Monday, December 7, 2015

Ramai-Ramai Mengeroyok Umat Islam. Mayoritas Paling Menderita Kasus Terorisme Adalah Negara Muslim

Ramai-Ramai Mengeroyok Umat Islam [1]

Sabtu, 5 Desember 2015 - 12:50 WIB
Umat Islam merasakan ada sesuatu yang tidak adil; tetapi suara mereka seperti tersekat
Nativisasi adalah usaha untuk mengecilkan peran Islam dalam sejarah dan pembangunan bangsa
Oleh: Dr. Adian Husaini

RASULULLAH Shallallahu  ‘Alaihi Wassallam  bersabda: “Hampir tiba suatu masa dimana berbagai kaum mengepung kalian, bagaikan orang-orang yang lapar mengerumuni hidangan mereka.” Maka seorang sahabat Nabi  bertanya: “Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?”  Nabi   menjawab: “Bahkan, pada hari itu jumlah kamu banyak, tetapi kamu (laksana) buih dari air yang mengalir;  dan Allah Subhanahu Wata’ala akan mencabut rasa takut terhadap kalian dari hati musuh-musuh kalian; dan Allah Subhanahu Wata’ala akan menancapkan ke dalam hati kalian penyakit al-wahnu.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah al wahnu itu Ya RasulAllah ?”   Rasulullah Shallallahu  ‘Alaihi Wassallam menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud)
Di zaman seperti sekarang, kita, umat Islam, patut benar-benar merenungkan makna hadits Nabi Muhammad   tersebut. Bahwa, ada satu zaman dimana kondisi umat Islam laksana buih. Jumlahnya banyak, tetapi tidak berharga; tidak disegani oleh musuh-musuh Islam. Ketika itu umat Islam ada dalam kondisi dikeroyok oleh berbagai kaum. Mereka yang mengepung umat Islam itu adalah manusia-manusia lapar yang meleleh air liurnya, sedang siap menerkam hidangan lezat. Mereka siap menerkam dan mencabik-cabik, melumat, dan menelan hidangan lezat di hadapannya.
Gambaran Nabi   tentang kondisi umat Islam seperti itu mengejutkan para sahabat beliau yang mulia. Maka, seorang diantara mereka bertanya, apa sebab-musababnya, sehingga umat Islam menjadi makhluk lemah tak berdaya dan super-hina seperti itu? Apakah karena mereka berjumlah sedikit?  Nabi   pun menjawab, bahwa jumlah umat Islam itu banyak. Tetapi, mereka adalah “buih” air yang mengalir. Buih adalah benda tidak berharga; tidak bernilai, tidak diperhitungkan; mengikut saja kemana arus air mengalir.
Ketika itulah umat Islam menjadi bulan-bulanan berbagai kaum; menjadi ajang permainan; tidak berdaya dihadapan musuh-musuh yang sudah lama menunggu kesempatan mencabik-cabik mereka. Rasa takut, rasa segan, apalagi rasa hormat terhadap umat Islam tiada lagi. Lalu, Rasulullah Shallallahu  ‘Alaihi Wassallam  menjelaskan akar masalah atau sumber penyakit umat Islam, yakni mereka terjangkit penyakit ganas bernama “al-wahnu”, yaitu penyakit cinta dunia dan takut mati. Ibarat virus HIV, penyakit al-wahnu kemudian menggerogoti daya tahan tubuh manusia. Berbagai virus atau bakteri penyakit – bahkan yang daya  virulensinya lemah sekalipun – dengan leluasa merusak sel-sel dan jaringan tubuhnya.
Mari kita renungkan dengan pikiran jernih dan perasaan yang lapang! Apakah kondisi kita dan umat Islam sekarang ini seperti telah digambarkan oleh  Rasulullah Shallallahu  ‘Alaihi Wassallam   ?  Jumlah kita di Indonesia sekarang lebih dari 200 juta jiwa. Itu jumlah yang sangat besar. Jumlah kaum Yahudi di dunia saat ini saja tidak sampai 15 juta orang. Tetapi, dunia paham, bagaimana kedudukan dan kemampuan kaum Yahudi dalam menguasai berbagai bangsa, termasuk umat Islam. (Lihat: www.davidduke.com).
