Saturday, March 7, 2015

Membantah Syi’ah: Masalah Pengingkaran Kepemimpinan Para Khulafaur Rasyidin [ berakibat kekafiran, diluar Islam !!! ]

3. Keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin ?

07Mar2015
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat meyakini keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Aliradhiyallaahu ’anhum. Sedang Syi’ah Imamiyah tidak mengakui keabsahan Khulafa Rasyidin, melainkan meyakini keabsahan Wilayah sekaligus Khilafah Dua Belas Imam yaitu Ali Al-Murtadho, Al-Hasan, Al-Husein, As-Sajjad, Al-Baqir, Ash-Shodiq, Al-Kazhim, Ar-Ridho, Al-Jawad, Al-Hadi, Al-’Askari dan Al-Mahdi,radhiyallaahu ’anhum.
Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Syi’ah Imamiyah, dan sebaliknya Syi’ah Imamiyah menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah.

Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Ahlus Sunnah, dan sebaliknya yang menerima Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Syi’ah Imamiyah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan [???] hanya lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin [???]


Membantah Syi’ah: Masalah Pengingkaran Kepemimpinan Para Khulafaur Rasyidin

https://hizbiyyun.wordpress.com/2012/09/17/membantah-syiah-masalah-pengingkaran-kepemimpinan-para-khulafaur-rasyidin/
بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ
Di antaranya adalah pengingkaran mereka terhadap keabsahan kepemimpinan Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu26, dan pengingkaran terhadapnya memberikan konsekuensi menuduh fasik orang yang membaiatnya serta orang yang meyakini bahwa kekhalifahannya sah.
Padahal beliau telah dibaiat oleh para sahabat termasuk ahli bait seperti Ali radhiyallahu ‘anhu, dan mayoritas umat juga meyakini keabsahannya27. Sedangkan memfasikkan mereka berarti menyelisihi firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.”(Ali Imran: 110)
Sebab, apakah masih ada kebaikan pada sebuah umat yang mana para sahabat nabinya menyelisihi Nabi mereka?
Mereka menzhalimi ahli baitnya dengan merampas kedudukan tertingginya, mereka menyakiti beliau dengan menyakiti ahli baitnya, dan mayoritas mereka meyakini sesuatu yang batil sebagai sesuatu yang haq. Subhanallah, ini merupakan kedustaan yang sangat besar.
Siapa yang meyakini sesuatu yang menyelisihi Kitabullah, maka dia telah kafir. Hadits-hadits yang datang tentang keabsahan kekhalifahan Ash-Shiddiq dan dengan ijma’ para sahabat serta jumhur umat di atas al-haq terlalu banyak untuk bisa dihitung.
Siapa yang menisbatkan jumhur sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kefasikan dan kezhaliman serta menjadikan kesepakatan mereka itu di atas kebatilan, maka ini adalah sikap penghinaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghina beliau adalah kekufuran. Sungguh betapa rusaknya28 perbuatan suatu kaum yang meyakini kefasikan, kemaksiatan, dan perbuatan melampaui batas pada jumhur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 29, padahal yang langsung terlintas oleh akal menunjukkan bahwa Allahsubhanahu wa ta’ala tidaklah memilih untuk menemani hamba pilihan-Nya dan membela agama-Nya melainkan orang-orang pilihan30 dari para makhluk-Nya, dan dalil yang mutawatir juga mendukung yang demikian itu.
Andaikan pada kaum itu terdapat kebajikan, niscaya mereka tidak akan berkata tentang para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan penolong agama-Nya kecuali perkataan yang baik. Akan tetapi, Allah menjadikan mereka celaka sehingga membiarkan mereka angkat bicara untuk mencela para pembela agama, masing-masing orang dimudahkan untuk melakukan tujuan yang dia diciptakan untuknya.
Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami masuk menemui Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam lantas kami katakan, ‘Wahai Rasulullah, angkatlah khalifah untuk kami.’ Beliau bersabda, ‘Jika Allah mengetahui ada kebaikan pada kalian, maka Dia akan mengangkat bagi kalian orang terbaik kalian’.”
