Thursday, March 31, 2016

Misi Ideologis Iran Di Timur Tengah ( Menyingkap Proyek Syi’ahisasi Timur Tengah Di Tengah Rontoknya Solidaritas Dunia Arab )

Hasil gambar untuk Misi Ideologis Iran di Timur TengahHasil gambar untuk Misi Ideologis Iran di Timur Tengah
Yusuf Burhanudin
“Kaum Wahabi adalah orang-orang yang berbuat keji dan termasuk ulah setan.
Kami akan membalas orang-orang Wahabi. Kejahatan ini jangan dibiarkan
berlalu begitu saja tanpa pembalasan!”
Ungkapan di atas lugas tertulis di beberapa dinding gedung di Libanon selatan saat pecah perang saudara tahun 1975-1990. Kecaman itu ditulis secara sadar oleh gerakan perlawanan Hizbullah, faksi syi’ah yang kelak berkuasa permanen di Libanon selatan tahun 1982.
Sekalipun hanya tulisan dinding atau teriakan sporadis dalam demonstrasi, betapa itu menggambarkan pernyataan tulus dan lugu tanpa tekanan. Ketulusan yang muncul dari hati terdalam kepada Muslim Arab Teluk yang mayoritas bermadzhab Hanbali. Demikian tulis Abdul Mun’im Syafiq, pengamat Timur Tengah, dalam Haqiqah Al-Muqawamah; Qira`ah fi Awraq Al-Harakah As-Siyasiyyah Asy-Syi’iyyah fi Lubnan (Hakikat Perlawanan; Menebak Gerakan Politik Syi’ah di Lebanon).
Mengkaji misi ideologis Iran di Timur Tengah, memang tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari faksi Hizbullah, organisasi paramiliter syi’ah yang disebut-sebut sebagai sekutu sekaligus satelit Iran di Timur Tengah. Sebagai pergerakan multi identitas; organisasi bersenjata, sosial, dan juga politik, Hizbullah tidak saja memiliki sayap militer tangguh, tapi juga bergerak dalam sosial. Hizbullah membangun 50 rumah sakit, 100 sekolah, dan perpustakaan. Yang mengherankan, mayoritas dokter dan guru yang bekerja di pusat sosial Hizbullah adalah Kristen dan Druze.
Hizbullah sendiri awalnya merupakan sempalan dari gerakan Amal syi’ah Libanon. Gerakan Amal yang sekuler membuat sebagian pengikut syi’ah di Libanon yang religius keluar dan membentuk gerakan sendiri. Dalam perkembangan berikutnya, kebesaran Hizbullah ternyata jauh melampaui gerakan Amal. Hizbullah, selain didirikan sebagai respon atas invasi Israel ke Libanon pada 6 Juni 1982, juga bertujuan menguasai kawasan Libanon selatan dengan mengusir seluruh warga sunnah termasuk pengungsi Palestina dari pengungsian.
Hizbullah mendapat nama harum di seantero dunia Arab karena berhasil mengusir Israel yang telah menduduki Libanon selatan selama 22 tahun pada 2000. Dengan korban tentara sekitar 900 orang, Israel menarik mundur pasukannya pada 24 Mei 2000 dengan dalih menaati Resolusi DK PBB 425 (tertanggal 19 Maret 1978) dan melanjutkan proses gencatan senjata Libanon-Israel yang ditandatangi 26 April 1996. Masih di bawah pemimpin kharismatik Hassan Nasrallah, yang menggantikan Abbas Al-Musawi tahun 1992 karena tewas dibunuh tentara Israel, juga berhasil memenangkan peperangan 32 hari dengan Israel tahun 2006 silam. Sengitnya perlawanan faksi Hizbullah terhadap hegemoni AS dan Israel di Palestina, jelas kian melambungkan popularitas gerakan ini di dunia internasional dan negara-negara Arab Muslim khususnya.
Benarkah perlawanan Hizbullah dan Gerakan Amal (Amal Movement), sayap politik Hizbullah dan warga syi’ah di parlemen Libanon, berjuang untuk Palestina demi membebaskan warganya dari penjajahan Israel? Mungkinkah kaum mullah yang membenci shahabat Rasulullah saw itu, tulus membela mati-matian warga Ahlussunnah dari cengekraman kaum penjajah zionis Israel? Adakah bukti Hizbullah dikendalikan sepenuhnya bukan oleh kepentingan bersama negara Arab tapi hanya ‘didompleng’ Iran dan Suriah?
