Dalam Ash-Shahiihain, dari
Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
من أشراط الساعة أن يُرْفَعَ العلم، ويَثْبُتَ
الجهلُ.
“Termasuk tanda-tanda hari
kiamat adalah diangkatnya ilmu dan tetapnya kebodohan”.[1]
Al-Bukhari meriwayatkan dari
Syaqiiq, ia berkata : “Aku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa. Mereka
berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إن بين يدي الساعة لأيَّاماً يُنزَلُ فيها
الجهلُ، ويُرْفَعُ العلم.
“Sesungguhnya menjelang hari
kiamat kelak, akan ada hari-hari yang diturunkanya kebodohan dan diangkatnya
ilmu”.[2]
Dan dalam riwayat Muslim dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia bekata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
يتقارَبُ الزَّمان، ويُقْبَضُ العلم، وتَظْهَرُ
الفِتَنُ، ويُلقى الشُّحُّ، ويَكْثر الهَرْج.
“Telah semakin dekat jaman
dimana akan diangkat ilmu, fitnah merajalela, penyakit kikir akan dijatuhkan
(dalam hati manusia), dan banyaknya ‘harj’ (pembunuhan)”.[3]
Berkata Ibnu Baththaal rahimahullah
:
وجميع ما تضمَّنَهُ هذا الحديث من الأشراط قد
رأيناها، فقد نقص العلم، وظهر الجهل، وأُلْقِي الشحّ في القلوب، وعمّت الفتن،
وكثرَ القتل.
“Seluruh tanda-tanda tentang
hari kiamat yang terdapat dalam hadits ini telah kita lihat. Sungguh, ilmu telah
berkurang, kebodohan merajalela, sifat kikir telah dijatuhkan/dijangkitkan
dalam hati (manusia), firnah telah tersebarnya, dan pembunuhan banyak
terjadi”.[4]
Ibnu Hajar mengomentari hal
itu dengan berkata :
الذي يظهر أن الذي شاهده كان منه الكثير، مع وجود
مقابله، والمراد من الحديث استحكام ذلك، حتى لا يبقى مما يقابله إلا النادر، وإليه
الإشارة بالتعبير يقبض العلم، فلا يبقى إلا الجهل الصرف، ولا يمنع من ذلك وجودُ
طائفة من أهل العلم، لأنهم يكونون حينئذ مغمورين في أولئك.
“Yang nampak, tanda-tanda
hari kiamat yang disaksikannya itu memang sudah banyak terjadi, bersamaan
dengan adanya realitas yang sebaliknya. Dan yang dimaksud oleh hadits adalah
dominannya hal-hal tersebut sehingga tidak tersisa hal yang tidak seperti itu
melainkan sedikit. Inilah yang diisyaratkan oleh hadits dengan ungkapan :
‘diangkatnya ilmu’; tidaklah tinggal/tersisa kecuali hanyalah kebodohan. Namun
hal itu tidaklah menghalangi untuk tetap adanya sekelompok ahli ilmu (ulama) di
tengah umat, karena pada waktu itu mereka tertutup oleh dominasi masyarakat
yang bodoh akan ilmu agama”.[5]
Diangkatnya ilmu terjadi
dengan diangkatnya (diwafatkannya) para ulama, sebagaimana ditunjukkan dalam
hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Aku
telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن الله لا يَقْبِضُ العلمَ انتزاعاً ينتزعُه من
العباد، ولكنْ يقبِضُ العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يبقَ عالماً؛ اتَّخذ الناس
رؤوساًَ جُهَّالا، فسُئِلوا ؟ فأفتوا بغير العلم، فضلّوا وأضلوا.
“Sesungguhnya Allah tidak
akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari manusia. Namun Allah akan
mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi
seorang berilmu (di tengah mereka), manusia mengangkat para pemimpin yang
jahil. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya
mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)”.[6]
An-Nawawiy berkata :
هذا الحديث يُبَيِّنُ أن المراد بقبض العلم في
الأحاديث السابقة المطلقة ليس هو محوُه من صدور حفَّاظه، ولكن معناه : أن يموتَ
حملتُه، ويتخذ الناس جُهَّالا يحكمون بجهالاتهم، فيضلُّون ويُضِلُّون.
