Tuesday, November 8, 2016

Fenomena Tahdzir, Cela-Mencela Sesama "Ustadz-Ustadz" Ahlussunnah. Apakah Perbuatan Tersebut Kelak Akan Menolongnya Diakherat Dan Berimplikasi Negatif Terhadap Zuhud Dan Wara’nya ? (Bagian I)


Fenomena Tahdzir Sesama Ahlus Sunnah dan Solusinya
      
Oleh: Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr
Muncul fenomena belakangan ini, sebagian Ahlus Sunnah sibuk mengomentari sebagian yang lain, saling mencaci dan saling men-tahdzir, hal demikian ini telah menimbulkan perpecahan dan perselisihan serta sikap saling hajr (menjauhi) di antara mereka. Seharusnya mereka saling berkasih sayang dan menyatukan barisan dalam menghadapi ahlul bida’ dan ahlul hawa’ yang mana mereka adalah sebenar-benar penentang golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Fenomena ini terjadi akibat dua perkara, yaitu:
Pertama: Sebagian Ahlus Sunnah pada zaman sekarang memiliki kebiasaan menyibukkan diri mencari-cari kesalahan orang lain, baik melalui karangan-karangan atau kaset-kaset. Kemudian, mereka men-tahdzir siapa saja yang didapatinya melakukan sebuah kesalahan. Bahkan, di antara perkara yang dianggap kesalahan, sehingga karenanya orang tersebut dapat ditahdzir adalah bekerja sama dengan salah satu yayasan atau badan sosial agama (Jam’iyyat Khoyriyah) seperti memberikan ceramah atau turut serta dalam seminar yang dikoordinir oleh badan sosial tersebut.
Padahal Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahumallah pernah memberikan muhadhoroh untuk yayasan tersebut melalui saluran telepon. Apakah seseorang dapat dan layak dicela karena ia melakukan satu hal yang sudah difatwakan ‘mubah’ atau ‘boleh’ oleh dua orang ulama besar? Dan lebih baik seseorang menyalahkan pendapatnya terlebih dulu daripada menyalahkan pendapat orang lain, terlebih jika pendapat itu telah mendapat fatwa dari oleh para ulama besar. Oleh karena itu, sebagian Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata seusai perjanjian Hudaibiyah, “Wahai sekalian manusia! Hendaklah kalian mengkoreksi pendapat ro’yu (akal) bila bertentangan dengan perintah agama.”
Bahkan di antara orang-orang yang dicela tersebut memiliki manfaat yang cukup besar, baik dalam hal memberikan pelajaran, atau melalui karya-karya tulis, atau khutbah. Ia ditahdzir hanya karena tidak pernah memberikan komentar tentang si Fulan atau Jama’ah tertentu, misalnya. Bahkan celaan dan tahdzir tersebut merembet hingga ke bagian yang lainnya di negara-negara Arab dari orang-orang yang manfaatnya menyebar luas dan perjuangannya cukup besar dalam menegakkan dan menebarkan Sunnah serta berdakwah kepadanya. Tidak diragukan lagi bahwa tahdzir seperti ini merupakan tindakan menutup jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang ingin mencari faedah dari mereka dalam mempelajari ilmu dan akhlak mulia.

Kedua: Sebagian Ahlus Sunnah apabila melihat salah seorang Ahlus Sunnah melakukan kesalahan, spontan dia menulis sebuah bantahan terhadapnya, kemudian orang yang dibantah pun membalas dengan menulis bantahan pula. Kemudian masing-masing dari keduanya saling sibuk membaca tulisan yang lainnya atau ceramah serta memperdengarkan kaset-kasetnya yang sudah lama untuk mengumpulkan berbagai kesalahan dan aibnya. Boleh jadi sebagiannya merupakan kekhilafan bicara, ia melakukan hal tersebut sendiri atau dibantu oleh orang lain. Kemudian masing-masing pihak berusaha mencari pendukung untuk membelanya sekaligus untuk meremehkan pihak lain. Kemudian pendukung dari kedua belah pihak berusaha memberikan dukungan bagi pendapat orang yang didukungnya dan mencela pendapat lawan. Dan memaksa setiap orang yang mereka temui untuk memberikan sikap terhadap orang yang tidak didukungnya. Jika tidak, maka ia akan divonis bid’ah sebagai konsekuensi vonis bid’ah terhadap pihak lawan.
Kemudian hal yang demikian dilanjutkan dengan perintah untuk meng-hajr¬nya. Tindakan para pendukung dari kedua belah pihak termasuk penyebab utama muncul dan menyebarnya fitnah dalam skala yang lebih luas. Dan keadaan semakin bertambah parah lagi apabila setiap pendukung kedua belah pihak menyebarkan celaannya melalui media internet. Kemudian generasi muda Ahlus Sunnah di berbagai negara bahkan di berbagai benua menjadi sibuk mengikuti perkembangan yang tersebar di website masing-masing pihak tentang ‘kata si fulan’ dan ‘kata si fulan’ yang tidak membuahkan kebaikan sama sekali, tetapi hanya membawa dampak kerusakan dan perpecahan. Hal ini telah membuat pendukung kedua belah pihak yang berseteru seperti orang yang terpaku di depan kaca iklan untuk mengetahui berita apa yang tengah tersebar. Tak ubahnya seperti orang yang terfitnah dengan fanatisme klub-klub olah raga yang masing-masing supporter memberikan dukungan untuk klubnya. Sehingga hal yang demikian menimbulkan persaingan, keberingasan dan pertengkaran di antara mereka.

Bagaimana Solusinya..?
Jalan selamat dari fitnah ini adalah dengan mengikuti beberapa langkah berikut ini:
Pertama: Tentang hal yang berhubungan dengan caci maki dan tahdzir, perlu diperhatikan hal-hal berikut.
Orang yang menyibukkan diri dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu serta men-tahdzir mereka, hendaklah takut kepada Allah. Lebih baik ia menyibukkan diri memeriksa aib-aibnya sendiri supaya ia dapat memperbaiki diri, daripada ia sibuk membicarakan aib orang lain. Dan lebih baik ia menjaga konsistensi amal, jangan sampai ia membuangnya secara sia-sia dan membagi-bagikan pahalanya kepada orang yang dicela dan dicacinya. Sementara ia sangat butuh terhadap amal kebaikan tersebut daripada orang lain, pada hari yang tiada bermanfaat harta dan anak keturunan kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang suci.
Hendaklah ia menyibukkan diri dengan mencari ilmu yang bermanfaat daripada ia sibuk mencela dan men-tahdzir orang lain. Lebih baik ia giat dan bersungguh-sungguh mencari ilmu agar ia mendapat faedah dan memberikan faedah, mendapat manfaat dan bermanfaat. Salah satu pintu kebaikan bagi seorang manusia adalah ia sibuk menuntut ilmu, belajar, mengajar, berdakwah dan menulis. Apabila ia mampu melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan yang membangun, dan tidak menyibukkan diri dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah. Serta menutup jalan yang dapat menyebabkan dirinya mengambil berita dari mereka, sehingga ia menjadi seperti orang yang hancur. Orang yang sibuk mencela seperti ini, tentu dia tidak akan meninggalkan ilmu yang dapat memberi manfaat kepada orang lain. Manusia tidak akan merasa kehilangan atas kepergiannya sebagai seorang ulama yang dapat memberi manfaat. Justru dengan kepergiannya, mereka merasa selamat dari kejahatannya.
Para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah dimanapun mereka berada hendaklah menyibukkan diri menuntut ilmu, membaca kitab-kitab yang bermanfaat dan mendengarkan kaset-kaset pengajian para ulama Ahlus Sunnah seperti Syaikh bin Baaz dan Syaikh ‘Utsaimin rahimahumallah, daripada menyibukkan diri mereka dengan menelepon si Fulan dan si Fulan untuk bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang si Fulan atau si Fulan?’ dan ‘Apa pula pandanganmu terhadap perkataan si Fulan atau si Fulan?’ dan ‘Perkataan si Fulan terhadap si Fulan?’
Ketika seorang penuntut ilmu bertanya tentang keadaan orang-orang yang aktif menyebarkan ilmu, hendaklah pertanyaan tersebut diajukan kepada Lajnah Daimah lil Ifta’ (Tim Komisi Pemberi Fatwa) di Riyadh untuk bertanya tentang keadaan mereka tersebut. Apakah mereka berhak dimintai fatwanya dan bolehkah menuntut ilmu darinya atau tidak? Dan barang siapa yang betul-betul tahu tentang keadaan orang tersebut hendaklah ia menulis surat kepada Lajnah Daimah lil Ifta’ tentang apa yang diketahuinya tentang orang tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam masalah tersebut. Supaya hukum yang diputuskan berupa celaan atau tahdzir dikeluarkan oleh lembaga yang bisa dipercaya fatwanya, dalam hal ini menerangkan siapa yang boleh diambil ilmunya dan siapa yang bisa diambil fatwanya. Tidak diragukan lagi bahwa seharusnya lembaga resmilah sebagai tempat rujukan berbagai persoalan yang membutuhkan fatwa untuk mengetahui siapa saja yang boleh dimintai fatwanya dan diambil ilmunya. Dan janganlah seseorang menjadikan dirinya sebagai rujukan dalam persoalan penting seperti ini. Sesungguhnya di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang bukan urusannya.