Inilah beberapa pertanyaan penting yang menggelayut seiring benang kusut konflik abadi Israel-Palestina yang telah berlangsung kurang lebih dari 30 abad itu. Pertanyaan tersebut tentu saja bukan semata sentimen ideologis (sunnah-syi’ah), lebih dari itu ingin menunjukkan fakta konflik tentang siapa yang mengobarkan api dan siapa yang benar-benar memadamkannya. Siapa menebar kebencian, siapa juga memperjuangkan perdamaian. Pendekatan ideologis, walau bagaimanapun, merupakan solusi jitu mengungkap misi sebenarnya di balik sebuah perlawanan. Apalagi ketika salah seorang pemimpin Hizbullah ditanya wartawan tahun 1987, “Apakah kalian bagian dari Iran?” Ia menjawab, “Bahkan kami adalah Iran di Libanon dan Libanon di Iran!”
Sejarah Hizbullah syi’ah di Libanon tidak bisa terlepas dari peristiwa perang saudara di Libanon, yang melibatkan lebih dari satu kelompok di antaranya rezim syi’ah Suriah Nashiriyah, syi’ah Imamiyah dalam milisi Amal (harakah amal), dan tentara Libanon. Organisasi yang lahir dari konflik di negara miskin, tidak bisa dipungkiri ada pengaruh besar negara lain, terutama Iran dan Suriah. Dalam setiap tahunnya, Hizbullah selalu ditopang Iran hampir 100 juta dolar terutama setelah penarikan mundur Israel tahun 2000. Karena itu, dukungan besar-besaran Iran dan Suriah kepada Hizbullah memang patut dipertanyakan (Daniel Byman, Should Hezbollah Be Next? Foreign Affairs, Nov-Des 2003, hlm. 54-63).
Melihat fakta demikian, apa sebenarnya misi Iran di Timur Tengah? Benarkah mereka memiliki agenda terselubung (hidden curriculum) dan misi ideologis yang melampaui kepentingan politik dan ekonomi regional mereka di kawasan terutama dalam menancapkan pengaruh syi’ah di Timur Tengah?
Berawal dari revolusi 1979 yang menjadi simbol perlawanan arogansi pemerintah AS dan Inggris di Iran (rushan fekran), justru mereka yakini bukan sebatas perubahan struktur kekuasaan nasional belaka, tapi menebar misi suci ideologis jauh melampaui wilayah regional di Timur Tengah bahkan internasional. Melalui embrio Hizbullah di selatan Libanon pasca revolusi 1979, Iran ingin mengirimkan pesan bagi warga Arab teluk, rezim syi’ah hendaknya tidak dipandang sebelah mata. Mereka akan muncul sebagai petangguh dan mesias dalam menyelesaikan konflik Israel Palestina.
Demikian misi politik dan ideologis Iran berjalan saling beriringan. Logika misionaris ini pula yang kelak mengungkap di balik kecerdikan Iran yang selalu berhasil mencuri start kampanye meraih simpati dunia dari negara-negara Arab lain khususnya menyoroti konflik Timur Tengah. Di tengah konflik panjang zionis Israel dan Palestina, Iran selalu muncul di garda perlawanan terdepan. Syi’ah Imamiyah, madzhab mayoritas Iran, memang termasuk aliran keagamaan yang memiliki watak revolusioner sepanjang sejarah. Sikap revolusioner menjadi tabiat dasar gerakan mereka dalam melawan segala macam tirani dan penindasan.
Ini karena psikologi keagamaan syi’ah yang memang tertekan akibat sejarah kelam terbunuhnya Al-Hussain ibn Ali ibn Abu Thalib oleh Yazid ibn Mu’awiyah II, penguasa Dinasti Umayyah, di Karbala. Tragedi Karbala, berikutnya mewariskan perasaan bersalah secara turun-temurun (‘uqdah dzanbin muta`ashshilah) bagi pengikut syi’ah hingga generasi kini. Dalam konteks inilah, menebar kebencian dan permusuhan pada pendukung Mu’awiyah di tanah muslim sunnah Arab, termasuk salah satu bentuk revolusi yang mesti terus dikobarkan sebagai penebus rasa bersalah mereka tidak ikut serta membela sang Imam dalam pertempuran sengit antartokoh terkemuka Islam yang selalu mereka peringati setiap tanggal 10 Muharram (‘Asyura) tersebut.