Setelah itu Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Allah pun mengetahui adanya kebaikan pada kami sehingga Dia mengangkat pemimipin bagi kami orang terbaik kami, Abu Bakar.” (HR. Ad-Daruquthni)31
Ini adalah argumen terkuat untuk membantah orang yang mengaku loyal32 terhadap Ali radhiyallahu ‘anhu.
Dari Jubair bin Muth’im, dia berkata, “Seorang perempuan datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau memerintahkannya untuk datang kembali kepadanya (lain kali). Maka perempuan itu berkata, ‘Jika saya datang dan tidak mendapati engkau?’ Sepertinya dia hendak mengatakan tentang wafat. Beliau bersabda, “Jika engkau tidak mendapatiku, maka datanglah kepada Abu Bakar!” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)33
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Seorang perempuan datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bertanya sesuatu lantas beliau berkata, ‘Kamu nanti datang kembali’.
Diapun berkata,’ Wahai Rasulullah, jika saya kembali dan tidak mendapati engkau?’ -dia menyindir tentang kematian-. Kemudian beliau bersabda,
“Jika engkau datang dan tidak mendapatiku maka datanglah kepada Abu Bakar, karena dia adalah khalifah setelahku.” (HR. Ibnu Asakir)34
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Akan ada di belakangku dua belas orang khalifah; Abu Bakar hanya dalam waktu yang singkat’.” (HR Al-Baghawi dengan sanad yang hasan)35
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ikutilah jejak dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan beliau menghasankannya, Ibnu Majah dan Al-Hakim dan beliau menshahihkanya.
Juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Abu Darda36 dan Al-Hakim dari Ibnu Mas’ud)37
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh aku tidak tahu seberapa lama tinggalku di tengah-tengah kalian. Maka ikutilah jejak dua orang setelahku: Abu Bakar dan Umar. Peganglah petunjuk ‘Ammar. Dan hadits yang Ibnu Mas’ud berikan kepada kalian maka benarkanlah.” (HR. Ahmad dan selainnya)38
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ikutilah jejak dua orang setelahku; Abu Bakar dan Umar. Jadikan pegangan oleh kalian petunjuk ‘Ammar, dan peganglah wasiat Ibnu Mas’ud. (HR. Ibnu ‘Adi)39
Juga dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bani Mushthaliq mengutusku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya kepada siapa kami membayar zakat sepeninggal anda?” Beliau menjawab, “Kepada Abu Bakar.” (HR. Al-Hakim dan beliau menshahihkannya)40
Dari Aisyah, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika sakit yang beliau meninggal padanya,“Panggilkan untukku ayahmu dan saudaramu sehingga aku bisa menulis sebuah tulisan (wasiat) karena aku khawatir akan ada orang yang berangan-angan dan ada orang yang berkata, ‘Aku lebih berhak’. Padahal Allah dan kaum mukminin enggan kecuali Abu Bakar.” (HR. Muslim dan Ahmad)41
Hadits ini mengeluarkan orang yang enggan terhadap kekhalif ahan Ash-Shiddiq dari golongan kaum mukminin.
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia mengatkan bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Aku meminta kepada Allah untuk mendahulukanmu tiga kali, tetapi Allah enggan kecuali mendahulukan Abu Bakar.” Dalam sebuah riwayat terdapat tambahan, “Hanya saja aku adalah penutup para nabi dan engkau adalah penutup para khalifah.” (HR. Ad-Daruquthni, Al-Khatib, dan Ibnu Asakir)42
Dari Safinah, ia berkata bahwa tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun masjid, beliau letakkan sebongkah batu dalam bangunan tersebut dan beliau berkata kepada Abu Bakar,“Letakkan batumu di sebelah batuku.”
Kemudian beliau berkata kepada Umar, “Letakkan batumu di sebelah batu Abu Bakar.”
Kemudian beliau bersabda, “Mereka itu adalah para khalifah setelahku.” (HR. Ibnu Hibban. Abu Zur’ah berkata, ‘Sanadnya kuat tidak mengapa’, Al-Hakim menshahihkannnya, serta Al-Baihaqi)43
Diriwayatkan penafsiran firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa.” (At-Tahrim: 3)bahwa ini pemberitahuan tentang kekhalifahan Abu Bakar dan Umar44.
Dikatakan bahwa yang mengisyaratkan kepada kekhalifahan Ash-Shiddiq adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217) sebab beliaulah yang telah berjihad melawan ahli riddah (orang-orang murtad).
Dan firman-Nya subhanahu wa ta’ala,
“Katakanlah kepada orang-orang Badui yang tertinggal, ‘Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)’.” (Al-Fath: 16) karena beliaulah yang terlibat langsung memerangi Bani Hanifah45 ketika murtad, yang mana mereka itu adalah orang yang paling kuat.
Juga firman-Nya,
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka.” (An-Nuur: 55)
Sungguh Islam ini telah dikokohkan dengan Abu Bakar dan Umar, mereka adalah dua khalifah yang sejati sebab terwujudnya kebenaran janji Allah pada mereka dan apa yang shahih dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kekhalifahan setelahku selama tigapuluh tahun.”
Dalam sebagian riwayat, “Kekhalifahan rahmat46.” Dalam sebagiannya, “Kekhalifahan kenabian.”
Juga hadits yang shahih berupa perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Abu Bakar ketika sakit yang mengantarkan kepada kematian beliau untuk shalat mengimami orang banyak47, dan penunjukan ini merupakan indikasi terkuat akan kebenaran kekhalifahan Ash-Shiddiq.
Dan hadits ini pula yang dijadikan dalil oleh para pembesar sahabat, seperti Umar, Abu ‘Ubaidah, dan Ali -semoga Allah meridhai mereka semua-. Hal ini dan yang semisalnya adalah perkara yang membuat hitam wajah orang-orang Rafidhah yang fasik dan mengingkari kekhalifahan Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
____________________________________
26 Rijalul Kisysyi (61) Minhajul Karamah (194-202) (N). Aku katakan, “Juga silakan melihat Al-Kafi karya Al-Kulaini (1/434) cet. Darul Adhwa” 1413 H, Tafsir Al-‘Ayasyi (1/178) dan Tafsir Al-Burhan (1/293).
27 Bahkan ijma’ umat lebih mengedepankan Abu Bakar dan ‘Umar dalam kekhalifahan.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (2/82) ketika menjelaskan ucapan Ibnu Taimiyyah, “Hal itu bahwa mereka mengimani bahwa khalifah setelah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, kemudian Ali. Inilah yang disepakati oleh Ahlussunnah dalam masalah khalifah.” Aku katakan, “Tidak ada yang menyelesihinya dari seluruh kaum muslimin kecuali Rafidhah dan penyelisihan mereka tidak teranggap.”

28 Sepertinya yang benar adalah: Sungguh betapa mengerikannya.
29 Barangkali yang benar adalah jumhur sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (N)
30 Sungguh indah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad no. 3600 dalam hal ini. Abdullah bin Mas’ud berkata,

“Sesungguhnya Allah melihat kalbu para hamba, maka Dia mendapati kalbu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik kalbu hamba sehingga Allah memilih beliau bagi diri-Nya dan mengutus beliau dengan membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat kalbu hamba setelah melihat kalbu Muhammad, maka Dia mendapati kalbu para sahabat beliau adalah sebaik-baik kalbu hamba sehingga Allah menjadikan mereka sebagai para pendamping Nabi-Nya, mereka berperang membela agama-Nya sehingga apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka di sisi Allah juga baik, dan apa yang mereka pandang buruk, maka di sisi Allah juga buruk.” Disebutkan oleh guru kami, Al-Wadi’i rahimahullah, dalam Al-Jami’ Ash-Shahih mimma laisa fi Ash-Shahihain tentang fadhilah para sahabat, semoga Allah meridhai mereka semua (jilid 4 hal. 8-9), dan beliau berkata dalam catatan kakinya, “Padanya tidak ada dalil bagi orang-orang yang menganggap baik perbuatan bid’ah. Sebab kaum muslimin yang sempurna keislamannya tidak akan peraah menganggap baik perbuatan bid’ah.” Kemudian hadits itu hanya mauquf sampai pada Ibnu Mas’ud saja.

31 HR. Al-Hakim no. 4761 dan hadits itu dha’ if. Dalam sanadnya terdapat Musa bin Muthir yang dianggap pendusta oleh Yahya bin Ma’in. Sedangkan Abu Hakim, An-Nasa’i, dan sekelompok ulama yang lainnya mengatakan, “Matruk sebagaimana dalam Al-Mizan.”
32 Barangkali Asy-Syaikh menggunakan kata ini untuk menyesuaikan dengan konteks kalimatnya. Jika tidak, maka yang benar adalah kekhalifahan (N). Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri berkata, “Atau barangkali beliau maksudkan loyalitas yang berlebihan.” (Di mana semua Ahlussunnah loyal kepada Ali, ed-).
33 HR. Al-Bukhari no. 3659 dan Muslim no. 2386.
34 HR. Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Madinah Dimasyqi tentang biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq no. 6332 dan hadits itu sangat lemah. Dalam sanadnya terdapat para rawi dhaif, di antaranya Ghalam Khalil. Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan, “Dia meriwayatkan hadits-hadits dusta lagi keji dan berpandangan bolehnya memalsukan hadits. Dan hadits Jubair bin Muth’im yang lalu telah cukup. Hadits itu ada dalam Ash-Shahihain dan hadits itu mengisyaratkan kepada kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiqradhiyallahu ‘anhu.”
35 HR. Abul Qashim Al-Baghawi dalam Mu’jam Ash-Shahabah, hadits no. 1389. Juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (1/54-56) no. 12 dan dalam Al-Ausath (8746), Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam Ma’rifatush Shahabah no. 64 dan Ibnu ‘Adi dalamAl-Kamil (jilid 4 hal. 1524) tentang biografi Abdullah bin Shalih, penulisnya Al-Laits, dan hadits itu dha’if. Dalam sanadnya terdapat Rabi’ah bin Saif Al-Ma’afiri. Al-Bukhari berkata, “Dia mempunyai hadits-hadits mungkar sebagaimana dalam Al-Mizan.” Adapun potongan awal dari hadits itu shahih, telah datang dari Jabir bin Samurah dalam Al-Bukhari no. 7222 dan Muslim no.1821.
36 Riwayat Ath-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyin (jilid 2 hal. 57) cet. Muassasah Ar-Risalah. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikhnya (30/229) tetapi dalam sanadnya ada dua rawi yangmajhul (tidak dikenal). Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma’ (9/53), “Dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak aku kenal.” Juga didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adh-Dha’ifah no. 2330 dan redaksinya, “Ikutilah dua orang setelahku: Abu Bakar dan Umar, sebab keduanya adalah tali Allah yang memanjang. Siapa yang berpegang dengan keduanya, maka dia telah berpegang pada tali yang sangat kuat yang tidak akan lepas.”
37 HR. Ibnu Majah no. 97, Ahmad no. 23138, At-Tirmidzi no. 3671, dan Al-Hakim no. 4516 dalam jalan Rib’I bin Hirasy dari Hudzaifah, dan Rib’i tidak pernah mendengarnya dari Hudzaifah sebagaimana disebutkan oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (2/56). Juga datang dari Ibnu Mas’ud diriwayatkan oleh Al-Hakim no. 4518, At-Tirmidzi no. 3814, dan Ath-Thabari dalam Al-Kabir no. 8426 dari jalan Isma’il bin Ibrahim bin Yahya bin Salamah bin Kuhail, dan Yahya bin Salamah serta putranya Isma’il sama-sama matruk. Sedangkan Ibrahim bin Isma’il dhaif sebagaimana dalam At-Taqrib. Hadits itu telah didhaifkan oleh guru kami, Al-Imam Al-Wadi’i rahimahullahdalam Ahadits Mu’allah Zhahiruha Ash-Shihhah hal. 118 cet. Darul Atsar. Beliau berkata setelah menyebutkan hadits Hudzaifah, “Apa yang disebutkan bahwa hadits Ibnu Mas’ud dan hadits Anas saling mendukung tidaklah benar, karena sanad hadits itu terputus sehingga keduanya sama-sama parah dalam kedhaifannya.” Wallahu a’lam
38 HR. Ahmad no. 22765, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-lhsanno. 6902 dan At-Tirmidzi no. 3663 dari jalan Rib’I bin Hirasy dari Hudzaifah dan hadits itu munqothi’ (terputus) sebagaimana di muka.
39 HR. Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (jilid2 hal 666). Hadits itu dari jalan ‘Amr bin Harim dari Anas, padahal dia berada dalam tingkatan keenam, yaitu orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan salah seorang sahabat pun, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalamMuqaddimah At-Taqrib (1/6).
40 HR. Al-Hakim no,. 4522 dan dalam sanadnya terdapat Nashr bin Manshur Al-Marwazi. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalamTatabbu’ul Auham allati Sakata ‘alaiha Adz-Dzahabi kama fil Mustadrak, mengatakan di bawah hadits ini, “Hadits Anas ini padanya terdapat Nashr bin Manshur, aku tidak tahu ada seorangpun yang men-tsiqah-kannya..'”
41 HR. Al-Bukhari no. 5666 dan tidak ada padanya lafazh, “Kecuali Abu Bakar.” Lafazh ini milik Muslim no. 2387.
42 HR. Ad-Daruquthni dalam Al-Afrad sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah fil Ahaditsil Maudhu’ah no. 346, Al-Khatib dalam Tarikh Baghdad (jilid 11hal.213) tentang biografi Umar bin Muhammad bin Al-Hakam, Tarikh Madinah Dimasyq Ibnu Asakir (jilid 45 hal. 322), dan Ibnul Jauzi dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyyah no. 291 kemudian beliau berkata, “Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ali dan Yahya sama-sama majhul.”
Aku katakan, “Ali ini adalah Ibnul Hasan Al-Kalbi dan Yahya bin Adh-Dharis. Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan, ‘Ali bin Al-Hasan Al-Kalbi dari Yahya bin Adh-Dharis dengan khabar yang bathil, barangkali itulah penyakitnya. Dari Malik bin Mighwal dari ‘Aun bin Abi Juhaifah dari ayahnya secara marfu’, ‘Wahai Ali, aku meminta kepada Allah agar mendahulukanmu tetapi Dia enggan mengabulkanku kecuali Abu Bakar’.” (Al-Mizan: jilid 3 hal. 122).
43 HR. Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin tentang biografi Hasyraj bin Nubalah no. 291 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 4343. Juga disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam, Al-‘Ilal Al-Mutanahiyyah fil Ahadits Al-Wahiyyah no. 331.
Hadits itu tidak kokoh, dalam sanadnya terdapat Hasyraj bin Nabatah. Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan, “Dia ditsiqahkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Ali, dan yang lainnya,” sedangkan Abu Hatim mengatakan bahwa haditsnya pantas, tapi bukan hujjah. An-Nasa’i berkata, “Tidak kuat.” Murrah berkata, “Tidak mengapa.” Ibnu ‘Adi menyebutkannya dalam kitab Kamil-nya, kemudian beliau menyebutkan sejumlah haditsnya yang mungkar dan gharib, di antaranya bahwa beliau bersabda, “Mereka itulah para khalifah setelahku.”
Al-Bukhari berkata dalam Kitab Adh-Dhu’afa, “Sanad ini tidak ada yang mendukungnya, karena Umar dan Ali mengatakan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat khalifah.”
Aku katakan, “Penulis telah menyebutkan hadits-hadits shahih yang mengisyaratkan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar sehingga dalam hadits yang shahih saja sudah cukup, tidak butuh kepada yang dhaif dan Ahlussunnah -walhamdulillah- hanya mengamalkan hadits shahih dan meninggalkan hadits dhaif. Mereka tidak seperti Rafidhah yang berdalil dengan hadits-hadits dhaif dan maudhu”.
Bahkan orang-orang Rafidhah membuat hadits-hadits palsu. Hammad bin Salamah berkata,’ Seorang syaikh Rafidhah memberitahukan kepadaku bahwa mereka bersepakat untuk memalsukan hadits’.” (Al-Baits Al-Hatsits hal. 257 cet. Al-Ma’arif)
44 HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir no. 12640 dengan redaksi yang panjang, dan syahidnya (intinya -ed) adalah sabda beliau kepada Hafshah. “Sesungguhnya ayahmu akan menjadi pemimpin setelah Abu Bakar jika aku meninggal” Tetapi, dalam sanadnya terdapat Isma’il bin ‘Amr Al-Bajali.
Abu Hatim dan Ad-Daruquthni berkata, “Dia dhaif sebagaimana dalam Al-Mizan dan dalam sanadnya terdapat inqitho’(keterputusan), karena Adh-Dhahak tidak mendengar dari Ibnu ‘Abbas.” Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (jilid 4 hal. 153-154) tetapi dalam sanadnya terdapat Muhammad bin As-Sa’ib Al-Kalbi dan dia matruk dari Abu Shalih. Abu Shalih sendiri namanya Badzar dan dia dhaif sebagaimana dalam At-Taqrib. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Marduyah dalam Tafsirnya sebagaimana di Takhrij Al-Ahadits wal Atsar Al-Waqi’ah fi Tafsiril Kasyaf liz Zarahsyari, karya Al-Hafizh Jamaluddin Az-Zaila’i (jilid 4 hal. 60). Tetapi, dalam sanadnya terdapat Musa bin Ja’far Al-Anshari dari pamannya. Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan, “Tidak dikenal dan khabarnya saqith(jatuh).”
45 Ini hanya salah satu penafsirannya menurut Ibnu Katsir, padahal ayatnya lebih umum.
46 HR. Al-Hakim no. 4760, Abu Dawud no. 4646 dengan lafazh,“Kekhalifahan kenabian itu selama tiga puluh tahun.” At-Tirmidzi no. 2231 dengan lafazh, “Kekhalifahan dalam umatku selama tigapuluh tahun kemudian setelah itu kerajaan.”
Ahmad no. 22264 dengan lafazh, “Kekhalifahan itu selama tigapuluh tahun kemudian setelah itu menjadi kerajaan.” Dan Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.6943 dengan lafazh, “Kekhalifahan setelahku selama tigapuluh tahun.”
Hadits itu shahih, sahabat yang menyampaikannya adalah Safinah, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan hadits itu disebutkan oleh guru kami, Al-Wadi’i, dalam Ash-Shahih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shahihain (jilid 1 hal. 315).
Adapun lafazh, “Kekhalifahan itu rahmat”, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1130 dari Mu’adz dan Abu ‘Ubaidah dengan lafazh, “Sesungguhnya urusan ini dimulai rahmat dan kenabian kemudian kekhalifahan rahmat.” Tetapi, dalam sanadnya terdapat Laits bin Abi Sulaim yang dia itu dhaif dan padanya terdapat keterputusan antara Makhul dengan Abu Tsa’labah.
47 Asy-Syaikh rahimahullah mengisyaratkan kepada hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 678 dan Muslim no. 420.
Dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit dan semakin parah sakitnya, maka beliau berkata, ‘Perintahkan Abu Bakar untuk shalat mengimami manusia.’ ‘Aisyah berkata, ‘Dia itu seorang yang sangat sensitif, jika berdiri di posisi anda ini, dia tidak akan mampu untuk shalat mengimami manusia.
Beliau bersabda, ‘Perintahkan Abu Bakar untuk shalat mengimami manusia.’ Tetapi, ‘Aisyah mengulangi jawabannya sehingga beliau bersabda, ‘Perintahkan Abu Bakar untuk shalat mengimami manusia. Sungguh kalian ini (seperti) wanita-wanita yang terlibat dalam kejadian Yusuf.’ Rasul pun mendatanginya dan kemudian Abu Bakar shalat mengimami manusia semasa hidupnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits itu juga datang dari ‘Aisyah diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 679 dan dari Ibnu Umar no. 682.
[Dari: Risalatun fir Raddi ‘alal Rafidhah; Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab; Judul Indonesia: Bantahan & Peringatan atas Agama Syiah Rafidhah; Penerjemah: Abu Hudzaifah Yahya; Penerbit: Penerbit Al-Ilmu]