Pernahkah Anda merasakan kesedihan
ditinggal mati oleh orang yang Anda kasihi di dunia ini? Atau pernahkah Anda kehilangan harta melimpah
yang pernah Anda miliki? Itu semua menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah
sementara. Dunia ini bukanlah hunian abadi bagi manusia. Kehidupan hakiki
adalah kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, selayaknya orang yang berakal,
lebih mengutamakan kenikmatan yang kekal daripada kehidupan fana ini. Bagaimana
caranya? Agama Islam mengajarkan dengan zuhud di dunia. Sahl bin Sa’d As-Sa’idi Radhiyallahu
‘anhuma berkata:
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ
إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ
اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu
amalan. Jika aku mengamalkannya, niscaya Allah mencintaiku dan manusia juga
mencintaiku!” Rasulullah bersabda: “Zuhudlah
di dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada
tangan-tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu!’.[1]
Makna Zuhud
Disebutkan di dalam kitab kamus Mu’jamul
Wasith, bab Zahida:
زَهِدَ فِيْهِ وَ عَنْهُ – يَزْهَدُ –
زُهْدًا, وَ زَهَادَةً
Yaitu, seseorang melakukan zuhud atau zahaadah.
Artinya, dia berpaling darinya dan meninggalkannya karena dia meremehkannya,
atau menghindari kesusahan darinya, atau karena sedikitnya.
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata:
“Zuhud adalah istilah dari berpalingnya keinginan dari sesuatu menuju yang lain
yang lebih baik darinya. Dan syarat hal yang ditinggalkan keinginannya itu,
juga disukai pada sebagian sisinya. Maka barangsiapa meninggalkan sesuatu yang
dzatnya tidak disukai dan tidak dicari, dia tidak dinamakan zaahid (orang yang
zuhud)”.[2]
Tujuan meninggalkan dunia bagi orang
yang zuhud adalah untuk meraih kebaikan akhirat, bukan semata-mata untuk rileks
dan menganggur.
Abu Sulaiman rahimahullah berkata,”Orang
yang zuhud bukanlah orang yang meninggalkan kelelahan-kelelahan dunia dan
beristirahat darinya. Tetapi orang yang zuhud adalah orang yang meninggalkan
dunia, dan berpayah-payah di dunia untuk akhirat.” [3]
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,”Maksud
zuhud di dunia adalah mengosongkan hati dari menyibukkan diri dengan dunia,
sehingga orang itu dapat berkonsentrasi untuk mencari (ridha) Allah,
mengenalNya, dekat kepadaNya, merasa tenang denganNya, dan rindu
menghadapNya.”[4]
Menurut Imam Ahmad rahimahullah ,
zuhud itu ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan yang haram. (Demikian) ini
zuhudnya orang-orang awam. Kedua, meninggalkan yang berlebih-lebihan dari yang
halal. (Demikian) ini zuhud orang-orang khusus. Ketiga, meninggalkan semua
perkara yang menyibukkan diri dari Allah. Ini zuhudnya orang-orang ‘arif
(orang-orang yang faham terhadap Allah).[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
”Zuhud yang bermanfaat, disyari’atkan, dan yang dicintai oleh Allah dan
RasulNya, adalah zuhud (meninggalkan dan mengecilkan arti) segala sesuatu yang
tidak bermanfaat di akhirat. Berkaitan dengan hal-hal yang berguna di akhirat
dan piranti yang dapat mendukungnya, maka zuhud (meninggalkan dan meremehkan)
terhadap hal-hal ini, berarti meremehkan satu jenis ibadah kepada Allah dan
ketaatan kepadaNya. Yang dimaksud zuhud hanyalah dengan meninggalkan semua yang
membahayakan atau segala sesuatu yang tidak bermanfaat. Adapun zuhud terhadap
hal-hal yang bermanfaat, ini adalah sebuah bentuk ketidaktahuan dan kesesatan.”