Mereka mesti mewujudkan dan menegakkan revolusi hingga puncak tujuan. Mereka seolah hendak membebaskan diri dari rasa bersalah sekaligus mengekspresikan dendam terpendam kepada puak pengikut ‘pembunuh’ Al-Hussain di Karbala. Demi menggencarkan revolusi Iran di mana-mana, penganut syi’ah imamiyah bersekutu dengan siapapun termasuk AS dan zionis Israel seperti yang mereka lakukan di Irak beberapa tahun lalu dan saat perang saudara berkecamuk tahun 1975-1990 di Libanon. Mereka aktif melakukan pembantaian etnis; mengejar, membunuh, dan menyembelih tokoh serta ulama Ahlussunnah. Tidak akan pernah terlupakan, pada malam Senin (20/5/1985 M), milisi Amal menyerbu perkemahan Shabra dan Syatila yang dihuni warga Palestina dan membunuh secara membabi buta laki-laki, wanita, dan anak-anak. Tujuan mereka adalah menduduki Libanon selatan dengan mengusir warga Palestina sunnah dari tanah Libanon.
Mereka kemudian gencar mengkampanyekan revolusi Karbala kapan pun dan di mana pun. Bagi mereka, “Setiap hari adalah ‘Asyura, dan seluruh bumi adalah Karbala.” Darah para pemimpin mereka kadung bercucuran dalam peristiwa Karbala guna membela Al-Hussain, maka alirkanlah sungai-sungai guna mencuci kejahatan itu dari muka bumi dan menggantinya dengan kemuliaan yang hilang (al-syaraf al-dha`i’). Apalagi kalau bukan untuk mengembalikan kejayaan Dinasti Fatimiyyah (361-567 H/971-1171 M) dan Dinasti Shafawiyyah (Dinasti yang mensyi’ahkan Iran pasca kegemilangan Islam tahun 1501-1979 M) yang berkuasa dari Timur Persia ke Semenanjung Arabia hingga Afrika Selatan.
Agresi Israel Ke Gaza
Dalam agresi Israel terhadap Gaza baru-baru ini, yang dalam waktu tiga pekan menggugurkan kurang lebih sekira 1300 syuhada, misalnya, Iran begitu getol dan ‘ngotot’ mempertaruhkan bahkan mengeksploitasi segala kekuatan mulai dari ekonomi dan politik dalam penyelesaian konflik di Timur Tengah utamanya untuk ‘membela’ warga Palestina dan ‘melawan’ zonis Israel. Di saat mayoritas pemimpin Arab diam membisu, Iran tanpa henti muncul di media internasional. Tak tanggung-tanggung, Presiden Ahmadinejad bahkan berani melontarkan pernyataan agar membawa seluruh pemimpin Israel diadili di mahkamah internasional karena kejahatan perang. Sungguh pernyataan berani dan spektakuler di tengah sunyinya perlawanan negara-negara Arab terhadap saudara mereka di Palestina.
Sedikit demi sedikit tujuan Iran dalam menancapkan pengaruh syi’ah di Timur Tengah, mulai terlihat. Betapa Presiden Ahmadinejad selalu sukses membetot perhatian media internasional. Sekalipun semua kecaman Ahmadinejad tersebut –yang pernah menebar omong kosong agar dunia mau menghapuskan Israel dari peta dunia—hanya koar-koar belaka atau sebatas retorika politik saja. Namun demikian, dalam sorotan media, Iran tetap berhasil memikat perhatian dunia dalam memainkan peran politik regionalnya dalam pembebasan Timur Tengah ketimbang negara-negara Arab Teluk lainnya. Politik ‘setengah hati’ dunia Arab tersebut tentu saja memberikan peran besar kepada Iran yang berada di Timur Persia untuk berperan banyak untuk menuntaskan konflik Israel Palestina dalam kancah dunia internasional.