Kedua: Masalah yang berhubungan dengan bantahan terhadap siapa yang keliru, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini.
Bantahan tersebut hendaknya disampaikan dengan halus dan lemah lembut, disertai harapan yang tulus untuk menyelamatkan orang yang keliru tersebut dari kesalahannya. Ketika kesalahan tersebut sudah jelas dan nyata. Dan seharusnya merujuk kepada bantahan-bantahan yang ditulis oleh Syaikh bin Baaz rahimahullah untuk mengambil faedah darinya tentang sebuah metode yang patut diperhatikan dalam menulis sebuah bantahan.
Apabila bantahan tersebut ditujukan kepada sebuah kesalahan yang masih belum jelas, dan termasuk jenis persoalan yang bantahan terhadapnya mengandung sisi benar dan sisi salah, maka untuk memutuskan persoalan tersebut perlu merujuk kepada Lajnah Daimah lil Ifta’. Adapun bila kesalahan tersebut sudah jelas, maka bagi pihak yang dibantah seharusnya merujuk kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada bertahan di atas kebathilan.
Apabila seseorang telah memberikan bantahan terhadap orang lain maka sesungguhnya ia telah melaksanakan kewajibannya. Selanjutnya ia tidak perlu mengikuti gerak-gerik orang yang dibantahnya. Tetapi hendaklah dia menyibukkan diri dengan menuntut ilmu yang akan membawa manfaat yang sangat besar bagi dirinya dan bagi orang lain, beginilah sikap Syaikh bin Baaz rahimahullah.
Seorang penuntut ilmu tidak boleh menguji saudaranya, dengan memaksanya untuk memilih sikap tegas terhadap orang yang dibantahnya atau orang yang membantahnya. Jika setuju ia selamat, dan jika tidak ia divonis bid’ah dan dihajr. Tidak seorangpun berhak menisbatkan kepada manhaj Ahlus Sunnah secara ceroboh seperti ini dalam menjatuhkan vonis bid’ah dan hajr. Begitu juga tidak seorangpun yang berhak menuduh orang yang tidak menempuh cara yang ceroboh seperti ini sebagai perusak manhaj Salaf. Hajr yang bermanfaat dikalangan Ahlus Sunnah adalah hajr yang dapat memberikan manfaat bagi yang dihajr (dikucilkan), seperti orang tua menghajr anaknya dan seorang guru terhadap muridnya. Dan begitupula hajr yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehormatan dan kedudukan yang tinggi. Pengucilan yang mereka lakukan memberi faedah bagi orang yang dikucilkan.
Adapun bila hal itu dilakukan oleh sebagian penuntut ilmu terhadap sebagian lainnya, apalagi bila penyebabnya adalah masalah yang tidak sepatutnya menjadi alasan dilakukan pengucilan, maka hal seperti ini tidak akan membawa faedah bagi yang dikucilkan sedikitpun, bahkan hal tersebut akan berakibat pada pertengkaran dan perpecahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitabnya Majmuu Fatawa’ (III/413-414) ketika beliau berbicara tentang Yazid bin Mu’awiyah, “Pendapat yang benar adalah apa yang menjadi pegangan para ulama bahwa sesungguhnya Yazid tersebut tidak secara khusus dicintai dan dicela. Bersamaan dengan itu, sekalipun dia seorang yang fasiq atau seorang yang zhalim, maka Allah mengampuni dosa seorang yang fasiq dan dosa seorang yang zhalim, apalagi bila dia memiliki kebaikan-kebaikan yang cukup besar. Sesungguhnya Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أول جيش يغزو القسطنطينية مغفورله
“Pasukan yang pertama kali memerangi al-Qasthanthiniyyah akan memperoleh ampunan.”
Pasukan yang pertama kali memerangi al-Qathanthiniyyah dikomandoi oleh Yazid bin Mu’awiyah dan turut serta bersama pasukan tersebut adalah Abu Ayub al-Anshari. Maka yang wajib dalam hal ini adalah bersikap netral, dan tidak mengomentari Yazid serta tidak menguji kaum muslimin dengannya (yakni meminta pendapat tentangnya). Karena hal itu termasuk bid’ah yang menyalahi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Ia (Syaikhul Islam) berkata lagi (III/415), “Dan demikian juga memecah belah antara umat dan menguji mereka dengan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Dan ia berkata lagi (XX/164), “Tidak seorang pun yang berhak mengangkat seorang figur untuk umat ini yang diseru dan diikuti jalannya, yang menjadi tolak ukur dalam menentukan wala’ (loyalitas) dan baro’ (permusuhan), kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga tidak seorang pun yang berhak menentukan suatu perkataan yang menjadi tolak ukur dalam loyalitas dan permusuhan, kecuali perkataan Allah dan Rasul-Nya serta apa yang menjadi kesepakatan umat. Perbuatan seperti itu adalah kebiasaan mubtadi’ (ahli bid’ah), mereka mengangkat seorang figur atau suatu pendapat tertentu, melalui itu mereka memecah belah umat. Mereka menjadikan pendapat tersebut atau figur tersebut sebagai tolak ukur dalam loyalitas dan permusuhan.”
Ia berkata lagi, (XXVIII/15-16), “Apabila seorang guru atau ustadz memerintahkan hajr terhadap seseorang atau menjatuhkan (wibawanya) dan menjauhinya atau yang semisalnya, maka si murid harus mempertimbangkannya terlebih dahulu. Jika orang tersebut melakukan suatu dosa yang secara syar’i berhak dihukum, maka hukumlah dia sesuai kadar dosanya, tanpa berlebihan. Dan jika dia tidak melakukan dosa yang secara syar’i berhak untuk tidak dijatuhi hukuman, maka ia tidak boleh dihukumi dengan hukuman apapun, hanya karena keinginan seorang guru atau lainnya.
Tidak selayaknya bagi para guru mengelompokkan manusia dan menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara mereka. Tetapi hendaklah mereka saling bersaudara, saling tolong menolong dalam melakukan kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana firman Allah,
وتعاونوا على البر والتقوى, ولا نعاونوا على الإثم والعدون
“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maa’idah: 2)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (I/288) mengenai syarah hadits:
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنه.
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untuknya.” (Riwayat Tirmidzi no. 2317, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Imam Ibnu Majah no. 3211)
Hadits ini mengandung pokok yang amat penting dari pokok-pokok adab. Imam Abu ‘Amru bin ash-Sholah telah menceritakan dari Abi Muhammad bin Abi Zaid (salah seorang Imam madzhab Malikiyyah pada zamannya) bahwa ia berkata, “Kumpulan berbagai adab dan himpunannya bercabang dari empat hadits, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فليقل خبرا أوليصمت.
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau (lebih baik) diam.” (Riwayat Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 74)
Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنه.
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untuknya.”
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wasiat yang singkat,
لا تغضب.
“Jangan marah.” (Riwayat Bukhari no. 6116)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
المؤمن يحب لأخيه ما يحب لنفسه.
“Seorang mukmin mencintai untuk saudaranya apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri.” (Riwayat Bukhari no. 13; Muslim no. 45; an-Nasa’i VIII/115; Tirmidzi no. 2515; ad-Darimi II/307; Ibnu Majah no. 66; dan Ahmad III/176,206,251,272,278)

Aku (penulis) berkata, Alangkah sangat butuhnya para penuntut ilmu beradab dengan adab-adab ini yang membawa kebaikan dan faedah bagi meerka dan orang lain. Serta menjauhi sikap kasar dan kata-kata kasar yang tidak akan membuahkan apapun kecuali permusuhan, perpecahan, saling benci dan mencerai beraikan persatuan dikalangan kaum muslimin.
Kewajiban setiap penuntut ilmu yang mau menasihati dirinya, hendaklah ia meninggalkan kesibukan mengikuti apa yang disebarkan melalui jaringan internet tentang apa yang dibicarakan oleh masing-masing pihak yang bertikai.
(Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr dalam Rifqaan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah)

Baca juga dengan isi yang hampir mirip :
Fenomena Tahdzir, Cela-Mencela Sesama Ahlussunnah Dan Solusinya
[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir & Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

Nasehat dalam menghadapi ikhtilaf di antara ikhwah salafiyyin

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzohullah
Syaikh Dr.Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]

[I]. Nasehat Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr, [Ulama besar dan Muhaddits Madinah Nabawiyah]

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad ditanya : Apakah batasan-batasan atau kriteria dalam suatu ikhtilaf (perbedaan pendapat) sehingga dikatakan bahwa ikhtilaf itu tidak menyebabkan pelakunya keluar dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jamaah

Jawaban.
Ikhtilaf yang tidak mengeluarkan pelakunya dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah ikhtilaf dalam masalah-masalah furu, masalah-masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu inilah yang masih bisa ditoleransi atau diperbolehkan. Akan tetapi ikhtilaf yang ada diantara Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak boleh disertai dengan adanya rasa saling bermusuhan (saling menjauhi) diantara mereka, bahkan mereka harus tetap menjaga rasa saling mencintai dan menyayangi.

Hal ini sebagaimana terjadi di kalangan shahabat radhiallaahuanhum, dimana mereka berselisih dalam beberapa masalah tapi bersamaan dengan itu, mereka radhiallaahu anhum tidak saling bermusuhan satu sama lain dengan sebab ikhtilaf tersebut. Setiap shahabat berpegang dengan ijtihadnya (pendapat) masing-masing. Mereka radhiallaahu anhum mengetahui bahwa orang yang benar dalam ijtihadnya akan mendapat dua pahala sedangkan orang yang salah dalam berijtihad hanya mendapat satu pahala. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang artinya:

Apabila seorang hakim berijtihad dan dia benar dalam ijtihadnya maka baginya dua pahala, dan jika dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka baginya satu pahala

[II]. Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah

[1]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh, bagaimanakah sikap kita terhadap perselisihan yang terjadi antara ikhwah salafiyyin -khususnya- perselisihan yang terjadi di Indonesia?

Jawaban.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam serta keberkahan semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang yang mengikuti petunjuk dan sunnahnya sampai hari kiaman, amma badu:

Sesungguhnya Kewajiban Seorang Muslim Adalah :

[a]. Mengetahui al-haq dan membelanya, inilah sikap yang benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiyah (keilmuan) ataupun masalah amaliyah (pengamalan) yang dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnya

Kewajiban seorang muslim -khususnya penuntut ilmu-, yang pertama adalah mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya, maka apabila terjadi perselisihan dalam suatu masalah, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu syari yang bermanfaat untuk mengetahui yang haq dalam masalah itu. Andaikata perselisihan itu dalam masalah-masalah ilmiyah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan gamblang dalam masalah ini.

[b]. Apabila perselisihan itu terjadi diantara ahlus sunnah, maka wajib baginya untuk bersabar terhadap ikhwan yang lain, serta tidak melakukan tindakan yang memecah belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, tapi jika perselisihan itu terjadi antara Ahlus Sunnah, dimana tentunya setiap mereka menginginkan yang haq, maka wajib bagi dia untuk bersabar dalam menghadapi ikhwan yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah, wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban yang pertama adalah mengetahui di pihak manakah al-haq itu berada?

[c]. Kemudian dia menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan kalimat diatas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah antara ikhwah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana firman Allah:

“Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat maruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia [An-Nisaa:114]

Maka kewajiban seorang muslim adalah untuk menjadi terwujudnya sebab perdamaian dan kunci kebaikan

[d]. Tidak melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan menukil/menyebarkan perkataan, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut (meneliti) perkataan dan perbuatannya.

[e]. Bersikap wasath (netral) antara ahli ghuluw (berlebih-lebihan) yang menghitung (membesar-besarkan) setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak, bahkan mungkin menganggapnya sebagai ahlul bidah atau mengkafirkannya, dan dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/meremehkan), yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan ikhwah serta mendekatkan sudut pandang mereka diatas al-haq, tapi bukan berarti ini adalah mudahanah, tapi maksudnya adalah untuk mendekatkan sudut pandang antara ikhwah di atas al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk bersabar dan menahan diri. Inilah manhaj Ahlus Sunnah dan sikap mereka terhadap ikhwah

[f]. Jika dia menjauhkan diri dari perselisihan yang terjadi karena dia memandang dalam perselisihan itu terdapat fitnah dan kejelekan, maka sikap ini lebih baik, dan usaha dia adalah hanya untuk mendamaikan, bukan malah menjadi pemicu perselisihan, tapi justru menjauhi perselisihan

[g]. Jika dia melihat yang al-haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah di berlaku adil dalam menghukumi pihak yang lain, karena inilah sikap seorang muslim. Adapun perselisihan yang terjadi di Indonesia -sepengetahuan saya- adalah perselisihan antara ikhwah dalam masalah-masalah -yang kita anggap insya Allah- setiap pihak yang berselisih menginginkan yang haq, khususnya mereka itu termasuk Ahlus Sunnah, tapi tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk mendapatkannya, sebagaimana tidak setiap kesalahan itu disengaja. Terkadang seseorang berbuat kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali karena kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan, maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.

Tidaklah pantas sikap kita terhadap sesama Ahlus Sunnah itu seperti sikap kita terhadap Ahlul Bidah yang menyeleweng dalam masalah aqidah dan yang lainnya, karena Ahlus Sunnah mempunyai satu jalan dan satu manhaj, tapi terkadang berbeda sudut-pandang mereka, maka hendaklah bersabar dan menahan diri serta berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah. Kemudian seorang thalibul ilmi mengusahakan dirinya agar tidak menjadi sebab bertambahnya perselisihan, bahkan seharusnya dia menjadi sebab terjadinya penyatuan kalimat diatas al-haq. Jika dia bersikap seperti itu, maka dia akan tetap berada diatas kebaikan. Kita memohon kepada Allah agar memberikan taufiq pada semua ….

[2]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : “Fadilatus Syaikh,…kami berharap agar Anda menjelaskan dhowabith (batasan-batasan) perselisihan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, maksudnya adalah: perselisihan yang tidak mengeluarkan orang yang berselisih tersebut dari lingkup ahlus sunnah..?

Jawaban:
“Perkara yang diperbolehkan perselisihan didalamnya adalah: Permasalahan yang diperselisihkan oleh ahlus sunnah. Ada beberapa masalah yang diperselisihkan oleh sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah di dalam masalah-masalah yang ma’lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan salafus shalih dalam masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah “apakah ahlul mahsyar (pada hari kiamat) melihat Rabb atau tidak?”, apakah yang melihat Rabb itu kaum muminin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli mahsyar semuanya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah perselisihan antara ahlus sunnah yang tidak mengakibatkan orang yang berselisih dihukumi sebagai ahlul bid’ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh salaf, seperti perselisihan mereka tentang “hukum orang yang meninggalkan shalat”, juga perselisihan mereka tentang “kafir tidaknya orang yang meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya” dan perselisihan mereka tentang “orang yang meyakini rukun Islam kemudian dia meninggalkan salah satunya karena malas”, semua permasalahan ini menjadi perselisihan dikalangan ulama ahlus sunnah, maka orang yang berpendapat dengan salah satu pendapat mereka tidaklah dihukumi sebagai ahlul bid’ah, walaupun kita yakin bahwa al-haq itu berada pada salah satu pendapat dari para ahli ijtihad, karena al-haq itu tidak mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan udzur (ma’af) pada ikhwah kita yang berpendapat dengan pendapat yang ada pendahulunya dari salaf, inilah batasan perselisihan yang diperbolehkan

Adapun sekarang, kebanyakan penuntut ilmu tidak mengetahui al-haq dalam banyak masalah, terkadang ada sebagian ahlus sunnah atau yang menisbatkan dirinya kepada sunnah berpendapat dengan sebagian pendapat ahlul bid’ah. Maka orang tersebut jika sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia termasuk ahlus sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia mengambil dalil dari nash-nash dan menghargai ucapan ulama salaf, mencintai ahlus sunnah dan ulamanya dan berusaha untuk mengetahui yang haq, kemudian dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka dia diberi udzur (dimaafkan) bagaimanapun kesalahan dia. Disini terkadang kita bisa mensifatinya dengan “kurang ilmu”, tapi tidak mengeluarkan dia dari ahlus sunnah, karena yang namanya kesempurnaan adalah kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba’ah. Mereka menginginkan yang haq tapi terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendapatnya sesuai dengan sebagian pendapat ahlul bid’ah atau yang lainnya, padahal bukanlah tujuan mereka adalah menyepakati ahlul bid’ah, hanya saja mereka menyangka bahwa itulah yang benar. Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yang punya kekurangan dalam ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai ahlul bid’ah, karena mereka menginginkan yang haq tapi salah dalam memahami nash.

