Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ، وَالْـمَعَازِفَ
Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang
menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat
musik.....
TAKHRIJ HADITS Hadits ini diriwayatkan oleh: al-Bukhâri secara mu’allaq[1]
dengan lafazh jazm (pasti) dalam Shahîh–nya (no. 5590). Lihat Fat-hul Bâri
(X/51), Ibnu Hibbân (no. 6719-at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Baihaqi dalam Sunan-nya
(X/221), Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4039).
Ibnu Hazm rahimahullah (wafat th. 456 H) dan Muhammad bin Thahir al-Maqdisi
rahimahullah (wafat th. 507 H) mendha’îfkan hadits ini karena menyangka ada
cacat dalam hadits ini, yaitu sanadnya terputus antara al-Bukhâri dan Hisyâm
bin ‘Ammar dan juga shahabat yang ada dalam hadits ini (yaitu Abu ‘Amir atau
Abu Malik) tidak dikenal. Padahal para Imam ahli hadits yang lainnya telah
menyatakan bahwa sanad hadits ini bersambung, di antara mereka adalah Ibnu
Hibbân rahimahullah dalam Shahîhnya, ath-Thabrani rahimahullah dalam al-Mu’jamul
Kabîr, dan selain keduanya. Selain itu, Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam
al-Bukhâri. Adapun shahabat Rasûlullâh Abu ‘Amir atau Abu Malik yang dikenal,
maka kita katakan bahwa seluruh shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah adil, sebagaimana telah menjadi kesepakatan kaum Muslimin. Pada
saat membantah Muhammad al-Ghazali (Mesir) yang taklid kepada Ibnu Hazm dalam
hal ini, Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Dia (al-Ghazali) tidak
mengetahui bahwa Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam al-Bukhâri. Sehingga
perkataan al-Bukhâri, “Telah berkata Hisyâm bin ‘Ammar.’’ bukanlah sekedar
ta’lîq (adanya pemisah antara al-Bukhâri dengan Hisyâm) bahkan sebenarnya
muttashil (bersambung) karena bagi Imam al-Bukhâri tidak ada beda antara perkataannya,
“Hisyâm telah berkata,” atau “Hisyâm telah mengabarkan kepadaku.”[14] Imam
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada upaya yang dilakukan oleh
orang-orang yang menganggap cacat hadits di atas -seperti Ibnu Hazm- untuk
mempertahankan pendapatnya yang bathil tentang dibolehkannya nyanyian dan
musik. Dia menyangka hadits itu tidak sah, karena munqathi’ (terputus sanadnya)
karena al-Bukhâri -katanya- tidak memiliki sanad yang bersambung dalam hal
hadits di atas !
Banyak salaf yang membenci nyanyian (walau tanpa diiringi alat musik).
’Utsman bin ’Affan radliyallaahu ’anhu, ia berkata :
لَقَدِ اخْتَبَأْتُ عِنْدَ رَبِّي عَشْرًا ، إِنِّي لَرَابِعُ أَرْبَعَةٍ فِي الإِسْلامِ ، وَمَا تَعَنَّيْتُ وَلا تَمَنَّيْتُ
”Sungguh aku telah bersumbunyi dari Rab-ku selama sepuluh tahun. Dan aku adalah
orang keempat dari empat orang yang pertama kali masuk Islam. Aku tidak pernah
bernyanyi dan berangan-angan.....” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam
Mu’jamul-Kabiir no. 122 – Maktabah Sahab; hasan].
‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
الغناء ينبت النفاق في القلب
“Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati” [Diriwayatkan oleh Ibnu
Abid-Dunyaa dalam Dzammul-Malaahi 4/2 serta Al-Baihaqi dari jalannya dalam Sunan-nya
10/223 dan Syu’abul-Iman 4/5098-5099; shahih. Lihat Tahrim Alaatith-Tharb hal.
98; Maktabah Sahab].
‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Ibnul-Jauzi meriwayatkan sebagai
berikut :
ومر ابن عمر رضي الله عنه بقوم محرمين وفيهم رجل يتغنى قال ألا لا سمع الله لكم
”Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan
ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang sedang bernyanyi. Maka
Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar
doa kalian” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr 1421].
dan yang lainnya.
Tentang syi'ir (syair), maka itu boleh pada asalnya.
