Tahun 1915-1916, dua
orang diplomat, Sir Mark Sykes dari Inggris dan Francois Georges-Picot dari
Prancis bertemu secara rahasia memutuskan nasib dunia Arab setelah Dinasti
Usmaniyah runtuh
Meskipun nama Ottoman (Utsmaniyyah) masih ada
hingga 1922 (dan khalifah masih ada sampai 1924), semua bekas daerah kekuasaan
Utsmaniyyah kini dipegang Eropa
PERKEMBANGAN negara-negara modern di
Semenanjung Arab adalah sebuah proses yang menakjubkan sekaligus mengenaskan.
Seratus tahun yang lalu, sebagian besar wilayah Arab ada di bawah kendali
Kekaisaran Ottoman, sebuah pemerintahan multi-etnis berbasis di Istanbul. Kini,
sebuah peta politik dunia Arab tampak seperti sebuah puzzle yang rumit.
Serangkaian kejadian yang kompleks dan ruwet pada tahun 1910-an
mengakhiri kekuasaan Ottoman (Ustmaniyyah) dan bangkitnya negara-negara baru
dengan perbatasan tegas di seluruh Timur Tengah, membatasi antar umat Muslim.
Meski ada banyak faktor lainnya yang menyebabkan hal ini, peran Inggris
adalah yang dominan dibanding lainnya. Tiga perjanjian dibuat dengan hasil yang
membingungkan dan menyebabkan Inggris tetap berada di posisinya. Hasilnya
adalah konflik politik yang membagi sebagian besar wilayah Muslim tersebut.
Pecahnya Perang Dunia I
Pada musim panas 1914, sebuah perang pecah di Eropa. Sebuah
sistem aliansi yang rumit, sebuah perlombaan senjata militer, ambisi-ambisi
kolonial, dan salah penanganan secara luas pada level pemerintahan tertinggi
menyebabkan perang yang merusak ini, yang menelan korban 12 juta orang dari
1914 hingga 1918. Pada sisi “Sekutu” tergabung kerajaan-kerajaan Inggris,
Prancis, dan Rusia. Sementara kekuatan “Sentral” terdiri atas Jerman dan
Austria-Hungaria.
Pada awalnya, Kekaisaran Ottoman (Kekhilafahan Ustmaniyyah)
memilih untuk tetap netral. Mereka tidak sekuat negara-negara lainnya yang
terlibat perang, dan pada akhirnya babak belur terkena tekanan secara internal
dan eksternal. Sultan Ottoman pada titik ini hanya menjadi semacam simbol,
dengan Sultan yang benar-benar berkuasa terakhir, Abdulhamid II, dilengserkan
pada 1908 dan digantikan oleh pemerintahan militer dipimpin oleh “Tiga Pasha”.
Mereka berasal dari kelompok sekuler yang terpengaruh Barat,
para Young Turks (Pemuda Turki). Secara finansial, Ottoman sebenarnya sedang
terjepit, memiliki hutang besar terhadap poros-poros Eropa yang tidak dapat
mereka bayar. Setelah mencoba bergabung dengan Sekutu dan ditolak, Ottoman
akhirnya memihak Kekuatan Sentral pada bulan Oktober 1914.
Kerajaan Inggris langsung bergerak untuk menyusun rencana
membubarkan Kekaisaran Ottoman dan mengembangkan kerajaan Timur Tengah mereka.
Mereka telah memiliki kontrol atas Mesir sejak 1888 dan India sejak 1857.
Kekaisaran Ottoman di Timur Tengah terletak tepat ditengah-tengah kedua koloni
penting ini, dan Inggris bertekad untuk mengambil-alihnya sebagai bagian dari
perang dunia.
Revolusi Arab
Salah satu strategi Inggris adalah untuk menimbulkan
pemberontakan dari subyek-subyek Arab milik Kekaisaran Ottoman. Mereka
menemukan seseorang yang bersedia dan siap membantu di Hejaz, di wilayah Barat
Semenanjung Arab. Sharif Hussein bin Ali, amir (setingkat gubernur) Mekah
bersedia membuat perjanjian dengan pemerintahan Inggris untuk memberontak atas
Ottoman. Alasannya untuk memihak Inggris melawan Muslim lainnya tidak
diketahui. Alasan-alasan yang mungkin adalah: penolakan terhadap penunjukan
Tiga Pasha oleh nasionalis Turki, konflik personal dengan pemerintahan Ottoman,
atau hanya ambisi pribadinya belaka.
Apapun alasannya, Sharif Hussein memutuskan untuk membelot atas
pemerintahan Ottoman dan beraliansi dengan Inggris. Sebagai balasannya, Inggris
menjajinkan untuk menyediakan dana dan senjata kepada para pemberontak untuk
membantu mereka bertempur melawan tentara Ottoman yang lebih teroganisir.
Inggris juga menjanjikan bahwa setelah perang, dia akan mendapatkan kerajaan
Arabnya sendiri yang akan terdiri atas seluruh Semenanjung Arab, termasuk
Suriah dan Iraq.