“Hadits ini memberikan
penjelasan akan maksud ‘diangkatnya ilmu’ - sebagaimana tertera dalam
hadits-hadits secara mutlak – bukanlah menghapuskannya dari dada para
penghapalnya. Namun maknanya adalah : wafatnya para pemilik ilmu tersebut.
Manusia kemudian mengambil orang-orang bodoh yang menghukumi sesuatu dengan
kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.[7]
Dan yang dimaksud dengan
‘ilmu’ di sini adalah ilmu mengenai Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, yang
itu merupakan ilmu warisan para nabi ‘alaihis-salaam. Dan ulama adalah pewaris
para nabi. Oleh karena itu, kepergian mereka sama dengan perginya ilmu, matinya
sunnah, berkembangnya bid’ah, dan meratanya kebodohan.
Adapun ilmu keduniaan, maka
itu merupakan tambahan. Bukanlah ia yang dimaksud dalam hadits-hadits, dengan
alasan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka ditanya, dan mereka
pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang
lain)”. Kesesatan hanyalah terjadi karena kebodohan dalam agama. Dan ulama yang
hakiki adalah ulama yang mengamalkan ilmu-ilmu mereka, mengarahkan dan
menunjukkan umat ke jalan lurus dan petunjuk. Ilmu tanpa disertai amalan
tidaklah banyak bermanfaat. Bahkan dapat menjadi bencana bagi pemiliknya. Telah
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dengan lafadh :
وينقص العمل
“Dan amal pun berkurang”.[8]
Berkata Al-Imam Muarrikh
(ahli sejarah) Islam Adz-Dzahabi setelah menyebutkan sekelompok ulama :
وما أوتوا من العلم إلا قليلاً، وأما اليوم؛ فما
بقي من العلوم القليلة إلا القليل، في أناس قليل، ما أقل مَن يعمل منهم بذلك
القليل، فحسبنا الله ونعم الوكيل.
“Tidaklah mereka diberikan
ilmu melainkan sedikit. Adapun hari ini, tidaklah tersisa dari ilmu-ilmu yang
sedikit tersebut melainkan lebih sedikit lagi di tangan orang-orang yang
jumlahnya sedikit pula. Dan betapa sedikit lagi orang-orang yang beramal dengan
ilmu mereka yang sedikit itu. Hasbunallaah, wa ni’mal-wakiil (Semoga Allah
mencukupkan kita, dan Dia-lah sebaik-baik Pengurus)”.[9]
Jika realita itu terjadi di
jaman Adz-Dzahabiy, maka bagaimana realita yang terjadi di jaman kita sekarang
? Ssungguhnya semakin jauh dari jaman kenabian, semakin sedikit ilmu dan
semakin banyak kebodohan. Para shahabat radliyallaahu ‘anhum adalah generasi
yang paling mengetahui dari umat ini, kemudian tabi’iin, dan kemudian
tabi’ut-taabi’iin. Mereka generasi terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
خير الناس قرني، ثم الذُن يلونهم، ثم الذين
يلونهم.
“Sebaik-bak manusia adalah
generasiku, kemudian setelah mereka (tabi’in), dan kemudian setelah mereka
(tabi’ut-tabi’in)”.[10]
Ilmu tentang agama akan
senantiasa berkurang, kebodohan bertambah, hingga kelak orang-orang tidak tahu
apa yang difardlukan/diwajibkan oleh Islam. Diriwayatkan dari Hudzaifah
radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam :
يدرس الإسلام كما يدرس وشي الثوب، حتى لا يدرى ما
صيام، ولا صلاة، ولا نسك، ولا صدقة؟ ويُسرى على كتاب الله في ليلة فلا يبقى في
الأرض منه آية، وتبقى طوائف من الناس : الشيخ الكبير، والعجوز يقولون : أدركنا
آباءنا على هذه الكلمة؛ يقولون : (لا إله إلا الله)، فنحن نقولها. فقال له صلة :
ما تغني عنهم (لا إله إلا الله) وهم لا يدرون ما صلاة، ولا صيام، ولا نسك، ولا
صدقة؟ فأعرض عنه حذيفة، ثم رددها عليه ثلاثاً، كل ذلك يُعرض عنه حذيفة، ثم أقبل
عليه في الثالثة، فقال : يا صلة! تنجيهم من النار ثلاثاً.
“Islam akan pudar (hilang)
sebagaimana pudarnya warna pakaian yang telah usang. Hingga tidak diketahui apa
itu shalat, puasa, haji, dan shadaqah (zakat). Dan terbanglah Al-Qur’an pada
suatu malam hingga tidak tersisa satu pun ayat darinya di muka bumi. Tinggallah
sekelompok orang-orang yang telah tua dan lemah berkata : ‘Kami dapati
bapak-bapak kami kalimat ini’ – mereka mengatakan : ‘Laa ilaha illallaah (tidak
ada tuhan yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah)’ – maka kami pun
mengatakannya juga.
Shilah[11] bertanya kepada
Hudzaifah : “Apa gunanya Laa ilaha illallaah bagi mereka sedangkan mereka tidak
mengetahui apa itu shalat, puasa, haji, dan shadaqah (zakat) ?”. Hudzaifah
berpaling darinya, hingga Shillah mengulangi pertanyaannya tersebut tiga kali.
Hudzaifah selalu berpaling pada setiap pertanyaan tersebut, hingga akhirnya ia
menghadap kepada Shillah pada kali yang ketiga dan berkata : “Wahai Shillah !
Kalimat itu menyelamatkan mereka dari neraka” – ia mengulanginya sampai tiga
kali.[12]
‘Abdullah bin Mas’ud
radliyallaahu ‘anhu berkata :
لَيُنْزَعَنَّ القُرْآن من بين أظْهُرِكُم، يُسرى
عليه ليلاً، فيذهب من أجواف الرجال، فلا يبقى في الأرض منه شيءٌ.
“Sungguh Al-Qur’an akan
dicabut dari kalian, yaitu ia akan diterbangkan pada suatu malam, hingga ia
lenyap dari hati manusia dan tidak ada lagi yang tersisa di muka bumi
sedikitpun”.[13]
Ibnu Taimiyyah berkata :
يُسرى به في آخر الزمان من المصاحف والصدور، فلا
يبقى في الصدور منه كلمة، ولا في المصاحف منه حرفٌُ.
“Kelak Al-Al-Qur’an akan
dihilangkan di akhir jaman dari mushhaf-mushhaf dan dada-dada manusia. Tidak
tertinggal satu kalimat pun dari dada-dada manusia hafalan, dan satu huruf pun
dari mushhaf-mushhaf”.[14]
Ibnu Katsir berkata :
في معنى هذا الحديث قولان :
أحدهما : أن معناه أن أحداً لا يُنكر منكراً، ولا
يزجر أحداً إذا رآه قد تعاطى منكراً، وعبَّر عن ذلك بقوله : ((حتى لا يقال : الله،
الله))؛ كما تقدَّمَ في حديث عبد الله بن عمر : ((فيبقى فيها عجاجةٌ، لا يعرفون
معروفاً، ولا يُنكرون منكراً)).
والقول الثاني : حتى لا يُذكر الله في الأرض، ولا
يُعرف اسمه فيها، وذلك عند فساد الزمان، ودمار نوع الإنسان، وكثرة الكفر والفسوق
والعصيان.
“Ada dua pendapat mengenai
makna hadits ini :
Pertama : Bahwasannya
maknanya adalah seseorang tidak lagi mengingkari kemunkaran, tidak pula
melarang orang lain ketika melakukan kemunkaran. Pengertian ini diambil dari
sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Hingga tidak lagi diucapkan :
Allah, Allah’ [15]; sebagaimana telah disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin
‘Umar : ‘Hingga tinggallah di dalamnya orang-orang bodoh yang tidak
mengetahui/mengajak kepada yang ma’ruf dan tidak pula mengingkari yang
munkar’.[16]
Kedua : Hingga tidak
disebutkan lagi lafadh Allah di bumi. Tidak pula diketahui nama-Nya di
dalamnya. Hal itu terjadi pada saat jaman telah rusak, nilai kemanusiaan telah
hancur, serta merajalelanya kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan”.[17]
[Selesai ditulis oleh Abu
Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy – diambil dari buku Asyraathus-Saa’ah karya Yusuf bin
‘Abdillah bin Yusuf Al-Waabil, hal. 131-136; Daar Ibnil-Jauziy].
[1] Shahih Al-Bukhariy,
Kitaabul-‘Ilmi, Baab Raf’il-‘Ilmi wa Qabdlihi wa Dhuhuuril-Jahli (1/178 –
bersama Fathul-Baariy) dan Shahih Muslim, Kitaabul-‘Ilmi, Baab Raf’il-‘Ilmi wa
Qabdlihi wa Dhuhuuril-Jahli wal-Fitan fii Aakhiriz-Zamaan (16/222 – bersama
Syarh An-Nawawiy).
[2] Shahih Al-Bukhari,
Kitaabul-Fitan, Baab Dhuhuuril-Fitan (13/13 – bersama Fathul-Baariy).
[3] Shahih Muslim, Kitaabul-‘Ilmi,
Baab Raf’il-‘Ilmi (16/222-223 – bersama Syarh An-Nawawiy).
[4] Fathul-Baariy (13/16).
[5] Fathul-Baariy (13/16).
[6] Shahih Al-Bukhariy,
Kitaabul-‘Ilmi, Baab Kaifa Yaqbidlul-‘Ilm (1/194 – bersama Fathul-Bariy), dan
Shahih Muslim, Kitaabul-‘Ilmi, Baab Raf’il-‘Ilmi wa Qabdlihi wa Dhuhuuril-Jahli
wal-Fitan (16/223-224 – bersama Syarh An-Nawawiy).
[7] Syarhun-Nawawiy li-Shahih
Muslim (16/223-224).
[8] Shahih Al-Bukhariy,
Kitaabul-Adab, Baab Husnil-Khuluq was-Sakhaa’ wa Maa Yakrahu minal-Bukhl (10/456
– bersama Fathul-Baariy).
[9] Tadzkiratul-Huffadh
(3/1031).
[10] Shahih muslim, Kitaab
Fadlaailish-Shahaabah, Baab Fadllish-Shahaabah radliyallaahu ‘anhum tsumma
Alladziina Yaluunahum (16/86 – bersama Syarhun-Nawawiy).
[11] Dia adalah Abul-’Alaa
atau Abu Bakr, Shillah bin Zufar Al-’Absiy Al-Kuufiy, seorang tabi’iy kabiir,
tsiqah lagi agung. Ia meriwayatkan dari ‘Ammaar bin Yaasir, Hudzaifah bin
Al-Yamaan, Ibnu Mas’ud, dan ‘Aliy bin Abi Thaalib. Wafat pada akhir tahun 70 H
– semoga Allah merahmatinya.
Lihat biografinya pada :
Tahdziibut-Tahdziib (4/437) dan Taqriibut-Tahdziib (1/370).
[12] Sunan Ibni Majah,
Kitaabul-Fitan, Baab Dzahaabil-Qur’aan wal-’Ilmi (2/1344-1345) dan Al-Haakim
dalam Al-Mustadrak (4/473). Al-Haakim berkata : “Hadits ini shahih sesuai
dengan persyaratan Muslim, namun ia tidak mengeluarkannya”. Pernyataan ini
disepakati oleh Adz-Dzahabiy.
Ibnu Hajar berkata :
“Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad qawiy (kuat)” [Fathul-Baariy
(13/16)].
Al-Albaniy berkata :
“Shahih”. Lihat Shahih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir (6/339 no. 7933).
[13] Diriwayatkan oleh
Ath-Thabaraniy, rijalnya adalah rijal Ash-Shahiih selain dari Syaddaad bin
Ma’qil. Ia adalah tsiqah [Majma’uz-Zawaaid (7/329-330)].
Ibnu Hajar berkata :
“Sanadnya shahih, namun ia mauquf” [Fathul-Baariy (13/16)].
Aku (Yusuf Al-Waabil) berkata
: “Perkataan seperti itu tidaklah diucapkan berdasarkan ra’yu (akal). Oleh
karena itu ia dihukumi marfu’”.
[14] Majmu’ Fataawaa Ibni
Taimiyyah (3/198-199).
[15] Shahih Muslim,
Kitaabul-Iman, Baab Dzahaabul-Iman Aakhiruz-Zamaan (2/178 – bersama
Syarhun-Nawawiy).
[16] Musnad Ahmad (11/181-182
– Syarh Ahmad Syaakir). Ia (Ahmad Syaakir) berkata : “Sanadnya shahih”.