Kaidah dalam masalah ini adalah bahwa setiap orang yang berijtihad berdasarkan pokok-pokok (tata cara) ijtihad ahlus sunnah dalam mengambil dalil, kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka kesalahannya tersebut dima’afkan -insya Allah, dan tidak boleh orang tersebut dinisbahkan kepada bidah, karena sebagaimana kalian ketahui bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yang menyepakati sebagian pendapat ahlul bidah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yang berpendapat sesuai dengan pendapat sebagian asyariyyah dalam beberapa penakwilan-penakwilan mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar, maka mereka ini bersesuaian dengan ahlul bidah di dalam perkataan-perkataan mereka, tapi mereka tidak dinisbatkan kepada bidah, karena mereka pada dasarnya diatas pokok-pokok aqidah ahlus sunnah.

Orang yang hidup zaman sekarang khususnya penuntut ilmu atau orang yang hidup di negara yang jauh dari ulama, terkadang terjerumus dalam kesalahan yang betul-betul fatal, yang mana kesalahan itu bukan dalam masalah yang diperselisihkan oleh ahlus sunnah, tapi jika mereka termasuk ahlus sunnah, maka kita berikan udzur (maaf) dalam kesalahannya. Bukan karena kesalahan mereka sepele atau ringan, tapi karena mereka berijtihad untuk mengetahui yang haq dan itulah hasil dari ijtihadnya. Tapi tentunya merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati agar kembali pada para ulama dan mengambil pendapatnya dalam rangka menghilangkan perselisihan.

[3]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh, mohon Anda jelaskan contoh dari hal-hal yang menyebabkan dan menambah perpecahan dan hal-hal yang menyebabkan ishlah (perdamaian)!

Jawaban.
Hal-Hal Yang Menambah Perpecahan Adalah :

[a].Taashub (fanatik) yang tercela, yaitu fanatik sebagian orang terhadap golongan tertentu karena mengikuti hawa nafsu, baik itu karena fanatik tercela yang disebabkan oleh kafanatikan terhadap ras atau golongan atau kepentingan dunia atau karena benci pada pihak yang menyelisihinya, inilah fanatik yang menambah perpecahan.

[b].Oleh karena itulah, maka wajib atas penuntut ilmu untuk mengikhlaskan amalannya semata-mata karena Allah dan tidak memandang manusia karena status dan kedudukannya yang akhirnya dia mengukur kebenaran dengan figur/tokoh tertentu, padahal justru kebenaran itulah yang menjadi ukuran untuk menilai kedudukan seseorang. Semestinya dia harus membela kebenaran dan orang yang berada diatasnya meskipun orang itu kecil atau rendah derajatnya, dan semestinya harus pula dia mencegah orang dzalim dari kedzolimannya walaupun mulia dan tinggi kedudukannya

[c].Menukil perkataan dan menyebarluaskannya. Menukil perkataan diantara manusia khususnya dalam perselisihan merupakan hal yang menambah perpecahan, kalian tentunya tahu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenci qilla wa qoola, banyak bertanya dan membuang-buang harta Qilla wa qoola adalah banyak menukil perkataan antar manusia: Kata Fulan begini, kata Fulan begitu, Fulan dikatakan begini, Fulan dikatakan begitu.. sehingga diapun menyibukkan waktu-waktunya dengan perkataan ini. Maka inilah diantara sebab yang paling besar yang menyebabkan kerasnya hati, menimlbulkan hasad, dengki, permusuhan antara ikhwah dan menambah perpecahan.

Maka kewajiban penuntut ilmu adalah menjaga lisannya, tidak memperbanyak menukil perkataan, tidak pula memperbanyak pembicaraan yang tidak ada manfaatnya, dan sikap dia ketika tersebar masalah ini diantara ikhwah adalah menjauhinya dan mengatakan: Tidak layak kita disibukkan dengan hal ini tapi sibukkan diri kita dengan menuntut ilmu dan hal-hal yang bermanfaat, kecuali jika (menukil perkataan itu) ada maslahatnya untuk mendamaikan antara ikhwah, maka hal itu diperbolehkan.

[d]. Jahil (bodoh), yaitu bahwa sebagian mereka yang berselisih terkadang disebabkan oleh kejahilan, jahil terhadap yang haq atau jahil terhadap ahli haq. Jahil terhadap al-haq yaitu: tidak tahu dipihak mana kebenaran itu berada. Contohnya jika ada 2 golongan berselisih dalam masalah ilmiyah, kemudian datang orang yang tidak mengetahui al-haq dalam masalah yang diperselisihkan ini, sehingga diapun membela yang bathil. Inilah yang dapat menambah perpecahan dan perselisihan. Atau bisa jadi karena jahil terhadap ahlul haq (orang-orang yang mengikuti al-haq). Maksudnya, bahwa seseorang yang berilmu tahu al-haq dan tahu dalil-dalilnya, tapi dia tidak tahu keadaan Fulan, dan ini kadang terjadi pada para penuntut ilmu disebabkan karena mereka tidak tidak tahu apa yang terjadi di Indonesia, maka jika ada salah seorang penuntut ilmu yang mengatakan: Kata Fulan begini kata Fulan begitu.. tentunya seorang yang berilmu itu berbicara sesuai dengan berita yang disampaikan pada dia.

Maka seharusnya bagi mereka yang menukil perselisihan antara manusia bersikap jujur dan terpercaya dalam menukil, tidak boleh dia menukil hal yang tidak pernah diperbuat oleh orangnya tidak juga hal yang tidak pernah dikatakan oleh orang tersebut, tidak boleh pula dia mengambil konsekwensi perkataannya, haruslah dia menukil perselisihan itu sesuai dengan kenyataannya. Dan jahil (tidak mengetahui) terhadap ahlul-haq ini tidaklah menjatuhkan derajat ulama, tidak pula merendahkan harkat mereka, karena mereka tidak tahu apa sebenarnya yang sekarang terjadi di Indonesia -misalnya-, kecuali dari nukilan (sebagian penuntut ilmu) negara ini. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di negara tertentu , tapi datang sebagian penduduknya dan menukil perkataan: Kata Fulan begini,kata Fulan begitu tentunya orang alim itu berbicara sesuai dengan apa yang dia dengar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam : Sesungguhnya saya hanya memutuskan sesuai dengan apa yang saya dengar

Seorang hakim dan mufti menghukumi sesuai dengan apa yang dia dengar, maka selayaknya jika kita menukil sebuah khilaf atau meminta fatwa, hendaknya kita menukil sesuai dengan kenyataan sehingga menghasilkan hukum yang benar, karena seorang alim bertugas untuk berijtihad dalam memutuskan suatu masalah ilmiyah tapi terkadang dia kurang tahu tentang keadaan manusia dan apa yang terjadi terhadap mereka, inilah sebagian dari sebab terjadinya perselisihan.

Adapun Sebab-Sebab Perdamaian Adalah :

[a]. Niat yang jujur dan benar untuk mendamaikan, Allah berfirman tentang dua orang penengah yang mendamaikan suami-istri yang berselisih: Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu (An-Nisaa: 35), kalau dalam masalah mendamaikan suami istri saja Allah menjanjikan taufiq untuk mereka berdua, apalagi orang yang berusaha untuk mendamaikan antara kaum muslimin, tidak diragukan lagi dia akan diberi taufik -insya Allah-, apabila terpenuhi padanya niat jujur (benar), karena kejujuran niat itu merupakan salah satu sebab hilangnya perselisihan, sehingga diapun menjadi kunci kebaikan yang Allah mudahkan dengannya terjadi perdamaian

[b]. Doa untuk kebaikan ikhwah, yaitu mendoakan saudara-saudara kita dengan mengikhlaskan niat dalam berdoa agar Allah mengangkat perselisihan, mendamaikan dan menyatukan hati mereka diatas kebaikan dan taqwa dan membimbing mereka dalam kebenaran

[c].Menasehati pihak yang salah, kita katakan pada dia: Anda bersalah, maka kembalilah kepada al-haq, tapi ini bagi orang yang mampu melakukannya, adapun orang yang tak mempunyai kemampuan untuk menasehatinya maka tak ada kewajiban baginya

[d]. Menasehati pihak yang benar, yaitu agar bersabar, kita katakan pada mereka: Bersabarlah dan tahan diri kamu terhadap teman-temanmu (yang bersalah) karena merekapun ahlus sunnah, dan perselisihan mereka dengan kamu bukan berarti pula mereka membencimu, bukan berarti mereka tidak menginginkan al-haq, tapi mereka salah. Para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun berselisih dalam banyak masalah, bahkan terjadi fitnah di zaman mereka, tapi setiap mereka mengatakan pada temannya: Kami tidak merasa lebih dari kalian dalam iman dan taqwa, Ali bin Abi Thalib radhiallaahu anhu adalah orang paling utama setelah kematian Utsman radhiallaahu anhu, beliau mengatakan: (Mereka) adalah saudara-saudara kita, kita tidak merasa melebihi mereka dalam iman dan taqwa padahal beliau adalah orang yang paling utama mudah-mudahan Allah meridhoinya-.

Demikian pula Muawiyah radhiallaahu anhu, beliaupun mengakui keutamaan Ali radhiallaahu anhu dan mengatakan: Kami tidak memerangi beliau dalam perkara ini (khilafah) dan mengakui keutamaan beliau, lihatlah !!! Bagaimana mereka berselisih dan menginginkan haq walaupun sudut pandang mereka berbeda dalam banyak masalah, tapi mereka tidak saling mencela satu sama lainnya, bahkan mereka mengakui bahwa saudaranya menginginkan al-haq dan berijtihad, inilah muamalah yang harus dilakukan terhadap saudara-saudara kita.
[Risalah ini disusun oleh. Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam Madinah) dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam Madinah]

Nasehat Dalam Menghadapi Ikhtilaf Di Antara Ikhwah Salafiyyin : Tata Cara Menasehati

Oleh
Syaikh Dr.Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]

[4]. Pertanyaan
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Mudah-mudahan Allah memberikan kebaikan pada Anda, sudilah kiranya Anda menjelaskan tentang tata-cara menasehati serta marotibnya (tingkatan) terhadap orang yang menyelisihi kita dalam suatu masalah..!?

Jawaban :
Kewajiban Terhadap Orang Yang Menyelisihi Kita Dalam Suatu Masalah:

[a]. Kita tidak boleh berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu, bukan dengan dzon (persangkaaan)

[b]. Tatsabut dan meneliti, karena bisa jadi dia yang benar dan kita yang salah, maka kita harus meneliti ucapan yang kita anggap salah ini.

[c]. Kembali kepada nash-nash (Al-Quran dan Sunnah) serta pemahaman salaf, dan jika ada problem pada kita, kembalilah kepada ulama.

[d]. Jika kita telah yakin bahwa dialah yang menyelisihi, maka wajib untuk menasehatinya dengan mengatakan: Yaa Akhi. Sesungguhnya Anda tidak menginginkan kecuali kebaikan, tapi Anda salah dalam masalah ini, dan yang benar adalah apa yang dikuatkan oleh nash-nash yang mengatakan begini

Adapun langkah-langkah dalam menasehati bukan hanya satu cara saja, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya , jika tak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya..