Surat-surat yang menunjukkan negosiasi ini disebut Korespondensi
McMahon-Hussein, karena Sharif Hussein berbalas pesan dengan Komisaris Tinggi
Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.
Pada Juni 1916, Sharif Hussein memimpin kelompok bersenjata
Bedouin dari Hejaz dalam sebuah kampanye bersenjata melawan Ottoman. Dalam
beberapa bulan, gerakan ini berhasil mencaplok beberapa kota di Hijaz, termasuk
Jeddah dan Mekah dengan bantuan angkatan darat dan laut Inggris. Mereka
memberikan bantuan dalam bentuk prajurit, senjata, uang, penasehat (termasuk
Lawrence of Arabia yang legendaris), dan sebuah bendera.
Orang Inggris di Mesir menggambar sebuah bendera untuk digunakan
dalam pertempuran, yang nantinya akan disebut sebagai “Bendera Revolusi Arab”.
Bendera ini akan menjadi model untuk bendera-bendera di negara Arab seperti
Yordania, Palestina, Sudan, Suriah, dan Kuwait.
Sementara Perang Dunia I terus berlangsung dari 1917 dan 1918,
para pembelot Arab ini berhasil mengambil alih beberapa kota besar dari
Ottoman. Sementara Inggris bergerak menuju Palestina dan Iraq, mengambil alih
kota-kota seperti Yerusalem dan Baghdad, tentara Arab membantu mereka dengan
mencaplok Amman dan Aqaba.
Perlu dicatat bahwa tentara Arab ini tidak memiliki dukungan
dari sebagian besar populasi Arab. Tentara tersebut hanya sebuah gerakan
minoritas yang terdiri atas beberapa ribu orang yang dipimpin oleh beberapa
ketua yang mencoba untuk menaikkan kekuatan mereka sendiri. Sebagian besar
orang Arab memilih untuk tidak terlibat konflik dan tidak mendukung gerakan
melawan pemerintahan Ottoman.
Rencana Sharif Hussein untuk menciptakan kerajaan Arabnya
sendiri mungkin akan sukses jika saja Inggris tidak membuat rencana lainnya.
Perjanjian Sykes-Picot
Sebelum Gerakan Arab bermula dan sebelum Sharif Hussein dapat
menciptakan kerajaan Arabnya sendiri, Inggris dan Prancis memiliki rencana sendiri.
Pada musim dingin 1915-1916, dua orang diplomat, Sir Mark Sykes dari Inggris
dan Francois Georges-Picot dari Prancis bertemu secara rahasia untuk memutuskan
nasib dunia Arab setelah Dinasti Usmaniyah runtuh.
Menurut apa yang kelak akan disebut Perjanjian Sykes-Picot,
Inggris dan Prancis setuju untuk membagi dunia Arab untuk mereka sendiri.
Inggris akan menguasai apa yang sekarang menjadi Iraq, Kuwait, dan Yordania.*/Tika Af’ida, sumber ostislamichistory.com
SEMENTARA Prancis mendapatkan
wilayah Suriah, Libanon, dan selatan Turki modern. Status Palestina diputuskan
nanti, dengan ambisi kelompok Zionis untuk mengambil-alih daerah tersebut.
Daerah-daerah tersebut memberikan ruang bagi beberapa area untuk dikontrol
sendiri oleh bangsa Arab, meski ada control dari Eropa atas kerajaan Arab. Di
daerah lainnya, Inggris dan Prancis menjanjikan control total.
Meskipun awalnya perjanjian tersebut dirahasiakan, namun pada
akhirnya perjanjian itu diketahui oleh banyak orang pada 1917 saat pemerintahan
Bolshevik di Rusia mengungkapkannya. Perjanjian Sykes-Picot bertolak belakang
dengan apa yang dijanjikan Inggris kepada Sherif Hussein dan menyebabkan
ketegangan antara Inggris dan Arab. Tetapi ini bukan perjanjian bermasalah
terakhir yang dibuat Inggris.
Deklarasi
Balfour
Kelompok lainnya yang ingin berada dalam peta politik daerah
Timur Tengah adalah Zionis. Zionisme merupakan sebuah gerakan politik yang
menginginkan berdirinya sebuah negara Yahudi di Tanah Suci Palestina. Dimulai
pada 1800-an sebagai gerakan untuk mencari rumah jauh dari Eropa bagi para
penganut Yahudi (yang sebagian besar tinggal di Jerman, Polandia, dan Rusia).