Seperti yang sudah-sudah, negara Arab hanya mampu menyelesaikan konflik bersenjata Israel dan Palestina berakhir pada meja perundingan, sekadar menggelar konferensi tingkat tinggi atau konferensi darurat (qimah al-thari`ah) seperti diselenggarakan di Qatar waktu lalu. Tidakkah mereka memetik pelajaran kalau konferensi semacam itu hanya berhasil mengeluarkan resolusi berupa kecaman seperti halnya dilakukan para demonstran anti zionis di seluruh dunia? Sungguh sangat disayangkan jika konferensi berbiaya mahal itu keputusannya tak lebih suara moral yang sama nilainya dengan ‘konferensi jalanan’ para demonstran di seluruh dunia.
Akhirnya kebekuan politik negara Arab tersebut tidak saja menjadikan para pemimpinnya kehilangan harga diri di mata dunia internasional tapi juga memberi kesempatan lebih luas pada Iran berikut sekutunya di Suriah, Libanon, maupun beberapa negara di Amerika Latin untuk mencuri simpati dunia.
Dalam konteks lain, kesunyian perlawanan dunia Arab dengan cerdik dijadikan momentum oleh negara para mullah untuk mengadu domba bangsa Arab satu sama lainnya. Iran tidak hanya mengutuk agresi Israel ke Gaza, para pemangku kekuasaan resmi dan tokoh kultural syi’ah Iran (Pemimpin Agung) melontarkan tuduhan dan menebar kebencian kepada para pemimpin Arab yang terkesan berdiam diri atas agresi ini. Seruan para tokoh syi’ah Iran tersebut berhasil menyulut kebencian Iran kepada para pemimpin Arab. Mereka bukan saja mengutuk Arab Saudi dan Mesir, sebagai sekutu AS dan Israel di Timur Tengah yang saat agresi Israel kemarin tidak mau membuka perbatasan di jalur Gaza dan Rafah, mereka juga begitu berani membakar gambar-gambar pemimpin Arab seperti Raja Abdullah, Hosni Mubarak, dan menggandengkan Syekh Al-Azhar, Sayid Thanthawi, dengan tokoh-tokoh zionis Israel.
Wajar saja mereka mengutuk Mesir karena ada dendam sejarah di mana kaum sunnah dianggap telah merebut kekuasaan Dinasti Fatimiyah yang berkuasa di utara Afrika tahun 361-567 H (971-1171 M). Masjid Al-Azhar yang kelak menjadi universitas Islam tertua di dunia, termasuk salah satu peninggalan mereka. Dinasti ini menisbatkan nama mereka kepada puteri Rasulullah saw. Mereka adalah keturunan syi’ah Alawiyyah yang menganut madzhab syi’ah Ismailiyyah. Dinasti ini kemudian di-sunni-kan oleh Dinasti Ayyubiyyah (567-648 H./1171-1250 M.) pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi, saat merebut Yerusalem ke tangan umat Islam pada perang Salib.
Demikian kebencian syi’ah terhadap Saudi Arabia yang notabene Hanbalian, memiliki latar sejarah dalam memori kolektif mereka. Madzhab berhaluan salafi ini merupakan gerakan yang paling getol mempropagandakan ancaman syi’ah Rafidhah di kawasan serta berhasil membongkar kebusukan mereka terhadap umat Islam sepanjang sejarah. Terbukti, sekalipun Al-Qaidah dan Hizbullah sama-sama merupakan gerakan perlawanan militan terhadap ancaman AS dan Israel, namun keduanya menolak untuk saling bekerja sama bahkan cenderung saling menuding biang kekacauan di Timur Tengah karena memang keduanya berbeda haluan ideologis.
Di Balik Kemesraan Hamas dan Hizbullah
Ada fakta tidak mengenakkan dari Majalah Rouz El-Youssef (22/6/2007), yang mengungkap kedekatan Hamas dengan Hizbullah, adalah karena faktor politis-ideologis. Sudah sejak lama syi’ah berperan dalam berbagai gerakan perlawanan di Palestina. Ini dikarenakan pengaruh Iran tadi yang memang ingin menancapkan hegemoni ideologisnya di Timur Tengah beberapa tahun belakangan. Abdullah Kamal, wartawan Rouz El-Youssef, menyebut dua alasan kenapa syi’ah berkembang luas di Palestina. Pertama, terpengaruh oleh pidato revolusionernya Khomeini seputar revolusi syi’ah Iran 1979. Kedua, karena dukungan Iran kepada beberapa faksi perlawanan di bawah komando Harakah Al-Jihad yang memang berhaluan syi’ah.
