Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Segala puji bagi Allah , selawat dan
salam buat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…
Para pembaca yang mula, semoga Allah
senantiasa memudahkan kita untuk mengikuti kebenaran dan melindungi kita dari
segala kebatilan…
Pada akhir-akhir ini kita sering
diperdengarkan sebuah istilah dalam penyebutan sebuah konsep keberagamaan baru
dengan istilah; Islam Nusantara. Istilah ini mulai mengemuka setelah penggunaan
langgam Jawa dalam tilawah Al Qura pada tanggal 17 Mei di Istana Negara.
Kejadian tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan, kejadian tersebut bukan
sebuah kejadian yang tanpa disengaja akan tetapi itu merupakan sebuah konsep
yang akan digulirkan oleh menteri Agama RI! Kemudian istilah ini lebih
mengelinding lagi bagaikan bola salju ketika muktamar NU ke 33 di Jombang mengambil
tema: “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Alhasil
isu Islam Nusantara menjadi topik yang ramai diperbincangkan oleh banyak pihak,
mulai dari tokoh agama, tokoh politik dan kalangan akademisi. Akan tetapi
berbagai tanggapan dan ocehan seputar Islam Nusantara belum juga bisa didudukan
dengan jelas, karena memang salah satu target dari pencetusan ide ini adalah
untuk menimbulkan kebingungan yang berkepanjangan di tengah masyarakat. Kenapa
masalahnya sulit untuk dicarikan titik temu penyelesaian? Karena Istilah Islam
Nusantara, disatu sisi bisa benar dan pada sisi lain salah, alias samar-samar
(Mutasyaabih). Kalau kita umpamakan istilah Islam Nusantara bagaikan ular
berkepala belut, mau dikatakan halal ada unsur haramnya, sebaliknya jika
dikatakan haram ada pula unsur halalnya. Perlu kita ketahui bahwa menggunakan
bahasa yang samar (Mutasyaabih) adalah salah satu metode pemasaran pemikiran
sesat yang dilakukan oleh orang-orang sesat dari dahulu kala. Sepeti Allah
menceritakan kebiasan orang Bani Israil:
{وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ} [البقرة/42]
“Janganlah kamu
mencampur adukan yang hak dengan yang batil, dan jangan kamu menyembunyikan
kebenaran, sedangkan kamu mengetahui”.
Oleh sebab itu Allah
melarang mengikuti istilah yang memiliki penafsiran ganda. Seperti Allah
melarang orang Islam untuk meniru-niru istilah orang Yahudi yang biasa mereka
gunakan untuk mengejek Nabi Muhammad r.
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا
انْظُرْنَا} [البقرة/104]
“Wahai orang-orang
yang beriman! Jangan kalian mengucapkan: Raa’ina, akan tetapi ucapkanlah:
uzhurna!”
Kata-kata Raa’ina
memiliki makna ganda, bisa berarti “dengarkanlah kami! Dan juga bermakna celaan.
Akan tetapi orang-orang Yahudi mengucapkannya untuk mencela Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi agar tidak terjadi kesamaran dalam sebuah
istlah atau ungkapan, Allah melarang orang-orang mukmin menggunakan dan
mengucapakan kalimat resebut. Oleh sebab sangat latah jika kita ikut-ikutan
menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan polemik dalam pemahaman.
Tujuan penggunaan
istilah yang abu-abu adalah untuk mengelabui orang awam, atau jika mereka
berhadapan dengan lawan yang kuat mereka munculkan sisi benarnya, dan mereka
akan terang-terangan bila berbicara dihadapan sesama rekan mereka, dimana
hakikat ide Islam Nusantara adalah untuk menghambat perkembangan dakwah yang
hak, dakwah yang mengajak untuk menjalan Islam yang belum terkontaminasi oleh
berbagai budaya, yang dalam istilah mereka disebut Islam Arab.
Kalau kita cermati
banyak hal yang perlu dipertnyatakan tentang ide dan konsep Islam Nusantara
tersebut. Diantara pertanyaan tersebut; Apa dasar pemikiran Islam Nusantara?