Diriwayatkan pula oleh
Al-Haakim dalam Al-Mustadrak (4/435), dan ia berkata : Hadits ini shahih sesuai
dengan persyaratan Al-Bukhari dan Muslim, jika Al-Hasan mendengar hadits
tersebut dari ‘Abdullah bin ‘Amr”. Disepakati oleh Adz-Dzahabiy.
[17] An-Nihaayah/Al-Fitan
wal-Malaahim (1/186), tahqiq : Dr. Thaha Zainiy.
Hilangnya ilmu dan
menyebarnya kebodohan
Tanda-tanda kecil kiamat
Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin
Yusuf al-Wabil
13. HILANGNYA ILMU DAN
MENYEBARNYA KEBODOHAN
Diantara tanda-tanda Kiamat
adalah hilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan. Dijelaskan dalam
ash-Shahiihain dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ
الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ.
‘Di antara tanda-tanda Kiamat
adalah hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.’” [1]
Al-Bukhari meriwayatkan dari
Syaqiq, beliau berkata, “ِAku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa,
keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا
يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ فِيهَا الْعِلْمُ.
‘Sesungguhnya menjelang
datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu
dihilangkan.’” [2]
Dalam riwayat Muslim dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ
وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ.
‘Zaman saling berdekatan,
ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam
hati), dan pembunuhan semakin banyak.’”[3]
Ibnu Baththal berkata, “Semua
yang terkandung dalam hadits ini termasuk tanda-tanda Kiamat yang telah kita
saksikan secara jelas, ilmu telah berkurang, kebodohan nampak, kebakhilan
dilemparkan ke dalam hati, fitnah tersebar dan banyak pembunuhan.” [4]
Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah mengomentari ungkapan itu dengan perkataannya, “Yang jelas,
sesungguhnya yang beliau saksikan adalah banyak disertai adanya (tanda Kiamat)
yang akan datang menyusulnya. Sementara yang dimaksud dalam hadits adalah
kokohnya keadaan itu hingga tidak tersisa lagi keadaan yang sebaliknya kecuali
sangat jarang, dan itulah isyarat dari ungkapan “dicabut ilmu”, maka tidak ada
yang tersisa kecuali benar-benar kebodohan yang murni. Akan tetapi hal itu
tidak menutup kemungkinan adanya para ulama, karena mereka saat itu adalah
orang yang tidak dikenal di tengah-tengah mereka.” [5]
Dicabutnya ilmu terjadi
dengan diwafatkannya para ulama. Dijelaskan dalam hadits dari ‘Abdullah bin
‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا
يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ
حَتَّـى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً
فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
‘Sesungguhnya Allah tidak
mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan
mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka
manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka
ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat
lagi menyesatkan orang lain.’” [6]
An-Nawawi rahimahullah
berkata, “Hadits ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mencabut ilmu dalam
hadits-hadits terdahulu yang mutlak bukan menghapusnya dari hati para
penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah pembawanya meninggal, dan manusia
menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemutus hukum yang memberikan hukuman
dengan kebodohan mereka, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”[7]
Yang dimaksud dengan ilmu di
sini adalah ilmu al-Qur-an dan as-Sunnah, ia adalah ilmu yang diwariskan dari
para Nabi Allaihissallam, karena sesungguhnya para ulama adalah pewaris para
Nabi, dan dengan kepergian (wafat)nya mereka, maka hilanglah ilmu, matilah
Sunnah-Sunnah Nabi, muncullah berbagai macam bid’ah dan meratalah kebodohan.
Adapun ilmu dunia, maka ia
terus bertambah, ia bukanlah makna yang dimaksud dalam berbagai hadits. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ
فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.
“Lalu mereka ditanya,
kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan
orang lain.”
Kesesatan hanya terjadi
ketika bodoh terhadap ilmu agama. Para ulama yang sebenarnya adalah mereka yang
mengamalkan ilmu mereka, memberikan arahan kepada umat, dan menunjuki mereka
jalan kebenaran dan petunjuk, karena sesungguhnya ilmu tanpa amal adalah
sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan akan menjadi musibah bagi pemiliknya.
Dijelaskan pula dalam riwayat al-Bukhari:
وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ.
“Dan berkurangnya
pengamalan.” [8]
Imam adz-Dzahabi rahimahullah
ulama besar ahli tarikh (sejarah) Islam berkata setelah memaparkan sebagian
pendapat ulama, “Dan mereka tidak diberikan ilmu kecuali hanya sedikit saja.
Adapun sekarang, maka tidak tersisa dari ilmu yang sedikit itu kecuali sedikit
saja pada sedikit manusia, sungguh sedikit dari mereka yang mengamalkan ilmu
yang sedikit tersebut, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita.” [9]
Jika hal ini terjadi pada
masa Imam adz-Dzahabi, maka bagaimana pula dengan zaman kita sekarang ini?
Karena setiap kali zaman itu jauh dari masa kenabian, maka ilmu pun akan
semakin sedikit dan banyak kebodohan. Sesungguhnya para Sahabat Radhiyallahu
anhum adalah orang yang paling tahu dari umat ini, kemudian para Tabi’in, lalu
orang yang mengikuti mereka, dan merekalah sebaik-baik generasi, sebagaimana
disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.
“Sebaik-baiknya manusia
adalah pada masaku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” [10]
Ilmu senantiasa terus berkurang,
sementara kebodohan semakin banyak, sehingga banyak orang yang tidak mengenal
kewajiban-kewajiban dalam Islam.
Diriwayatkan dari Hudzaifah
Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ
الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلاَ صَلاَةٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ
صَدَقَةٌ وَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللهِ k فِـي
لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِي اْلأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ
النَّاسِ: الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا
عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ؛ يَقُولُونَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ
نَقُولُهَا: فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ،
وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ، وَلاَ صِيَامٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ
فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّدَهَا عَلَيْهِ ثَلاَثًا، كُلَّ ذَلِكَ
يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ:
يَا صِلَةُ! تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ، ثَلاَثًا.
“Islam akan hilang
sebagaimana hilangnya hiasan pada pakaian sehingga tidak diketahui lagi apa itu
puasa, tidak juga shalat, tidak juga haji, tidak juga shadaqah. Kitabullah akan
diangkat pada malam hari hingga tidak tersisa di bumi satu ayat pun, yang
tersisa hanyalah beberapa kelompok manusia: Kakek-kakek dan nenek-nenek, mereka
berkata, ‘Kami men-dapati nenek moyang kami (mengucapkan) kalimat ini, mereka
mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah’, maka kami pun mengucapkannya. Lalu Shilah
[11] berkata kepadanya, “(Kalimat) Laa Ilaaha Illallaah tidak berguna bagi
mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, tidak juga puasa,
tidak juga haji, dan tidak juga shadaqah. Lalu Hudzaifah berpaling darinya,
kemudian beliau mengulang-ulangnya selama tiga kali. Setiap kali ditanyakan hal
itu, Hudzaifah berpaling darinya, lalu pada ketiga kalinya Hudzaifah menghadap
dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itu menyelamatkan mereka dari Neraka
(sebanyak tiga kali).” [12]
‘Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu berkata:
لَيُنْزَعَنَّ الْقُرْآنُ مِنْ بَيْنِ
أَظْهُرِكُمْ، يُسْرَى عَلَيْهِ لَيْلاً، فَيَذْهَبُ مِنْ أَجْوَافِ الرِّجَالِ،
فَلاَ يَبْقَى مِنْهُ شَيْءٌ.
“Sungguh, al-Qur-an akan
dicabut dari pundak-pundak kalian, dia akan diangkat pada malam hari, sehingga
ia pergi dari kerongkongan orang-orang. Maka tidak ada yang tersisa darinya di
bumi sedikit pun.” [13]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata, “Di akhir zaman (al-Qur-an) dihilangkan dari mushhaf dan dada-dada
(ingatan manusia), maka tidak ada yang tersisa satu kata pun di dada-dada
manusia, demikian pula tidak ada yang tersisa satu huruf pun dalam mushhaf.”
[14]
Lebih dahsyat lagi dari hal
ini adalah Nama Allah tidak disebut lagi di atas bumi. Sebagaimana dijelaskan
di dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي
اْلأَرْضِ: اللهُ، اللهُ.
“Tidak akan datang hari
Kiamat hingga di bumi tidak lagi disebut: Allah, Allah.” [15]
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Ada dua pendapat tentang makna hadits ini:
Pendapat pertama : Bahwa
seseorang tidak mengingkari kemunkaran dan tidak melarang orang yang melakukan
kemunkaran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkannya dengan
ungkapan “tidak lagi disebut: Allah, Allah” sebagaimana dijelaskan sebelumnya
dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
فَيَبْقَى فِيهَا عَجَاجَةٌ لاَ يَعْرِفُونَ
مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُونَ مُنْكَرًا.
‘Maka yang tersisa di
dalamnya (bumi) hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran dan
tidak mengingkari kemunkaran.’ [16]
Pendapat kedua : Sehingga
tidak lagi disebut dan dikenal Nama Allah di muka bumi. Hal itu terjadi ketika
zaman telah rusak, rasa kemanusiaan telah hancur, dan banyaknya kekufuran,
kefasikan juga kemaksiatan.” [17]
[Disalin dari kitab
Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil
Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat,
Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari,
kitab al-‘Ilmu bab Raf’ul ‘Ilmi wa Zhuhuurul Jahli (I/178, al-Fath), dan
Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli
wal Fitan fi Aakhiriz Zamaan (XVI/222, Syarh an-Nawawi).
[2]. Shahiih al-Bukhari,
kitab al-Fitan bab Zhuhuuril Fitan (XIII/13, al-Fath).
[3]. Shahiih Muslim, kitab
al-Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi (XVI/222-223, Syarh an-Nawawi).
[4]. Fat-hul Baari (XIII/16).
[5]. Fat-hul Baari (XIII/16).
[6]. Shahiih al-Bukhari,
kitab al-‘Ilmi, bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmi (I/194, al-Fath), dan Shahiih Muslim,
kitab al-Ilmi, bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan
(XVI/223-224, Syarh an-Nawawi).
[7]. Syarh an-Nawawi li
Shahiih Muslim (XVI/223-224).
[8]. Shahiih al-Bukhari,
kitab al-Adab, bab Husnul Khuluq was Sakhaa’ wa Ma Yukrahu minal Bukhli (X/456,
al-Fath).
[9]. Tadzkiratul Huffaazh
(III/1031).
[10]. Shahiih Muslim, kitab
Fadhaa-ilush Shahaabah Tsummal Ladziina Yaluu-nahum (XVI/86, Syarh an-Nawawi).
[11]. Beliau: Abul ‘Ala atau
Abu Bakar; Shilah bin Zufar al-‘Abasi al-Kufi, seorang Tabi’in terkemuka,
terpercaya dan mulia. Beliau meriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah
Ibnul Yaman, Ibnu Mas’ud, ‘Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas. Beliau wafat
sekitar tahun 70 H. rahimahullah.
[12]. Sunan Ibni Majah, kitab
al-Fitan bab Dzahaabul Qur-aan wal ‘Ilmi (II/1344-1245), al-Hakim dalam
al-Mustadrak (IV/473), dan beliau berkata, “Hadits ini shahih dengan syarat
Muslim, akan tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.” Dan
disepakati oleh adz-Dzahabi.
Ibnu Hajar berkata,
“Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang kuat.” Fat-hul Baari (XIII/16).
Al-Albani berkata, “Shahih.”
Lihat kitab Shahiih al-Jaami’ish Shaaghiir (VI/339, no. 7933).
[13]. HR. Ath-Thabrani, dan
perawi-perawinya adalah perawi-perawi kitab-kitab ash-Shahiih, selain Syaddad
bin Ma’qal, ia adalah tsiqat (Majma’uz Zawaa-id VII/329-330).
Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya
shahih, akan tetapi hadits ini mauquf.” (Fat-hul Baari XIII/16).
Komentar saya, “Hadits
seperti ini tidak bisa diungkapkan dengan akal, maka hukumnya sama dengan hukum
marfu’.”
[14]. Majmuu’ al-Fataawaa
(III/198-199).
[15]. Shahiih Muslim, kitab
al-Iimaan, bab Dzahaabul Iimaan Akhiraz Zamaan (II/ 178, Syarh an-Nawawi).
[16]. Musnad Ahmad
(XI/181-182, Syarh Ahmad Syakir), dan beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
Dan al-Mustadrak al-Hakim
(IV/435), beliau berkata, “Ini adalah hadits shahih dengan syarat
asy-Syaikhani, jika al-Hasan mendengarnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr.” Dan
disepakati oleh adz-Dzhahabi.
[17]. An-Nihaayah/al-Fitan
wal Malaahim (I/186) tahqiq Dr. Thaha Zaini.