عن عمرو بن الشريد عن أبيه قال ردفت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فقال هل معك من شعر أمية بن أبي الصلت شيئا قلت نعم قال هيه فأنشدته بيتا فقال هيه ثم أنشدته بيتا فقال هيه حتى أنشدته مائة بيت
Dari ‘Amru bin Asy-Syarid dari ayahnya (Asy-Syarid bin Suwaid Ats-Tsaqafy) ia
berkata : ”Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam. Maka beliau bertanya : ‘Apakah engkau hafal syair Umayyah bin
Abish-Shalat ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau berkata : ‘Lantunkanlah !’. Maka
aku pun melantunkan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau pun berkata :
‘Teruskanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah
selesai), beliau pun berkata hal yang sama : ‘Teruskanlah !’. Hingga aku
melantunkan sekitar seratus bait syair” [HR. Muslim no. 2255].
Jika berlebihan, maka makruh.
عن بن عمر رضى الله تعالى عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأن يمتلئ جوف أحدكم قيحا خير له من أن يمتلئ شعرا
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
yang bersabda : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan
nanah daripada ia penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5802].
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يمتلئ جوف رجل قيحا يريه خير من أن يمتلئ شعرا
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi
perutnya dengan nanah hingga merusak perutnya daripada ia penuhi dengan sya’ir”
[HR. Al-Bukhari no. 5803 dan Muslim no. 2257].
Jika nyanyian diiringi dengan alat musik, maka inilah yang jelas tentang
keharamannya.
wallaahu a'lam.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah –dalam bab washiat- berkata
وَإِنْ كان لَا يَصْلُحُ إلَّا لِلضَّرْبِ بَطَلَتْ عِنْدِي الْوَصِيَّةُ وَهَكَذَا الْقَوْلُ في الْمَزَامِيرِ كُلِّهَا
“Jika al-uud (kayu yang dimaksud oleh pewasiat) tidak bisa digunakan kecuali
untuk dimainkan (semacam gitar-pen) maka wasiatnya batal menurutku. Demikian
juga pembicaraan mengenai seluruh jenis seluring (alat musik)” (Al-Umm
4/92)
Sangat jelas bahwa Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengharamkan seseorang yang
berwasiat untuk memberikan al-‘uud (kayu) yang ia miliki kepada orang lain,
jika yang dimaksud dengan al-‘uud tidak ada selain kayu yang bersenar (gitar).
Adapun jika sang pewasiat ternyata memiliki jenis al-uud yang lain, seperti
busur panah dan tongkat maka washiat yang dijalankan hanyalah pada busur dan
tongkat untuk diberikan kepada orang lain tersebut.
Imam Asy-Syafi’i juga menegaskan bahwa hukum haramnya washiat ini juga berlaku
pada seluruh jenis mizmar (alat musik/seruling).
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata –tentang hukum potong tangan bagi
pencuri-:
فَكُلُّ ما له ثَمَنٌ هَكَذَا يُقْطَعُ فيه إذَا بَلَغَ قِيمَتُهُ رُبُعَ دِينَارٍ مُصْحَفًا كان أو سَيْفًا أو غَيْرَهُ مِمَّا يَحِلُّ ثَمَنُهُ فَإِنْ سَرَقَ خَمْرًا أو خِنْزِيرًا لم يُقْطَعْ لِأَنَّ هذا حَرَامُ الثَّمَنِ وَلَا يُقْطَعُ في ثَمَنِ الطُّنْبُورِ وَلَا الْمِزْمَارِ
“Maka segala barang yang berharga menyebabkan dipotong tangan sang pencuri jika
harga barang tersebut mencapai seperempat dinar. Barang tersebut baik mushaf
(al-Qur’an) atau pedang atau yang lainnya yang hasil penjualannya halal. Jika
ia mencuri khomr atau babi maka tidaklah dipotong tangannya karena hasil
penjualan khomr dan babi adalah haram. Dan juga tidak dipotong tangan sang
pencuri jika mencuri tunbur (kecapi/rebab) dan mizmar (seruling)” (Al-Umm
6/147)
Sangat jelas bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i menyamakan hukum alat musik sama seperti
hukum khomr, sama-sama haram, dan tidak halal hasil penjualannya, karenanya
jika ada pencuri yang mencuri barang-barang haram ini maka tidaklah dipotong
tangannya.
