Thursday, April 23, 2015

Iran Dinilai Jadikan Isu Radikalisme Sebagai Palu Godam Halangi Syiahisasi di Indonesia

Kamis, 23 April 2015 - 14:27 WIB
“Wong, masyarakat seluruh dunia menyorot berbagai keterlibatan Syiah yang mengangkat senjata di mana-mana termasuk keterlibatan Syiah di Yaman. Kok ini kita malah melakukan kerja sama."
Anggota Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, mengatakan Syiah dinilai berhasil mempengaruhi pemerintah Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan terkait adanya kerja sama pemberantasan radikalisme pemerintah Indonesia dengan pemerintah Iran di Jakarta hari Kamis ini.
“Kerja sama dengan Iran ini termasuk salah satu bagian keberhasilan Syiah Iran mempengaruhi pemerintah Indonesia,” ujar Abdul Chair Ramadhan, Kamis, (23/04/2015).
Menurut Abdul Chair, sebelumnnya Iran telah sukses memasukkan Iran Corner, kerja sama pendidikan dan beasiwa pelajar. Termasuk keberhasilannya ikut memberika masukan memblokir media-media Islam.
Menurut Abdul Chair, seharusnya menyangkut kerja sama dengan Iran ini pemerintah bisa membicarakan dulu dengan banyak pihak, terutama terkait ideologi Iran yang Syiah. Termasuk kalau perlu dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga tokoh-tokoh agama yang mengerti Syiah.
“Kita harus paham dulu, apa pengertian radikalisme dalam pikiran Iran. Bagi Iran yang Syiah, semua yang melawan usaha-usaha syiahisasi dinilai intoleran dan takfiri. Jika takfiri akan melahirkan gerakan radikal. Dan gerakan radikal bisa berujung tindakan terorisme, begitu cara pikir Iran. Jadi ini semacam teori ABC. Jika A+B=C,” ujar penulis buku “Syiah Menurut Sumber Syiah, Ancaman Nyata NKRI” ini.
Padahal, defenisi radikal yang dipahami Iran yang Syiah berbeda yang dipahami umat Sunni. Ia memberi contoh, semua yang melawan Syiah di Suriah atau Yaman adalah ‘teroris’ bagi Syiah. Padahal diluar ISIS, yang diteroriskan Syiah-Iran ada pejuang-pejuang Sunni.
Ujung-ujungnya, kata Abdul Chori, kerja sama dengan Iran ini akan sama dengan aksi BNPT belum lama ini dengan menutup media-media Islam dan akan banyak membawa korban.
“Saya khawatir, orang menulis, orang berdakwah, ceramah, bisa dikait-kaitan dengan radikalisme.”
“Nampaknya, istilah radikalisme, akan dijadikan palu godam (alat untuk memukul dan menghancurkan, red) bagi Syiah-Iran untuk menghalangi sekaligus mengamankan usahasyiahisasi-nya di Indonesia.”
Menurutnya, semua halangan gerakan syiahisasi ini nampaknya ingin berusaha dibendung Iran dengan melakukan kerja sama lebih resmi di tingkat kementerian di Indonesia. [Baca:Indonesia Lakukan Kerja Sama Pemberantasan Radikalisme dengan Iran]
Ia yakin, kerja sama ini akan ditindaklanjuti dengan kerja sama lebih lanjut. Setelah itu,  akan ada kerja sama di intelijen dan kerja sama di tingkat tokoh-tokoh agama.
Padahal menurut pria yang disertasinya menulis tentang hubungan ideologi Syiah dan Ketahanan Negara (NKRI) ini, tak seharusnya Indonesia yang besar ini melakukan kerja sama dengan mereka jika urusan radikalisme.
“Indonesia tak perlu kerja sama soal radikalisme dengan Iran. Gak ada pentingnya. Kita ini Negara berdaulat dan memiliki sistem hukum sendiri yang berbeda dengan Iran.”
