهْوِ الْمَكْرُوهِ الذي يُشْبِهُ الْبَاطِلَ وَأَنَّ من صَنَعَ هذا كان مَنْسُوبًا إلَى السَّفَهِ وَسُقَاطَة الْمُرُوءَةِ وَمَنْ رضي بهذا لِنَفْسِهِ كان مُسْتَخِفًّا وَإِنْ لم يَكُنْ مُحَرَّمًا بَيِّنَ التَّحْرِيمِوَهَكَذَا الرَّجُلُ يَغْشَى بُيُوتَ الْغِنَاءِ وَيَغْشَاهُ الْمُغَنُّونَ إنْ كان لِذَلِكَ مُدْمِنًا وكان لِذَلِكَ مُسْتَعْلِنًا عليه مَشْهُودًا عليه فَهِيَ بِمَنْزِلَةِ سَفَهٍ تُرَدُّ بها شَهَادَتُهُ وَإِنْ كان ذلك يَقِلُّ منه لم تُرَدَّ بِهِ شَهَادَتُهُ لِمَا وَصَفْت من أَنَّ ذلك ليس بِحَرَامٍ بَيِّنٍ فَأَمَّا اسْتِمَاعُ الْحِدَاءِ وَنَشِيدِ الْأَعْرَابِ فَلَا بَأْسَ بِهِ قَلَّ أو كَثُرَ وَكَذَلِكَ اسْتِمَاعُ الشِّعْرِ *

“Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang soerang lelaki yang menyanyi dan menjadikan nyanyian sebagai pekerjaannya … dan seorang wanita, maka tidak boleh syahaadah (persaksian) salah satu dari keduanya. Hal ini dikarenakan nyanyian adalah termasuk perkara sia-sia yang makruh/dibenci yang mirip dengan kebatilan. Barang siapa yang melakukannya maka ia dinisbahkan kepada kebodohan dan jatuh ‘adalahnya (tidak diterima persaksiannya-pen). Barang siapa yang ridho dengan hal ini (menjadikan nyayian sebagai keahliannya-pen) maka ia telah bodoh, meskipun keharamannya tidaklah jelas…

Dan demikian pula seorang lelaki yang mendatangai rumah-rumah nyanyian dan didatangi oleh para penyanyi, maka jika ia selalu melakukannya dan menampakkannya, serta disaksikan perbuatannya tersebut maka hal ini sama kedudukannya seperti kebodohan yang menyebabkan tertolak persaksiannya. Dan jika jarang/sedikit ia melakukannya maka tidak tertolak persaksiannya dikarenakan bahwa hal itu bukanlah perkara yang jelas keharamannya.

Adapun mendengarkan al-hudaa’, nasyid-nasyid orang-orang Arab maka hal ini tidaklah mengapa, baik jarang maupun sering, dan demikian pula mendengarkan sya’ir-sya’ir” (Al-Umm 6/209)

Dalam pernyataan di atas nampak Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa nyanyian adalah perkara yang makruh dan mirip dengan kebatilan, akan tetapi tidak sampai jelas keharamannya. Barang siapa yang terlalu sering melakukan nyanyian maka tertolak syahadahnya/persaksiannya.

Dari sini sangatlah jelas bahwasanya Imam Asy-Syafi’i membedakan antara hukum nyanyian yang hanya sekedar makruh tidak sampai jelas keharamannya, dengan alat-alat musik yang hukumnya jelas haram (sebagaimana telah lalu penukilan dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah).
“Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang soerang lelaki yang menyanyi dan menjadikan nyanyian sebagai pekerjaannya … dan seorang wanita, maka tidak boleh syahaadah (persaksian) salah satu dari keduanya. Hal ini dikarenakan nyanyian adalah termasuk perkara sia-sia yang makruh/dibenci yang mirip dengan kebatilan. Barang siapa yang melakukannya maka ia dinisbahkan kepada kebodohan dan jatuh ‘adalahnya (tidak diterima persaksiannya-pen). Barang siapa yang ridho dengan hal ini (menjadikan nyayian sebagai keahliannya-pen) maka ia telah bodoh, meskipun keharamannya tidaklah jelas…
Dan demikian pula seorang lelaki yang mendatangai rumah-rumah nyanyian dan didatangi oleh para penyanyi, maka jika ia selalu melakukannya dan menampakkannya, serta disaksikan perbuatannya tersebut maka hal ini sama kedudukannya seperti kebodohan yang menyebabkan tertolak persaksiannya. Dan jika jarang/sedikit ia melakukannya maka tidak tertolak persaksiannya dikarenakan bahwa hal itu bukanlah perkara yang jelas keharamannya.
Adapun mendengarkan al-hudaa’, nasyid-nasyid orang-orang Arab maka hal ini tidaklah mengapa, baik jarang maupun sering, dan demikian pula mendengarkan sya’ir-sya’ir” (Al-Umm 6/209)
Dalam pernyataan di atas nampak Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa nyanyian adalah perkara yang makruh dan mirip dengan kebatilan, akan tetapi tidak sampai jelas keharamannya. Barang siapa yang terlalu sering melakukan nyanyian maka tertolak syahadahnya/persaksiannya.
Dari sini sangatlah jelas bahwasanya Imam Asy-Syafi’i membedakan antara hukum nyanyian yang hanya sekedar makruh tidak sampai jelas keharamannya, dengan alat-alat musik yang hukumnya jelas haram (sebagaimana telah lalu penukilan dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah).