Wednesday, March 18, 2015

Azyumardi Azra: Islam Indonesia beda dengan Islam Arab [ Banyak Statemennya menunjukan Kedengkian Luar Biasa Terhadap Bangsa Arab, Agama di Akal-akalin ]

Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra menilai Islam Indonesia berbeda dengan Islam di Arab. Islam Indonesia menurutnya bercorak kehidupan Bahari.
“Indonesia ini satu-satunya negeri mayoritas Muslim atau majority muslim country yang hidup di alam bahari atau kelautan,” katanya dalam bedah buku Agama dalam Kearifan Bahari karya Radar Pancha Dharma di Cipta Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Rabu (18/2015).
Kebudayaan bahari ini, lanjutnya, melahirkan keislaman yang khas dan distingtif (berbeda). Karena, menurut dia corak alam Indonesia tidak memberi tempat bagi radikalisme. Oleh karena itu, menurutnya gerakan radikalisme di Indonesia secara sosilogis dikembangkan oleh orang-orang keturunan Timur-Tengah.
“Gerakan radikal, bukan dikembangkan oleh indigenous muslim (Muslim lokal), seperti saya yang indigenous Muslim, 100 % Minang,” akunya.
Islam Indonesia yang bercorak maritim, menurutnya memiliki ciri-ciri diantaranya, pusat pemerintahan kerajaan Islam di Indonesia 95 persen menempati wilayah pesisir. Corak maritim ini, melahirkan Islam yang berkarakter kosmopolitan atau mendunia.
“Karena berpusatnya di kota-kota pelabuhan yang selalu didatangi pedagang mancanegara, jadi kosmopolit atau mendunia.Sehingga, mereka terbuka atau inklusif, berbeda dengan Islam di pedalaman,” tuturnya.
Menurut Azra, karakter inklusif ini muncul untuk menopang kehidupan sehari-hari Muslim pesisir yang harus melakukan kontak ekonomi dengan pedagang dari berbagai latar belakang bangsa dan kepercayaan.
“Kalau mereka tidak bersikap inklusif, bagaiman mereka bisa berdagang,” ungkapnya.
Karakter Muslim bercorak maritim selanjutnya adalah fluid atau cair, mereka bersikap akomodatif. Azra menilai, tidak ada bangsa Muslim lainnya yang memiliki corak maritim seperti Indonesia. Umumnya, negara Muslim lainnya pusat pemerintahannya berada di pedalaman. “Pusat pemerintahan kita juga masih di pesisir, seperti Jakarta,” ungkapnya.
Dia menambahkan, ketika budaya Islam pesisir masuk ke pedalaman, terjadi proses akomodasi terhadap budaya pedalaman. hal ini ditunjang, dengan karakter Indonesia yang tidak memiliki kebangaan pada tribalisme atau kabilah.
“Kita memang ada suku bangsa, tapi sikap fluid itu yang membuat suku-suku saling mengakomodasi,” klaimnya.
Sementara, lanjut Azra, kehidupan Muslim di Timur Tengah lebih bercorak kebudayaan padang pasir yang keras. Sehingga, karakter keras itu diidentifikasi sebagai keislaman disana. Situasi di Timur Tengah menurutnya tidak memberi ruang bagi toleransi atau tepo seliro seperti di Indonesia. “Makanya, di sana menjadi pusat konflik, terutama setelah perang dunia ke-2,” tegasnya.
Bagaimana pendapat Anda?

Islam yang Satu. Tak Ada yang Arab, Tak Ada yang Indonesia

Pendapat Azyumardi Azra tentang perbedaan Islam Arab-Islam Indonesia  [baca berita sebelumnya] pernah dibantah  oleh Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto. Menurutnya Islam di Indonesia berbeda dengan di Arab hanya karena faktor sosiologis terkait penampilan wajah umat Islam.
Kata Ismail, Islam memang berbeda-beda dalam tampilannya di tiap negara. Perbedaan itu muncul karena ada interaksi budaya, adat istiadat, dan kearifan lokal yang berbeda.
“Tampilan umat Islam di tiap negara pasti berbeda-beda karena memiliki latar budaya berbeda,” katanya kepada Ismail saat dihubungi Kiblat.net, pada Rabu (11/2).
Namun, menurut Ismail Islam sangat universal. Di negara manapun, Islam sangat cocok untuk tumbuh dan berkembang.
“Islam tidak berbenturan dengan bangsa manapun,” tandasnya.
Adapun, Sekjen Forum Umat Islam, Ustadz Muhammad Al Khaththath menegaskan Islam yang perlu dianut umat Islam di dunia dan di Indonesia adalah Islam model Rasulullah SAW bukan Islam versi mana pun.
“Sebab Rasulullah SAW adalah satu-satunya model Islam. Tidak ada model lain, apalagi Islam model Indonesia,” katanya kepada Kiblat.net pada Selasa (10/2).
Menurut beliau, agama Islam bukan hasil buatan manusia, sehingga Islam tidak memiliki varian yang diukur dari nilai suatu daerah.
“Islam bukan produk budaya masyarakat atau bangsa tertentu. Jadi, tidak ada Islam model Arab Saudi atau model Islam Indonesia,” ucap Ustadz Khaththath.

Syarif Baraja: Islam Ala Indonesia Berarti Bukan Islam Ala Sahabat Nabi SAW

Dai muda dan Motivator ‘Sholat For Success’, Ustadz Syarif Baraja menolak pandangan Menteri Agama yang meminta agar Islam moderat atau Islam ala Indonesia dikembangkan. Menag beralasan, model Islam ala Indonesia menjadi harapan para ilmuwan di dalam dan di luar negeri.
“Islam ala Indonesia itu berarti bukan Islam ala Sahabat Nabi shalallahu alaihi wassalam,” katanya menanggapi pertanyaan dari pertemanan Facebooknya, pada Senin (9/2).
Menurut da’i muda yang memiliki 30 ribu follower twitter ini, para ilmuwan bukanlah standar kebenaran untuk menentukan Islam mana yang cocok diterapkan oleh umat Islam baik di Indonesia ataupun di luar negeri.
“Para ilmuwan itu bisa kasih apa di akhirat nanti? Bagaimana jika Islam yang diharapkan para ilmuwan itu berbeda dengan Islam yang diharapkan oleh Allah?” tanyanya retoris.
Seperti diketahui, dalam sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukman Hakim menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Lukman pada Ahad lalu (08/02).

Menag: Islam Ala Indonesia Bukan Islam yang Terlalu Hitam-Putih
[Korupsi/Riba belum tentu Haram, bisa diatur ???] 

Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin kembali menegaskan apa yang ia maksud sebagai Islam ala Indonesia atau Islam Nusantara.
“Islam Nusantara itu ialah Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang penuh dengan kedamaian, Islam yang bisa hidup di tengah keragamaan. Karena hakikatnya Indonesia adalah bangsa yang sangat besar dan penuh dengan keragaman,” jelas Lukman Hakim kepada Kiblat.net usaiacara Launching Musabaqah Kedubes Saudi di Hotel Raffles, Jakarta, tadi malam (11/02).
Menurut beliau, para pendahulu kita telah mewariskan ajaran Islam yang toleran dan rahmatan lil alamin. Sehingga, mampu melihat perbedaan itu sebagai keragaman yang variatif bukan yang kontradiktif.
“Saya lebih senang menyebut perbedaan sebagai keragaman. Itu adalah dalam rangka untuk saling melengkapi dan mengisi sehingga saling menyempurnakan kita manusia yang pada dasarnya terbatas,” tambahnya.
Lukman menambahkan, Islam ala Indonesia bukanlah Islam yang terlalu hitam-putih, yang mudah untuk menyalah-nyalahkan atau bahkan mengkafirkan.
“Karena beberapa negara sudah mulai ke arah sana sehingga di era globalisasi ini agar paham-paham seperti itu tidak terlalu mempengaruhi umat Islam Indonesia yang sesungguhnya mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu Islam Nusantara itu,” jelas Lukman.
Seperti diberitakan Kiblat.net sebelumnya, dalam sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukmanul Hakim menyatakan bahwa Islam ala Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (8/2/2015).

Islam ala Indonesia Tolak Syariat, Islam Ala Rasulullah SAW Terapkan Syariat

Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Ustadz Muhammad Al-Khaththath menanyakan apa yang dimaksud dengan Islam moderat dan Islam ala Indonesia.
Apakah Islam moderat itu yang dimaksud adalah menolak syariat Islam berlaku dalam kehidupan bernegara? Jika seperti itu, sudah tentu bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
“Islam yang dibawa Rasulullah SAW itu justru ditegakkan dan diterapkan dengan negara,” katanya kepada Kiblat.net pada Selasa (10/2). Hal itu diutarakannya ketika menanggapi pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Syaefuddin tentang perlunya mengembangkan Islam ala Indonesia.
Lanjutnya, Nabi SAW memutuskan perkara-perkara di masyarakat dengan hukum Islam yang diturunkan Allah SWT kepada beliau SAW seperti dijelaskan oleh QS Al-Maidah: 48-49.
Sementara, tidak mungkin memutuskan perkara di masyarakat kalau ia bukan seorang pejabat negara.
“Bukankah sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kita tidak boleh main hakim sendiri. Artinya, negara tidak punya wewenang memutuskan perkara persengketaan di masyarakat, Hakim itu harus kepala negara atau pejabat negara yang diberi wewenang,” terang Ustadz Khaththath.
Menurut Ustad Khaththath, Rasulullah SAW mengangkat sahabat Muadz bin Jabal sebagai wali negeri atau setara dengan gubernur di Yaman untuk menerapkan Syariat Nabi SAW. Nabi pernah bertanya kepada Muadz: Dengan apa anda memutuskan perkara? Maka dijawab oleh Muadz: Dengan Kitabullah.
“Jadi Islam yang dibawa oleh Rasulullah menjadikan negara sebagai pelaksana Syariah,” tegasnya.
Sementara itu, kata Ustadz Khaththath, Islam moderat menolak jihad dan hal-hal yang dianggap sebagai kekerasan. Berbeda dengan Islam yang diturunkan oleh Allah SWT.
“Apakah Islam yang dibawa oleh rasulullah SAW menolak jihad dan perang untuk meninggikan kalimat Allah? Tentu tidak,” ucapnya.
Bahkan, sambungnya, ayat Al-Qura’an yang menerangkan bahwa Nabi SAW adalah Uswah Hasanah atau teladan yang baik bagi umat Islam adalah ayat perang dalam surat perang.
“Ayat Uswah Hasanan ada di surat Al-Ahzab merujuk pada perang Ahzab atau perang sekkutu (koalisi musuh-musuh Islam, red),” tandasnya.
Seperti diketahui, dalam sambutannya di acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta, Menteri Agama Lukmanul Hakim menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah Islam yang diharapkan dunia.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan,” ujar Menag, Ahad (8/2/2015).