Kaum yang kecil ini masih terus menjajah, menista, dan membunuhi orang-orang Palestina. Bangsa Palestina yang berjuang untuk merebut kemerdekaan justru sering diposisikan sebagai pihak yang salah; diberikan julukan militan, radikal, dan teroris. Sementara negara Israel masih nyaman dengan aneka perilaku kejahatannya. Tak ada sanksi internasional yang diterimanya.
Israel masih saja menikmati dukungan dari negara AS dan khususnya kaum Kristen fundamentalis (Kristen-Zionis) yang mempercayai kejayaan negara Yahudi Israel sebagai prasayarat kedatangan Yesus kedua kalinya (the second coming of Christ). Meskipun membunuh ribuan warga jajahan Palestina, media-media massa internasional tidak menjuluki Benyamin Netanyahu sebagai seorang militan atau teroris Yahudi. Itu sangat berbeda dengan pelaku serangan 11 September 2001 dan Serangan Paris belum lama ini – siapa pun mereka. Para pemimpin dunia langsung meneriakkan para pelakunya sebagai teroris.
Di Indonesia, umat Islam bisa memahami dan merasakan, bagaimana dahsyatnya serbuan kaum Kristen GIDI di Papua terhadap masjid dan kios-kios umat Islam di sana. Serangan itu dilakukan ketika umat Islam sedang menjalankan shalat Idul Fithri. Pemerintah tahu itu. Umat Islam pun paham, bagaimana kemudian proses penanganan terhadap para pelaku. Mereka tidak disebut sebagai teroris atau diberikan label teroris Kristen. Entah sudah berapa puluh tentara dan polisi yang meninggal dibunuh di Papua. Hingga kini, pelakunya tidak disebut sebagai teroris. Mereka hanya disebut kelompok bersenjata.
Umat Islam merasakan ada sesuatu yang tidak adil; tetapi suara mereka seperti tersekat. Dari berbagai berita dan informasi yang beredar terus-menerus secara beruntun melalui media sosial dan media komunikasi umat – khutbah, majlis taklim, dan sebagainya – terbentuk pemahaman yang sama, bahwa umat Islam merasa diperlakukan tidak adil. Perasaan itu bisa terus terakumulasi, tertimbun dalam hati,  seperti api dalam sekam.  Semua kekacauan dunia ini ditimpakan kesalahannya kepada ISIS dan kelompok sejenis. Dulu, kesalahan itu ditimpakan kepada al-Qaeda (Al Qaidah). AS dan kawan-kawannya tidak pernah salah. Might is right. Yang kuat adalah yang benar.
Digelontorkan opini global, bahwa yang salah adalah kaum radikal. Liberal tidak salah.           Umat Islam lalu dipaksa berpikir liberal, meskipun dengan kemasan baru.  Dibuatlah opini, seolah-olah ada yang namanya “Islam Nusantara”, yang katanya berbeda dengan “Islam Arab”.  Katanya, Islam Nusantara itu hebat sekali, karena bersifat damai dan toleran.
Sejumlah survei menggambarkan bahwa umat Islam Indonesia tidak toleran, karena tidak bisa menerima paham-paham dan aliran sesat. Umat Islam disuruh menerima paham dan apa saja, sehingga umat Islam layak menerima julukan “terhormat” sebagai umat yang toleran, berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Pokoknya telan saja!
Pada saat yang sama, umat Islam dan bangsa Indonesia dipaksa menerima aneka jenis hiburan yang “melenakan” jiwa bangsa.
Berbagai perilaku amoral, mengumbar aurat, melecehkan norma dan akal sehat, terus-menerus diberikan tempat terhormat di layar kaca. Semua atas nama kebebasan. Paham liberalisme ekstrim yang membongkar nilai-nilai moral agama dan kesopanan pun bebas dijejalkan kepada masyarakat. Lalu, disela-sela tontonan yang memanjakan syahwat, diselipkan iklan perlunya bangsa Indonesua melakukan revolusi mental.  Apa definisinya? Telan saja dulu.
Dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam forum-forum kajian dan perkuliahan, saya memahami adanya keresahan umat Islam di Indonesia terhadap diri dan bangsa mereka. Sebagai mayoritas, umat Islam seperti merasakan adanya kekuatan dahsyat yang mengeroyok diri dan keimanan mereka. Ironisnya, umat Islam merasa tidak berdaya, karena mereka berhasil dipecah belah dan diadu-domba. Devide et impera! Artinya, pecah belah dan adu domba! Sebagian tokoh dan kalangan umat Islam diangkat, diberikan tempat terhormat, untuk digunakan menyerang kelompok lain. Ratusan tahun kekuatan penjajah – yang kecil jumlahnya – berhasil memecah belah bangsa Indonesia dan kemudian dengan leluasa mengeruk kekayaan alam negeri kita.