Apa Tujuannya? Kalau jawabannya: Dasar pemikiran Islam Nusantara Al Quran dan
Sunnah. Berarti tidak ada bedanya dengan Islam yang sudah diamalkan sejak
kedatangan Nabi Muhammad r. Tapi bila jawabannya: Islam yang berdasarkan
budaya maka berarti berbeda dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu tujuannya apa? Kalau jawabanya untuk
terciptanya kedamaian dan toleransi dalam kehidupan bernegara. Bukankah Islam
datang untuk menegakkan misi ini? Bukankah hal ini sudah dibuktikan dalam
sejarah Islam sewaktu Islam berkuasa Di Madinah, Syam dan Andalusia? Tapi bila
jawabannya untuk menjadikan Indonesia sebagai model percontohan kedamaian dan
toleran. Kenapa Islam Nusantara tidak toleran terhadap orang-orang tidak mau
dengan konsep Islam Nuantara? Apa toleran itu berlaku untuk sesama pemeluk
Islam Nusantara saja?
Kenapa istilah Islam Nusantara harus
disandingkan dengan istilah Islam Arab? Yang pada akhirnya akan melahirkan
sebuah polemik anti Arab. Kenapa yang ditolak itu budaya Arab saja dan tidak
disebutkan menolak budaya Barat juga?
Suatu pertanyaan lagi adalah kenapa yang
ending itu Istilah Islam Nusantara yang diusung oleh NU? Bukan istilah Islam
Yang Berkemajuan yang diusung oleh Muhammadiyah?
Kenapa yang dianggap sebagai Islam
Nusantara hanya tradisi keberagamaan yang dilakukan oleh masa NU, kenapa
pengamalan ormas-ormas Islam lain tidak dianggap sebagai bagaian dari islam
Nusantara? Bahkan ada yang lebih fatal lagi untuk menilai seseorang itu pro
NKRI atau tidak dilihat dari sisi tahlilan atau tidak!? Bukankah di sana amat
banyak sekali ormas yang tidak melakukan tahlilan? seperti Muhammadiyah,
Persis, Al Irsyad dll. Bahkan diantara ormas Islam tersebut ada yang lebih
dahulu lahir dari ormas NU. Berati Islam Nusantara adalah paham yang kaku,
tidak toleran dan radikal.
Rasanya kita tidak perlu membuang waktu
dan energi untuk membuktikan kelabilan konsep Islam Nusantara dari berbagai
sisi. Cukup kita melihat siapa yang melakoni atau pencetus Islam Nusantara itu
sendiri. Apakah mereka para pencetus Islam Nusantara orang yang patut dicontoh
pemahaman dan pengamalan terhadap ajaran Islam? Apakah mereka orang-orang yang
benar-benar berakhlak mulia? terutama terhadap orang yang menegakkan dan
menjalan ajaran Islam dengan baik? Atau malah sebaliknya; suka memperolok-olok
dan melecehkan para penegak sunnah? Apakah mereka selama ini adalah para
pembela Islam atau sebaliknya? Apakah pemahaman mereka lebih baik dari
pemahaman para sahabat? Sehingga teori yang mereka cetuskan lebih baik dari
keislaman para sahabat? Apakah mereka orang yang taat beribadah dan suka
membaca Al Quran? Apakah alasan dan hal yang melatar belakangi lahirnya konsep
Islam Nusantara belum tercover dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disebarkan oleh para sahabat?
Berikut ini kita akan mengupas topik
Islam Bukan Budaya Arab, tidak seperti yang disinyalir oleh kaum SIPILIS
termasuk Jemaat Islam Nusantara bahwa ajaran Islam sarat dengan budaya Arab.
• Difinisi Budaya dan Hakikatnya
Secara etimologi budaya dalam bahasa Arab
disebut ‘Aadah atau ‘Uruf. (lihat: “al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah”:
30/53).
Secara terminologi Budaya berarti
kebiasaan dalam masyarakat baik berbentuk ucapan maupun perbuatan yang sesuai
dengan akal sehat dan tabi’at baik. (lihat: Ya’qub bin Abd Wahab, “Qaa’idah al
‘Aadah Muhakkamah”, hal: 27).
Namun sebagian diantara ulama ada yang
membedakan antara ‘Aadah dengan ‘Uruf secara terminologi, ada yang mengatakan
‘Aadah lebih umum, sedangkan ‘Uruf lebih umum. Dan ada pula yang berpendapat
sebaliknya, wallahu a’lam. (lihat: Ya’qub bin Abd Wahab, “Qaa’idah al ‘Aadah
Muhakkamah”, hal: 49).