Jadi Kewajiban Kita Adalah :

[a]. Mengingkari kesalahan dalam hati. Setiap yang kita lihat bersalah harus kita ingkari dengan hati kita, serta tidak suka kesalahan tersebut ada pada kaum muslimin, ini adalah kewajiban setiap muslim

[b]. Setelah itu kita melihat, apakah kita ini termasuk orang yang mampu dalam mengingkari dengan lisan atau tidak..? karena manusia itu bukan hanya satu derajat, ada ulama-ulama besar yang diterima perkataanya oleh manusia, apabila para ulama itu berbicara merekapun mendengarnya sehingga hilanglah perselisihan, ada pula para penuntut ilmu pemula yang apabila mereka yang berbicara bisa jadi malah menimbulkan fitnah pada manusia, maka lihat keadaan kita. Saya (Syaikh Ibrahim) memandang, apabila terjadi perselisihan pada suatu masyarakat, hendaklah melihat pada ahli ilmu yang diterima perkataannya di masyarakat itu, kemudian diminta untuk menasehati (mengingkari), adakalanya kedudukan kita mengharuskan kita untuk tidak mengingkari secara langsung, tapi hendaknya kita datangi dulu seorang ahli ilmu yang diterima perkataanya, kita katakan pada dia: Fulan telah berbuat begini dan begitu, sebaiknya Anda menasehatinya dan menerangkan pada dia (al-haq), mudah-mudahan Allah memberi petunjuk pada dia. Inilah wujud pengingkaran dengan lisan karena mengingkari itu tidak harus secara langsung.

[c]. Kemudian tingkatan ketiga yaitu mengingkari dengan tangan (kekuatan). Tingkatan ini adalah hak orang yang punya kekuasaan, bukan cuma pemerintah, seorang pemimpin negara dapat mengingkari dengan kekuatannya, seorang ulama dapat mengingkari murid-muridnya, seorang ayah dapat mengingkari orang yang ada di rumahnya, demikianlah setiap orang yang mempunyai kekuasaan mengingkari dan mengubah sesuai dengan batas kekuasaannya, selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dengan pengingkaran itu.

Adapun jika kemungkaran itu bukan dalam batas kekuasaan kita, seperti kemungkaran yang ada pada suatu masyarakat, sedangkan kita tidak mempunyai kekuasaan, maka tidak boleh kita mengingkari dengan kekuatan karena hanya akan menimbulkan fitnah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya, maka apakah kemungkaran itu ada pada orang yang berada dibawah kekuasaan kita !? Kita tidak dibebani untuk meningkari semua orang, tapi kita melaporkannya pada mereka yang bertanggung jawab atau para ulama, atau hakim yang melaksanakan kewajiban ini, adapun kewajiban kita adalah mengingkari sesuai dengan batas kekuasaan kita, kamu di rumah dapat menginkari anak-anak dan istri, juga keluarga kamu, demikian pula saudara-saudara kamu jika mereka menerima dan tidak menimbulkan kemungkaran-. Ini adalah macam dari pengingkaran dengan tangan (kekuatan) tapi sesuai dengan kemaslahatan jika tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.

Kaidah dalam mengingkari adalah mengubah kemungkaran selama pengingkaran itu tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, jika menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, maka tidak boleh kita mengingkarinya, karena syariat bertujuan untuk mewujudkan kebaikan dan menghilangkan keburukan. Jika tidak mendatangkan kebaikan atau mencegah keburukan (kemungkaran), maka syariat mendahulukan maslahat yang lebih besar (untuk dilakukan) dan mafsadah yang lebih besar (untuk dijauhi)

[5]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh mudah-mudahan Allah memberikan kebaikan kepada Anda, seandainya kita pulang ke tanah air, kemudian ditanya tentang permasalahan ini, maka apakah jawaban yang benar dan tepat sehingga tidak menambah perpecahan ..?!

Jawaban:
Jawaban terhadap pertanyaan ini sudah disebutkan tadi, yaitu kalian berusaha untuk mewujudkan ishlah (perdamaian) berdasarkan al-haq dan memperdekat sudut pandang mereka serta tidak menambah perpecahan, wajib bagi kita untuk menasehati dan mendamaikan, jika tidak mampu maka setidaknya tidak menambah perpecahan, dan kita katakan pada masyarakat umum :

[*] Janganlah kalian disibukkan oleh hal ini, karena ini bukan urusan kalian, perselisihan ini adalah urusan para penuntut ilmu, tentunya mereka lebih tahu, adapun kalian jangan disibukkan dengan hal ini.
[*] Jagalah agama kalian, juga shalat dan ibadah kalian
[*] Ambillah faidah dari para penuntut ilmu
[*] Dan jangan kalian mengadu antara perkataan mereka satu sama lainnya. Adapun para penuntut ilmu kita katakan pada mereka: Kewajiban kita semua adalah berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah serta mempersatukan hati mereka diatas al-haq, kalau toh tidak mampu, paling tidak kita jauhi permusuhan dan tidak menambah perpecahan, entah kita menghindar dengan baik, atau berusaha mendamaikan.

[6]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh.. kitab apakah yang Anda nasehatkan untuk dibaca dalam masalah ini..?

Jawaban.
Kitab para ulama ahlus sunnah yang menerangkan manhaj yang haq dalam masalah ini, ada kitab-kitab yang besar dengan pembahasan yang luas, yang mungkin tidak mudah untuk difahami oleh setiap penuntut ilmu, yaitu kitab tentang pokok-pokok aqidah dan nukilan perkataan ulama salaf seperti kitab As-Sunnah karangan Abdullah bin Imam Ahmad, Syarah Ushul Itiqad Ahlus Sunnah karangan Imam Al-Laalikai, Kitab As-Sunnah karangan Imam Al-Khollal, kitab As-Sunnah karangan Imam Ibu Abi Ashim, kitab Al-Ibanah karangan Imam Ibnu Batthoh dan kitab-kitab yang lainnya. Ini adalah kitab-kitab yang menerangkan manhaj yang haq tapi mungkin sulit untuk dipahami oleh penuntut ilmu, sehingga perlu membaca kitab-kitab yang menerangkan manhaj ini, seperti kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim dan ulama setelahnya seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, demikian pula para ulama zaman sekarang yang telah menjelaskannya pada umat serta menjelaskan batasan-batasan yang benar dalam masalah ini yang dibutuhkan oleh umat sekarang ini

[7]. Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Semoga Allah menjaga Anda sering sekali kita mendengar tentang Sururiyah, harap Anda jelaskan hakikatnya ..! jazakumullahu khairan..

Jawaban:
Sururiyah termasuk istilah yang muncul akhir-akhir ini. Sebagian ulama telah berbicara tentang mereka, dan tentunya ini dikembalikan pada orang yang telah banyak meneliti pemikiran-pemikiran mereka secara rinci. Adapun globalnya, Sururiyah adalah: mereka yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surur Zainal Abidin, yang di dalam manhajnya ada penyelewengan dari manhaj ahlus sunnah dalam masalah dawah dan muamalah terhadap pemerintah, yang diambil dari manhaj-manhaj lain seperti manhaj Ikhwanul Muslimin juga lainnya.

Dan orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya sebagian mereka- terkadang berpemikiran sesuai dengan pemikirannya pada sebagian dasar-dasar manhaj mereka dengan sengaja atau tidak. Akan tetapi tidak benar untuk menisbatkan setiap orang yang menyeleweng dalam masalah ini kepada Sururiyah, karena barangkali seseorang itu aqidahnya sesuai dengan aqidah ahlus sunnah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan mereka, tapi dia telah menyimpang dan penyimpangan itu telah terbetik dalam pikiran mereka sebagaimana penyimpangan itu terbetik dalam pikiran sururiyyin, maka tidak boleh kita memecah belah manusia.

Adapun orang yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surrur serta ridho dengan pemikirannya dan berguru padanya, maka ini lain lagi urusannya, karena ada sebagian orang yang terkadang sesuai dengan sebagian pendapat mereka. Maka kita tidak boleh memecah belah, sebab jika kita golong-golongkan manusia dan menisbatkan mereka, sangat susah mereka itu untuk kembali kepada al-haq setelah itu, lain halnya jika kita katakan: Anda mempunyai kesalahan dalam hal ini, kembalilah pada al-haq..! maka mudah baginya untuk kembali.

Kemudian, pengetahuan tantang jamaah-jamaah yang ada pada zaman sekarang dan pendalaman pemikiran-pemikiran mereka, mungkin sulit bagi seorang penuntut ilmu dan tidak wajib bagi dia, tapi wajib untuk mengetahui keburukan itu secara global, sebagaimana kata Hudzaifah radhiallaahuanhu: Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kebaikan dan saya bertanya kepadanya tentang keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya, dalam hal ini dengan mengetahui penyimpangan mereka secara global. Adapun menyibukkan diri dengan perkataan-perkataan mereka, apa yang dikatakan Fulan, apa yang ditulis Fulan tentang mereka dan apa bantahannya serta menghabiskan umur dengan hal ini akan memalingkan kita dari menuntut ilmu, padahal umur itu pendek

Maka kewajiban kita adalah untuk mengetahui pokok-pokok aqidah ahlus sunnah, dasar-dasar ilmu dan mengetahui masalah-masalah syari yang dengannya kita dapat membedakan ahlul haq dan ahlul batil. Jika kita telah menguasainya maka tak akan terpengaruh dengan perkataan Fulan, apakah kita mengetahui perkataaannya atau tidak, karena kita mempunyai landasan yang kuat. Misalnya, kita telah tahu aqidah ahlus sunnah dalam masalah takfir (pengkafiran), terkadang kita tidak butuh untuk mengetahui hukum seseorang karena kita mempunyai kaidah benar yang dengannya kita dapat menghukumi setelah itu, jika kita telah tahu manhaj ahlus sunnah dalam masalah hajr (pengucilan), kita tidak butuh lagi untuk bertanya apakah si Fulan pantas untuk dihajr (dikucilkan) atau tidak, karena jika telah mengetahui kaidahnya, kita dapat menerapkannya pada orang lain. Oleh karena itu, manusia butuh pada ilmu syari dan dasar-dasar ilmu. Adapun memperdalam tentang keadaan manusia, menukil perselisihan dan perkataan mereka, mungkin sulit dan melalaikan kita dari menuntut ilmu. Pendapat manusia dan apa yang ada mereka ada-adakan berupa bid’ah dan perselisihan tak akan ada habisnya, maka kita sibukkan diri dengan ilmu dan tashil, kemudian setelah itu kita punya kaidah yang benar dalam bermuamalah dengan yang menyimpang.

[8]. Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh Semoga Allah memberikan kebaikan pada Anda. Apakah penyimpangan sebagian orang dalam manhaj dawah, mengeluarkan mereka dari lingkup Ahlus sunnah wal jamaah ..? jazaakumullahu kahoiron..

Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa ahlus sunnah mempunyai manhaj yang jelas dalam dakwah dan pokok-pokok dawah, manhaj yang jelas dan tetap. Maka siapa saja yang menyalahi ahlus sunnah dalam manhaj ini, atau sebagian pokok-pokok yang umum, tidak diragukan lagi bahwa dia telah menyelisihi ahlus sunnah, tapi apakah setiap penyimpangan mengeluarkan orang dari aqidah ahlus sunnah? telah disebutkan tadi (lihat jawaban Syaikh pada soal no.2 peny)

Terkadang kesalahan itu jelas bahwa itu bukan pendapat ahlus sunnah, tapi kita tidak bisa menghukumi dia keluar dari aqidah ahlus sunnah, karena kita harus bedakan antara ucapan dan orang yang mengucapkannya sebagaimana yang kalian ketahui. Adapun ucapan, kita bisa hukumi bahwa itu bukan pendapat ahlus sunnah, seperti orang yang mencela pemerintah serta menyebarkan aib-aib pemerintah, menghasut manusia untuk memberontak atau bahkan mengkafirkan pemerintah walaupun kenyataan tidak kafir.

Pemimpin-pemimpin umat Islam pada umumnya alhamdulillah menonjolkan hukum Islam, maka tidak boleh kita menghukumi mereka (para pemimpin) dengan kekufuran, walaupun kita dapati mereka berbuat maksiat. Adapun pemimpim yang jelas-jelas membela agama dan mendakwahkannya, sebagaimana di negara Saudi ini, juga di negara lainnya, maka tidaklah mencela mereka kecuali ahlul bidah, tidak ada yang memalingkan manusia dari mereka kecuali pengikut hawa nafsu, karena tak ada seorangpun yang mashum, baik itu pemerintah atau ulama atau para penuntut ilmu.

Barangsiapa yang menyalahi pokok-pokok manhaj ahlus sunnah dalam dawah, kita sifati perkataan mereka bahwa itu bukan pendapat dan manhaj ahlus sunnah. Kita harus melihat keadaan orang yang menyimpang itu, apabila sunnah lebih dominan pada dirinya dan dia berusaha keras untuk mewujudkannya, kita katakan pada dia: Anda salah, kemudian kita bersabar dan menasehatinya.