[6]
Ini Bukan Zuhud
Setelah kita mengetahui penjelasan di
atas, ternyata ada sebagian orang melakukan berbagai perbuatan dengan anggapan
bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam kategori zuhud. Padahal hanya merupakan
tipu daya Iblis. Di antara perbuatan zuhud yang keliru:
1. Meninggalkan Dunia Sama Sekali
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
“Orang awam terkadang mendengar celaan terhadap dunia di dalam Al Qur’an yang
mulia dan hadits-hadits, lalu dia berpendapat bahwa (jalan) keselamatan adalah
meninggalkan dunia. Dia tidak memahami masalah duniawi yang tercela. Kemudian
Iblis mempermainkannya, (dengan menyimpulkan) bahwa “engkau tidak akan selamat
di akhirat kecuali dengan meninggalkan dunia”. Maka ia pun mengasingkan diri ke
gunung-gunung, menjauhi shalat Jumat, shalat jamaah, dan juga (majlis) ilmu.
Dia menjadi seperti binatang liar. Dan dikhayalkan kepadanya bahwa inilah zuhud
hakiki. Bagaimana tidak,
sedangkan dia telah mendengar tentang si A yang berkelana, dan tentang si B
yang beribadah di atas gunung.
Padahal,
kemungkinan dia memiliki keluarga, sehingga tidak terurus. Atau masih memiliki
ibu yang menangis karena ditinggalkan. Ada kemungkinan juga, ia tidak
mengetahui rukun-rukun shalat sebagaimana mestinya. Atau mungkin juga, dia
masih menanggung beban kezhaliman-kezhalimannya yang belum terselesaikan.
Sesungguhnya iblis mampu mengelabuhi orang ini karena kedangkalan ilmunya. Dan
termasuk kebodohannya, dia telah puas dengan apa yang dia ketahui.
Seandainya dia
diberi bimbingan (oleh Allah) dengan berteman dengan seorang faqiih (ahli
agama) yang memahami hakikat-hakikat, niscaya orang faqiih itu akan
memberitahukan kepadanya, bahwa pada asalnya dunia tidak tercela. Bagaimana
mungkin dunia dicela, segala sesuatu yang dianugerahkan Allah Ta’ala, merupakan
kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup manusia, dan merupakan sarana yang
mendukung manusia dalam meraih ilmu dan ibadah, yang berupa makanan, minuman,
pakaian, dan masjid yang digunakan untuk shalat?! Sesungguhnya yang tercela hanyalah
mengais bagian dari dunia yang tidak halal, atau mengambilnya dengan
berlebihan, tidak sesuai dengan kebutuhannya. Atau tindakan seseorang yang
mengikuti kedangkalan jiwanya, tanpa petunjuk syari’at.
Pergi mengasingkan
ke gunung-gunung sendirian (hukumnya) terlarang, karena Nabi n melarang
seseorang bermalam sendirian [7]. Tindakannya meninggalkan shalat jamaah dan
shalat Jum’at merupakan kerugian, bukan keuntungan. Jauh dari ilmu dan ulama
akan mengakibatkan ia terkungkung oleh belitan kebodohan. Meninggalkan ayah dan
ibu seperti kasus di atas, merupakan‘uquq (kedurhakaan terhadap orang tua),
padahal termasuk dosa besar”. [Al Muntaqa An Nafis min Talbis Iblis,
hlm. 191-192, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi].
2. Meninggalkan
Hal-hal Mubah, Padahal Bermanfaat
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
“Di antara tipu daya iblis terhadap orang-orang zuhud, (adalah) iblis
menjadikan mereka salah sangka bahwa zuhud (berarti) meninggalkan hal-hal yang
mubah (padahal bermanfaat, Pen). Mereka, ada yang tidak menambahi (bahan lain)
terhadap roti gandum (yakni hanya makan roti gandum saja, Pen). Di antara
mereka, ada yang tidak pernah mencicipi buah-buahan. Ada juga dengan cara
mengecilkan porsi makanan, sehingga badannya menjadi kurus-kering. Atau
menyiksa diri dengan mengenakan baju dari bulu kambing dan menghindarkan
dirinya dari air dingin (segar). Ini bukanlah tuntunan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bukan pula tradisi para sahabat dan para pengikut beliau.
Mereka dahulu lapar, bila tidak mendapatkan apapun. Namun jika mereka dapat
meraihnya, mereka akan memakannya”.[8]
3. Zuhud Lahiriyah
Semata
Ibnul Jauzi
rahimahullah berkata: “Salah satu wujud penipuan iblis terhadap orang-orang
zuhud, adalah iblis menjadikan mereka keliru dengan makna zuhud, yaitu (dengan
cara merasa) puas dengan makanan dan pakaian yang berkualitas rendah saja.