Pada akhirnya Zionis memutuskan untuk menekan pemerintahan
Inggris selama Perang Dunia II, menyebabkan mereka dapat tinggal di Palestina
setelah perang usai. Di dalam pemerintahan Inggris sendiri, banyak yang merasa
simpatik kepada gerakan ini. Salah satunya adalah Arthur Balfour, Sekretaris
Luar Negeri untuk Inggris. Pada 2 November 1917, dia mengirim surat kepada
Baron Rothschild, pemimpin komunitas Zionis. Surat tersebut mendeklarasikan
dukungan resmi Pemerintahan Inggris terhadap tujuan gerakan Zionis untuk
mendirikan negara Yahudi di Palestina:
“Pemerintahan Yang Mulia Raja mendukung berdirinya sebuah rumah
nasional bagi kaum Yahudi di Palestina, dan akan mengerahkan usaha terbaiknya
untuk memfasilitasi pencapaian tersebut, dan dengan jelas mengerti bahwa tidak
ada yang akan dilakukan untuk mendiskriminasi hak-hak asasi dan beragama
komunitas non-Yahudi yang telah ada di Palestina, atau hak-hak dan status
politik yang disandang oleh para Yahudi di negara manapun.”
Tiga Perjanjian Bertolak Belakang
Pada 1917, Inggris telah membuat tiga perjanjian berbeda dengan
tiga kelompok yang berbeda pula, serta menjanjikan tiga sckenario politik masa
depan yang berbeda atas Dunia Arab. Gerakan Arab bersikeras untuk mendapatkan
Kerajaan Arab yang dijanjikan lewat Sharif Hussein. Prancis (dan Inggris
sendiri) mengharapkan untuk dapat membagi tanah tersebut untuk mereka sendiri.
Dan Zionis berharap mendapatkan Palestina seperti yang dijanjikan oleh Balfour.
Perang berakhir pada 1918 dengan kemenangan untuk Sekutu dan
luluh lantaknya Kekaisaran Ottoman. Meskipun nama Ottoman masih ada hingga 1922
(dan khalifah masih ada sampai 1924), semua bekas daerah kekuasaan Ottoman kini
dipegang Eropa. Perang telah usai, namun masa depan Timur Tengah masih
diperebutkan oleh tiga pihak yang berbeda.
Kekaisaran Utsmaniyyah
Pihak manakah yang menang? Tidak ada yang mendapatkan apa yang
benar-benar mereka inginkan. Pasca Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa
(pendahulu PBB) didirikan. Salah satu tugasnya adalah membagi daerah bekas
pendudukan Ottoman. Mereka membuat mandat untuk dunia Arab. Masing-masing
mandat harusnya dijalankan oleh Inggris atau Prancis “sampai mereka bisa
mandiri.” Liga tersebut-lah yang menggambar perbatasan-perbatasan yang kini
kita lihat di peta Modern Timur Tengah. Perbatasan tersebut ditarik tanpa
mempertimbangkan keinginan orang-orang yang tinggal di sana, ataupun
pertimbangan etnis, geografis, atau perbedaan agama. Perbatasan tersebut
benar-benar sewenang-wenang. Perlu diperhatikan bahwa bahkan hari ini,
perbatasan politik di Timur Tengah tidak mengindikasikan perbedaan kelompok.
Perbedaan antara orang Iraq, Suriah, Yordania, dsb. Sepenuhnya diciptakan oleh
penjajah Eropa sebagai usaha untuk membagi Arab antara satu dan yang lainnya.
Melalui sistem mandat tersebut, Inggris dan Prancis dapat
mengontrol apa yang mereka mau di Timur Tengah. Untuk Sharif Hussein,
anak-anaknya diperbolehkan untuk memerintah daerah-daerah tersebut di bawah
“perlindungan” Inggris. Pangeran Faisal menjadi Raja Iraq dan Suriah dan
Pangeran Abdullah daingkat sebagai Raja Yordania. Tetapi secara prakteknya,
Inggris dan Prancis memiliki otoritas di daerah-daerah tersebut.
Sementara itu, para Zionis diperbolehkan oleh pemerintah Inggris
untuk mendiami Palestina, dengan sejumlah batas-batas. Inggris tidak ingin
membuat marah orang-orang Arab yang telah tinggal di Palestina, jadi mereka
mencoba untuk membatasi jumlah Yahudi yang pindah ke Palestina. Namun tindakan
Inggris tersebut justru membuat marah para Ziois, yang mencoba menempuh cara
ilegal untuk berimigrasi sepanjang 1920-an hingga 1940-an. Orang Arab-pun marah
karena memandang imigrasi tersebut sebagai pelecehan terhadap tanah yang telah
mereka miliki sejak diberikan oleh Salah al-Din pada 1187.
Akibat dari kekacauan politik yang diciptakan oleh Inggris
setelah Perang Dunia I masih ada sampai sekarang. Perjanjian yang saling
bertolak belakang dan negara-negara yang terbentuk untuk memecah-belah antar
sesama Muslim mengiring kepada ketimpangan politik di Timur Tengah.
Bangkitnya Zionis diiringi dengan terbaginya Muslim di wilayah
tersebut berakibat pada pemerintahan yang korup serta penurunan ekonomi di
Timur Tengah secara keseluruhan. Batas-batas yang diciptakan oleh Inggris masih
ada sampai sekarang, meski terjadinya telah 100 tahun yang lalu.*/Tika Af’ida, sumber ostislamichistory.com