Pemerintah, menurutnya, seharusnya bertanya-tanya, apa maksud tawaran kerja sama Iran ini? Sebab, di seluruh dunia saat ini sedang menyorot berbagai keterlibatan Syiah yang mengangkat senjata dan melakukan kudeta. Termasuk keterlibatan Syiah di Yaman.
Wong, masyarakat seluruh dunia menyorot berbagai keterlibatan Syiah yang mengangkat senjata di mana-mana termasuk keterlibatan Syiah di Yaman. Kok ini kita malah melakukan kerja sama,” ujarnya.
Ia berharap, Presiden Joko Widodo tidak menelan mentah-mentah tawaran Syiah.
“Sayangnya, untuk banyak kasus-kasus menyangkut keumatan, presiden kita tidak mengerti persoalan. Ini yang bahaya,” ujarnya lebih jauh.*
Indonesia Lakukan Kerja Sama Pemberantasan Radikalisme dan Terorisme dengan Iran
Kamis, 23 April 2015 - 14:20 WIB
Menurut anggota Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH kerja sama ini dinilai sangat terburu-buru dan akan membaya banyak mudharat
Hari Kamis (23/04/2015) Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Republik Iran Hassan Rouhani sepakat melakukan kerja sama memberantas radikalisme dan terorisme.
Kesepakatan ini dicapai dalam pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Iran Hassan Rouhani di sela-sela acara Konferensi Asia Afrika 2015, di Jakarta Convention Center.
Kedua Negara bersepakat segera mengaktifkan kembali Komisi Bersama (SKB) kedua negara untuk meningkatkan kerja sama bilateral dan kerja sama antara kedua negara dan negara Islam untuk memberantas radikalisme dan mengentaskan terorisme dengan mengedepankan sisi kebudayaan dan agama, serta kerja sama tukar informasi untuk mengatasi terorisme.
Sebagaimana dikutip laman resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia, kerja sama ini disepakati saat kedua presiden bertemu dalam pertemuan bilateral di Jakarta Kamis, (23/04/2015).
“Pertemuan bilateral juga membahas berbagai upaya peningkatan kerja sama antar kedua negara terutama di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi. Presiden RI juga  meminta agar akses ekspor kelapa sawit dari Indonesia ke Iran dapat didorong lebih banyak. Presiden juga mengundang pengusaha Iran untuk berinvestasi di bidang infrastruktur di Indonesia yang masih terbuka luas,” demikian dikutip laman Kemenlu.go.id.
Presiden Iran, Hassan Rouhani menegaskan  bahwa hubungan Iran dan Indonesia sangat penting, karenanya Presiden Rouhani setuju untuk  mendorong pihak swasta Iran hadir di Indonesia.
Menurut anggota Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH kerja sama ini dinilai sangat terburu-buru dan akan membawa banyakmudharat (mendatangkan keburukan) dibanding kebaikan. [baca: Iran Akan Jadikan Radikalisme Sebagai Palu Godam Halangi Syiahisasi di Indonesia]
Sebab menurut penulis buku “Syiah Menurut Sumber Syiah, Ancaman Nyata NKRI” ini, defenisi radikalisme yang dipahami Iran (dalam hal ini Syiah, red) tidak sama dengan yang dipahami Indonesia.
“Kita harus paham dulu, apa pengertian radikalisme dalam pikiran Iran. Bagi Iran yang Syiah, semua yang melawan usaha-usaha syiahisasi dinilai intoleran dan takfiri. Jika takfiri akan melahirkan gerakan radikal. Dan gerakan radikal bisa berujung tindakan terorisme, begitu cara pikir Iran,” ujar Abdul Chair Ramadhan.
“Nampaknya, istilah radikalisme, akan dijadikan palu godam bagi Syiah-Iran untuk menghalangi sekaligus mengamankan usaha syiahisasi di Indonesia.”
Kerja sama dengan Iran ini menurut Abdul Chair, termasuk salah satu bagian keberhasilan Syiah Iran mempengaruhi pemerintah Indonesia.*