Mereka menerima hal itu. Tetapi hati mereka berhasrat terhadap kepemimpinan dan
mencari kehormatan. Engkau lihat mereka itu menanti-nanti kunjungan para umara`
(penguasa, pejabat). Mereka memuliakan orang-orang kaya, tidak memuliakan
orang-orang miskin. Mereka pura-pura khusyu’ tatkala berpapasan dengan orang.
Seolah-olah mereka telah keluar dari musyahadah (menyaksikan keagungan Allah).
Dan terkadang salah seorang dari mereka menolak harta agar dikatakan
“Sesungguhnya telah nampak zuhud baginya”. Padahal mereka termasuk orang yang
paling sering keluar-masuk menemui umara (pejabat), dan mencium tangan mereka
pada pintu yang paling luas dari wilayah-wilayah dunia, karena sesungguhnya
puncak dunia adalah kepimimpinan”.[9]
4. Meninggalkan
Harta-Benda Secara Total Dan Menjadikan Kefakiran (Kemiskinan) Sebagai Tujuan
Hidup!
Seorang tokoh sufi
mengatakan: “Zuhud adalah kosongnya tangan dari segala barang kepemilikan”
[10]. Selain itu, ada juga yang menggariskan: “Kefakiran adalah fondasi dan
tiang tasawuf”.[11]
Diriwayatkan dari
Al Junaid, seorang tokoh sufi, dia berkata: “Aku lebih menyukai agar pemula
tidak menyibukkan diri dengan bekerja, jika tidak, maka keadaannya akan
berubah”.[12]
Akibat dari
anggapan ini, sejarah mencatat kisah-kisah sebagian orang sufi pada zaman tempo
dulu yang meninggalkan harta-harta mereka dan mulai berkelana, padahal
sebelumnya mereka sabagai orang-orang yang berada.[13]
Anggapan zuhud
model orang-orang sufi seperti di atas, bukan bagian dari ajaran Islam. Bahkan
sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memohon perlindungan kepada Allah Azza wa
Jalla dari tujuan hidup mereka itu, yang berorientasi pembinaan kemiskinan. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ
الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ
أُظْلَمَ
“Wahai Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepadaMu dari kefakiran, kekurangan (dari perbuatan baik), dan
kehinaan. Dan aku berlindung kepadaMu dari berbuat zhalim, atau dizhalimi”.[14]
Demikian juga, sifat malas mereka untuk
bekerja dengan dalih zuhud yang palsu, menyelisihi anjuran Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada umatnya untuk mencari pekerjaan yang halal dan
mencukup diri sendiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ
خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ
عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seorang pun memakan makanan
yang lebih baik daripada dia memakan dari (hasil) jerih payah tangannya
sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, Dawud Alaihissallam, biasa makan dari (hasil)
kerja sendiri”. [15]
Dalam hadits lain, Beliau bersabda:
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً
عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ
يَمْنَعَهُ
“Salah seorang di antara kamu yang
mengumpulkan kayu bakar di atas punggungnya, lebih baik baginya daripada dia
minta kepada seseorang, lalu orang itu memberinya atau menolaknya”. [16]
Hakikat zuhud bukanlah menampik harta
duniawi. Banyak sahabat yang kaya-raya, seperti Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman
bin ‘Auf, dan lainnya. Kendatipun demikian, mereka adalah tokoh-tokoh
orang-orang zuhud.
5. Meninggalkan Pernikahan
Sebagian orang sufi berkata:
“Barangsiapa menikah, maka dia telah memasukkan dunia ke dalam rumahnya … maka
waspadalah dari pernikahan!”
Di antara mereka ada yang bertutur:
“Seorang laki-laki tidak akan mencapai derajat orang-orang shiddiiq sampai ia
meninggalkan istrinya seolah-olah seperti janda, dan (membiarkan) anak-anaknya,
seolah-olah mereka itu anak-anak yatim, dan dia menetap di kandang-kandang
anjing!” [17] Sudah pasti zuhud ala sufi ini, bukan zuhud yang digariskan Nabi
MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan:
أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ
لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ
النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya
aku adalah orang yang paling takut di antaramu kepada Allah, dan orang yang
paling takwa di antaramu kepadaNya. Tetapi aku berpuasa dan berbuka; aku shalat
(malam) dan tidur; dan aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa membenci
sunnahku (ajaranku), dia bukan dariku”.[18]
Justru zuhud seperti itu berseberangan
dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
umatnya. Beliau bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ
اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai, para
pemuda. Barangsiapa di antara kamu mampu menikah, maka hendaklah dia menikah.
Karena sesungguhnya pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, maka dia wajib berpuasa, karena
sesungguhnya puasa itu penjagaan baginya (dari perzinaan, pen)”.[19]
Setelah kita
mengetahui berbagai keterangan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa zuhud
yang benar bukanlah dengan meninggalkan harta dan keluarga, kemudian menyiksa
diri dengan begadang dan kelaparan, menyepi di kamar-kamar yang gelap dan
membisu dengan tanpa sebab. Demikian juga bukan dengan meninggalkan berbagai
hal yang bermanfaat di dunia ini, yang dapat membantu ibadah dan ketaatan
kepada Allah, seperti berbagai kemajuan tekhnologi yang tidak bertentangan
dengan syari’at yang suci.
Dengan ini
mudah-mudahan menjadi jelas bagi kita, perbedaan zuhud yang diajarkan oleh
agama Islam, dengan zuhud buatan orang-orang sufi yang menyimpang.
Semoga Allah
menampakkan al haq kepada kita sebagai al haq, dan menolong kita untuk
mengikutinya. Dan memperlihatkan kebatilan kepada kita sebagai kebatilan, dan
menolong kita untuk menjauhinya. Wal hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ustadz Muslim Al Atsari
Artikel Muslim.Or.Id
Catatan kaki:
[1]. HR Ibnu Majah, no. 4102,
dan lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah, no. 944.
[2]. Mukhtashar Minhajul
Qashidin, hlm. 410-411, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[3]. Jami’ul ‘Ulum Wal
Hikam (2/198), tahqiq Syakih Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrahim
Bajis.
[4]. Jami’ul ‘Ulum Wal
Hikam (2/198).
[5]. Madarijus Salikin (2/9),
dinukil dari Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin (1/523),
karya Syaikh Salim Al Hilali.
[6]. Majmu’ Fatawa (10/511).
[7]. HR Ahmad, no.5650, dari Ibnu
Umar dengan sanad yang shahih
[8]. Al Muntaqo An Nafis
min Talbis Iblis, hlm. 193, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[9]. Al Muntaqo An Nafis
min Talbis Iblis, hlm. 194-195, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[10]. Kitab Al Luma’,
hlm. 72, karya Abu Nashr Sirooj Ath Thuusi, Penerbit Darul Kutub Al Haditsah,
Kairo, Th. 1960. Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31),
karya Muhammad Ahmad Luh.
[11]. Kitab Iqodhul Himam,
hlm. 213, karya Ibnu ‘Ajiibah. Dinukil dariTaqdishul Ash Khoosh fii Fikrish
Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[12]. Kitab Quutul Qulub (1/267),
dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/30), karya Muhammad
Ahmad Luh.
[13]. Lihat Siyar A’lamin
Nubala (15/231), Tarikh Baghdad (7/221). Dinukil dari Taqdishul
Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31).
[14]. HR Abu Dawud, no. 1544; An
Nasaa-i (8/261); Al Hakim (1/541); dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani.
[15]. HR Bukhari, no. 2072.
[16]. HR Bukhari, no. 2074.
[17]. Lihat Taqdishul Ash
Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31-32), karya Muhammad Ahmad Luh.
[18]. HR Bukhari, no. 5063;
Muslim, no. 1401; dan lainnya.
[19]. HR Bukhari, no. 5066;
Muslim, no. 1400; dan lainnya.
Belajar
Hidup Zuhud
Zuhud merupakan sebab kecintaan Allah
kepada seorang hamba. Para ulama salaf merupakan teladan terdepan dalam hal
zuhud. Salah satu pembeda terbesar yang melebihkan mereka di atas generasi
sesudahnya adalah karena mereka lebih zuhud kepada dunia dan lebih berhasrat
kepada akhirat.
Pengertian Zuhud
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Zuhud
yang disyari’atkan itu adalah; dengan meninggalkan perkara-perkara yang tidak
mendatangkan manfaat kelak di negeri akhirat dan kepercayaan yang kuat tertanam
di dalam hati mengenai balasan dan keutamaan yang ada di sisi Allah… Adapun
secara lahiriyah, segala hal yang digunakan oleh seorang hamba untuk
menjalankan ketaatan kepada Allah, maka meninggalkan itu semua bukanlah
termasuk zuhud yang disyari’atkan. Akan tetapi yang dimaksud zuhud adalah
meninggalkan sikap berlebihan dalam perkara-perkara yang menyibukkan diri
sehingga melalaikan dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, baik itu berupa
makanan, pakaian, harta, dan lain sebagainya…” (lihat Mawa’izh
Syaikhul Islam Ibnu Taimyah karya Syaikh Shalih Ahmad asy-Syami, hal.
69-70)
Berikut ini, sebagian riwayat mengenai
zuhud yang dibawakan oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim rahimahullah (wafat
287 H) dalam kitabnya az-Zuhd. Semoga bermanfaat…
[1] Menjaga Lisan dan Perbuatan
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
diam -pandai menjaga lisan- niscaya dia akan selamat.” (lihat az-Zuhd
li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 15)
Dari Jabir radhiyallahu’anhu,
dia menceritakan bahwa ada seorang lelaki menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah! Kaum
muslimin seperti apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Yaitu
seorang muslim yang bisa menjaga kaum muslimin yang lain dari gangguan lisan
dan tangannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal.
21)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang menjaga apa yang ada diantara kedua jenggotnya dan apa yang ada diantara
kedua kakinya niscaya dia akan masuk Surga.” (lihat az-Zuhd li
Ibni Abi ‘Ashim, hal. 22)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan kata-kata
yang baik atau diam.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim,
hal. 23)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu,
beliau berkata, “Demi Allah yang tiada sesembahan yang benar
selain-Nya. Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam
waktu yang lama selain daripada lisan.” (lihat az-Zuhd li Ibni
Abi ‘Ashim, hal. 26)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma,
beliau berkata, “Sesuatu yang paling layak untuk terus dibersihkan oleh
seorang hamba adalah lisannya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi
‘Ashim, hal. 27)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
beliau berpesan, “Jauhilah oleh kalian kebiasaan terlalu banyak
berbicara.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 28)
Pada suatu ketika Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berwasiat
kepada putranya Abdurrahman. Beliau berkata, “Wahai putraku, aku
wasiatkan kepadamu untuk selalu bertakwa kepada Allah. Kendalikanlah lisanmu.
Tangisilah dosa-dosamu. Hendaknya rumahmu cukup terasa luas bagimu.”(lihat az-Zuhd
li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 30)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapan
yang baik itu pun termasuk sedekah.” (lihat az-Zuhd li Ibni
Abi ‘Ashim, hal. 30)
Dari Ibnu Abi Zakaria rahimahullah,
beliau mengatakan, “Aku belajar untuk diam setahun lamanya.” (lihat az-Zuhd
li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 39)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah
dianggap berdosa jika seseorang senantiasa menceritakan segala sesuatu yang
didengarnya.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 45)
[2] Pandai Memilih Teman
Dari Muharib rahimahullah,
beliau menuturkan, “Dahulu kami berteman dengan al-Qasim bin
Abdurrahman, ternyata beliau mengungguli kami dengan tiga perkara; dengan
banyak sholat, banyak diam, dan jiwa yang dermawan.” (lihat az-Zuhd
li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 46)
Dari Malik bin Dinar rahimahullah,
beliau mengatakan, “Setiap teman yang kamu tidak bisa memetik kebaikan
darinya maka jauhilah dia.” (lihat az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim,
hal. 49)
[3] Memandang Dunia Sebagaimana Mestinya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia
ini adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (lihat az-Zuhd