Gerakan perlawanan pimpinan Fathi Asy-Syaqaqi, pendiri sekaligus sekjen pertama organisasi paramiliter Al-Jihad, sudah lama terpengaruh revolusi Islam Iran apalagi ia pernah tinggal lama di Teheran. Selain Asy-Syaqaqi, nama lain yang berperan mensyi’ahkan gerakan perlawanan Palestina adalah Nafidz Azzam (jubir Al-Jihad di jalur Gaza yang pernah ditahan pemerintah Mesir), Muhammad Syahadah (petinggi Harakah Al-Jihad asal Betlehem), dan Muhammad Abdul Fattah Khawatimah (Ketua Majlis Syi’ah Tertinggi yang urung didirikan dan mencetuskan pendirian masjid syi’ah di Ramallah).
Begitu pula hubungan Iran dengan Hamas. Hamas yang berhaluan sunnah memang khawatir akan misionaris syi’ah, namun kedekatan mereka dengan Iran begitu ‘mesra’. Hamas dipilih Suriah dan Iran karena Hamas memang lemah menindak misionaris syi’ah di Palestina. Ini keuntungan bagi dua negara tersebut. Apalagi Hamas, yang merupakan Ikhwanul Muslimin-nya Palestina, memang dinilai terlalu toleran (tasahul) terhadap ajaran syi’ah. Hal ini bisa jadi terjadi karena terinspirasi oleh Hassan Al-Banna, tokoh pendiri Ikhwanul Muslimin, yang juga pernah mendirikan Komisi Kesepahaman Sunnah dan Syi’ah (Lajnah At-Taqrib Baina As-Sunnah wa Asy-Syi’ah).
Kemesraan Hamas dengan faksi Hizbullah memang sudah terjalin lama. Beberapa pimpinan Hamas seringkali bersekongkol dan berkoalisi secara strategis dengan Iran. Pujian Ismail Haniyah, PM Palestina yang juga petinggi Hamas akhir Desember 2006, terhadap dukungan Hizbullah bisa dijadikan salah satu indikasi. Penempatan Imad Al-Ilmi, seorang anggota Biro Politik yang juga mantan delegasi Hamas di Teheran, tentu bukan tanpa alasan bilateral. Bahkan tak sungkan beberapa pengurus Biro Politik Hamas pernah menghadiri perayaan ritus‘Asyura atas undangan Hizbullah di Libanon. Begitu pula Usamah Hamdan, delegasi Hamas di Libanon dan Teheran, yang banyak terpengaruh ajaran syi’ah dan pernah menyebut Khalid Meshaal –tokoh paling berpengaruh Hamas yang tinggal di Damaskus—sebagai anak spiritual (al-ibn ar-ruhi) Imam Khomeini (Rouz El-Youssef, 22/6/2007, hlm. 15-16).
Syi’ah sudah begitu mengganas dengan begitu mulus bahkan di jantung konflik. Sudah sepatutnya ini menjadi alarm merah bagi kaum sunnah di kawasan teluk. Terlebih, dengan lugas, Dr Muhammad Bassam, anggota Dewan Pendiri Rabithah Al-Udaba` Al-Syam(Ikatan Sastrawan Syam), menegaskan tujuan utama dari proyek kaum Shafawi Persia ini adalah menguasai dunia Arab dan Islam, dimulai dengan menundukkan wilayah bulan sabit (negeri-negeri Syam dan Irak). Shafawi adalah dinasti yang merubah Parsi Islam menjadi Islam syi’ah yang berlangsung sejak 1501 hingga terbentuknya Iran modern pasca revolusi Iran tahun 1979. Proyek Shafawisasi ini setidaknya dibangun di atas 5 pijakan.Pertama, bekerja sama dengan kekuatan Barat di bawah komando AS guna menguasai negeri-negeri kaum muslimin serta melakukan peran-peran keji yang tidak kalah sengit dengan apa yang dilakukan Ibnu Al-Alqamy saat bekerja sama dengan Holako Khan untuk menjatuhkan Khilafah Islamiyah.