Pengertian budaya dalam bahasa Arab tidak
berbeda dengan pengertiannya dalam bahasa lain. Budaya atau kebudayaan berasal
dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal
manusia. (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya).
Di jelaskan dalam wikipedia: Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang
berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup
menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya
turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar,
dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Definisi_Budaya).
Pengertian budaya menurut ilmuwan Barat
juga tidak jauh berbeda dengan pengertia yang dijelaskan oleh para ulama islam.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits
dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang
kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan
lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat
diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi
tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat. (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Definisi_Budaya)
Dapat disimpulkan dari berbagai
penjelasan diatas bahwa hakikat budaya adalah hasil dari buah pikiran manusia
yang dianggap baik oleh masyarakat tertentu. Baik buruknya budaya berbeda-beda
berdasarkan persepsi masing-masing masyarakat, lalu menjadi tabi’at mereka
sehari-hari. Maka suatau budaya bisa dianggap baik oleh sekelompok masyarakat
namun juga dianggap tidak baik oleh sekelompok masyarakat lain. Dalam artian
bahwa kebenarannya relativ dan tidak absolut. Contoh dalam budaya barat lesbi,
homoseksual dan minum khamar adalah budaya yang maju dalam sisi kebebasan.
Namun buda tersebut sangat tidak cocok di tengah-tengah budaya masyarakat
timur.
Atau bisa saja suatau budaya pada suatu
masa dianggap baik, namun pada masa yang lain bisa dianggap tidak baik oleh
masyarakat yang sama. Berarti penilai terhadap sebuah budaya itu bisa
berubah-ubah atau kondisional. Contoh dulu masyarakat eropa lebih suka budaya
sosialisme akan tetapi sekarang budaya yang mereka sukai adalah budaya
kapitalisme.
Perbedaan antara Islam dan Budaya
Pertama: Sumber budaya dari manusia yang
memiliki lalim lagi bodoh sebagaimana Allah gambarkan tetang sifat manusia
secara umum dalam firman-Nya:
{إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا
الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا} [الأحزاب/72]
“Sesungguhnya Kami
(Allah) menawarkan amanah itu kepada langit, bumi dan gunung-gunung dan mereka
menolaknya, lalu manusia memikulnya, sesungguhnya manusia itu lalim lagi
bodoh”.
Islam sumbernya dari
Allah Yang Maha Tahu, Maha Bijaksana dan Maha Adil. Allah Maha Tahu apa yang
terbaik bagi seluruh makhluk. Allah Maha Bijaksana dalam segala ketentuan dan
keputusan-Nya, tidak ada yang sia-sia dalam segala ciptaan-Nya. Allah Maha Adil
dalam segala ketetapan dan hukum-Nya, tidak sedikitpun ada kelaliman dalam
segala ketetapan Allah. Sebagaimana Allah nyatakan dalam kitab suci Al Quran:
{إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا
جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ (41) لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ} (42) [فصلت/41-42]
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir dengan Al Quran itu tatkla datang kepada mereka,
sesungguhnya Al Quran itu kitab yang mulia. Tidak dicampuri oleh kebatilan baik
dari arah depan dan tidak pula dari arah belakang, yang diturunkan dari Allah
Yang Maha Bijaksana lagi Maha terpuji”.
Dan Allah tidak
sedikitpun berbuat lalim terhadap hamba-hamba-Nya, Allah berfirman:
{مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ
فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ} [فصلت/41-4642 ]
‘Barangsiapa yang
melakukan amal sholeh maka hal itu itu dirinya sendiri, dan barangsiap yang
berbuat keburukan maka akibatnya atas dirinya sendiri. Dan Robmu tidak berbuat
lalim terhadap hamba-Nya sedikitpun”.
Kedua: Sebuah budaya
belum tentu cocok untuk semua manusia, budaya Asia belum tentu cocok untuk
orang Afrika, budaya Arab belum tentu cocok untuk orang Eropa. Akan tetapi
ajaran Islam cocok untuk seluruh umat manusia apapun bangsa dan suku mereka,
bahkan untuk Jin sekalipun.
Sebagaimana Allah
berfirman:
{وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ}
[سبأ/28]
“Dan tidaklah Kami
mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk semua manusia”.