Al-Imam Asy-Syafi’i juga berkata (tentang hukum di antara orang-orang kafir
ahli al-jizyah):
وَلَوْ كَسَرَ له طُنْبُورًا أو مِزْمَارًا أو كَبَرًا … وَإِنْ لم يَكُنْ يَصْلُحُ إلَّا لِلْمَلَاهِي فَلَا شَيْءَ عليه وَهَكَذَا لو كَسَرَهَا نَصْرَانِيٌّ لِمُسْلِمٍ أو نَصْرَانِيٌّ أو يَهُودِيٌّ أو مُسْتَأْمَنٌ أو كَسَرَهَا مُسْلِمٌ لِوَاحِدٍ من هَؤُلَاءِ أَبْطَلْت ذلك كُلَّهُ
“Kalau seandainya ia menghancurkan kecapi atau seruling atau gendang maka….
jika benda-benda ini tidak bisa digunakan kecuali sebagai alat musik maka tidak
ada sesuatu yang harus ia ganti rugi. Dan demikian pula jika seorang muslim
yang merusak (kecapi dan seruling) milik seorang muslim atau yang merusak
adalah orang nasrani atau orang yahudi atau orang kafir musta’man, atau orang
muslim yang lain yang telah merusak salah satu dari benda-benda tersebut maka
aku anggap semuanya batil (tidak perlu diganti rugi-pen)”(Al-Umm 4/212)
Lihatlah… bahkan menurut Imam Syafi’i jika yang melakukan pengrusakan adalah
seorang yang kafir terhadap alat-alat musik milik seorang muslim maka sang
kafir tidak perlu menanggung biaya ganti rugi.
Dalam kitab Az-Zawaajir
وَقَدْ عُلِمَ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّمَ سَائِرَ أَنْوَاعِ الزَّمْرِ
“Dan telah diketahui tanpa keraguan bahwasanya Imam Asy-Syafi’i radhiallahu
‘anhu mengharamkan seluruh jenis alat musik” (Az-Zawaajir ‘an iqtiroofil
kabaair 2/907)
Anda
menulis : Imam Syafi-'i dalam al-Umm 6/209 menyatakan laysa bimuharramin alias
tidak haram ??? Kalau mengutip harus lengkap, jangan "mengaburkan".
Para ulama yang membolehkan nyanyian maka maksud mereka adalah bersenandung
dengan pembicaraan yang mubah. Barang siapa yang membencinya atau melarangnya
maksudnya adalah jika terlalu sering melakukan nyayian tersebut.
Dalam kitab Al-Umm
قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى في الرَّجُلِ يُغَنِّي فَيَتَّخِذُ الْغِنَاءَ صِنَاعَتَهُ … وَالْمَرْأَةُ لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَذَلِكَ أَنَّهُ من اللَّهْوِ الْمَكْرُوهِ الذي يُشْبِهُ الْبَاطِلَ وَأَنَّ من صَنَعَ هذا كان مَنْسُوبًا إلَى السَّفَهِ وَسُقَاطَة الْمُرُوءَةِ وَمَنْ رضي بهذا لِنَفْسِهِ كان مُسْتَخِفًّا وَإِنْ لم يَكُنْ مُحَرَّمًا بَيِّنَ التَّحْرِيمِ …وَهَكَذَا الرَّجُلُ يَغْشَى بُيُوتَ الْغِنَاءِ وَيَغْشَاهُ الْمُغَنُّونَ إنْ كان لِذَلِكَ مُدْمِنًا وكان لِذَلِكَ مُسْتَعْلِنًا عليه مَشْهُودًا عليه فَهِيَ بِمَنْزِلَةِ سَفَهٍ تُرَدُّ بها شَهَادَتُهُ وَإِنْ كان ذلك يَقِلُّ منه لم تُرَدَّ بِهِ شَهَادَتُهُ لِمَا وَصَفْت من أَنَّ ذلك ليس بِحَرَامٍ بَيِّنٍ فَأَمَّا اسْتِمَاعُ الْحِدَاءِ وَنَشِيدِ الْأَعْرَابِ فَلَا بَأْسَ بِهِ قَلَّ أو كَثُرَ وَكَذَلِكَ اسْتِمَاعُ الشِّعْرِ *
“Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang soerang lelaki yang menyanyi
dan menjadikan nyanyian sebagai pekerjaannya … dan seorang wanita, maka tidak
boleh syahaadah (persaksian) salah satu dari keduanya. Hal ini dikarenakan
nyanyian adalah termasuk perkara sia-sia yang makruh/dibenci yang mirip dengan
kebatilan. Barang siapa yang melakukannya maka ia dinisbahkan kepada kebodohan
dan jatuh ‘adalahnya (tidak diterima persaksiannya-pen). Barang siapa yang