Sepatutnya, umat Islam mau belajar dari sejarah.
Lihatlah saat ini, kondisi bangsa kita sendiri!  Para politisi yang semua mengaku sebagai patriot dan cinta bangsa, terlibat tindakan saling jegal, saling caci-maki, dan saling hujat, untuk mengangkat diri dan kelompoknya dengan menjatuhkan politisi lain. Rakyat diajari para elite bangsa untuk terus-menerus terlibat dalam pelestarian dendam dan kebencian. Rasa kasih sayang pada sesama perlahan-lahan sirna bersamaan dengan meruyaknya kebebasan saling caci di media sosial.
Mungkin, kondisi umat Islam saat ini bisa diumpamakan laksana seorang musafir yang dirampas harta bendnya dan dilucuti pakaiannya. Yang tersisa tinggal celana kolor,  jiwa, pemikiran, dan keimanannya. Si musafir masih bersyukur, ada yang tersisa. Tapi, si perampas masih tidak puas. Pikiran dan jiwanya pun hendak dilucuti pula. Ia tidak boleh lagi berpikir dan meyakini bahwa agamanya sendiri yang benar. Dengan mudahnya ia mendapat julukan garis keras, fundamentalis, radikal, intoleran, dan sebagainya. Bagi kaum kafir, iman dianggap tidak penting.
Bahkan, ada yang menyebut, keyakinan beragama sebagai sumber konflik umat beragama. Disebarkanlah paham pluralisme yang meminta umat Islam mengakui kebenaran semua agama; atau minimal ‘pluralisme kewargaan’ yang mengajak umat Islam memiliki pandangan dan sikap bahwa keimanan, kesesatan, dan kekufuran harus diperlakukan sama di ruang publik; diberikan perlakuan dan anggaran yang sama. Katanya, itu demi HAM dan kebebasan beragama; Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) mereka pandang lebih suci dan lebih tinggi martabatnya dibandingkan dengan al-Quran. Dengan alasan, negara Indonesia bukan negara Islam. Mereka tidak ridho jika umat Islam punya iman yang kokoh, karena dianggap membahayakan eksistensi dan kenyamanan kekufuran.
Semoga kita masih berakal sehat. Jika seorang yang mengaku muslim menyatakan, bahwa iman dan kufur, tauhid dan syirik adalah sama saja, lalu apa artinya keimanan bagi dirinya? Jika ada polisi mengatakan, bahwa korupsi dan tidak korupsi sama saja, maka apa artinya ia jadi polisi? Maka, sungguh aneh jika para para ulama dan pejabat yang muslim berdiam diri ketika ada seorang kepala daerah dengan sengaja dan terang-terangan mengembangkan paham kemusyrikan, dengan alasan mengembangkan kebudayaan atau kebijakan lokal (local wisdom).
Padahal, setiap hari, seorang muslim senantiasa memanjatkan doa untuk Nabi Muhammad   dan Nabi Ibrahim a.s. dalam shalatnya.  Ketangguhan dan kegigihan Nabi Ibrahim a.s. dalam melawan kemusyrikan sungguh luar biasa.  Beliau harus berhadapan dengan raja, masyarakat, dan bahkan orang tuanya sendiri. Nabi Muhammad   pun memberikan keteladanan bagaimana membersihkan patung-patung di dalam Ka’bah. Apa yang akan dikatakan sang kepala daerah dan  pejabat yang mengaku muslim kepada Allah Subhanahu Wata’ala   di akhirat nanti jika mereka ditanya tentang maraknya pembuatan dan penyembahan patung-patung? Belum lagi pertanggungjawaban penggunaan anggaran negara yang seharusnya memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokok, seperti pendidikan, pekerjaan, pangan, sandang, papan, dan seterusnya.
Nativisasi
Dalam buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, Mohammad Natsir menyebutkan, ada tiga tantangan dakwah yang dihadapi umat Islam Indonesia saat ini, yaitu (1) Pemurtadan, (2) Gerakan sekularisasi dan (3) gerakan nativisasi.  Dalam nasehat yang disampaikan kepada M. Amien Rais dan kawan-kawan, Pak Natsir mengingatkan perlunya umat Islam mencermati dengan serius gerakan nativisasi yang dirancang secara terorganisir, yang biasanya melakukan koalisi dengan kelompok lain yang juga tidak senang pada Islam, apakah golongan Kristen maupun golongan sekularis sendiri.