Ketiga: Sebuah budaya
belum tentu cocok pada setiap saat, bahkan hanya cocok untuk waktu dan zaman
tertentu. Sedangkan Islam diturunkan Allah untuk sepanjang waktu dan masa
sampai akhir zaman, Islam tidak hanya berlaku pada fase kenabian dan
kekhalifahan saja, akan tetapi berlaku untuk seluruh generasi umat manusia
sampai hari kiamat. Karena Islam adalah agama yang terakhir yang dijaga
keasliannya oleh Allah sampai hari kiamat. Sebagaimana sebutkan dalam
firman-Nya:
{إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ} [الحجر/9]
“Sesungguhnya Kami
yang menurunkan Al Quran itu dan Kami sungguh akan menjaganya”.
Dan akan tetap ada
satu golongan dari manusia yang beramal dan berada diatas islam yang murni
sampai hari kiamat. Sebagaimana Rasulullah r tegaskan dalam sabdanya:
« لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أمتي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ
مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يأتي أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ ». رواه مسلم.
“Akan senantiasa ada
satu golongan dari umatku berada diatas kebenaran, mereka tidak merasa terganggu
dengan orang-orang yang menghina mereka, sampai datang keputusan Allah (hari
kiamat) mereka tetap seperti itu”.
Keempat: Sebuah
budaya belum tentu cocok pada semua tempat, bahkan sering terbatasi oleh tempat
dan ruang. sedangkan Islam diturunkan Allah berlaku untuk di semua tempat, baik
di Barat maupun di Timur, baik di Eropa, Afrika maupun di Asia, Islam tidak
hanya berlaku di Arab saja. Sebagaimana Allah tegaskan dalam Al Quran:
{وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ}
[الأنبياء/107]
“Dan tidaklah Kami
mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk seluruh alam”.
Kelima: Sebuah budaya
boleh untuk kita pilah-pilih, kita tolak dan kita tinggalkan bahkan kita
lupakan, akan tetapi Islam wajib untuk kita terima dan amalkan, tidak boleh
kita tolak, kita tinggalkan apalagi dilupakan.
Allah berfirman:
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ
وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ} [محمد/28]
“Yang demikian itu
adalah karena mereka mengikuti apa yang dibenci Allah, dan mereka membenci
keredhaan-Nya, maka Allah menghapus seleuruh amalan mereka”.
Islam tidak boleh
kita pilah-pilih bahkan harus kita terima dan kita jalankan secara total dan
maksimal, sebagaimana Allah perintahkan dalam firmannya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ} [البقرة/208]
“Wahai orang-orang
yang beriman masuklah kamu kedalam Islam itu secara keseluruhan, jangan kamu
mengikuti langkah-langkah setan,sesungguhnya setan itu musuh yang nyata”.
• Pandangan Islam
terhadap Budaya
Salah satu cara orang
Arab Jahiliyah untuk menolak kebenaran Islam adalah membanggakan budaya nenek
moyang sebagaimana Allah sebutkan argumentasi orang-orang musrik ketika diseru
kedalam Islam:
{وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ
آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ} [البقرة/170]
“Dan apabila
dikatakan kepada mereka: ikutilah apa yang telah diturunkan Allah! Mereka
menjawab: kami hanya mengikuti apa yang kami dapati nenek moyang kami
diatasnya. Meskipun nenek moyang mereka tidak tahu apa-apa dan tidak pula mendapat
petunjuk”.
Demikian pula
disebutkan dalam firman Allah yang lain:
{وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ
الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ} [لقمان/21]
“Dan apabila
dikatakan kepada mereka: ikutilah apa yang telah diturunkan Allah! Mereka
menjawab: kami hanya mengikuti apa yang kami dapati nenek moyang kami
diatasnya. Sekalipun setan mengajak mereka ke dalam neraka Sa’ir”.
Begitu banyak budaya
Arab jahiliyah yang dikoreksi oleh Islam, ini menunjukkan bahwa Islam bukanlah
budaya Arab. Berikuti ini kita sebutkan beberapa contoh budaya Arab yang
dihapus oleh Islam:
1. Bertawsul dengan
orang mati.
Salah satu kebiasaan
masyarakat Arab Jahiliyah mengkultuskan orang sholeh namanya Latta. Pada
mulanya patung Latta adalah simbol orang yang sangat dermawan kepada para
jamaah haji. Dengan berlalunya waktu akhirnya patung itu dijadikan oleh
masyarakat Arab Jahiliyah sebagai media bertawasul kepada Allah. Jika mereka
ingin mendapatkan sesuatu mereka mendatangi patung Latta tersebut untuk
bertawsul.
{وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا
نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى} [الزمر/3]
“Dan orang-orang yang
menggambil selain Allah sebagai pembantu, kami tidak menyembah mereka kecuali
untuk mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya”.
Menurut asumsi mereka
hal itu tidak merupakan perbuatan syirik akan tetapi bagain dari minta syafaat
dalam budaya mereka.
{وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ
وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ} [يونس/18]
“Dan mereka menyembah
selain Allah sesuatu yang tidak memberi mudarat dan tidak pula mamfaat kepada
mereka, dan mereka berkata: mereka sebagai pemberi syafaat kami di sisi Allah”.
Karena hal itu sudah
menjadi adat kebiasaan dan budaya nenek moyang mereka sejak dulu kala, mereka
menolak untuk meninggalkannya.
{قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ
وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آَبَاؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ
مِنَ الصَّادِقِينَ} [الأعراف/70]
“Mereka berkata:
apakah kamu datang kepada kami untuk mengajak kami menyembah Allah saja? Dan
kami meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Maka datangkalah azab
yang kamu ancamkan kepada kami jika engkau termasuk orang-orang yang jujur”.
2. Tawaf di Ka’bah
tanpa busana.
Allah sebutkan dalam
hal ini dalam firman-Nya mulia:
{يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ
مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الْمُسْرِفِينَ} [الأعراف/31]
“Wahai anak keturunan
Adam pakailah pakaian yang bagus ketika setiap ke masjid, makan dan minumlah
dan jangan kalain berlebih-lebihan. Karena Allah tidak suka pada orang yang
berlebih-lebihan”.
Berkata Ibnu Katsir:
“ayat ini adalah bantahan atas kebiasaan orang-orang musyrik bertawaf di Ka’bah
dalam keadaan telanjang. Sebagaimna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nasaai
dan Ibnu Jarir…”dari Ibnu Abbas ia berkata: mereka orang-orang musyrik bertawaf
di Ka’bah dalam keadaan telanjang, baik laki maupun wanita; laki siang hari dan
wanita di malam hari”. (lihat, Tafsir Ibnu Katsir: 3/405).
3. Beribadah di
ka’bah dengan bersorak sambil bertepuk tangan.
Hal ini Allah
sebutkan dalam surat Al Anfal:
{ وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا
مُكَاءً وَتَصْدِيَةً فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ}
[الأنفال/35]
“Tidaklah sholat
mereka di sisi Ka’bah kecuali bersiul dan betepuk-tepuk,maka rasakan oleh
kalian azab itu sebagai balasan terhadap kekufuran mereka”.
4. Suka bernyanyi
atau menyewa para biduwan untuk bernyanyi.
Hal ini Allah
sebutkan dalam surat Lukman:
{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ
لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ
لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ} [لقمان/6]
“Dan diantara manusia
ada orang yang membeli perkataan yang sia-sia untuk memalingkan manusia dari
jalan Allah tanpa Ilmu, mereka menjadikannya sebagai olokan, untuk mereka
adalah azab yang hina”.
Menurut para mufassirin
dari kalangan sahabat dan tabi’in bahwa yang dimaksud membeli lahwal hadits
(perkataan sia-sia) dalam ayat di atas adalah nyannyian, alat-alat musik dan
menyewa para biduwan/ti. (lihat, Tafsir Ibnu katsir: 6/331).
5. Meramal nasib
dengan binatang atau benda.
Sebuah kebiasan yang
suka dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah menggundi nasib, atau meramal
nasib dengan suara atau gerakan burung. Umpamanya ada seseorang sakit lalu
mereka mendengar burung gagak atau burung hantu berbunyi di malam hari, maka
mereka meramal bahwa seorang yang sakit tersebut akan meninggal dunia.
Rasulullah r menyuruh mereka untuk meninggalkan budaya tersebut dalam
sabdanya:
عَنْ مُعَاوِيَةَ
بْنِ الْحَكَمِ السلمي قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُمُورًا كُنَّا
نَصْنَعُهَا في الْجَاهِلِيَّةِ كُنَّا نأتي الْكُهَّانَ. قَالَ «فَلاَ تَأْتُوا
الْكُهَّانَ». قَالَ قُلْتُ كُنَّا نَتَطَيَّرُ. قَالَ «ذَاكَ شيء يَجِدُهُ
أَحَدُكُمْ في نَفْسِهِ فَلاَ يَصُدَّنَّكُمْ». رواه مسلم
Dari Muawaiyah bin
Hakam assulamy: aku berkata kepada Rasulullah r: Ya Rasulullah berbagai hal yang pernah kami
lakukan di masa jahiliyah; kami mndatangi dukun? Jawab beliau: Jangan kalian
mendatangi dukun. Lalu aku berkata lagi: Kami dulu suka mengundi nasib dengan
burung? Jawab beliau: itu sesuatu yang terbetik dalam hati kalian janganlah
menghalangi kalian”.
Dalam riwaya lain belaiu bersabda:
«الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ». رواه أبو داود وصححه الألباني
“Thiyarah adalah
syirik, thiyarah adalah syirik”.
Yang dimaksud dengan
Thiyarah yaitu meramal suatu kejadian buruk dengan burung atau lainnya seperti
yang telah jelaskan di atas.
Bisakah Islamisasi Budaya?
Sebagaimana yang telah kita jelaskan di
atas tentang perbedaan antara Islam dengan budaya, maka Islam itu sudah
sempurna tidak perlu ditambah dengan budaya lokal. Budaya tetap budaya tidak
bisa dijadikan ajaran Islam. Akan tetapi Islam memberikan ruang untuk sebuah
kebiasaan atau budaya masyarakat untuk dilakukan selama tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam dan tidak dianggap sebagai ajaran agama yang wajib
dijalankan. Bagi siapa yang mau melakukan silakan menjalankannya asal tidak
menjadi alat untuk memecah belah persatuan kaum muslimin. Apalagi menjadi tolak ukur ketaqwaan dan menghukum
orang yang tidak menjalankannya sebagai kelompok sesat. Seperti kejadian
beberapa kasus di berbagai tempat, seorang muslim yang meninggal dilarang di
kuburkan di pemakaman umum karena tidak ikut yasinan dan tahlilan! Beberpa
pondok pesantren dibakar dan diusir santrinya karena tidak melaksanakan
maulidan dan salawatan! Ini menunjukkan sebuah penyimpangan dalam pemahaman
beragama terutama masyarakat yang diasuh oleh agen-agen Islam Nusantara.
Sebaliknya kita tidak melihat ada pengusiran bagi orang yang tidak sholat, yang
tidak berhijab dan bahkan terang-terangan berbuat maksiat didepan umum.
Seakan-akan kedudukan budaya lebih tinggi dari hal-hal yang diwajibkan Allah.
Jangankan apa yang disebut sebagai bid’ah hasanan, orang yang tidak
melaksanakan sunnah muakkadah saja tidah berhak diusir, bahkan orang yang
meninggalkan hal yang wajib sekalipun juga tidak berhak diusir! Silakan anda
renungkan kenapa sikap radikal seperti ini terjadi terhadap orang yang tidak
suka budaya, tapi tidak diberlakukan terhadap orang yang tidak suka pada agama?
Sungguh aneh alias ajiib.
Kenapa jazirah Arab terpilih menjadi
tempat diturunkannya Islam, mengapa tidak di Indonesia?
Sesungguhnya Allah menajdikan makhlunya
dalam aturan yang sempurna diatas segala kesempurnaan. Allah memilih dan
menentukan sebuah kepurtusan yang sia-sia, akan tetapi berdasarkan ilmu-Nya
yang Maha Sempurna dan dibalik ketentuan tersebut tersimpan berjuta-juta hikmah.
Allah melebihkan satu makhluk atas
makhluk yang lain, bumi dijadikan belembah dan berbukit. Sebagian nabi juga
Allah beri kelebihan atas nabi yang lain.
{تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ
اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ } [البقرة/253]
“Demikian sebagian
rasul kami lebihkan atas sebagian mereka, diantara mereka ada yang diajak
bicara oleh Allah, dan sebagian mereka diangkat kedudukannya beberapa derajat”.
Sebagaimana surat dan
ayat Al Quran juga berbeda dari sisi kelebihan dan keutamaan. Demikian pula
suatu tempat dan bangsa juga Allah beri kelebihan atas tempat dan bangsa yang
lain. Maka Allah memuliakan bumi Makkah diatas belahan bumi lain, memilih
bangsa Arab untuk nabi yang terakhir walau sebelumnya kebanyakan nabi berasal
dari bangsa Bani israil.
