Wednesday, May 20, 2015

Akankah Turki dan Arab Saudi Mengintervensi Suriah?

Pada bulan Oktober 2014, Perdana Menteri Turki Ahmed Davutoglu pernah menyatakan melalui siaran CNN, sebaiknya AS memberlakukan sebuah zona larangan terbang dan Turki akan menggelar pasukan di wilayah Suriah bagian utara. Setelah itu, Ankara merilis peta zona penyangga yang akan dipatroli oleh pasukan Turki dan Amerika di sepanjang perbatasan Turki dengan Suriah kecuali di wilayah yang dikuasai Daulah (ISIS) yang mengelilingi kota Tel Abyad.
Sejak November 2014, Turki mendorong penggunaan kekuatan udara untuk menciptakan zona aman di sepanjang perbatasan dan selanjutnya meluas ke wilayah kota Aleppo. Rencana ini diharapkan Ankara akan dapat membantu mengorganisir oposisi Suriah dalam rangka menekan BasHar Assad supaya turun dari kekuasaannya. Lengsernya Assad merupakan tujuan Ankara sejak bulan September 2011 ketika mereka memutuskan hubungan dengan rezim Damaskus.
Amerika selalu menolak permintaan Turki tersebut meski telah berulang kali diutarakan Ankara untuk mengambil kebijakan yang lebih agresif di Suriah. Keengganan AS tersebut menimbulkan spekulasi bahwa Ankara akan memilih bertindak sendirian di Suriah. Senada dengan hal ini, sejumlah sumber di Turki diam-diam menyampaikan kepada publik bahwa mereka telah bekerja sama dengan Arab Saudi untuk menerapkan strategi intervensi di Suriah.
Jet tempur koalisi Saudi dalam Decisive Storm 
Jet tempur koalisi Saudi dalam operasi Decisive Storm
Menurut sumber di Ankara, operasi tersebut akan melibatkan kekuatan udara Saudi dan Turki dengan target melumpuhkan kekuatan udara Suriah serta akan melakukan patroli udara gabungan di zona terbatas di sepanjang perbatasan Turki dengan Suriah. Opsi itu diambil  dalam rangka memberi jalan bagi pasukan militer Turki menekan masuk ke wilayah tersebut dan menduduki suatu zona yang selama hampir setengah dekade mereka inginkan. The Huffington Post telah mengkonfirmasi kebenaran rumor tersebut minggu lalu, dan melaporkan bahwa pembicaraan antara Riyadh dan Ankara tentang operasi gabungan tersebut saat ini sedang berlangsung.
Indikasi kuat menunjukkan kecenderungan Riyadh dan Ankara akan melanjutkan rencana operasi mereka meskipun Amerika tidak setuju. Bahkan dalam minggu ini, Riyadh dan Ankara berhasil mengatasi sejumlah perbedaan pendapat tentang arah perang selanjutnya. Dan sekarang sudah ada kesepakatan untuk mendukung Jaisyul Fatih, sebuah kelompok gabungan yang memayungi kelompok-kelompok oposisi yang saat ini menguasai propinsi Idlib.