Adapun jika dia menyalahi seluruh aqidah dan manhaj ahlus sunnah, tidak mau peduli dengannya tapi justru cenderung dekat dengan ahlul bidah, bahkan berusaha keras untuk memalingkan manusia dari aqidah ahlus sunnah kepada manhaj lain yang menyimpang, seperti manhaj Khawarij dan manhaj bid’ah lainnya, maka tidak ragu lagi bahwa itu adalah penyimpangan dari sunnah, bahkan penyimpangan dari pokok-pokok manhaj ahlus sunnah. Karena manhaj dalam dakwah bercabang-bercabang dan itu melihat kepada mashlahat dan mafsadah, jadi tidak ragu lagi orang yang menyalahinya telah meruntuhkan sebagian pokok-pokok aqidah ahlus sunnah, seperti berpegang teguh dengan jamaah kaum muslimin, bersabar terhadap penguasa walaupun mereka berbuat dzolim dan lemah lembut dalam berdakwah. Tapi seseorang yang banyak kebaikannya kemudian dia salah dalam beberapa masalah, kita harus sabar terhadap dia dan menasehatinya. Beda dengan orang yang berada pada garis ahlul bid’ah yang menyimpang dari manhaj ahlus sunnah dan bersikeras atas kesalahannya, maka jelas dia bukan ahlus sunnah.

[9]. Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Semoga Allah memberikan kebaikan pada Anda. Dengan apakah hujjah itu bias ditegakkan?

Jawaban:
Hujjah itu tegak apabila seorang yang bersalah mengetahui kesalahan dalam suatu masalah dan tahu sebesar apa kesalahannya. Artinya dia tahu bahwa dia salah dan tahu sebesar apa kesalahan itu dengan dalil-dalilnya. Jika orang tersebut mengetahui kesalahannya maka telah tegak pada dia hujjah, contohnya adalah orang yang meninggalkan shalat, jika orang yang meninggalkan shalat ini belum tahu hukumnya, maka belum tegak hujjah itu pada dia. Lantas jika kita terangkan pada dia dalil-dalil dan hukumnya, maka hujjah telah tegak pada dia.

Tapi terkadang orang tersebut hanya memahami sebagian hujjah, seperti dia tahu bahwa meninggalkan shalat itu haram hukumnya dan tahu bahwa itu maksiat, tapi dia tidak tahu kadar maksiat itu sehingga tidak mengira bahwa meninggalkan shalat karena meremehkan itu menjadikan pelakunya kafir misalnya-, maka orang semacam ini harus diberitahu bahwa dia itu salah, yaitu bahwa meninggalkan shalat itu kekufuran, dan dijelaskan kepadanya kadar kesalahan itu, inilah proses-proses yang harus dilalui. Dan hal ini tidak diketahui kecuali dengan dalil-dalil, yaitu bahwa orang yang bersalah memahami nash dan dalil yang menunjukkan kesalahan dia, maka jika dia telah faham, telah tegaklah hujjah pada dia, adapun jika dia mempunyai syubhat (kesamaran) atau ada penghalang tegaknya hujjah pada dia, maka tidak bias kita katakan bahwa hujjah telah ditegakkan pada dia.

Penilaian tentang tegak atau tidaknya hujjah atas seseorang itu dikembalikan kepada ulama besar, dengan merekalah hujjah bisa tegak. Maka jika ulama tadi mendebat orang yang menyimpang dan menjelaskan pada dia kebenaran, pada waktu itulah kita memperkirakan apakah dia faham atau tidak. Tidak disyaratkan orang yang menyimpang itu mengakui bahwa hujjah telah tegak pada dia, tapi kapan saja kita tahu bahwa fulan telah tahu kebenaran dan jelas pada dia dalilnya, maka bisa kita katakan bahwa hujjah telah tegak pada dia. Hujjah tidak bisa ditegakkan oleh setiap orang, tapi ulamalah yang menegakkan hujjah, hujjah tidak bisa tegak dengan perkataan seseorang: Ketahuliah bahwa meninggalkan shalat adalah kufur, jika kamu terus tidak mau shalat, maka kamu kafir. Hujjah bisa tegak dengan menerangkan pada dia dalil-dalil dan menjawab syubhat-syubhat dia serta menghilangkan syubhat tersebut dan menghapuskan ketidaktahuan serta kejahilan yang ada pada dia sampai kita yakin bahwa orang yang menyimpang itu telah faham tapi terus melakukan kesalahannya karena menolak kebenaran dan sombong, pada waktu itulah kita dapat menghukuminya.

Sebagian orang ada yang hujjah itu tidak bisa tegak dengannya, seperti orang jahil atau orang yang tidak bisa menegakkan hujjah dengan baik, misalnya; tidak bisa menjelaskan dalil dengan baik atau tidak berlemah lembut dalam dakwahnya, karena orang yang keras dalam dakwahnya tidak bias tegak hujjah dengannya, Allah berfirman kepada Nabi Musa dan Harun: Pergilah kalian berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut. (Thahaa: 43-44) Padahal Allah tahu bahwa Firaun akan mati dalam keadaan kafir, tapi Allah tetap memerintahkan untuk berkata dengan lemah lembut padanya, karena hujjah tak akan tegak kecuali dengan ar-rifqu dan al-liin (lemah lembut), adapun tanfir (cara yang membuat orang lari) tidak akan bisa hujjah itu tegak dengannya.

Kemudian hujjah itu tidak bisa tegak kecuali dengan kesabaran dan penjelasan terhadap orang yang bersalah.

Juga seorang alim yang menegakkan hujjah haruslah dipercayai keilmuannya oleh orang yang ditegakkan padanya hujjah, adapun jika penegak hujjah tidak dipercaya olehnya, maka terkadang tidak membuahkan hasil.

Tidak ada suatu masalahpun yang dapat kita katakan: Bahwa penegakkan hujjah tidak disyaratkan di dalamnya (dalam masalah itu). Apabila orang yang bersalah itu tidak tahu hukumnya, maka Allah akan memberikan udzur padanya, ketika dia datang kepada Rabbnya di hari kiamat dan mengatakan: Saya jahil tentang masalah ini, dan Allah tahu kejujuran perkataannya, maka Allah memberikan udzur kepadanya. Walaupun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ada hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh (yang tidak-bisa-tidak pasti diketahui oleh semua orang) tapi ini menurut perkiraan kita, karena pada dasarnya hal-hal yang seperti itu kebanyakan tidak dilanggar kecuali oleh orang yang sombong atau keras kepala, tapi pada hakikatnya kalau kita katakan bahwa ini adalah masalah darurat yang harus diketahui dalam agama tapi ternyata si Fulan jahil terhadap hal ini, maka tidak bisa kita hukumi dengan kekafiran, karena Allah memberikan udzur dengan kejahilannya itu, firman Allah taala: Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya (Al-Baqarah: 286)

Dan ketidakfahaman dia diluar kemampuannya, dan manusia tidak sama (tidak satu tingkatan) dalam hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh. Hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh ini bagi para ulama berbeda dengan hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh bagi para penuntut ilmu, dan hal-hal ini berbeda antara penuntut ilmu dan orang awwam, negara yang tersebar di dalamnya sunnah dan ilmu berbeda dengan negara yang jauh dari sunnah dan ilmu.

Kaidah dalam hal ini adalah bahwa bagaimanapun kesalahan itu harus kita minta penjelasan. Ketika Muadz radhiallaahuanhu datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian sujud padanya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apa ini yaa Muadz?, padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengutusnya untuk mengajarkan ilmu dan agama dan beliaupun seorang sahabat yang faqih, tapi ternyata hukum masalah ini tidak beliau ketahui, beliau melakukan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena takwil (karena beliau melihat ahli kitab bersujud pada rahib mereka, Beliaupun berpandangan bahwa kaum muslimin lebih berhak untuk bersujud kepada Nabinya) . Demikian pula Hatib radhiallaahuanhu, tersembunyi dari beliau masalah itu, padahal hukumnya jelas, sebagaimana dalam kisahnya (ketika Rasulullah menyiapkan pasukan besar untuk fathu Mekah, Hatib mengirimkan surat memberitahukan salah seorang kerabatnya yang ada di Mekah, melalui seorang wanita yang kemudian Allah beritahukan dengan wahyu-Nya, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memaafkan beliau (lihat Shahih Bukhari 3/1095 no. 2845, Shahih Muslim 4/1941 no.2394 –pent)

Kerena syubhat itu menghalangi seseorang dari al-haq, walaupun itu seorang ulama, maka harus kita minta penjelasan sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukannya, kita katakan: Apa yang membuat anda berbuat demikian.?? Jika ternyata alasannya bisa diterima ketika itulah kita terangkan pada dia ilmu dan menjawab syubhatnya dan tidak boleh kita menghukumi dia hanya karena kesalahan.

[10]. Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Apakah dhowabit (batasan-batasan tahdzir dan hajr..?

Jawaban:
Adapun tahdzir, kita lihat kesalahannya, tersebar atau tidak, jika kesalahan itu tersebar di masyarakat, wajib atas kita untuk menasehati orang yang bersalah tadi, kita katakan padanya: Anda salah, kesalahan Anda telah tersebar, maka kembalilah kepada yang haq !!. Kita terangkan pada dia yang haq, sehingga hilang kesalahan itu, karena rujuknya orang yang bersalah dari kesalahannya lebih baik daripada tahdziran kita terhadapnya.

Contohnya: kesalahan seorang pengajar di salah satu kelas, kita katakan pada dia : Syaikh ..mungkin Anda lupa atau keliru dan yang benar adalah begini, karena murid-murid akan membawa kesalahan itu dari Anda, tidak diragukan lagi jika guru tersebut merujuk kepada yang haq, maka dia akan bersumpah mengakui kesalahannya. Maka hal ini akan menghilangkan kesalahan dan lebih mengena dalam menasehati. Beda jika kita katakan: Pengajar itu salah dan mengatakan begini dan begitu, terkadang bisa hilang kesalahan itu (dengan cara tersebut), tapi hilangnya kesalahan itu tidak sama dengan rujuknya guru tersebut kepada al-haq, maka jika kita mampu untuk menasehati dahulu, itulah yang harus dilakukan.

Jika ternyata orang yang bersalah ini tidak mau kembali pada yang haq, dan kesalahannya tersebar di khalayak ramai (masyarakat luas), maka kita wajib mentahdzir dia dan kesalahannya tadi, tapi hanya sebatas tersebarnya kesalahan itu. Contohnya jika seseorang berbicara pada suatu masyarakat atau kelompok tertentu dan salah dalam ucapannya, maka kita tahdzir dia sebatas masyarakat atau kelompok dimana orang itu berbicara dan tidak boleh kita masyhurkan orang tadi di seluruh kota dan kita katakan: Fulan telah salah dan mengatakan begini dan begitu, karena hal ini tidak akan mewujudkan mashlahat.

Dan maksud dari tahdzir itu adalah untuk menghilangkan kesalahan yang ada pada masyarakat sesuai sesuai dengan kadar tersebarnya kesalahan itu. Jika kesalahan itu tersebar di suatu negara, maka tidak boleh kita tahdzir pula di negara lain, jika kesalahan itu tersebar di sebuah kota, maka tidak boleh kita tahdzir di kota lain. Contohnya juga kesalahan yang terjadi pada penuntut ilmu, bukan suatu maslahat kita mengumpulkan orang awwam untuk mentahdzir dia, karena mereka tidak mengetahuinya. Maka tahdzir itu harus sesuai dengan kadar tersebarnya kesalahan.

Demikian juga jika kesalahan itu di antara salafiyyin saja, kita tahdzir dia sebatas salafiyyin, tidak boleh kita bawa ahli bidah serta memasyhurkannya, jika kesalahan itu sampai pada kelompok tertentu, wajib kita tahdzir sebatas tersebarnya kesalahan itu, dan jika kita tidak sampai pada kelompok tertentu, maka tidak boleh membawa kesalahan itu pada mereka, karena mereka tidak tahu tentangnya.

Kemudian ketika mentahdzir, kita harus membedakan antara kesalahan dengan orang yang berbuat kesalahan. Adapun kesalahan kita katakan bahwa ini salah, dan adakalanya tanpa menyebutkan pelakunya dengan mengatakan Fulan bersalah. Misalnya seseorang bersalah dalam suatu masalah, maka terkadang tahdzir itu tidak perlu untuk menyebutkan pelakunya, dengan kita katakana Yang benar dalam masalah ini adalah begini dan begitu tanpa menyebutkan: Fulan salah atau kita katakan: Sebagian orang atau sebagian penuntut ilmu telah mengatakan begini, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika mengatakan: Kenapa ada kaum yang melakukan begini dan begitu. Semuanya ini adalah tahdzir dari kesalahan, tidak boleh kita mencela jika orang yang salah itu adalah mujtahid dari ahlul-haq, apalagi mengecam dan menganggap sebagai ahlul bid’ah.