Nativisasi adalah usaha untuk mengecilkan peran Islam dalam sejarah dan pembangunan bangsa. Digambarkan seolah-olah Islam adalah biang keladi kehancuran kejayaan bangsa yang disimbolkan dengan kejayaan Majapahit. Gara-gara perkembangan dakwah Islam – yang dilakukan terutama oleh Wali Songo – Majapahit hancur. Maka, secara diam-diam dan terus-menerus, dirancang strategi untuk merusak keimanan umat Islam dengan cara mengembangkan paham syirik dengan aneka rupa istilah indah-indah, sejenis ”local wisdom” dan sebagainya. Islam diletakkan sebagai ”virus asing” yang bertentangan dengan budaya lokal. Uniknya, pengembangan tradisi syirik di tengah kaum muslim, tak jarang mendapat sokongan pejabat dan pihak asing.
Sebagian kalangan Hindu, bahkan bernafsu ingin mengambalikan orang Jawa agar memeluk kembali agama Hindu. Majalah Media Hindu(Oktober, 2011) menulis: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju.”
Salah satu proyek nativisasi yang terkenal adalah diterbitkannya kitabDarmogandul yang sangat melecehkan Islam. Dalam Tesis masternya di Program Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Susiyanto menunjukkan beberapa paragraf dalam KitabDarmogandul,  yang secara tersurat mencita-citakan kekristenan orang-orang Jawa: “Serat ‘Arab djaman wektu niki,sampun mboten kanggo,resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, Serate Djeng Nabi, Isa Rahu’llahu. Artinya,  Serat Arab jaman waktu ini sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil, yang digunakan untuk memutusi perkara Serat Kanjeng Nabi Isa Rahullah. ”Wong Djawa ganti agama,  akeh tinggal agama Islam bendjing,  aganti agama kawruh, …. Yang artinya, “Orang Jawa berganti agama, besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kawruh (agama budi)”.
Kitab Darmogandul yang tidak diketahui penulisnya hingga kini, adalah kitab yang ditujukan untuk melecehkan Islam, dan mengagungkan budaya lokal. Para Wali Songo digambarkan sebagai manusia-manusia yang tidak tahu balas budi yang mengkhianati Raja Majapahit. Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama Pertama RI,   pernah menulis dan menerjemahkan Darmogandul yang banyak memuat pelecehan terhadap Islam. Dalam salah satu bait Pangkur-nya serat ini menulis:
“Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah Subhanahu Wata’ala, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”
Ada lagi ungkapan dalam serat ini: “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad,  Rasulullah Shallallahu  ‘Alaihi Wa Sallam, nabi terakhir. Ia sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya Makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.”
 “… Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”
Menyimak berbagai peristiwa yang menimpa umat Islam di Indonesia dan berbagai dunia, patutlah kita merenung, apakah kondisi kita saat ini seperti yang sudah dinubuatkan oleh Nabi Muhammad  ? Jika benar, kita patut melakukan diagnosa yang menyeluruh, untuk menemukan sumber penyakitnya, dan kemudian kita lakukan terapi kausalis dan simptomatis sekaligus! Tujuannya, agar penyakit itu tidak kambuh lagi di masa depan. Allahu A’lam.*/Depok, 4 Desember 2015

Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Rep: Cholis Akbar
Editor: Admin Hidcom

Mayoritas paling menderita kasus terorisme adalah negara muslim

Mayoritas Paling Menderita kasus Terorisme adalah Negara Muslim [2]

Sabtu, 21 November 2015 - 08:59 WIB
Negeri 1001 Malam ini mencatatkan skor bulat 10 sebagai negara dengan dampak terorisme paling parah di dunia
Menurut Chomsky, Amerika telah menjadi penguasa tukang kontrol dan menjadi“’kekuatan teroris utama’
Iraq menjadi negara dengan dampak terorisme paling besar tahun lalu, menurut sebuah penelitian. Global Terrorism Index 2015 (GTI) mencatat 9.929 kematian karena aksi terorisme di Iraq pada 2014, yang tertinggi untuk sebuah negara pada laporan yang dilansir oleh Institute for Economics and Peace (IEP). Studi tersebut juga menunjukkan bahwa meski dampaknya terasa ke seluruh dunia, angka kematian tertinggi hanya terjadi di lima negara.