Bumi Makkah memiliki
keutamaan yang tidak dimiliki oleh belahan bumi lain, sebagaimana disebutkan
dalam hadits Rasulullah r:
((والله إنك لخير أرض الله وأحب أرض الله إلى الله ولولا
أني أخرجت منك ما خرجت)) رواه الترمذي وصححه الألباني
“Demi Allah
sesungguhnya engkau (negeri Makkah) adalah sebaik-baik bumi Allah, dan bumi
yang paling dicintai Allah, seandanya aku tidak diusir darimu niscaya aku tidak
akan keluar darimu”.
Allah telah memilih
sebagai pembawa risalah yang terakhir dari negeri yang paling mulia juga dari
keturunan yang paling mulia. Sebagaimana Firman Allah:
{اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ
النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ} [الحج/75]
“Allah memilih dari
golongan malaikat sebagai rasul dan juga dari golongan manusia, sesungguhnya
Allah Maha mendengar dan Maha Melihar”.
Dan sabda Rasulullah
r:
«إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ
إِسْمَاعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِى
هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِى هَاشِمٍ». رواه مسلم
“Sesungguhnya Allah
telah memilih Kinaanah dari keturunan Ismail, dan memilih Quraisy dari Knaanah,
dan dari suku Quraisy memilih Bani hasyim,
dan memilih aku dari suku Bani Hasyim”.
Berkata Ibnu Mas’ud
radhiallahu ‘anhu :
(إِنَّ اللَّهَ عز وجل نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ،
فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ r خَيْرَ قُلُوبِ
الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ، فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ
فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ r فَوَجَدَ أَصْحَابَهُ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ، فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ
نَبِيِّهِ، يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ) رواه أحمد وقال الأرنؤوط : إسناده حسن
“Sesungguhnya Allah
melihat kepada hati-hati manusia, maka Allah mendapati hati Muhammad hati
sebaik-baik hati manusia. Maka Allah memilihnya secara khusus dan mengutusnya
untuk membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati manusia setelah hati
Muhammad r, maka allah mendapati hati para sahabatnya sebaik-baik hati manusia, maka Allah
menjadikan mereka sebagai pembantu nabi-Nya, bebrperang membela agamanya”.
Semua itu kembali
kepada kehendak Allah secara mutlak, kita tidak berhak mempertanyatakan
perbuatan Allah, akan tetapi kitalah yang akan ditanya tentang perbuatan kita.
{لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُون}
[الأنبياء/23]
“Allah tidak ditanya
tetang apa yang Ia perbuat sedang mereka (manusia) akan ditanya tentang apa
yang mereka perbuat”.
Dan firman Allah:
{إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ} [الحج/14]
“Sesungguhnya Allah
memperbuat apa yang Ia kehendaki”.
Dan firman Allah:
{وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ
اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ} [الحج/18]
“Barangsiapa yang
dihinakan Allah maka tiada seorangpun yang dapat menjadikan ia mulia,
sesungguhnya Allah berbuat apa yang Ia kehendaki”.
Orang-orang kafir
Makkah pernah mempetanyakan: kenapa Allah tidak mengutus orang lain selain nabi
Muhammad r? Allah menjawab keberatan mereka: apakah mereka yang akan menengatur
pembagian rahmat Allah?
{وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآَنُ عَلَى
رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ (31) أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا
بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ } [الزخرف/31، 32]
“Dan mereka berkata:
kenapa tidak diturunkan Al Quran ini kepada seorang laki-laki yang terhormat
dari dua kota? Apakah mereka yang membagi rahmat tuhanmu? Kami yang membagi
antar mereka kehidupan mereka di dunia. Dan kami meninggikan kedudukan sebagian
mereka diatas sebagian yang lain dengan
beberapa derajat”.
Kesimpulan
Budaya adalah hasil
karya akal dan pengalaman manusia yang punya banyak sisi kelemahan,
kebenarannya relativ. Budaya yang berjalan ditengah masyarakat bisa diterima
dalam Islam selama tidak melanggar prinsip-prinsip ajaran Islam.
Islam bukan budaya
Arab, akan tetapi Islam adalah agama Allah yang sempurna, diturunkan untuk
semua suku bangsa dan berlaku untuk sepanjang masa serta cocok pada setiap
tempat.
Wallahu A’lam