Namun demikian, ada sejumlah keraguan terhadap operasi militer gabungan dua negara tersebut di Suriah, terutama–meski bukan yang paling utama–adalah yang berkaitan dengan politik dalam negeri Turki. Erdogan harus bersedia mengorbankan ambisi politiknya, dan itu adalah sesuatu yang tidak  mungkin.
Pertama, ada beberapa masalah militer yang harus dihadapi. Angkatan Udara Saudi saat ini  terlibat peperangan sengit di Yaman. Mereka akan kesulitan karena harus berperang dan menopang dua peperangan sekaligus. Sumber daya yang diperlukan untuk melakukan patroli-serangan udara di Suriah sangat besar, aset intelijen akan terus menerus dikuras selama operasi yang mentarget posisi Assad hingga berhasil, dan juga kebutuhan bagi aset kekuatan udara Saudi untuk mendukung pasukan darat Turki terlalu besar ditanggung oleh kedua negara. Mereka akan membutuhkan Amerika untuk secara efektif melindungi pasukan Turki di darat.
Kedua, intervensi Turki di Suriah bukan merupakan kebijakan yang popular di dalam negeri. Seluruh partai politik telah secara resmi memulai kampanye mereka untuk pemilu nasional pada bulan Juni 2015 nanti. Politisi paling menonjol Turki, Recep Tayyip Erdogan, secara terbuka mengkampanyekan dilakukannya perubahan mendasar terhadap konstitusi negara di antaranya termasuk penguatan sistem presidential baginya.
 Erdogan dan massa AKP
Erdogan dan massa AKP
Untuk itu, AKP (Justice and Development Party) harus menambah 18 kursi lagi untuk memudahkan jalan rencana tersebut. Saat ini AKP telah menguasai 312 kursi di parlemen. Untuk perubahan konstitusi minimal diperlukan 330 kursi untuk meng-gol-kannya di tingkat parlemen yang kemudian hasil akhirnya ditentukan melalui referendum nasional. Data dari jajak pendapat menunjukkan hal itu akan sulit dilakukan, namun bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Oposisi Turki mengincar kebijakan luar negeri AKP terutama cara pendekatan mereka terhadap konflik Suriah. Kebijakan AKP di Suriah dianggap tidak popular termasuk langkah AKP yang mendukung baik secara militer maupun finansial terhadap oposisi Suriah. Kritik dan serangan terhadap partai Erdogan AKP ini menimbulkan keyakinan (opini) publik bahwa AKP mendukung JN (Jabhatun Nusrah) yang secara umum oleh diskursus perpolitikan di Turki dianggap sebagai kelompok afiliasi ISIS dan al-Qaidah. AKP sangat keras menolak anggapan tersebut. Namun demikian, jika AKP melanjutkan kebijakan intervensinya, hal itu akan dapat memicu kritik lebih luas yang akan mengerucut pada dugaan bahwa mereka memang mendukung kelompok-kelompok (teroris) tersebut.
Dampak politik yang lebih luas yang harus dihadapi AKP selanjutnya adalah bagaimana mereka menghadapi persaingan multi arah dan kepentingan dengan beberapa kekuatan sosial politik di dalam negeri Turki. Di antaranya adalah HDP (Halklarin Demokratik Partisi) yaitu Partai Demokrasi Rakyat yang merupakan sayap politik gerakan PKK (Partiya Karkeren Kurdistan) sebuah gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Kurdi dari Turki.
Erdogan juga harus membawa partainya menghadapi oposisi partai nasionalis MHP (Milliyetci  Hareket  Partisi) dan juga sebuah partai baru beraliran kiri CHP (Cumhuriyet Halk Partisi) – partai baru yang masih harus berjuang melewati syarat electoral thresholddalam pemilu Juni 2015 mendatang untuk mengamankan posisinya. Pilihan politik AKP untuk berjuang melalui demokrasi parlementer membawa konskuensi partai tersebut harus bergelut dengan persaingan memperebutkan kursi-kursi di forum aliansi besar antar kelompok politik dan kepentingan yang berbeda-beda.
 U.S. Secretary of State John Kerry (L) and Iran's Foreign Minister Mohammad Jawad Zarif (C) gesture as they arrive to resume nuclear negotiations in Montreux, in this March 2, 2015 file photo. Iran's Zarif criticized U.S. Republican senators on March 9, 2015 after they warned Iran's leaders in an open letter that any nuclear deal with U.S.President Barack Obama could last only as long as he remains in office, an unusual partisan intervention in foreign policy that could undermine delicate international talks with Tehran. Zarif dismissed the letter as a "propaganda ploy" from pressure groups he called afraid of diplomatic agreement.  REUTERS/Evan Vucci/Pool (SWITZERLAND - Tags: POLITICS)
Di sisi lain, orang akan lupa dan tidak memperdulikan bagaimana frustrasi Turki dan Saudi terhadap kebijakan Washington di Suriah. Ankara merasa sangat tidak puas dengan kampanye bombardir pimpinan Amerika di Suriah yang hanya fokus menghadapi ISIS. Demikian juga ketidakpuasan Saudi atas kesepakatan nuklir Iran beserta kebijakan-kebijakan luar negeri Iran lainnya yang ekspansif mendorong Arab Saudi membuat keputusan yang impulsif.
Oleh karena itu, sebenarnya aksi mereka di Suriah tersebut tidak diprediksi sebelumnya. Dan hasil yang paling mungkin dari cara pendekatan Ankara dan Riyadh terhadap konflik Suriah adalah meningkatnya dukungan bagi pemberontak Suriah termasuk program pelatihan dan suplai senjata yang (juga) di-backup oleh Amerika.
Karena itu diharapkan adanya dukungan yang lebih besar terhadap kelompok-kelompok oposisi tertentu serta meningkatkan kerjasama intelijen. Namun demikian, akan tetap sulit untuk memperkirakan ke mana arah operasi gabungan Turki-Saudi ini ke depan. Sementara kebijakan ini belum jelas apakah akan berdampak positif bagi raihan dukungan politik dalam negeri, maka Erdogan masih memerlukan sebanyak mungkin dukungan suara pemilih untuk mewujudkan ambisi politiknya.
Dirangkum oleh: Yasin Muslim
Dari:
 
Are Turkey and Saudi Arabia Going to War in Syria?