Index yang dirilis sebelum penembakan di Paris, menemukan bahwa 78 persen kematian karena tindak terorisme pada 2014 terjadi di Iraq, Afghanistan, Nigeria, Pakistan, dan Suriah. Berikut adalah kesepuluh negara yang disebutkan dalam Global Terrorism Index,dengan urutan dari yang teringan sampai terberat:
Thailand: mencatat skor 7,279, negara ini adalah negara dengan skor tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Pada 2014, Thailand mencatatkan serangan teroris terbanyak dalam sejarah Negara Gajah Putih tersebut, dengan peningkatan insiden sebanyak 16% dari tahun sebelumnya, meski angka kematian turun jika dibandingkan pada masa genting tahun 2009 yang mengakibatkan hilangnya nyawa 255 orang. Konflik di Thailand terjadi paling banyak di selatan negara tersebut, dimana terjadi banyak pertentangan antara Muslim Thailand dan pemerintahnya.
Libya: dengan skor 7,29, Libya mencatatkan peningkatan 255% kematian akibat terorisme pada 2014 dibandingkan tahun sebelumnya. Terorisme di Libya terkait atas krisis Libya yang berawal pada 2011 setelah terlemparnya Muammar Qadhfy dari kursi kekuasaan.
Somalia: skor negara ini adalah 7,6 dalam GTI, dan telah berada dalam peringkat sepuluh besar negara yang paling terpengaruh selama 8 tahun berturut-turut. Dalam sejarahnya, tahun 2014 tercatat sebagai tahun dengan jumlah korban jiwa paling buruk. Insiden terburuk terjadi saat 20 orang terbunuh dan 20 orang lainnya terluka saat sebuah bom bunuh diri terjadi di sebuah café.
Yaman: sebanyak 512 insiden terorisme terjadi selama 15 tahun belakangan di Yaman, dan mencatatkan skor 7,642. Pada 2014, jumlah aksi terorisme meningkat sebanyak 72% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan jumlah korban jiwa mencapai 654 orang. Jumlah tersebut meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun terburuk sebelumnya, yakni pada 2012 di mana terdapat 372 orang korban jiwa.
India: Secara mengejutkan, negara ini telah 14 kali muncul sebagai ‘top 10’ dalam GTI, dengan skor tahun ini sebanyak 7,747. Kebanyakan aksi terorisme di India memiliki jumlah korban yang kecil. Pada 2014, sekitar 70% serangan tidak memakan korban jiwa. Mungkin ini juga alasan mengapa aksi terorisme di India tidak terdengar di berita Internasional. Kebanyakan aksi terror di India dilakukan oleh tiga kelompok: komunis, Islamis, dan separatis.
Suriah: 8,108 adalah skor negara ini di GTI. Pada 2014, terdapat 1690 korban jiwa akibat aksi terorisme di Suriah. Jika Anda berpikir bahwa angkanya terbilang kecil jika dibandingkan apa yang ditampilkan di media tentang Suriah, ini karena kebanyakan kematian di Suriah dicatat sebagai korban perang. Serangan terburuk di Suriah adalah saat sebuah kendaraan meledak di dekat sebuah pasar yang membunuh 40 orang dan mencederai 60 orang lainnya. (Rilis resmi PBB menyebutkan, jumlah sipil akibat kekejian rezim Bashar al Assad mencapai lebih 200 ribu jiwa)
Pakistan: Meski jumlah insiden di Pakistan telah turun sebanyak 7%, Pakistan masih berada di 5 besar dengan skor 9,065. Ini dikarenakan masih banyaknya orang yang tewas dalam serangan terorisme di Pakistan, dengan 1760 orang menjadi korban selama tahun 2014. Kelompok paling mematikan di negara yang beribukota di Islamabad ini adalah Tehrik-i-Taliban Pakistan, yang bertanggungjawab atas 31% serangan dan 60% korban jiwa.
Nigeria: Negara yang memindah ibukotanya dari Lagos ke Abuja pada akhir 1991 tersebut mencatatkan skor 9,213 dalam GTI. Pada 2014, Boko Haram di Nigeria menjadi grup paling mematikan di dunia, dengan jumlah korban yang dibunuh mencapai 6118 orang. Tahun sebelumnya, Boko Haram bertanggungjawab atas 86% kematian di Nigeria. Di peringkat kedua, terdapat kelompok militan Fulani yang membunuh 1229 orang selama tahun 2014.
Afghanistan: dengan skor 9,233, negara ini berada di peringkat kedua dengan dampak terparah dari aksi terorisme. Pada 2014, terdapat aksi terorisme di 515 kota berbeda di Afghanistan. Meski begitu, tempat yang paling banyak mengalami aksi terorisme terkonsentrasi di daerah 100 mil dari perbatasan dengan Pakistan, dengan polisi sebagai target paling banyak, mencapai 50% dari keseluruhan aksi.
Iraq: Negeri 1001 Malam ini mencatatkan skor bulat 10 sebagai negara dengan dampak terorisme paling parah di dunia. Sejumlah 3370 aksi terorisme terjadi di Iraq selama 2014, mengakibatkan 9929 orang meninggal dunia, 4211 bangunan rusak, serta mencederai 15137 orang.
Dari kesepuluh negara tersebut, 7 diantaranya negara dengan mayoritas Muslim, sementara Nigeria memiliki populasi Islam dan Kristen yang sama rata. IEP juga menemukan bahwa terdapat pergeseran terhadap persebaran target tindak terorisme selama 2014, dimana terjadi penurunan angka kematian pemuka agama dan penganutnya sebanyak 11 persen, namun jumlah kematian penduduk sipil malah meningkat tajam sebanyak 172%.
Sebagai tambahan, IEP mengatakan para korban aksi-aksi tersebut adalah negara-negara dengan problem-problem pengungsian paling parah. Ini membenarkan pernyataan Presiden Komisi Eropa, Jean-Claude Juncker yang berkomentar bahwa mereka yang melakukan aksi penembakan di Paris adalah mereka yang dihindari oleh para pengungsi.
Sementara dalam Index yang sama, Indonesia tercatat pada ranking 33 dengan skor 4,755.
Barat ikut Sibuk
Sayangnya, semua angka-angka ini tidak ikut memasukkan ‘State Terorism’ (Terorisme yang dilakukan Negara). Seperti invasi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya terhadap Negara Afghanistan tahun 2001 dalam Operation Enduring Freedomyang diklaim mencapai  lebih dari  dari 50.000 orang (15.000-20.000 milisi Taliban dan 25.000-30.000 warga sipil)
Termasuk invasi Amerika Serikat dan sekutunya di Iraq. Data Iraq Body Count (IBC) jugkorban invasi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya pada serangan ke Iraq tahun 2003 mengorbankan sekitar 13,500–45,000 warga sipil.
Ini belum termasuk jutaan korban teror penjajah Israel di Palestina semenjak dimulainya pendudukan tahun 1948. Juga penjajahan negara-negara Eropa di negeri Muslim seperti dilakukan Prancis dan Inggris di kawasan Timur Tengah.
Menariknya, meski yang banyak menjadi korban terorisme itu umat Islam, yang merasa paling sibuk membasmi terorisme justru Negara-negara Barat dan Eropa.
Atas nama ‘Perang Melawan Teror’, tahun 2001, Presiden AS George W. Bush pertama  kali meluncurkan proram Global War on Terrorism/GWOT, sebuah kampanye perang melawan terorisme.
Namun faktanya, justru AS dan negera-negara besar inilah yang dinilai menjadi biang kerok instabiltas sosial-politik-ekonomi dan kemanan di berbagai belahan dunia Islam.
Karena itu, Michel Chossudovsky, Profesor Ekonomi (Emeritus) pada Universitas Ottawa, Direktur dari the Centre for Research on Globalization (CRG), Montreal dan penulis bukunya The Globalization of Poverty and The New World Order (2003) dan America’s War on Terrorism (2005) pernah menulis di www.globalresearch.ca bahwa sesungguhnya ancaman nyata terhadap keamanan global justru berasal dari aliansi Amerika Serikat-NATO-Israel.
Profesor linguistik di Massachuset
Insitute Technology (MIT), Dr. William Chomsky dalam bukunya Pirates and Emperor: International Terrorism in the Real World, yang telah diterjemahkan oleh Mizan dengan judul Maling Teriak Maling; Amerika Sang Teroris?
Menurut Chomsky, Amerika telah menjadi penguasa tukang kontrol kehidupan masyarakat dunia. Bahkan, lebih dari itu, dengan standar ganda yang digunakan dalam berbagai kasus, Amerika telah menjadi“’kekuatan teroris utama’, ujar Chomsky.*