Saturday, June 4, 2016

Kisah-Kisah Zuhud Dan Dan Wara’, Bukan Orang-Orang “ Yang Mengumpulkan Harta Dan Menghitung-Hitungnya ( Al-Humazah Ayat 2 )”

Hasil gambar untuk orang cacat sholat

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (١) الَّذِي جَمَعَ مَالا وَعَدَّدَهُ (٢) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ (٣) كَلا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ (٤)
 (1). Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela (2). yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya (3). dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya (4). Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Huthamah


Sebuah foto yang membuat geger jagad dunia maya khususnya Facebook beredar akhir-akhir ini. Terlihat dalam foto tersebut, beberapa orang pria yang mengalami lumpuh namun mereka tetap memaksakan diri untuk shalat berjamaah di masjid.
Dalam foto ini terlihat tiga orang pria limpuh. Dua orang sedang duduk di kursi roda, sedangkan satu orang lagi menggunakan alat bantu untuk mnopang dirinya supaya bisa melaksanakan shalat sambil tengkurap.
Belum diketahui secara pasti lokasi ketiga pria dalam foto ini. Namun yang pasti, kejadian ini membuat sejumlah pengguna Facebook terharu, malu, dan kagum dengan sosok pria lumpuh tersebut. Mereka memiliki fisik tak sempurna, namun hal itu tidak menjadikan sebuah alasan untuk beribadah kepadaNya.
Malu diri ini ya Allah melihat kesungguhan mereka…”  Ujar akun bernama Faqih.
MashaaAllah… Mereka memiliki Iman yang sangat kuat, sehingga membuatnya ringan untuk memenuhi panggilanNya.” Sahut sebuah akun bernama Rizki Kurniawan.
“Jika imannya sudah kuat, halangan sebesar apapun tidak ada artinya.. Patut kita tiru semangatnya.. Semoga bisa.” Komentar sebuah akun bernama Malaika Khadija.
Sementara itu, para pengguna Facebook lainnya menyebut jika foto tersebut menjadi pukulan telak dan pelajaran untuk seluruh muslim yang ada di dunia. Foto ini mengajarkan kita untuk lebih semangat menjalan ibadah, terutama shalat yang merupakan ibadah wajib.
Cukup menyedihkan dengan kaum muslimin saat ini. Banyak dari kita yang sehat namun menyia-nyiakan nikmat sehat itu untuk meninggalkan sholat.” Ungkap akun milik Reza Apriliandi.
Betapa banyak orang di luar sana yang menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitasnya sehingga menghiraukan kumandang Adzan. Mereka terlena dengan kehidupan dunia dan melalaikan untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim,” tulis akun lainnya milik Rahma Rahmawati.
Mereka memiliki fisik yang tidak sempurna, namun tetap ingin shalat berjamaah di masjid. Semoga Allah membalas segala pengorbanan yang dilakukan dan segera mengangkat penyakitnya.Allahumma Aamiin. Lantas, apa alasan kita yang masih sehat untuk tidak shalat berjamaah di masjid?*/qolbunhadi.com
***
Bagaimana dengan kita?

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ.(رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ, وَإِسْنَادُهُ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ صحيح مرفوعا عن ابن عباس)

“Barangsiapa yang mendengar adzan namun ia tidak memenuhi panggilan tersebut (tidak datang ke masjid), maka tidak ada shalat baginya kecuali adaudzur.”

Hadits ini diriwayatkan  Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, Al-Hakim, sanadnya shahih atas syarat Muslim, dari sahabat Ibnu ‘Abbas, shahih).

Lihatlah, meskipun masjidnya sudah runtuh tapi mereka saudara-saudara kita di Gaza tetap mendirikan sholat di masjid dan berjamaah. Bagaimana dengan kita?
Silahkan di share…. dari FB ghirah Islam

Thalhah bin Ubaidillah: Raja infak meski 
tangannya lumpuh

Thalhah bin Ubaidillah: Raja infak meski tangannya lumpuh

Musa bin Thalhah bin Ubaidillah mengisahkan bahwa harta kekayaan hasil perdagangan ayahnya, Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, baru saja datang dari negeri Hadramaut, Yaman. Jumlah harta tersebut sangat besar, 700.000 dirham, setara dengan 70.000 dinar atau sekitar 29, 75 kilogram emas. Angka yang sangat besar, karena Thalhah bin Ubaidillah saat itu adalah salah seorang milyader sahabat di Madinah.

Bukannya gembira dan tentram hatinya, Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu pada malam itu justru kebingungan. Semalaman ia membolak-balikkan badannya di atas ranjang, tanpa sedikit pun bisa tertidur. Ia sama sekali tidak khawatir ada perampok akan menyatroni rumahnya. Bukan itu yang dikhawatirkannya. Ia tengah memikirkan hal lain.

“Apa persangkaan seorang hamba kepada Rabbnya, jika di waktu malam ia tidur sementara di dalam rumahnya ada harta sebanyak ini?” kata Thalhah.

Beruntung Thalhah memiliki seorang istri yang shalihah, ahli ibadah dan zuhud. Ia adalah Ummu Kultsum binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Istrinya memberikan saran yang baik kepada suaminya.

“Mana kepedulian Anda kepada sebagian kawan-kawan dekat Anda? Jika waktu pagi telah tiba, siapkanlah nampan dan piring-piring kecil sebagai wadah harta tersebut, lalu bagikanlah harta itu kepada kawan-kawan dekat Anda!”

Thalhah tersenyum gembira dengan usulan istrinya. Katanya, “Engkau memang wanita yang mendapat taufik, putri dari orang yang mendapat taufik.”

Pada keesokan harinya Thalhah pun menempatkan harta tersebut dalam nampan dan piring-piring kecil. Ia membagikan setiap piring kecil yang berisi uang dalam jumlah besar kepada para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Adapun sebagian kawan dekat beliau diberi jumlah yang lebih besar dalam nampan. Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang yang mendapatkan jatah satu nampan.

Ketika acara pembagian harta kepada kaum Muhajirin dan Anshar hampir selesai, Ummu Kutsum binti Abu Bakar Ash-Shiddiq mendatangi suaminya.

“Wahai Abu Muhammad! Tidakkah kita sendiri juga mendapat jatah dari pembagian harta ini?” tanyanya mengingatkan suaminya.

Hampir saja Thalhah bin Ubaidillah terlupa untuk menyisakan sebagian harta tersebut bagi keperluan keluarganya sendiri.

“Wah, dimana saja engkau sejak tadi pagi? Untukmu adalah bagian yang masih tersisa,” jawab Thalhah.

Ummu Kutsum binti Abu Bakar Ash-Shiddiq bercerita, “Ternyata yang tersisa adalah sebuah kantung yang berisi uang sekitar 1000 dirham.”

Seribu dirham adalah senilai dengan 100 dinar, yaitu sekitar 500 gram emas. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 1/30-31)

Subhanallah, masya Allah….

Nama lengkap sahabat yang mulia ini adalah Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luay. Nama panggilannya Abu Muhammad. Marganya adalah Bani Taim. Sukunya adalah suku Quraisy. Abu Muhammad Thalhah bin Ubaidillah At-Taimi Al-Qurasyi radhiyallahu ‘anhu.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam memberinya gelar Thalhah Al-Fayyadh atau Thalhah yang senantiasa mengalirkan banjir infak, Thalhah Al-Khair atau Thalhah si orang baik dan Thalhah Al-Jud atau Thalhah si dermawan.

Ia adalah salah seorang yang pertama kali masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun) dan berhijrah ke Madinah. Ia adalah salah seorang dari sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira akan masuk surga oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia juga merupakan salah satu dari enam majlis syura yang ditunjuk oleh khalifah Umar bin Khathab untuk mengangkat khalifah sepeninggal beliau.

Saat terjadi perang Badar, Thalhah tengah berdagang di Syam dan merasa sangat menyesal karena tidak turut serta dalam peperangan pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tetap memberinya jatah dari harta rampasan perang Badar.

Pada perang Uhud, Thalhah menunjukkan kepahlawan luar biasa dalam menyelamatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia bertempur habis-habis untuk melindungi nyawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, sampai kedua busurnya patah, jari-jari tangannya terputus dan tangan kanannya lumpuh akibat banyaknya luka yang ia derita.

عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ قَالَرَأَيْتُ يَدَ طَلْحَةَ شَلَّاءَ وَقَى بِهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ

Dari Ismail bin Qais ia berkata: “Saya telah melihat tangan Thalhah lumpuh, (karena) ia mempergunakan tangan tersebut untuk melindungi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam pada perang Uhud.” (HR. Bukhari no. 3724 dan 4063 dan Ibnu Majah no. 128)

Atas besarnya pengorbanan dan perjuangan Thalhah dalam perang Uhud, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam menyatakan Thalhah pasti akan masuk surga.

عَنِ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَوْمَئِذٍ أَوْجَبَ طَلْحَةُ حِينَ صَنَعَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا صَنَعَ يَعْنِي حِينَ بَرَكَ لَهُ طَلْحَةُ فَصَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ظَهْرِهِ

Dari Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda pada hari itu [perang Uhud]: ‘Thalhah telah pasti [masuk surga atau meraih ridha dan ampunan Allah] ketika ia melakukan tindakan yang ia lakukan bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam’. Yaitu saat Thalhah merunduk lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menaiki punggung Thalhah [untuk naik ke sebuah batu besar].” (HR. Tirmidzi no. 3739, Ahmad dan Al-Hakim. Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan. Al-Hakim dan Adz-Dzahabi berkata: Hadits ini shahih)

Sifat kedermanan dan kegemaran berinfak telah menjadi karakter Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu.

Imam Ibnu Sa’ad, Ath-Thabarani dan Abu Nu’aim Al-Ashbahani meriwayatkan dari Qabishah bin Jabir, ia berkata: “Saya telah menemani Thalhah. Saya tidak pernah melihat orang yang suka memberi harta dalam jumlah sangat besar, walaupun tidak diminta, seperti dia.”

Imam Hasan Al-Bashri meriwayatkan bahwa Thalhah bin Ubaidillah menjual sebuah tanahnya yang luas seharga 700.000 dinar. Pada malam harinya ia tidak bisa tidur dan berkeringat dingin karena khawatir memiliki harta sebanyak itu di rumahnya. Maka pada keesokan harinya ia membagi-bagikan harta tersebut [kepada kaum muslimin]. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, 1/32)

Istri, anak, kerabat dan kaum muslimin yang hidup pada zaman sahabat dan tabi’in banyak menceritakan kisah-kisah kedermawanan Thalhah lainnya. Riwayat mereka terukir dengan indah dalam kitab-kitab sejarah sehingga masih bisa menjadi pelajaran bagi umat Islam sampai hari akhir.

Saudaraku seislam dan seiman…

Kita memiliki dua tangan yang normal, tidak cacat dan tidak lumpuh. Tapi bisa dipastikan perjuangan dan pengorbanan tangan kita untuk memperjuangkan Islam tidak ada apa-apanya dibandingkan tangan Thalhah bin Ubaidillah. Bisa dipastikan infak fi sabilillah yang dikeluarkan oleh tangan kita tidak ada apa-apanya dibandingkan infak Thalhah bin Ubaidillah.

Jika kita mustahil mampu menyamai amal kedua tangan Thalhah bin Ubaidillah, setidaknya kita harus berusaha untuk meniru jejaknya sesuai kemampuan maksimal kita. Allah Ta’ala hanya memerintahkan kita untuk beramal sesuai kemampuan maksimal kita. Allah Ta’ala tidak menuntut kita berbuat lebih dari itu. Dan bulan suci Ramadhan ini adalah wahana yang paling baik untuk hal itu.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Mengharukan, Ulama Dijebloskan ke Penjara Karena Hutang

Ilustrasi orang di penjara. foto: blogger

Sebuah kejujuran dalam berdagang membawa seorang ulama besar yang wara’ masuk penjara. Ia masuk bui karena tidak bisa membayar hutang kepada seseorang. Perlu dipahami, ini bukan hutang sembarang hutang, tapi hutang yang disebabkan niat baik seorang ulama yang selalu takut kepada Allah.
Dilansir laman Kisahikmah, kisah ini sungguh mengharukan dan wajar jika membuat kita menitikkan air mata, menyaksikan keteguhan ulama memegang teguh nilai-nilai Islam yang didakwahkannya.
Ibnu Sirin. Tabi’in ini merupakan ulama ternama di Basyrah. Ia sangat dihormati karena kedalaman ilmunya serta dimuliakan karena kesungguhan ibadah dan pesona akhlaknya.
Ibnu Sirin juga sangat dihormati oleh para pemimpin muslim saat itu. Namun, ia sangat menjaga diri dari mereka. Ahli fikih itu tak mau berdekat-dekat penguasa, apalagi menikmati fasilitas dari mereka. Pernah pemimpin Ibnu Hubairah Al Fazari memberinya hadiah 3.000 dinar, Ibnu Sirin dengan tegas menolaknya.
Ibnu Sirin lebih memilih jalan berdagang untuk mendapatkan rezeki yang halal. Namun sebuah insiden membuatnya menghadapi cobaan berat.
Suatu hari ia membeli minyak seharga 40.000 dinar secara kredit. Ketika memeriksa minyak yang dikirimkan kepadanya itu, Ibnu Sirin terkejut. Ia menjumpai sesuatu yang tak ia sukai pada minyak itu yang dapat menodainya. Ibnu Sirik khawatir minyaknya rusak karena terkena najis.
“Jika aku menjual minyak ini, aku bisa berdosa. Jika aku mengembalikan minyak ini kepada pedagang, maka ia pasti akan menjualnya kembali kepada orang-orang dan aku bisa berdosa karena membiarkannya sementara aku tahu minyak ini telah rusak,” kata Ibnu Sirin. Kemudian ia menumpahkan seluruh minyak itu dan menanggung hutang 40.000 dinar.
Tibalah waktu membayar. Sang pemilik minyak itu marah karena Ibnu Sirin tak mampu melunasinya. Lantas ia mengadukan Ibnu Sirin ke penguasa. Ulama kharismatik itu pun dimasukkan penjara.
“Wahai Syaikh,” kata seorang penjaga penjara yang mengetahui kedudukan Ibnu Sirin, “jika malam tiba pulanglah engkau ke rumahmu dan bermalamlah di sana. Jika pagi menjelang, kembalilah ke sini. Lakukanlah begitu hingga engkau dibebaskan.”
“Tidak!” jawab Ibnu Sirin tegas. “Aku tidak akan melakukan hal itu. Jika kulakukan itu, berarti aku membantumu untuk melakukan pengkhianatan.”
Suatu hari terdengar kabar Anas bin Malik wafat. Seseorang datang menghadap Ibnu Hubairah Al Fazari mengabarkan hal itu seraya mengatakan bahwa sebelum Anas wafat, ia berwasiat agar yang memandikannya adalah Muhammad bin Sirin.
Ibnu Hubairah memberikan izin Ibnu Sirin keluar dari penjara, namun Ibnu Sirin menolak meskipun ia sangat ingin bertakziyah kepada sahabat Nabi itu. “Aku tidak akan keluar hingga mendapat izin dari pemilik minyak. Sebab aku berada di sini atas kesalahanku padanya.”
Maka mereka pun mendatangi pemilik minyak itu untuk meminta izin. Setelah mendapat izin dari pemilik minyak itu, barulah Ibnu Sirin mau keluar untuk mengurus jenazah Anas bin Malik. Selesai urusan jenazah, Ibnu Sirin kembali ke penjara, bahkan tak sempat mampir ke rumahnya

Meski Dipenjara, Ulama Ini Tetap Memberikan Santunan kepada Orang Miskin

Bersyukurlah karena memeluk Islam. Di dalam agama langit ini terdapat banyak teladan dari pendahulunya. Bermula dari generasi nabi dan rasul sebelum Rasulullah Muhamamd Saw, generasi belaiu dan generasi selepasnya; terdiri dari sahabat, tabi’in, pengikut tabi’in dan ulama-ulama yang besar ketakutan dan harapannya kepada Allah Swt.
Hingga akhir dunia ini, generasi-generasi ini akan tetap ada. Karena merekalah obor yang menerangi dunia dari kebodohan nan tak bertepi. Mereka ibarat cahaya yang terangnya akan terus berpendar ke segenap penjuru.
Sebut saja misalnya, Imam Ibnu Taimiyah. Gelar Hujjatul Islam amatlah layak disandangkan kepada penulis Majmu’ Fatawa ini. Guru dari Ibnul Qayyim al-Jauziyah ini menguasai banyak bidang keilmuan. Di zamannya, beliau memiliki banyak ‘musuh’ yang berasal dari kalangan orang bodoh dan rezim yang berkuasa.
Sehingga, dalam perjalanan hidupnya, guru dan muridnya itu pernah diarak dalam satu kendaraan sembari dilempari sampah. Bukan hanya oleh rezim berkuasa, bahkan masyarakat dan anak-anak di zaman itu pun turut diprovokasi untuk melakukan hal bodoh itu.
Di dalam perjalanan hidup beliau, sebagaimana dikutip oleh Dr Abdullah Azzam dalam Tarbiyah Jihadiyahdisebutkan salah satu kebiasaan Imam ini. Katanya, “Sebelum dipenjara, aku terbiasa mendatangi beberapa rumah kaum muslimin yang fakir untuk memberikan santunan.” Sungguh, ini bukan sebuah sarana untuk berpamer diri. Ini adalah pelajaran bagi siapa yang mau mengambil hikmah.
“Kemudian, setelah aku dijebloskan ke dalam penjara, kebiasaan itu secara otomatis terhenti.” Demikian lanjutan cerita sang Imam yang beliau tuliskan dalamMajmu’ Fatawa. Anehnya, meski beliau berada di dalam penjara, masyarakat yang terbiasa mendapat santunan itu tetap mendapatkannya dari sosok yang amat mirip dengannya.
Keluarga-keluarga penerima santunan itu berkisah, “Sesungguhnya engkau (Ibnu Taimiyah) datang sendiri kepada kami.” Bukan hanya itu, disebutkan bahwa sosok yang amat mirip dengan Ibnu Taimiyah itu melakukan hal serupa: memberikan bantuan sebagaimana biasa dilakukan olehnya.
Guna memastikan, peristiwa itu pun disampaikan kepada sang Imam. Lantas, dijelaskan oleh beliau dengan mengatakan, “Ketahuilah bahwa saudara-daudara kami dari golongan jin telah menggantikan kedudukan kami.” Beliau melanjutkan seraya memotivasi, “Jika seluruh penduduk bumi tidak bersahabat,” pungkas beliau, “maka jin yang alim dan malaikat akan senantiasa menyertai orang mukmin.” [Pirman]


Salman bin Musleh Al-Sharari, seorang warga Saudi, tidak ragu-ragu untuk menjual harta benda miliknya yang berharga agar bisa memulangkan sahabat Turki-nya yang terluka, Muhammad Ali Arsalan.
Ali-Sharari berteman dengan Arsalan selama kunjungannya di sebuah kota industri di Domat Al-Jandal.
Sebagaimana dilansir oleh Al Bawaba, Jum’at (5/2/2016), Arsalan menjadi lumpuh ketika kecelakaan mobil menyebabkan dia menderita patah tulang dan memar.
Ketika Al-Sharari mengunjunginya, Arsalan menyatakan keinginannya untuk pulang ke Turki agar bisa bersama dengan keluarga dan anak-anaknya.
Al-Sharari tidak ragu-ragu untuk menjual mobilnya dan membelikan Arsalan tiket kelas bisnis dari Jouf ke Riyadh dan kemudian ke Ankara.
Tidak hanya itu, Alsharairi juga mengawal Arsalan ke bandara Riyadh dan mengucapkan perpisahan dengan senyum dan doa semoga cepat sembuh.
Dia juga berkordinasi dengan keluarga temannya di Turki untuk mengirim ambulans ke bandara untuk membawa Arsalan ke rumah sakit.
Dan apa yang tersisa dari harga mobil yang dijual itu juga diberikan kepada Arsalan.
Al-Sharari bersyukur kepada Allah ketika dia menerima telepon dari Arsalan yang memberitahukan bahwa ia tiba dengan selamat di rumah sakit dan mendapatkan pengobatan. (Hanin Mazaya/arrahmah.com)
Sumber: arrahmah.com/Ameera/Jum’at, 26 Rabiul Akhir 1437 H / 5 Februari 2016
(nahimunkar.com)