ridho dengan hal ini (menjadikan nyayian sebagai keahliannya-pen) maka ia telah
bodoh, meskipun keharamannya tidaklah jelas…
Dan demikian pula seorang lelaki yang mendatangai rumah-rumah nyanyian dan
didatangi oleh para penyanyi, maka jika ia selalu melakukannya dan
menampakkannya, serta disaksikan perbuatannya tersebut maka hal ini sama
kedudukannya seperti kebodohan yang menyebabkan tertolak persaksiannya. Dan
jika jarang/sedikit ia melakukannya maka tidak tertolak persaksiannya
dikarenakan bahwa hal itu bukanlah perkara yang jelas keharamannya.
Adapun mendengarkan al-hudaa’, nasyid-nasyid orang-orang Arab maka hal ini
tidaklah mengapa, baik jarang maupun sering, dan demikian pula mendengarkan
sya’ir-sya’ir” (Al-Umm 6/209)
Dalam pernyataan di atas nampak Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa nyanyian
adalah perkara yang makruh dan mirip dengan kebatilan, akan tetapi tidak sampai
jelas keharamannya. Barang siapa yang terlalu sering melakukan nyanyian maka
tertolak syahadahnya/persaksiannya.
Dari sini sangatlah jelas bahwasanya Imam Asy-Syafi’i membedakan antara hukum
nyanyian yang hanya sekedar makruh tidak sampai jelas keharamannya, dengan
alat-alat musik yang hukumnya jelas haram (sebagaimana telah lalu penukilan
dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah).
“Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang soerang lelaki yang menyanyi
dan menjadikan nyanyian sebagai pekerjaannya … dan seorang wanita, maka tidak
boleh syahaadah (persaksian) salah satu dari keduanya. Hal ini dikarenakan
nyanyian adalah termasuk perkara sia-sia yang makruh/dibenci yang mirip dengan
kebatilan. Barang siapa yang melakukannya maka ia dinisbahkan kepada kebodohan
dan jatuh ‘adalahnya (tidak diterima persaksiannya-pen). Barang siapa yang
ridho dengan hal ini (menjadikan nyayian sebagai keahliannya-pen) maka ia telah
bodoh, meskipun keharamannya tidaklah jelas…
Dan demikian pula seorang lelaki yang mendatangai rumah-rumah nyanyian dan
didatangi oleh para penyanyi, maka jika ia selalu melakukannya dan
menampakkannya, serta disaksikan perbuatannya tersebut maka hal ini sama
kedudukannya seperti kebodohan yang menyebabkan tertolak persaksiannya. Dan
jika jarang/sedikit ia melakukannya maka tidak tertolak persaksiannya
dikarenakan bahwa hal itu bukanlah perkara yang jelas keharamannya.
Adapun mendengarkan al-hudaa’, nasyid-nasyid orang-orang Arab maka hal ini
tidaklah mengapa, baik jarang maupun sering, dan demikian pula mendengarkan
sya’ir-sya’ir” (Al-Umm 6/209)
Dalam pernyataan di atas nampak Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa nyanyian
adalah perkara yang makruh dan mirip dengan kebatilan, akan tetapi tidak sampai
jelas keharamannya. Barang siapa yang terlalu sering melakukan nyanyian maka
tertolak syahadahnya/persaksiannya.
Dari sini sangatlah jelas bahwasanya Imam Asy-Syafi’i membedakan antara hukum
nyanyian yang hanya sekedar makruh tidak sampai jelas keharamannya, dengan
alat-alat musik yang hukumnya jelas haram (sebagaimana telah lalu penukilan
dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah).