Thursday, March 31, 2016

Beriman Kepada Kewajiban Mencintai Sahabat-Sahabat Rasulullah

Orang Muslim beriman kepada kewajiban mencintai sahabat-sahabat Rasullullah saw., keluarga beliau, keutamaan mereka atas kaum Mukminin dan kaum Muslimin yang lain, dan bahwa ketinggian derajat mereka ditentukan oleh siapa di antara mereka yang paling dahulu masuk Islam.
Sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang paling utama ialah para khulafaur rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian disusul sepuluh orang yang dijamin masuk surga, yaitu keempat khulafaur rasyidin, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin Al-Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarrah, Abdurrahman bin Auf. Disusul para sahabat yang ikut perang Badar, kemudian disusul orang-orang yang dijamin masuk surga selain sepuluh orang di atas, misalnya Fathimah Az-Zahra’, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Tsabit bin Qais, Bilal bin Rabah, dan lain sebagainya. Kemudian disusul para sahabat yang ikut menghadiri Baiat Ar-Ridwan yang berjumlah seribu empat ratus sahabat Radhiyallahu Anhum.
Terhadap sahabat-sahabat Rasulullah saw. dan keluarga beliau, maka orang Muslim:
Mencintai mereka, karena kecintaan Allah Ta’ala, dan kecintaan Rasulullah saw. kepada mereka. Allah Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya,“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (Al-Maidah: 54).Tentang sifat mereka, Allah Ta’ala berfirman, “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29).Rasulullah saw. bersabda,“(Takutlah kepada), Allah, (takutlah kepada) Allah terhadap sahabat-sahabatku, dan jangan jadikan mereka sebagai bahan tuduhan sepeninggalku. Barangsiapa mencintai mereka, maka karena kecintaanku, ia mencintai mereka. Barangsiapa membuat mereka marah, maka karena kemarahanku, ia membuat mereka marah. Barangsiapa menyakiti mereka, sungguh ia telah menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, sungguh ia telah menyakiti Allah. Barangsiapa menyakiti Allah, maka tidak lama lagi Allah akan mengambilnya (menghukumnya).” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia meng-hasan-kan hadits ini).
Beriman kepada keutamaan mereka atas kaum Mukminin, dan kaum Muslimin yang lain, karena firman Allah Ta’ala dalam pujian kepada mereka, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100).Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian mencaci-maki sahabat-sahabatku, karena jika salah seorang dari kalian berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka infaknya tersebut tidak mencapai satu mud (6 ons) mereka atau setengahnya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Abu Daud).
Berpendapat bahwa Abu Bakar adalah sahabat Rasulullah saw. yang paling mulia dibandingkan sahabat-sahabat lainnya, kemudian disusul Umar bin Khatthab, kemudian Utsman bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib, karena dalil-dalil berikut:Sabda Rasulullah saw., “Jika aku mengambil kekasih dari umatku, aku pasti mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku, namun ia adalah saudaraku, dan sahabatku.”(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma berkata,“Kami pernah berkata ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, ‘(Sahabat terbaik) ialah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib.’ Ketika hal ini didengar oleh Rasulullah saw., beliau tidak memungkirinya.”Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang terbaik umat ini setelah nabinya ialah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khaththab. Jika aku mau, aku sebutkan orang ketiga yaitu Utsman bin Affan.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Mengakui kelebihan-kelebihan para sahabatnya, dan kebaikan-kebaikan mereka, seperti kebaikan Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan dalam sabda Rasulullah saw. kepada Gunung Uhud yang gemetar bersama para sahabat yang berada di atasnya, “Tenanglah engkau Uhud, sesungguhnya di atasmu terdapat Nabi, Shiddiq (Abu Bakar), dan dua orang yang syahid (Umar dan Utsman).” (Diriwayatkan Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad).Atau seperti kelebihan, dan kebaikan Ali bin Abu Thalib r.a., karena sabda Rasulullah saw. kepadanya, “Tidaklah engkau senang kalau kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Nabi Musa?”(Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).Atau seperti kelebihan Fathimah Radhiyallahu Anha, karena Sabda Rasulullah saw., “Fatimah adalah wanita terkemuka dari wanita-wanita penghuni surga.”(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).Atau seperti kelebihan Az-Zubair bin Al-Awwan, karena sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya setiap nabi itu mempunyai hawari (penolong), dan hawariku (penolongku) ialah Az-Zubair bin Al-Awwam.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).Atau seperti kelebihan Hasan, dan Husain, karena Sabda Rasulullah saw., “Ya Allah, cintailah keduanya, karena aku mencintai keduanya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, At-Tirmidzi, dan Ahmad).
Atau seperti kelebihan Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, karena sabda Rasulullah saw.,“Sesungguhnya Abdullah (bin Umar) adalah orang shalih.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).
Atau seperti kelebihan Zaid bin Haritsah r.a., karena sabda Rasulullah saw., “Engkau adalah saudara kita dan mantan budak kita.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau seperti kelebihan Ja’far bin Abu Thalib r.a., karena sabda Rasulullah saw., “Engkau sangat mirip dengan perawakanku,dan akhlakku.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau seperti kelebihan Bilal bin RabahRadhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., “Aku mendengar suara sandalmu di depanku di surga.”(Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Atau seperti kelebihan Salim, mantan budak Abu Hudzaifah, Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, dan Muadz bin Jabal, karena sabda Rasulullah saw.,“Hendaklah kalian meminta pembacaan al-Qur’an kepada empat orang Abdullah bin Mas’ud, Salim manta budak Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab, dan Muadz bin Jabal.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau seperti kelebihan AisyahRadhiyallahu Anha, karena sabda Rasulullah saw., “Kelebihan Aisyah atas seluruh wanita dalah seperti kelebihan makanan Tsarid (roti yang diremuk dan direndam dalam kuah) atas semua makanan.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau seperti kebaikan kaum Anshar, karena sabda Rasulullah saw., “Jika kaum Anshar melewati suatu lembah, atau jalan di antara dua bukit, aku pasti melewati lembah kaum Anshar. Jika tidak karena Hijrah, aku pasti menjadi salah seorang dari kaum Anshar.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau karena sabda Rasulullah saw. tentang kaum Anshar, “Kaum Anshar, mereka tidak dicintai kecuali oleh orang Mukmin, dan mereka tidak dibenci kecuali orang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, ia dicintai Allah. Dan barangsiapa membenci mereka, ia dibenci Allah.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau seperti kebaikan Sa’ad bin Muadz Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., “Arasy goyah karena kematian Sa’ad bin Muadz.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau seperti kelebihan Usaid bin Khudhair Radhiyallahu Anhu ketika ia bersama salah seorang sahabat Rasulullah saw. di rumah Rasulullah saw. di malam yang gelap gulita. Ketika keduanya keluar dari rumah Rasulullah saw., tiba-tiba di kedua tangan Usaid bin Khudair terdapat sinar, kemudian keduanya berjalan dengan diterangi sinar tersebut. Ketika keduanya berpisah, sinar tersbut pun hilang dari keduanya.
Atau seperti kebaikan Ubai bin Ka’ab Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu ayat, ‘(Dia tidak termasuk orang-orang kafir dari Ahli Kitab)’.”Ubai bin Ka’ab berkata, ‘Apakah Allah juga menyebut namaku?’ Rasulullah saw. bersabda, “Ya, betul,” Ubai bin Ka’ab pun menangis. (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau seperti kebaikan Khalid bin WalidRadhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., “Khalid adalah salah satu pedang Allah yang terhunus.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau seperti kebaikan HasanRadhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., “Anakku ini adalah orang terkemuka. Mudah-mudahan dengannya, Allah mendamaikan dua kelompok dari kaum Muslimin.”(Diriwayatkan Al-Bukhari).
Atau seperti kebaikan Abu Ubaidah Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., “Setiap umat mempunyai orang kepercayaan, da sesungguhnya orang kepercayaan kita, hai umat (Islam), adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Menahan diri dari mengungkap keburukan mereka dan taidak berkomentar tentang persengketaan yang terjadi pada mereka, karena sabda-sabda Rasulullah saw., misalnya sabda beliau berikut:“Janganlah kalian mencaci-maki sahabat-sahabatku.”(Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Abu Daud).“Jangan kalian menjadikan mereka (sahabat-sahabatku) sebagai bahan tuduhan sepeninggalku.”(Diriwayatkan At-Tirmidzi).“Barangsiapa menyakiti mereka (para sahabat), sungguh ia telah menyakitiku. Barangsiapa menyakitiku, sungguh ia telah menyakiti Allah. Dan barangsiapa menyakiti Allah, maka tidak lama lagi Allah akan mengambilnya (menghukumnya).” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).
Beriman kepada kehormatan istri-istri Rasulullah saw., bahwa mereka adalah wanita-wanita suci bersih, mencari keridhaan mereka, dan berpendapat bahwa istri-istri beliau yang termulia ialah Khadijah binti Khuwailid, dan Aisyah binti Abu Bakar, karena firman Allah Ta’ala,“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6).
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi,Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 91-98.
Copy dari : http://alislamu.com

Allah Memerintahkan Mendo’akan Para Sahabat, Rafidhah Memerintahkan Mencela Mereka.

Sesungguhnya ada satu kelompok yang hina dari kalangan Rafidhah yang memusuhi para shahabat, membenci mereka serta mencelanya -kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut-. Ini menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik, hati mereka telah berubah. Di manakah keimanan mereka terhadap Al Qur`an tatkala mereka mencela orang-orang yang telah Allah ridhai?
Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata: “Manusia terdiri dari tiga kedudukan. Telah berlalu dua kedudukan dan tersisa satu kedudukan. Maka perbaikilah amalan yang kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih tersisa.” Lalu beliau membaca firman-Nya:
“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hasyr: 8)
“Mereka adalah kaum Muhajirin, dan ini satu kedudukan.” Lalu beliau membaca:
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Beliau berkata: “Mereka adalah kaum Anshar, dan inipun satu kedudukan yang telah berlalu.” Lalu beliau membaca:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)
Lalu beliau berkata: “Sungguh telah berlalu dua kedudukan dan tersisa kedudukan ini. Maka perbaikilah amalan yang kalian lakukan agar termasuk dalam kedudukan yang masih tersisa, dengan beristighfar untuk mereka (kaum yang telah berlalu).” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/484,dan Al-Lalika`i dalam Syarah Ushul I’tiqad, 2/2354, cetakan Darul Bashirah dan Darul Atsar)
Jadi jika kita ingin termasuk pada kedudukan yang tersisa tersebut, hendaknya kita mendo’akan ampunan buat generasi awal Islam yang telah beriman sebelum kita dan tidak membiarkan kedengkian tumbuh dalam hati kita terhadap mereka. Do’a dan Cinta berlawanan dengan celaan dan kedengkian.
Banyak alasan klise yang yang dilontarkan oleh para pencela shahabat untuk menjustifikasi perbuatan mereka, dengan alasan studi kritis lah, membela kebenaran lah, membela ahlul bait lah (padahal ahlul bait berlepas diri dari mereka)  dan lain sebagainya, padahal jelas-jelas Allah dalam Alqur’an memerintahkan untuk mendo’akan mereka (Muhajirin dan Anshar). Demikian juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam telah melarang mencela sahabat-sahabat beliau dengan begitu jelas.
“Janganlah kalian mencela para shahabatku. Demi (Allah) yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalaulah salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (yang mereka infaqkan) dan tidak pula setengahnya.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, dan riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah)
Nah telah jelaskan siapa yang mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya dan siapa yang justru menentangnya.
Salam