li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 69)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sudah
menjadi ketetapan Allah tabaraka wa ta’ala bahwasanya tidaklah Allah mengangkat
suatu perkara dunia melainkan Allah juga pasti akan merendahkannya.” (lihat az-Zuhd
li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 115)
Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
Allah membukakan dunia kepada seseorang melainkan Allah pasti akan munculkan
permusuhan dan kebencian di antara mereka hingga hari kiamat.” (lihat az-Zuhd
li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 138)
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berhati-hatilah
kalian terhadap dunia. Berhati-hatilah kalian terhadap kaum perempuan.” (lihat az-Zuhd
li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 139)
Dari ‘Amr bin ‘Anbasah radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada
hari kiamat, dunia akan didatangkan. Kemudian dipilih darinya apa-apa yang
digunakan untuk taat kepada Allah dan ikhlas karena-Nya. Adapun apa-apa yang
dipakai tidak untuk taat kepada Allah dan tidak ikhlas karena-Nya maka
dilemparkan ke dalam Neraka Jahannam.” (lihat az-Zuhd li Ibni
Abi ‘Ashim, hal. 142)
Penulis: Abu
Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Makna
Zuhud
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan
Kesimpulannya, zuhud terhadap dunia bisa
ditafsirkan dengan tiga pengertian yang kesemuanya merupakan amalan hati dan
bukan amalan tubuh. Oleh karenanya, Abu Sulaiman mengatakan,
لَا تَشْهَدْ لِأَحَدٍ بِالزُّهْدِ،
فَإِنَّ الزُّهْدَ فِي الْقَلْبِ
“Janganlah engkau mempersaksikan bahwa
seorang itu telah berlaku zuhud (secara lahiriah), karena zuhud itu letaknya di
hati”
Makna pertama
Zuhud adalah hamba lebih meyakini rezeki
yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya. Hal ini tumbuh
dari bersih dan kuatnya keyakinan, karena sesungguhnya Allah telah menanggung
dan memastikan jatah rezeki setiap hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا
عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا (٦)
“Dan tidak ada suatu binatang
melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya [Huud: 6].
Dia juga berfirman,
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا
تُوعَدُونَ (٢٢)
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab)
rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu [Adz
Dzaariyaat: 22].
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ
وَاعْبُدُوهُ (١٧)
“Maka mintalah rezeki itu di sisi
Allah, dan sembahlah Dia [Ankabuut: 17].
Al Hasan mengatakan,
إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِينِكَ أَنْ
تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Salah satu bentuk lemahnya keyakinanmu
terhadap Allah adalah anda lebih meyakini apa yang ada ditangan daripada apa
yang ada di tangan-Nya”.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau
mengatakan,
إِنَّ أَرْجَى مَا أَكُونُ لِلرِّزْقِ
إِذَا قَالُوا لَيْسَ فِي الْبَيْتِ دَقِيقٌ
“Momen yang paling aku harapkan untuk
memperoleh rezeki adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang
tersisa untuk membuat makanan di rumah”
Masruq mengatakan,
إِنَّ أَحْسَنَ مَا أَكُونُ ظَنًّا
حِينَ يَقُولُ الْخَادِمُ: لَيْسَ فِي الْبَيْتِ قَفِيزٌ مِنْ قَمْحٍ وَلَا
دِرْهَمٌ
“Situasi dimana saya mempertebal
husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di rumah tidak ada lagi gandum
maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (34871); Ad Dainuri dalam Al
Majalisah(2744); Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (2/97)].
Imam Ahmad mengatakan,
أَسَرُّ أَيَّامِي إِلَيَّ يَوْمٌ
أُصْبِحُ وَلَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ
“Hari yang paling bahagia menurutku
adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya tidak memiliki apapun.” [Shifatush
Shafwah 3/345].
Abu Hazim Az Zahid pernah ditanya,
مَا مَالُكَ؟
“Apa hartamu”,
beliau menjawab,
لِي مَالَانِ لَا أَخْشَى مَعَهُمَا
الْفَقْرَ: الثِّقَةُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ
“Saya memiliki dua harta dan dengan
keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah ats tsiqqatu billah (yakin
kepada Allah) dan tidak mengharapkan harta yang dimiliki oleh orang lain
[Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963); Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
3/231-232].
Pernah juga beliau ditanya,
أَنَا أَخَافُ الْفَقْرَ وَمَوْلَايَ
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ
الثَّرَى؟ !
“Tidakkah anda khawatir akan kefakiran?”
Beliau menjawab, “Bagaimana bisa saya takut fakir sementara Pemelihara-ku
memiliki segala yang ada di langit, bumi, apa yang ada diantara keduanya, dan
di bawah tanah.”
Selembar kertas pernah diserahkan kepada
‘Ali ibnu Muwaffaq, dia pun membacanya dan di dalamnya tertulis,
يَا عَلِيَّ بْنُ الْمُوَفَّقِ
أَتَخَافُ الْفَقْرَ وَأَنَا رَبُّكَ؟
“Wahai ‘Ali ibnul Muwaffaq, masihkah
engkau takut akan kefakiran sementara Aku adalah Rabb-mu?”
Al Fudhai bin
‘Iyadh mengatakan,
أَصْلُ الزُّهْدِ الرِّضَا عَنِ اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ
“Akar zuhud adalah ridha terhadap apa yang ditetapkan Allah
‘azza wa jalla.” [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (960, 3045);
Abu ‘Abdirrahman As Sulami dalam Thabaqatush Shufiyah (10)].
Beliau juga mengatakan,
الْقَنُوعُ هُوَ الزُّهِدُ وَهُوَ
الْغِنَى
“Qana’ah (puas atas apa yang diberikan
oleh Allah ta’ala) merupakan sikap zuhud dan itulah kekayaan yang
sesungguhnya.”
Dengan demikian, setiap orang yang
merealisasikan rasa yakin kepada Allah, mempercayakan segala urusannya kepada
Allah, ridha terhadap segala pengaturan-Nya, memutus
ketergantungan kepada makhluk baik rasa takut dan harapnya, dan semua hal tadi
menghalanginya untuk mencari dunia dengan sebab-sebab yang dibenci, maka setiap
orang yang keadaannya demikian sesungguhnya dia telah bersikap zuhud terhadap
dunia. Dia termasuk orang yang kaya meski tidak memiliki secuil harta dunia
sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ammar,
كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا، وَكَفَى
بِالْيَقِينِ غِنًى، وَكَفَى بِالْعِبَادَةِ شُغُلًا
“Cukuplah kematian sebagai nasehat,
yakin kepada Allah sebagai kekayaan, dan ibadah sebagai kesibukan.”
[Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (10556) dari ‘Ammar bin Yasar
secara marfu’].
Ibnu Mas’ud mengatakan,
الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ
بِسُخْطِ اللَّهِ، وَلَا تَحْمَدَ أَحَدًا عَلَى رِزْقِ اللَّهِ، وَلَا تَلُمْ
أَحَدًا عَلَى مَا لَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ، فَإِنَّ الرِّزْقَ لَا يَسُوقُهُ حِرْصُ
حَرِيصٍ، وَلَا يَرُدُّهُ كَرَاهَةُ كَارِهٍ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى – بِقِسْطِهِ وَعِلْمِهِ وَحُكْمِهِ – جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ
فِي الْيَقِينِ وَالرِّضَا، وَجَعَلَ الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ
وَالسُّخْطِ
“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari
ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak memuji seseorang demi
mendapatkan rezeki yang berasal dari Allah, dan tidak mencela seseorang atas
sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan
diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian
seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya-
menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha
kepada-Nya sserta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keraguan
dan kebencian” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (118) dan Al
Baihaqi dalam Syu’abul Iman (209)].
Di dalam sebuah hadits mursal disebutkan
bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dengan do’a berikut,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا
يُبَاشِرُ قَلْبِي، وَيَقِينًا [صَادِقًا] حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَا
يَمْنَعُنِي رِزْقًا قَسَمْتَهُ لِي، وَرَضِّنِي مِنَ الْمَعِيشَةِ بِمَا قَسَمْتَ
لِي
“Ya Allah saya memohon kepada-Mu iman
yang mampu mengendalikan hatiku, keyakinan yang benar sehingga saya mengetahui
bahwasanya hal itu tidak menghalangi rezeki yang telah Engkau bagikan kepadaku,
dan jadikanlah saya ridha atas sumber penghidupan yang telah Engkau bagikan
kepadaku.” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (112)].
Dulu, ‘Atha Al Khurasani tidak akan
beranjak dari majelisnya hingga mengucapkan,
اللَّهُمَّ هَبْ لَنَا يَقِينًا مِنْكَ
حَتَّى تُهَوِّنَ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، وَحَتَّى نَعْلَمَ أَنَّهُ لَا
يُصِيبُنَا إِلَّا مَا كَتَبْتَ عَلَيْنَا، وَلَا يُصِيبُنَا مِنَ الرِّزْقِ
إِلَّا مَا قَسَمْتَ لَنَا
“Ya Allah, berilah kami rasa yakin
terhadap diri-Mu sehingga mampu menjadikan kami menganggap ringan musibah dunia
yang ada, sehingga kami meyakini bahwa tidak ada yang menimpa kami kecuali apa
yang telah Engkau tetapkan kepada kami, dan meyakini bahwa rezeki yang kami
peroleh adalah apa yang telah Engkau bagi kepada kami.” [Driwayatkan Ibnu Abid
Dunya dalam Al Yaqin (108)].
Diriwayatkan kepada kami secara marfu’
bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُونَ أَغْنَى
النَّاسِ، فَلْيَكُنْ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْهُ بِمَا فِي يَدِهِ
“Barangsiapa yang suka menjadi orang
terkaya, maka hendaklah dia lebih yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah
daripada apa yang ada di tangannya.” [Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
3/218-219; Al Qadha’i dalamMusnad Asy Syihab (367 & 368) dari hadits
‘Abdullah bin ‘Abbas].
Makna Kedua
Zuhud adalah apabila hamba tertimpa
musibah dalam kehidupan dunia seperti hilangnya harta, anak, atau selainnya,
maka dia lebih senang memperoleh pahala atas hilangnya hal tersebut daripada
hal itu tetap berada di sampingnya. Hal ini juga muncul dari sempurnanya rasa
yakin kepada Allah.
Diriwayatkan dari ‘Ibnu ‘Umar bahwa nabi shallallahu
‘alaihi wa sallamberkata dalam do’anya,
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ
خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا
تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا
مَصَائِبَ الدُّنْيَا
“Ya Allah, anugerahkan kepada kami
rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat
kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan
anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala
musibah di dunia ini.” [HR. Tirmidzi (3502); An Nasaai dalam ‘Amalul Yaum
wal Lailah (402); Al Hakim (1/528); Al Baghawi (1374). At Tirmidzi mengatakan,
“Hadits hasan gharib”].
Do’a tersebut merupakan tanda zuhud dan
minimnya kecintaan kepada dunia sebagaimana yan dikatakan oleh ‘Ali radhiallahu
‘anhu,
مَنْ زَهِدَ الدُّنْيَا، هَانَتْ
عَلَيْهِ الْمُصِيبَاتُ
“Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia,
maka berbagai musibah akan terasa ringan olehnya.”
Makna Ketiga
Zuhud adalah hamba memandang sama orang
yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran. Hal ini
merupakan tanda bahwa dirinya zuhud terhadap dunia, menganggapnya sebagai
sesuatu yang remeh, dan minimnya kecintaan dirinya kepada dunia.
Sesungguhnya setiap orang yang
mengagungkan dunia akan cinta kepada pujian dan benci pada celaan. Terkadang
hal itu menggiring dirinya untuk tidak mengamalkan kebenaran karena takut
celaan dan melakukan berbagai kebatilan karena ingin pujian.
Dengan demikian, setiap orang yang
memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas
kebenaran, maka hal ini menunjukkan bahwa jabatan/kedudukan yang dimiliki
manusia tidaklah berpengaruh di dalam hatinya dan juga menunjukkan bahwa
hatinya dipenuhi rasa cinta akan kebenaran serta ridha kepada Allah. Hal ini
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,
الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ
بِسُخْطِ اللَّهِ
“Yakin itu adalah engkau tidak mencari
ridha manusia dengan cara menimbulkan kemurkaan Allah. Dan sungguh Allah telah
memuji mereka yang berjuang di jalan-Nya dan tidak takut akan celaan.”
Sumber : Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm.
644-646.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id