Adapun jika kesalahan itu berasal dari ahlul bid’ah atau orang yang bahayanya telah menyebar dan kita takut masyarakat terpengaruh dengannya, maka kita tahdzir dia, karena kesalahannya tidak hanya sebatas dalam satu masalah saja, bahkan kesalahannya telah begitu masyhur dan tersebar di antara manusia, kita katakan pada orang-orang: Berhati-hatilah dari Fulan karena dia telah menyimpang dari manhaj dan aqidah

Jika pelaku kesalahan itu sudah sedemikian parahnya, sehingga mencapai tingkatan yang keterlaluan, kita boleh menyinggung pribadi dia dengan mengatakan: Fulan ahlul bid’ah dan penyebar fitnah ini adalah termasuk nasehat, tapi semuanya ini tidak dilakukan kecuali jika telah pasti bahwa orang tersebut salah, bukan semata-mata dengan sangkaan, bukan pula nukilan isu yang kemudian lantas kita sampaikan pada manusia, inilah batasan-batasan tahdzir.

Adapun masalah hajr, berbeda sesuai dengan perbedaan maksudnya, ada hajr untuk mashlahat dakwah, seperti menghajr ahlul bid’ah, pelaku kejahatan dan lainnya, ada pula hajr untuk mashlahat haajir (yang menghajr), seperti orang yang takut akan keselamatan diri dan agamanya jika bergaul dengan pelaku bidah dan kejahatan, maka dia dalam hal ini menghajr untuk kemashlahatan dirinya sendiri, ada pula hajr untuk kemashlahatan al mahjur (orang yang dihajr), artinya hajr itu terkadang berpengaruh padanya sehingga diapun kembali kepada al-haq, maka hajr itu berbeda sesuai dengan perbedaan keadaan (situasi dan kondisi).

Adapun batasan-batasan hajr untuk kemashlahatan haajir (yang menghajr) adalah setiap orang yang takut akan keselamatan diri dan agamanya jika dia bergaul dengan fulan atau kelompok tertentu, maka wajib bagi dia untuk menjauhinya. Adapun batasan-batasan hajr untuk kemashlahatan al mahjur (yang dihajr), dilihat keadaannya, apakah hajr itu akan bermanfaat bagi dia atau tidak. Karena hajr itu bukan sesuatu yang harus sehingga setiap yang menyimpang harus dihajr, tapi kita lihat apa yang lebih bermanfaat bagi dia, apakah yang lebih bermanfaat bagi dia itu adalah hajr sehingga dia kembali pada sunnah ataukah yang lebih manfaat itu adalah talif (pendekatan), tapi kita harus melihat beberapa hal-hal yang lain:

[a]. Pengaruh al haajir (orang yang menghajr), sebagian orang ada yang berpengaruh hajrnya, seperti para ulama, pemerintah atau orang yang mempunyai kedudukan, adapun yang hajrnya tidak berpengaruh, seperti teman kepada teman yang lain, terkadang hajrnya tidak berpengaruh terhadap temannya itu, bahkan terkadang hajrnya itu dipahami dengan yang tidak-tidak. Maka haruslah al haajir (orang yang menghajr) itu mempunyai pengaruh terhadap yang dihajr.

[b]. Melihat keadaan yang dihajr, apakah hajr itu berpengaruh pada dia atau tidak, jika hajr itu malah membuat dia semakin sombong dan keras kepala, maka dia tidak layak untuk dihajr. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh: Nabi shallallahu alaihi wasallam terkadang menghajr dan terkadang talif (melakukan pendekatan).

[c]. Melihat masa hajr, hajr itu harus bermanfaat dan sesuai dengan kesalahan. Berkata Ibnu Qoyyim rohimahulloh: Hajr itu bagaikan obat, jika kelebihan dosis bisa membunuh atau membahayakan, dan jika kurang tak akan bermanfaat. Maka masa hajr itu harus sesuai dengan jenis penyimpangannya, jika kita melihat orang yang dihajr itu kembali pada al-haq, maka tidak boleh kita menambah masa hajr, karena akan membahayakan dia.

[d]. Melihat keadaan masyarakat, jika masyarakatnya adalah masyarakat sunny dimana mengakibatkan dia kembali pada al-haq, maka kita boleh melakukan hajr dalam masyarakat itu, adapun jika masyarakatnya adalah masyarakat bid’ah yang mungkin jika kita hajr orang itu akan diseret oleh ahlul bidah dan dibawa kepada kesesatan yang lebih besar sehingga bertambah penyimpangan dia, maka tidak boleh kita hajr. Jadi kita harus melihat keadaan masyarakat yang dilakukan hajr di dalamnya, inilah batasan-batasan yang harus diperhatikan ketika hendak menghajr.

[e]. Sebelum dan sesudahnya kita harus ikhlas semata karena Allah dalam menghajr, bukan untuk keuntungan pribadi tapi untuk kemaslahatan syari, karena hajr itu terkadang dilakukan untuk kemaslahatan dirinya, atau kemaslahatan yang didakwahi, atau kemaslahatan dakwah secara umum dan kemaslahatan kaum muslimin. Seperti ada seorang alim dan ahlul bid’ah, jika orang alim itu berhubungan dengan dia, mungkin bisa bermanfaat bagi ahlul bid’ah itu, tapi di sisi lain bisa jadi malah menjadi fitnah bagi masyarakat, sehingga mereka berkata: Orang alim ini tidak akan berkunjung dan duduk dengan dia kecuali karena orang itu di atas jalan yang benar. Maka orang (ahlul bid’ah tadi) harus dihajr untuk kemaslahatan dakwah. Adapun orang yang lebih rendah kedudukannya dari alim tadi, yang tidak berpengaruh terhadap masyarakat, maka boleh baginya untuk mengajari dan berhubungan dengan ahli bidah tadi.
 [Risalah ini disusun Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam Madinah) dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam Madinah)

Nasehat Dalam Meghadapi Ikhtilaf Di Antara Ikhwah Salafiyyin : Perbedaan Hajr Dan Tahdzir

Oleh
Syaikh Dr.Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3]

[11]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh adakah perbedaan antara hajr dan tahdzir, jika ada perbedaan, apakah setiap orang yang kita tahdzir itu harus dihajr ?

Jawaban:
Ya, ada perbedaan, tahdzir adalah memperingatkan manusia dari kesalahan atau dari orang yang bersalah, adapun hajr yaitu memboikot (mengucilkan) seseorang untuk kemaslahatan baik itu kemaslahatan agama kamu atau kemaslahatan dakwah dan ummat, tapi tidak setiap yang kita tahdzir itu harus dihajr. Terkadang teman kita bersalah kemudian kita tahdzir dari kesalahannya dan tidak kita hajr, kita katakan: si fulan seorang yang baik, mempunyai keutamaan dan ilmu, tapi dia salah dalam masalah ini . Banyak para ulama yang mentahdzir kesalahan sebagian ulama yang lain, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang kesalahan sebagian ulama dalam beberapa masalah, beliau menjawab: Alim fulan salah dalam masalah ini, tapi beliau tidak menghajr dia, tidak juga mencelanya, tapi beliau menjelaskan kesalahannya, demikian pula para ulama sebelum beliau ketika ditanya tentang suatu masalah, mereka menjawab: ini salah, tapi tidak mengharuskan orang yang salah itu dihajr.

[12]. Pertanyaan.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Fadhilatus Syaikh seberapa jauh kebenaran perkataan bahwa fulan ikhwany tapi aqidahnya salafy, atau tablighy tapi aqidahnya salafy, jika perkataan ini benar, lantas apa makna perkataan itu ?

Jawaban:
Ikhwanul Muslimin mempunyai penyimpangan yang banyak dalam aqidah, termasuk kesalahan mereka yang paling besar dalam manhaj adalah menyatukan manusia (tanpa memilah aqidah) dan kaidah mereka yang salah yaitu saling memberikan udzur sesama kita dalam hal-hal yang diperselisihkan, dan bersatu dalam hal-hal yang kita sepakati, ini sangat bertentangan dengan aqidah ahlussunnah waljamaah. Jamaah Tabligh pun mempunyai banyak kesalahan. Bagaimana mungkin bisa dikatakan fulan manhajnya tablighy tapi aqidahnya salafy. Karena aqidah dan manhaj ahlussunnah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, aqidah dan manhaj tidak mungkin dipisahkan satu sama lainnya, tapi (jika seorang sunny) salah, kita katakan: fulan salah dalam masalah ini tapi dia masih di atas pokok-pokok ahlussunnah, seperti halnya kita katakan murjiah fuqoha, maknanya bahwa mereka adalah fuqoha dan ahlul ilmi serta murjiah ahlussunnah, artinya dia ahlussunnah, tapi dalam masalah ini dia salah, ini bisa dikatakan jika kesalahannya bersifat juziy (cabang).

Adapun jika fulan menyimpang dari manhaj secara keseluruhan, tidak bias kita katakan: dia manhajnya begini tapi aqidahnya begini, tapi kita harus mengetahui bahwa aqidah ahlussunnah dan manhajnya tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

[13]. Pertanyaan
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Jazakumullohu khairan atas nasihat ini, sekarang kami merasa sangat kurang dalam usaha untuk mendamaikan antara ikhwah apalagi dalam berdoa untuk kebaikan mereka, terutama mendoakan orang yang menyelisihi kami agar mendapatkan hidayah, juga masalah niat, terkadang ketika menasehati, kami tidak ikhlas karena Allah tapi karena tujuan duniawi, maka apakah nasihat Anda pada kami, dan bagaimanakah Salaf dalam menjaga niat mereka serta keinginan kuat mereka untuk mendoakan saudara-saudaranya ?

Jawaban:
Wajib bagi setiap muslim untuk mengikhlaskan niatnya karena Allah dalam amalannya, manusia dalam setiap amalannya bertujuan untuk mewujudkan keselamatan dirinya. Sebelum kita berusaha untuk mendamaikan dan memberikan petunjuk (hidatul irsyad, peny.) pada manusia, kita harus berusaha menyelamatkan diri kita, dan ini tidak bisa kita lakukan kecuali dengan mengikhlaskan niat karena Allah semata serta menginginkan wajah Allah di setiap amalan kita, juga merasa bahwa Allah senantiasa mengawasi kita, mungkin manusia tidak tahu niat kita karena niat itu tersembunyi, sehingga kita bisa membohongi diri kita dan manusia dengan memperlihatkan nasihat, padahal Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kita:

Dan apa yang kalian perlihatkan serta sembunyikan dalam diri kalian Allah akan hisab kalian. [Al-Baqarah: 284], maka wajib atas setiap muslim untuk mengikhlaskan niatnya.

Kaum Salaf sangat berkeinginan untuk memberi hidayah pada manusia, dan bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah teladan yang pertama dalam hal ini. Saya akan menceritakan pada kalian sebuah contoh dari sejarah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: Abdullah bin Ubay adalah termasuk orang yang paling banyak menyakiti Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ketika dia mati, anaknya, yaitu Abdullah bin Abdullah bin Ubay radhiyallahuanhu (dan dia adalah seorang sahabat) datang pada Nabi shallallahu alaihi wasallam agar Nabi shallallahu alaihi wasallam memohon ampun untuk ayahnya, Nabipun bergegas untuk memohonkan ampun baginya, tapi Umar radhiyallahuanhu melarang beliau, kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Aku dilarang untuk memohonkan ampun mereka sebanyak tujuh puluh kali, maka aku akan mohon lebih dari tujuh puluh kali, kemudian turunlah ayat:

Janganlah kalian menshalati orang yang mati dari mereka selamanya, dan jangan kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. [At-Taubah: 84] [lihat Shahih Bukhari 1/427 no. 1210 dan Shahih Muslim 4/1865 no. 2400. pent]

Lihatlah bagaimana keinginan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, seorang munafik yang menyakiti beliau dan menghalang-halangi dakwah beliau, beliau katakan: Akan saya mohonkan ampunan beginya lebih dari tujuh puluh kali, karena besarnya keinginan beliau shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan hidayah kepada manusia dan ini adalah termasuk nasihat karena Allah Taala

Wajib atas setiap muslim untuk tidak bermaksiat terhadap Allah di bumi-Nya, dan senang bila tidak ada penyimpangan di muka bumi dan tidak boleh gembira dengan penyimpangan orang lain. Karena jika kita cinta kepada Allah, tentu senang jika Allah ditaati dan tidak dimaksiati, dan ini pada setiap orang, ketika kamu cinta pada seseorang, tentu kamu tidak senang jika dia berbuat maksiat dan dibicarakan kejelekannya, tapi jika kita senang dengan kesalahan orang lain maka ini bukan nasihat karena Allah, karena seorang mukmin senang jika Allah ditaati dan tidak dimaksiati, sampai orang Yahudi dan Nasrani pun kita senang jika mereka beriman.

Karena itu kita harus tamak untuk memberi hidayah kepada manusia, lebih-lebih pada ikhwah kita. Oleh karena itu Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata pada ayahnya: Wahai ayahku, saya senang jika saya dan ayah dimasak dalam kuali yang mendidih di jalan Allah, artinya keduanya dimasukkan dalam kuali yang penuh minyak atau air yang mendidih sehingga badan mereka pun hancur di jalan Allah, dan ini adalah nasihat karena Allah. Demikianlah kewajiban setiap muslim untuk mengikhlaskan amalannya karena Allah.

Termasuk dari contoh kekuatan nasihat dan ikhlas pada sejarah Salaf, apa yang terjadi pada Ali radhiyallahuanhu dalam perang tanding sebelum dimulainya peperangan, beliau mengalahkan lawannya dan menjatuhkannya ke tanah, ketika beliau hendak memukulnya dan membunuhnya dengan pedang, orang itu meludahi muka beliau, maka beliau pun tidak jadi membunuhnya, lantas ditanya mengapa anda tidak membunuhnya. Jawab beliau: Tadinya saya ingin membunuhnya karena Allah, tapi orang itu meludahi saya, sehingga saya pun marah, saya takut jika saya membunuhnya karena kepentingan pribadi (bukan karena Allah), lihat bagaimana salaf menahan diri, ini adalah taufik dari Allah yang tidak akan didapatkan kecuali dengan muroqobah (merasa diawasi oleh) Allah sehingga bisa menahan diri dengan baik. Ini semua berasal dari kekuatan ikhlas karena Allah. Ketika Allah tahu kejujuran niat dan keikhlasannya, Allah pun melindunginya dari segala sesuatu.

Maka dari itu sangat sulit bagi seseorang untuk mengambil sikap dan menghadirkan niatnya dalam keadaan seperti ini. Lihatlah ! Beliau tidak senang untuk membunuh orang kafir itu setelah beliau mampu mengalahkannya padahal beliau dalam keadaan jihad. Salah seorang dari kita bisa saja untuk mengatakan: saya membunuh karena Allah, padahal pada dirinya ada niat lain yang tersembunyi, dia membunuhnya kerena kepentingan pribadi. Maka merupakan keharusan bagi kita untuk mengikhlaskan niat karena Allah serta mendoakan saudara-saudara kita, dan memohonkan bagi mereka hidayah, di waktu kita shalat malam dan pada waktu-waktu dikabulkannya doa, juga menjadikan maksud kita setiap berbicara dan berbuat hanya karena Allah semata, kita ikhlas ketika berbicara, ikhlas ketika diam, ikhlas ketika uzlah (mengasingkan diri), sehingga dalam keadaan bagaimanapun kamu dalam kebaikan yang agung (besar). Adapun jika kita kehilangan niat ikhlas mudah-mudahan Alah melindungi kita darinya-, walaupun kita berbicara haq, memberi nasihat dan Allah damaikan dengan sebab kita, serta terwujud kebaikan, sementara orang-orang memuji kita, maka amalan kita akan sia-sia, karena tidak terpenuhi niat yang ikhlas. Kita ambil pelajaran dari sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah turun pada hamba-Nya untuk memutuskan, dan seluruh manusia berlutut, orang yang pertama kali dipanggil adalah orang yang membaca Al-Quran, orang yang beperang di jalan Allah, dan orang yang mempunyai banyak harta. Allah berfirman kepada pembaca Al-Quran: bukankan Aku telah ajarkan padamu apa yang Aku turunkan pada Rasul-Ku? jawab orang itu: benar ya Robbi, firman-Nya: apa yang kamu amalkan? orang itu menjawab: saya membacanya siang malam, firman-Nya: bohong.!! Kata malaikat: kamu bohong!! firman-Nya: kamu membacanya karena ingin disebut qori, dan telah dikatakan padamu. Kemudian didatangkan orang yang mempunyai banyak harta, Allah berfirman padanya: bukankan Aku telah meluaskan rizkimu sehingga kamu tidak butuh pada seorangpun? jawabnya: benar ya Robbi, firman-Nya : Lantas apa yang kamu amalkan dengan pemberianku itu?, jawabnya: dulu saya menyambung silaturahmi dan bersedekah, firman-Nya: kamu bohong!!, kata malaikat: kamu bohong!!, firman-Nya: kamu berinfaq karena ingin disebut dermawan dan telah dikatakan padamu. Kemudian didatangkan orang yang terbunuh di jalan Allah, Allah berfirman padanya: Apa yang kamu perangi?, Jawabnya: Saya diperintahkan untuk berjihad di jalan-Mu, saya pun berperang hingga terbunuh, firman-Nya: kamu bohong!!, kata malaikat: kamu bohong!!, firman-Nya: kamu berperang karena ingin disebut pemberani dan telah dikatakan padamu.. Berkata Abu Hurairah radhiyallahuanhu : Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memukul lututnya seraya bersabda: Tiga orang ini adalah makhluk yang neraka disulut pertama kali untuk mereka.

Yang perlu kita garis bawahi adalah sabda beliau shallallahu alaihi wasallam waqad qiila ini menunjukkan bahwa kebanyakan yang dikatakan di dunia sebagai alim atau dermawan atau pemberani tidak menginginkan wajah Allah, kita takut atas diri kita, terkadang orang mengatakan tentang kita: fulan alim, atau fulan ahlussunnah, dan Allah tahu hati kita, maka kita wajib untuk menyadari dalam keadaan ini, karena jika niat dimasuki riya akan dikatakan pada kita di hadapan seluruh makhluk (pada hari kiamat): kamu berbuat itu karena ingin dikatakan begini dan sudah dikatakan begitu (di dunia), sehingga kita pun dilempar ke neraka, ini perkara yang sangat berbahaya. Hendaklah seorang insan memohon pada Allah keikhlasan dalam perkataan dan perbuatan dia di setiap waktu, tidak ada seorang manusia pun kecuali dia lemah, tapi apabila Allah mengetahui kekuatan ikhlas, kesungguhan dan kesabaran seorang hamba, maka Allah akan memberinya taufiq, sebagaimana dalam hadits:

“Artinya : Senantiasa seorang hamba bertaqorrub kepada-Ku dengan nawafil (amalan-amalan sunnat) sehingga Aku mencintainya. [Hadits iwayat Bukhari 5/2384 no. 6137. Pent]

Dan sebagai pelindung bagi kita dari hal itu adalah dengan memperbanyak amal shalih dan ketaatan, jangan sampai kita disibukkan oleh ilmu dan melupakan amal, karena ilmu itu sarana untuk beramal. Jika kita disibukkan oleh ilmu dan melupakan amal, maka ilmu kita itu tidak bermanfaat. Berkata Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu:

Hubungilah ilmu dengan amal, jika dia menjawab (maka kebaikan untuknya) dan jika tidak, maka ilmu itu akan pergi.

Ketika kamu semakin istiqamah dalam ketaatan pada Allah, maka Allah akan melindungimu dari fitnah, jika kamu menjaga shalat, dzikir-dzikir dan amalan baik, (Allah akan melindungimu) ketika fitnah melanda manusia, dan kamu mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah. Bukankah Allah berfirman dalam hadits qudsi: Jika seorang hamba senantiasa bertaqorrub pada-Ku sehingga Aku mencintainya, maka Aku pendengarannya yang dia mendengar dengannya, pandangannya yang dia melihat dengannya, tangannya yang dia memukul dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Mengapa? Karena Allah melindunginya, maka setiap orang yang ingin selamat dari fitnah hendaklah memperbanyak ketaatan dan ibadah, inilah yang bermanfaat.

Demi Allah !! ilmu saja tidak akan bermanfaat. Bisa saja kamu orang yang paling alim tapi kamu terfitnah dalam agamamu karena kamu tidak bisa mengambil manfaat kecuali dengan ilmu dan fiqih dalam agama serta istiqomah dalam ketaatan. Karena itu jika kalian perhatikan, siapakah yang selamat ketika fitnah melanda ummat dan manusia? Ulamalah yang selamat, tapi apakah mereka selamat karena ilmu saja ? Tidak, mereka selamat karena mereka ahlul ibadah, Allah melindungi mereka karena ibadah, dan berjatuhanlah dalam fitnah itu para ulama-ulama suu (jelek) dan orang-orang yang berbuat karena riya, kita berlindung kepada Allah dari hal ini, karena seseorang terkadang menjadi hina disebabkan amalannya. Inilah kewajiban yang harus dilakukan oleh penuntut ilmu, untuk sungguh-sungguh melakukan ishlah, tapi sebelumnya kita harus memperbaiki diri kita, apakah kita akan mengishlah manusia sementara diri kita sakit, akankah kita memperbaiki rumah orang sementara rumah kita roboh ?

Kita perbaiki hati dan amalan kita serta selalu merasa diawasi oleh Allah, sibukkanlah diri kita dengan hal yang mendekatkan kita pada Allah, perkara itu sungguh besar, sungguh berbahaya, karena kita akan datang nanti untuk dihisab, Allah akan menghisab setiap orang apa yang ada pada dirinya Pada hari diperlihatkan seluruh rahasia [At-Thoriq: 9]. Akan diperlihatkan pada kita catatan amalan kita yang bagaikan gunung, kemudian dihadapkan amalan itu kepada Allah kemudian dikatakan ini (amalan) karena Allah dan ini (amalan) karena selain Allah dan tidak tersisa (dari amalan) kecuali amalan yang karena Allah.

Kita doakan saudara-saudara kita dan memohon pada Allah. Jika melihat kesalahan maka kita katakan: Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari kesalahan yang menimpa dia, dan Dia lah yang memberikan keutamaan padaku di atas kebanyakan makhluk-Nya dengan keutamaan yang besar, kita mohonkan bagi mereka hidayah dan kita melihat orang yang menyimpang itu bagaikan seorang pasien, sebagaimana kata Ibnu Taimiyah: Ahlul bidah itu bagaikan orang sakit, maka bolehkah kita memperolok orang yang sedang sakit badannya? Jika kita melihat orang yang buntung tangannya, apakah kita perolok ? Orang yang berakal tak akan melakukannya. Mereka (ahlul bidah) itu fitnahnya lebih besar, karena mereka diuji dalam agama mereka, kasihan mereka itu. Maka sayangilah dan kasihanilah dia, jangan kamu cela, jangan suka membicarakannya dan menyebarkan kesalahannya, tapi kita mohon pada Allah agar memberinya hidayah dan menyelamatkannya dari apa yang sedang menimpa dia, serta meminta perlindungan kepada Allah dari musibah ini.

[14]. Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Jazakumullahu khairan mudah-mudahan Allah memberikan kebaikan pada Anda di dunia dan akhirat, apakah point-point penting dari nasihat tadi ?

Jawaban.
Point-Point Penting Dari Nasihat Tadi Adalah:

[a]. Mengikhlaskan niat karena Allah dalam perkataan dan perbuatan.
[b]. Menambah bekal ilmu syariat serta mengetahui apa yang bermanfaat bagi kita, dan ilmu itu ada yang wajib hukumnya ada juga yang sunnat, maka kita memulai dari apa yang Allah wajibkan atas kita, kemudian baru yang sunnat.
[c]. Memperbanyak ketaatan dan istiqomah dalam ketaatan pada Allah.
[d]. Menjauhi bidah dalam perkataan dan perbuatan kita.
[e]. Mempersedikit majelis yang tidak ada manfaatnya, bahkan menjauhi majelis tersebut dan menyibukkan diri dengan ketaatan pada Allah. Setiap majelis yang mendekatkan diri kita kepada Allah, kita duduk di dalamnya, dan setiap majelis yang menjauhkan diri kita dari Allah kita jauhi. Ini adalah hal yang dapat dirasakan oleh setiap orang, terkadang kamu merasa imanmu berkurang setelah bangkit dari suatu majelis, tapi sebagian majelis lagi justru sebaliknya malah menambah keimanan. Maka duduklah di majelis seperti itu.

Demikianlah . Saya memohon pada Allah agar memberikan taufiq pada kita semua, shalawat dan salam serta barakah semoga tercurah atas Nabi shallallahu alaihi wasallam .
[Risalah ini disusun Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam Madinah) dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam Madinah)]

Nasehat Dalam Menghadapi Ikhtilaf Di Antara Ikhwah Salafiyyin

Adab Menasehati Dalam Islam
Kewajiban Terhadap Orang Yang Menyelisihi Kita Dalam Suatu Masalah Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily mengatakan :

1.Kita tidak boleh berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu, bukan dengan dzon (persangkaaan)
2.Tatsabut dan meneliti, karena bisa jadi dia yang benar dan kita yang salah, maka kita harus meneliti ucapan yang kita anggap salah ini.
3.Kembali kepada nash-nash (Al-Quran dan Sunnah) serta pemahaman generasi sahabat, dan jika ada problem pada kita, kembalilah kepada ulama.
4.Jika kita telah yakin bahwa dialah yang menyelisihi, maka wajib untuk menasehatinya dengan mengatakan: Yaa Akhi. Sesungguhnya Anda tidak menginginkan kecuali kebaikan, tapi Anda salah dalam masalah ini, dan yang benar adalah apa yang dikuatkan oleh nash-nash yang mengatakan begini.
Adapun langkah-langkah dalam menasehati bukan hanya satu cara saja, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya , jika tak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya..
Jadi Kewajiban Kita Adalah :
1.Mengingkari kesalahan dalam hati. Setiap yang kita lihat bersalah harus kita ingkari dengan hati kita, serta tidak suka kesalahan tersebut ada pada kaum muslimin, ini adalah kewajiban setiap muslim
2.Setelah itu kita melihat, apakah kita ini termasuk orang yang mampu dalam mengingkari dengan lisan atau tidak..? karena manusia itu bukan hanya satu derajat, ada ulama-ulama besar yang diterima perkataanya oleh manusia, apabila para ulama itu berbicara merekapun mendengarnya sehingga hilanglah perselisihan, ada pula para penuntut ilmu pemula yang apabila mereka yang berbicara bisa jadi malah menimbulkan fitnah pada manusia, maka lihat keadaan kita. Saya (Syaikh Ibrahim) memandang, apabila terjadi perselisihan pada suatu masyarakat, hendaklah melihat pada ahli ilmu yang diterima perkataannya di masyarakat itu, kemudian diminta untuk menasehati (mengingkari), adakalanya kedudukan kita mengharuskan kita untuk tidak mengingkari secara langsung, tapi hendaknya kita datangi dulu seorang ahli ilmu yang diterima perkataanya, kita katakan pada dia: Fulan telah berbuat begini dan begitu, sebaiknya Anda menasehatinya dan menerangkan pada dia (al-haq), mudah-mudahan Allah memberi petunjuk pada dia. Inilah wujud pengingkaran dengan lisan karena mengingkari itu tidak harus secara langsung.
3.Kemudian tingkatan ketiga yaitu mengingkari dengan tangan (kekuatan). Tingkatan ini adalah hak orang yang punya kekuasaan, bukan cuma pemerintah, seorang pemimpin negara dapat mengingkari dengan kekuatannya, seorang ulama dapat mengingkari murid-muridnya, seorang ayah dapat mengingkari orang yang ada di rumahnya, demikianlah setiap orang yang mempunyai kekuasaan mengingkari dan mengubah sesuai dengan batas kekuasaannya, selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dengan pengingkaran itu.
Adapun jika kemungkaran itu bukan dalam batas kekuasaan kita, seperti kemungkaran yang ada pada suatu masyarakat, sedangkan kita tidak mempunyai kekuasaan, maka tidak boleh kita mengingkari dengan kekuatan karena hanya akan menimbulkan fitnah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya, maka apakah kemungkaran itu ada pada orang yang berada dibawah kekuasaan kita !? Kita tidak dibebani untuk meningkari semua orang, tapi kita melaporkannya pada mereka yang bertanggung jawab atau para ulama, atau hakim yang melaksanakan kewajiban ini, adapun kewajiban kita adalah mengingkari sesuai dengan batas kekuasaan kita, kamu di rumah dapat menginkari anak-anak dan istri, juga keluarga kamu, demikian pula saudara-saudara kamu jika mereka menerima dan tidak menimbulkan kemungkaran-. Ini adalah macam dari pengingkaran dengan tangan (kekuatan) tapi sesuai dengan kemaslahatan jika tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
Kaidah dalam mengingkari adalah mengubah kemungkaran selama pengingkaran itu tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, jika menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, maka tidak boleh kita mengingkarinya, karena syariat bertujuan untuk mewujudkan kebaikan dan menghilangkan keburukan. Jika tidak mendatangkan kebaikan atau mencegah keburukan (kemungkaran), maka syariat mendahulukan maslahat yang lebih besar (untuk dilakukan) dan mafsadah yang lebih besar (untuk dijauhi).
Hujjah itu tegak apabila seorang yang bersalah mengetahui kesalahan dalam suatu masalah dan tahu sebesar apa kesalahannya. Artinya dia tahu bahwa dia salah dan tahu sebesar apa kesalahan itu dengan dalil-dalilnya. Jika orang tersebut mengetahui kesalahannya maka telah tegak pada dia hujjah, contohnya adalah orang yang meninggalkan shalat, jika orang yang meninggalkan shalat ini belum tahu hukumnya, maka belum tegak hujjah itu pada dia. Lantas jika kita terangkan pada dia dalil-dalil dan hukumnya, maka hujjah telah tegak pada dia.
Tapi terkadang orang tersebut hanya memahami sebagian hujjah, seperti dia tahu bahwa meninggalkan shalat itu haram hukumnya dan tahu bahwa itu maksiat, tapi dia tidak tahu kadar maksiat itu sehingga tidak mengira bahwa meninggalkan shalat karena meremehkan itu menjadikan pelakunya kafir misalnya-, maka orang semacam ini harus diberitahu bahwa dia itu salah, yaitu bahwa meninggalkan shalat itu kekufuran, dan dijelaskan kepadanya kadar kesalahan itu, inilah proses-proses yang harus dilalui. Dan hal ini tidak diketahui kecuali dengan dalil-dalil, yaitu bahwa orang yang bersalah memahami nash dan dalil yang menunjukkan kesalahan dia, maka jika dia telah faham, telah tegaklah hujjah pada dia, adapun jika dia mempunyai syubhat (kesamaran) atau ada penghalang tegaknya hujjah pada dia, maka tidak bias kita katakan bahwa hujjah telah ditegakkan pada dia.
Penilaian tentang tegak atau tidaknya hujjah atas seseorang itu dikembalikan kepada ulama besar, dengan merekalah hujjah bisa tegak. Maka jika ulama tadi mendebat orang yang menyimpang dan menjelaskan pada dia kebenaran, pada waktu itulah kita memperkirakan apakah dia faham atau tidak. Tidak disyaratkan orang yang menyimpang itu mengakui bahwa hujjah telah tegak pada dia, tapi kapan saja kita tahu bahwa fulan telah tahu kebenaran dan jelas pada dia dalilnya, maka bisa kita katakan bahwa hujjah telah tegak pada dia. Hujjah tidak bisa ditegakkan oleh setiap orang, tapi ulamalah yang menegakkan hujjah, hujjah tidak bisa tegak dengan perkataan seseorang: Ketahuliah bahwa meninggalkan shalat adalah kufur, jika kamu terus tidak mau shalat, maka kamu kafir. Hujjah bisa tegak dengan menerangkan pada dia dalil-dalil dan menjawab syubhat-syubhat dia serta menghilangkan syubhat tersebut dan menghapuskan ketidaktahuan serta kejahilan yang ada pada dia sampai kita yakin bahwa orang yang menyimpang itu telah faham tapi terus melakukan kesalahannya karena menolak kebenaran dan sombong, pada waktu itulah kita dapat menghukuminya.
Sebagian orang ada yang hujjah itu tidak bisa tegak dengannya, seperti orang jahil atau orang yang tidak bisa menegakkan hujjah dengan baik, misalnya; tidak bisa menjelaskan dalil dengan baik atau tidak berlemah lembut dalam dakwahnya, karena orang yang keras dalam dakwahnya tidak bias tegak hujjah dengannya, Allah berfirman kepada Nabi Musa dan Harun: Pergilah kalian berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut. (Thahaa: 43-44) Padahal Allah tahu bahwa Firaun akan mati dalam keadaan kafir, tapi Allah tetap memerintahkan untuk berkata dengan lemah lembut padanya, karena hujjah tak akan tegak kecuali dengan ar-rifqu dan al-liin (lemah lembut), adapun tanfir (cara yang membuat orang lari) tidak akan bisa hujjah itu tegak dengannya.
Kemudian hujjah itu tidak bisa tegak kecuali dengan kesabaran dan penjelasan terhadap orang yang bersalah.
Juga seorang alim yang menegakkan hujjah haruslah dipercayai keilmuannya oleh orang yang ditegakkan padanya hujjah, adapun jika penegak hujjah tidak dipercaya olehnya, maka terkadang tidak membuahkan hasil.
Tidak ada suatu masalahpun yang dapat kita katakan: Bahwa penegakkan hujjah tidak disyaratkan di dalamnya (dalam masalah itu). Apabila orang yang bersalah itu tidak tahu hukumnya, maka Allah akan memberikan udzur padanya, ketika dia datang kepada Rabbnya di hari kiamat dan mengatakan: Saya jahil tentang masalah ini, dan Allah tahu kejujuran perkataannya, maka Allah memberikan udzur kepadanya. Walaupun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ada hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh (yang tidak-bisa-tidak pasti diketahui oleh semua orang) tapi ini menurut perkiraan kita, karena pada dasarnya hal-hal yang seperti itu kebanyakan tidak dilanggar kecuali oleh orang yang sombong atau keras kepala, tapi pada hakikatnya kalau kita katakan bahwa ini adalah masalah darurat yang harus diketahui dalam agama tapi ternyata si Fulan jahil terhadap hal ini, maka tidak bisa kita hukumi dengan kekafiran, karena Allah memberikan udzur dengan kejahilannya itu, firman Allah taala: Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya (Al-Baqarah: 286)
Dan ketidakfahaman dia diluar kemampuannya, dan manusia tidak sama (tidak satu tingkatan) dalam hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh. Hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh ini bagi para ulama berbeda dengan hal-hal yang malumun minad diini bidh dhoruroh bagi para penuntut ilmu, dan hal-hal ini berbeda antara penuntut ilmu dan orang awwam, negara yang tersebar di dalamnya sunnah dan ilmu berbeda dengan negara yang jauh dari sunnah dan ilmu.
Kaidah dalam hal ini adalah bahwa bagaimanapun kesalahan itu harus kita minta penjelasan. Ketika Muadz radhiallaahuanhu datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian sujud padanya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Apa ini yaa Muadz?, padahal Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengutusnya untuk mengajarkan ilmu dan agama dan beliaupun seorang sahabat yang faqih, tapi ternyata hukum masalah ini tidak beliau ketahui, beliau melakukan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam karena takwil (karena beliau melihat ahli kitab bersujud pada rahib mereka, Beliaupun berpandangan bahwa kaum muslimin lebih berhak untuk bersujud kepada Nabinya) . Demikian pula Hatib radhiallaahuanhu, tersembunyi dari beliau masalah itu, padahal hukumnya jelas, sebagaimana dalam kisahnya (ketika Rasulullah menyiapkan pasukan besar untuk fathu Mekah, Hatib mengirimkan surat memberitahukan salah seorang kerabatnya yang ada di Mekah, melalui seorang wanita yang kemudian Allah beritahukan dengan wahyu-Nya, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun memaafkan beliau (lihat Shahih Bukhari 3/1095 no. 2845, Shahih Muslim 4/1941 no.2394 –pent)
Kerena syubhat itu menghalangi seseorang dari al-haq, walaupun itu seorang ulama, maka harus kita minta penjelasan sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukannya, kita katakan: Apa yang membuat anda berbuat demikian.?? Jika ternyata alasannya bisa diterima ketika itulah kita terangkan pada dia ilmu dan menjawab syubhatnya dan tidak boleh kita menghukumi dia hanya karena kesalahan.
Sumber :
Risalah ini disusun Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mhs Universitas Islam Madinah) dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk (Mhs Universitas Islam Madinah)