Friday, May 29, 2015

Begini Cara Inggris Memecah Dunia Arab

Begini Cara Inggris Memecah Dunia Arab [1]
Tahun 1915-1916, dua orang diplomat, Sir Mark Sykes dari Inggris dan Francois Georges-Picot dari Prancis bertemu secara rahasia memutuskan nasib dunia Arab setelah Dinasti Usmaniyah runtuh
Meskipun nama Ottoman (Utsmaniyyah) masih ada hingga 1922 (dan khalifah masih ada sampai 1924), semua bekas daerah kekuasaan Utsmaniyyah kini dipegang Eropa
PERKEMBANGAN negara-negara modern di Semenanjung Arab adalah sebuah proses yang menakjubkan sekaligus mengenaskan. Seratus tahun yang lalu, sebagian besar wilayah Arab ada di bawah kendali Kekaisaran Ottoman, sebuah pemerintahan multi-etnis berbasis di Istanbul. Kini, sebuah peta politik dunia Arab tampak seperti sebuah puzzle yang rumit.
Serangkaian kejadian yang kompleks dan ruwet pada tahun 1910-an mengakhiri kekuasaan Ottoman (Ustmaniyyah) dan bangkitnya negara-negara baru dengan perbatasan tegas di seluruh Timur Tengah, membatasi antar umat Muslim.
Meski ada banyak faktor lainnya yang menyebabkan hal ini, peran Inggris adalah yang dominan dibanding lainnya. Tiga perjanjian dibuat dengan hasil yang membingungkan dan menyebabkan Inggris tetap berada di posisinya. Hasilnya adalah konflik politik yang membagi sebagian besar wilayah Muslim tersebut.
Pecahnya Perang Dunia I
Pada musim panas 1914, sebuah perang pecah di Eropa. Sebuah sistem aliansi yang rumit, sebuah perlombaan senjata militer, ambisi-ambisi kolonial, dan salah penanganan secara luas pada level pemerintahan tertinggi menyebabkan perang yang merusak ini, yang menelan korban 12 juta orang dari 1914 hingga 1918. Pada sisi “Sekutu” tergabung kerajaan-kerajaan Inggris, Prancis, dan Rusia. Sementara kekuatan “Sentral” terdiri atas Jerman dan Austria-Hungaria.
Pada awalnya, Kekaisaran Ottoman (Kekhilafahan Ustmaniyyah) memilih untuk tetap netral. Mereka tidak sekuat negara-negara lainnya yang terlibat perang, dan pada akhirnya babak belur terkena tekanan secara internal dan eksternal. Sultan Ottoman pada titik ini hanya menjadi semacam simbol, dengan Sultan yang benar-benar berkuasa terakhir, Abdulhamid II, dilengserkan pada 1908 dan digantikan oleh pemerintahan militer dipimpin oleh “Tiga Pasha”.
Mereka berasal dari kelompok sekuler yang terpengaruh Barat, para Young Turks (Pemuda Turki). Secara finansial, Ottoman sebenarnya sedang terjepit, memiliki hutang besar terhadap poros-poros Eropa yang tidak dapat mereka bayar. Setelah mencoba bergabung dengan Sekutu dan ditolak, Ottoman akhirnya memihak Kekuatan Sentral pada bulan Oktober 1914.
Kerajaan Inggris langsung bergerak untuk menyusun rencana membubarkan Kekaisaran Ottoman dan mengembangkan kerajaan Timur Tengah mereka. Mereka telah memiliki kontrol atas Mesir sejak 1888 dan India sejak 1857. Kekaisaran Ottoman di Timur Tengah terletak tepat ditengah-tengah kedua koloni penting ini, dan Inggris bertekad untuk mengambil-alihnya sebagai bagian dari perang dunia.
Revolusi Arab
Salah satu strategi Inggris adalah untuk menimbulkan pemberontakan dari subyek-subyek Arab milik Kekaisaran Ottoman. Mereka menemukan seseorang yang bersedia dan siap membantu di Hejaz, di wilayah Barat Semenanjung Arab. Sharif Hussein bin Ali, amir (setingkat gubernur) Mekah bersedia membuat perjanjian dengan pemerintahan Inggris untuk memberontak atas Ottoman. Alasannya untuk memihak Inggris melawan Muslim lainnya tidak diketahui. Alasan-alasan yang mungkin adalah: penolakan terhadap penunjukan Tiga Pasha oleh nasionalis Turki, konflik personal dengan pemerintahan Ottoman, atau hanya ambisi pribadinya belaka.
Apapun alasannya, Sharif Hussein memutuskan untuk membelot atas pemerintahan Ottoman dan beraliansi dengan Inggris. Sebagai balasannya, Inggris menjajinkan untuk menyediakan dana dan senjata kepada para pemberontak untuk membantu mereka bertempur melawan tentara Ottoman yang lebih teroganisir. Inggris juga menjanjikan bahwa setelah perang, dia akan mendapatkan kerajaan Arabnya sendiri yang akan terdiri atas seluruh Semenanjung Arab, termasuk Suriah dan Iraq.
Surat-surat yang menunjukkan negosiasi ini disebut Korespondensi McMahon-Hussein, karena Sharif Hussein berbalas pesan dengan Komisaris Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.
Pada Juni 1916, Sharif Hussein memimpin kelompok bersenjata Bedouin dari Hejaz dalam sebuah kampanye bersenjata melawan Ottoman. Dalam beberapa bulan, gerakan ini berhasil mencaplok beberapa kota di Hijaz, termasuk Jeddah dan Mekah dengan bantuan angkatan darat dan laut Inggris. Mereka memberikan bantuan dalam bentuk prajurit, senjata, uang, penasehat (termasuk Lawrence of Arabia yang legendaris), dan sebuah bendera.
Orang Inggris di Mesir menggambar sebuah bendera untuk digunakan dalam pertempuran, yang nantinya akan disebut sebagai “Bendera Revolusi Arab”. Bendera ini akan menjadi model untuk bendera-bendera di negara Arab seperti Yordania, Palestina, Sudan, Suriah, dan Kuwait.
Sementara Perang Dunia I terus berlangsung dari 1917 dan 1918, para pembelot Arab ini berhasil mengambil alih beberapa kota besar dari Ottoman. Sementara Inggris bergerak menuju Palestina dan Iraq, mengambil alih kota-kota seperti Yerusalem dan Baghdad, tentara Arab membantu mereka dengan mencaplok Amman dan Aqaba.
Perlu dicatat bahwa tentara Arab ini tidak memiliki dukungan dari sebagian besar populasi Arab. Tentara tersebut hanya sebuah gerakan minoritas yang terdiri atas beberapa ribu orang yang dipimpin oleh beberapa ketua yang mencoba untuk menaikkan kekuatan mereka sendiri. Sebagian besar orang Arab memilih untuk tidak terlibat konflik dan tidak mendukung gerakan melawan pemerintahan Ottoman.
Rencana Sharif Hussein untuk menciptakan kerajaan Arabnya sendiri mungkin akan sukses jika saja Inggris tidak membuat rencana lainnya.
Perjanjian Sykes-Picot
Sebelum Gerakan Arab bermula dan sebelum Sharif Hussein dapat menciptakan kerajaan Arabnya sendiri, Inggris dan Prancis memiliki rencana sendiri. Pada musim dingin 1915-1916, dua orang diplomat, Sir Mark Sykes dari Inggris dan Francois Georges-Picot dari Prancis bertemu secara rahasia untuk memutuskan nasib dunia Arab setelah Dinasti Usmaniyah runtuh.
Menurut apa yang kelak akan disebut Perjanjian Sykes-Picot, Inggris dan Prancis setuju untuk membagi dunia Arab untuk mereka sendiri. Inggris akan menguasai apa yang sekarang menjadi Iraq, Kuwait, dan Yordania.*/Tika Af’ida, sumber ostislamichistory.com
SEMENTARA Prancis mendapatkan wilayah Suriah, Libanon, dan selatan Turki modern. Status Palestina diputuskan nanti, dengan ambisi kelompok Zionis untuk mengambil-alih daerah tersebut. Daerah-daerah tersebut memberikan ruang bagi beberapa area untuk dikontrol sendiri oleh bangsa Arab, meski ada control dari Eropa atas kerajaan Arab. Di daerah lainnya, Inggris dan Prancis menjanjikan control total.
Meskipun awalnya perjanjian tersebut dirahasiakan, namun pada akhirnya perjanjian itu diketahui oleh banyak orang pada 1917 saat pemerintahan Bolshevik di Rusia mengungkapkannya. Perjanjian Sykes-Picot bertolak belakang dengan apa yang dijanjikan Inggris kepada Sherif Hussein dan menyebabkan ketegangan antara Inggris dan Arab. Tetapi ini bukan perjanjian bermasalah terakhir yang dibuat Inggris.
 Perjanjian Balfour
Deklarasi Balfour
Kelompok lainnya yang ingin berada dalam peta politik daerah Timur Tengah adalah Zionis. Zionisme merupakan sebuah gerakan politik yang menginginkan berdirinya sebuah negara Yahudi di Tanah Suci Palestina. Dimulai pada 1800-an sebagai gerakan untuk mencari rumah jauh dari Eropa bagi para penganut Yahudi (yang sebagian besar tinggal di Jerman, Polandia, dan Rusia).
Pada akhirnya Zionis memutuskan untuk menekan pemerintahan Inggris selama Perang Dunia II, menyebabkan mereka dapat tinggal di Palestina setelah perang usai. Di dalam pemerintahan Inggris sendiri, banyak yang merasa simpatik kepada gerakan ini. Salah satunya adalah Arthur Balfour, Sekretaris Luar Negeri untuk Inggris. Pada 2 November 1917, dia mengirim surat kepada Baron Rothschild, pemimpin komunitas Zionis. Surat tersebut mendeklarasikan dukungan resmi Pemerintahan Inggris terhadap tujuan gerakan Zionis untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina:
“Pemerintahan Yang Mulia Raja mendukung berdirinya sebuah rumah nasional bagi kaum Yahudi di Palestina, dan akan mengerahkan usaha terbaiknya untuk memfasilitasi pencapaian tersebut, dan dengan jelas mengerti bahwa tidak ada yang akan dilakukan untuk mendiskriminasi hak-hak asasi dan beragama komunitas non-Yahudi yang telah ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang disandang oleh para Yahudi di negara manapun.”
Tiga Perjanjian Bertolak Belakang
Pada 1917, Inggris telah membuat tiga perjanjian berbeda dengan tiga kelompok yang berbeda pula, serta menjanjikan tiga sckenario politik masa depan yang berbeda atas Dunia Arab. Gerakan Arab bersikeras untuk mendapatkan Kerajaan Arab yang dijanjikan lewat Sharif Hussein. Prancis (dan Inggris sendiri) mengharapkan untuk dapat membagi tanah tersebut untuk mereka sendiri. Dan Zionis berharap mendapatkan Palestina seperti yang dijanjikan oleh Balfour.
Perang berakhir pada 1918 dengan kemenangan untuk Sekutu dan luluh lantaknya Kekaisaran Ottoman. Meskipun nama Ottoman masih ada hingga 1922 (dan khalifah masih ada sampai 1924), semua bekas daerah kekuasaan Ottoman kini dipegang Eropa. Perang telah usai, namun masa depan Timur Tengah masih diperebutkan oleh tiga pihak yang berbeda.
 Ottoman_Empire_1914-1
Kekaisaran Utsmaniyyah

Pihak manakah yang menang? Tidak ada yang mendapatkan apa yang benar-benar mereka inginkan. Pasca Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu PBB) didirikan. Salah satu tugasnya adalah membagi daerah bekas pendudukan Ottoman. Mereka membuat mandat untuk dunia Arab. Masing-masing mandat harusnya dijalankan oleh Inggris atau Prancis “sampai mereka bisa mandiri.” Liga tersebut-lah yang menggambar perbatasan-perbatasan yang kini kita lihat di peta Modern Timur Tengah. Perbatasan tersebut ditarik tanpa mempertimbangkan keinginan orang-orang yang tinggal di sana, ataupun pertimbangan etnis, geografis, atau perbedaan agama. Perbatasan tersebut benar-benar sewenang-wenang. Perlu diperhatikan bahwa bahkan hari ini, perbatasan politik di Timur Tengah tidak mengindikasikan perbedaan kelompok. Perbedaan antara orang Iraq, Suriah, Yordania, dsb. Sepenuhnya diciptakan oleh penjajah Eropa sebagai usaha untuk membagi Arab antara satu dan yang lainnya.
Melalui sistem mandat tersebut, Inggris dan Prancis dapat mengontrol apa yang mereka mau di Timur Tengah. Untuk Sharif Hussein, anak-anaknya diperbolehkan untuk memerintah daerah-daerah tersebut di bawah “perlindungan” Inggris. Pangeran Faisal menjadi Raja Iraq dan Suriah dan Pangeran Abdullah daingkat sebagai Raja Yordania. Tetapi secara prakteknya, Inggris dan Prancis memiliki otoritas di daerah-daerah tersebut.
Sementara itu, para Zionis diperbolehkan oleh pemerintah Inggris untuk mendiami Palestina, dengan sejumlah batas-batas. Inggris tidak ingin membuat marah orang-orang Arab yang telah tinggal di Palestina, jadi mereka mencoba untuk membatasi jumlah Yahudi yang pindah ke Palestina. Namun tindakan Inggris tersebut justru membuat marah para Ziois, yang mencoba menempuh cara ilegal untuk berimigrasi sepanjang 1920-an hingga 1940-an. Orang Arab-pun marah karena memandang imigrasi tersebut sebagai pelecehan terhadap tanah yang telah mereka miliki sejak diberikan oleh Salah al-Din pada 1187.
Akibat dari kekacauan politik yang diciptakan oleh Inggris setelah Perang Dunia I masih ada sampai sekarang. Perjanjian yang saling bertolak belakang dan negara-negara yang terbentuk untuk memecah-belah antar sesama Muslim mengiring kepada ketimpangan politik di Timur Tengah.
Bangkitnya Zionis diiringi dengan terbaginya Muslim di wilayah tersebut berakibat pada pemerintahan yang korup serta penurunan ekonomi di Timur Tengah secara keseluruhan. Batas-batas yang diciptakan oleh Inggris masih ada sampai sekarang, meski terjadinya telah 100 tahun yang lalu.*/Tika Af’ida, sumber ostislamichistory.com