Kedua, menyalakan konflik antarkelompok, melakukan upaya pembersihan etnis, dan bekerja keras membagi-bagi wilayah kaum muslimin Ahlussunnah seperti terjadi di Irak beberapa waktu lalu. Ketiga, membunuh tokoh-tokoh potensial Ahlussunnah mulai kalangan ilmuwan, militer, dan agamawan. Keempat, melakukan kamuflase demografis seperti terjadi di Suriah, Libanon, Yordania, dan Irak. Kelima, menciptakan benturan-benturan fiktif dengan kaum zionis Israel guna memancing Israel mengamuk lalu menghancurkan negeri-negeri Muslim Arab. Beberapa agenda inilah yang mendorong Bassam sampai pada kesimpulan, bahaya ‘mimpi-mimpi’ kaum Persianis yang didukung Suriah, Hizbullah, dan kelompok syi’ah Irak, merupakan persekutuan gelap yang telah berubah menjadi gejala ‘kanker’ keji bagi umat Islam di kawasan Arab di mana bahayanya melebihi bahaya zionis Israel itu sendiri (Al-Khaleej, 11/7/2006).
Sejarah memang tak pernah berbohong dan selalu jujur pada fakta kebenaran. Serapih-rapihnya menyimpan bangkai, busuknya akan tercium juga. Tanpa dasar apologis yang juga tidak sepakat sikap mayoritas pemimpin Arab yang memang berdiam diri, tapi hendak menghadirkan renungan lain seputar pembelaan ‘saudara’ yang selalu menjadi musuh di balik selimut sepanjang sejarah. Kehadiran kaum mullah di tengah-tengah warga sunni Timur Tengah, menjadi begitu signifikan manakala antarnegara teluk saling beradu pengaruh dan berselisih karena perbedaan kepentingan ekonomi dan politik. Begitu pula dalam jantung terdalam konflik, di mana kelompok Hamas dan Fatah, tak kunjung akur dalam misi perlawanan menentang pendudukan Israel.
Lengkaplah sudah kerontokkan solidaritas dunia Arab. Lantas bagaimana bisa meluluh-lantakkan kekuatan zionis yang begitu tangguh dengan persenjataan canggih itu? Perilaku kaum zionis selama ini memang dikecam seluruh umat manusia di seluruh penjuru dunia, namun upaya mengail di air keruh dan menggunakan kesempatan di atas kesempitan kaum mullah Iran, adalah tindakan kurang fair sehingga perlu mendapatkan tanggapan strategis yang serius.
Sungguh tidak ada senjata paling canggih yang diwariskan Rasulullah saw kepada umatnya selain bersatu melawan dua musuh utama sekaligus; kebiadaban AS dan zionis di Barat serta menghadang ancaman militer syi’ah Rafidhah yang keji dari Timur. Maka kita tak perlu terpukau ketika Hasan Nasrallah pada saat melawan agresi Israel tahun 2006 mengatakan, “Sebenarnya saya tak ingin menyatakan Hizbullah bukan berperang mewakili Hizbullah, tapi mewakili umat Islam. Namun ke mana umat itu kini dalam perang ini?”
Banyak kaum muslimin terkagum-kagum dan tertipu dengan pernyataan ini. Nasrallah seakan-akan ingin mengatakan, hanya dirinya dan Hizbullah saja yang berani melawan dan memerangi Israel. Pada saat yang sama, Nasrallah menihilkan perjuangan kaum muslimin lain yang juga berjuang keras di Palestina. Gaya seperti ini mirip yang dilakukan tokoh idola Hasan Nasrallah sendiri, Khomeini, yang dulu menyatakan revolusi Iran adalah revolusi Islam namun kemudian menggantung Syeikh Ahmad Mufti Zadah tahun 1993 (tokoh Ahlussunnah Iran yang juga pendukung revolusinya) dan mengirimkan tentara-tentara untuk membunuh gurunya sendiri yaitu Ayatullah Syariat Madari yang menentangnya dalam konsep vilayatul faqih. Wallahu A’lam.***