Ja'far ash-Shadiq (Bahasa Arab: الصصادق
جعفصر ,(nama lengkapnya adalah Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain
bin Ali bin Abu Thalib. Ia lahir di Madinah pada tanggal 80 Hijriyah (700
Masehi). Wafat 148 H (765 Masehi) makamkan di Madinah. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu
Abdillah. Ia merupakan anak sulung dari Muhammad al-Baqir, sedangkan ibunya
bernama Ummu Farwah binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Melalui garis
ibu, ia dua kali merupakan keturunan Abu Bakar, karena al-Qasim menikahi putri
pamannya, Abdullah bin Abu Bakar. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan
Abdul-Malik bin Marwan, dari Bani Umayyah. Karena itu Ja`far Ash Shadiq
berkata, Aku dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali. (Syiar `A`lam An Nubala :
259).
Ja`far menimba ilmu dari para sahabat besar
seperti Sahl bin Sa`ad As Sa`idi dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dan dari
ulama tabi`in seperti Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab Az Zuhri, Urwah
bin Az Zubair, Muhammad bin Al Munkadir, Abdullah bin Abu Rafi` dan Ikrimah Mawla
bin Al Abbas Radhiyallahu anhuma.
Diantara murid-muridnya adalah Imam Malik, Imam
Abu Hanifah, Sufyan Ats Tsauri, Syu`bah bin Al Hajjaj dan Sufyan bin Uyainah
dan masih banyak lagi. Para ulama Islam telah banyak memuji dan menyanjung.
Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.
Para imam hadits -kecuali al Bukhari- meriwayatkan hadits-haditsnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al Bukhari meriwayatkan haditsnya di kitab lainnya, bukan di ash Shahih.
Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.
Para imam hadits -kecuali al Bukhari- meriwayatkan hadits-haditsnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al Bukhari meriwayatkan haditsnya di kitab lainnya, bukan di ash Shahih.
Ja’far ash-Shadiq mempunyai tiga anak perempuan
Fatimah, Asma, dan Ummu Farwah, sedangkan anak laki-lakinya adalah sebagai
berikut :
● Isma'il, adalah putra tertuanya, wafat pada
tahun 138 H, saat ayahnya masih hidup (al-Aaraj, Imam ke-7 dan terakhir menurut
Syi’ah Ismailiyah ?).
●Musa (al-Kadzim, Imam ke-7 menurut Syi’ah
Imamiyah)
●Abdullah, dari Abdullah inilah terambil
kun-yah Ja’far, Abu Abdullah.
●Ishaq
●Muhammad
●Fatimah
●Ali
Imam Jafar Shadiq tidak meninggalkan (menulis
kitab), yang dibuat syiah 200 tahun setelah Ja'far shadiq meninggal, hanya
rekayasa (khayalan). sebagian besar ulama salaf meriwayatkan jafar shadiq
seperti Bukhari, Abu Hanifah, Abu Hatim Ar-Razi, ibnu hibban, ibnu taimiyah.
Mazhab Ja’fariyah (????) merupakan mazhab yang
diikuti oleh para penganut Syi’ah, seperti Itsna Asyariyah, Ismailiyah, dan
Zaidiyah. Ja’far ash-Shadiq adalah imam keenam dalam Syi’ah. Beliau menggantikan
ayahnya Muhammad al-Baqir yang meninggal pada tahun 114 H. Adapun urutan Imam
dalam Syi’ah Imamiyah adalah sebagai berikut : 1. Ali bin Abi Thalib 2. Hasan
al-Mujtaba 3. Husain asy-Syahid 4. Ali Zainal Abidin 5. Muhammad al-Baqir 6.
Ja'far ash-Shadiq 7. Musa al-Kadzim 8. Ali ar-Ridha 9. Muhammad al-Jawad 10.
Ali al-Hadi 11. Hasan al-Askari 12. Muhammad al-Mahdi Sedangkan dalam Syi’ah
Ismailiyah, imam yang ketujuh adalah Ismail alAaraj dan merupakan imam yang
terakhir.
Beliau berpedoman pada Sunnah, khususnya
riwayat-riwayat dari Ahlulbait (keluarga Nabi SAW). Bagi beliau, tidak ada
hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an, dan kalau ada berarti hadis itu
adalah palsu. Salah satu kaidah yang dibuatnya adalah al-Ashlu fil asya`
al-ibahah hatta yaridu fihan nahyu (Prinsip hukum dasar segala sesuatu adalah
boleh kecuali ada nash yang melarang). Imam Ja’far ash-Shadiq pernah
mengatakan, "Hadis-hadis yang aku keluarkan adalah hadis-hadis dari
bapakku. Hadis-hadis dari bapakku adalah dari kakekku. Hadis-hadis dari kakekku
adalah dari Ali bin Abi Thalib, Amirul Mu'minin. Hadis-hadis dari Amirul
Mu'minin Ali bin Abi Thalib adalah hadishadis dari Rasulullah SAW dan
hadis-hadis dari Rasulullah SAW adalah wahyu Allah Azza Wa Jalla."
Pemikiran ushul fiqh Imam Ja’far dikumpulkan oleh murid-muridnya atau para
ulama Syi’ah yang datang kemudian. Adapun kitab-kitab ushul fiqh mereka antara
lain al-Kafiy oleh Ja’far Muhammad Ya’qub al-Kulainiy, Tahdzib dan alI’tibar
oleh Muhammad bin Hasan. Adapun kitab-kitab fiqhnya antara lain alMukhtashar
al-Nafi’ oleh Ja;far al-Hasan al-Huliy, Jawahirul Kalam oleh Muhammad
al-Najafiy. Pada mulanya ulama Syi’ah dalam menetapkan hukum mengikuti metode
Syafii. Namun, pada perkembangannya memiliki metode sendiri dan menetapkan kaidah
ushul dan istimbat sendiri. Mereka menggunakan metode ijtihad dengan mashlahat,
bukan qiyas. Mazhab Ja’fariyah diklaim merupakan mazhab yang diikuti oleh para
penganut Syi’ah, seperti Itsna Asyariyah, Ismailiyah, dan Zaidiyah.
Semenjak dahulu Syi`ah mengklaim bahwa mereka
mengikuti manhaj dan langkah Ja`far Ash Shadiq. Madzhab mereka dalam bidang
fikih adalah ucapan-ucapan dan pendapat-pendapatnya. Karena mereka menamakan
dirinya sebagai Ja`fariyun, padahal Ja`far berlepas diri dari mereka dan
orang-orang seperti mereka. Mereka tidak berada di atas manhaj dan
langkah-langkahnya dan dia bukanlah pemilik manhaj dan langkah-langkah yang
diklaim tersebut.
Mereka menukil dari Ja`far tanpa sanad atau dengan sanad maudhu` (dipalsukan) atau dhaif atau maqthu` (terputus). Dan ini berlaku untuk para imam yang lain. Sudah dimaklumi bersama bahwa Syi`ah sangat kurang dan lemah dalam ilmu sanad, karena mereka tidak berpengalaman di dalam agamanya. Agama mereka adalah agama masyayikh mereka. Apa yang dikatakan oleh masyayikh, mereka menukilnya dari mereka tanpa memilih dan memilah. Salah seorang Syaikh Rafidhah telah mengakui dan dan membenarkan hal ini bahwa mereka menerapkan ilmu al jarh wa at ta`dil sebagaimana ahlus sunnah, maka tidak tersisa sedikitpun dari hadits mereka. Orang Syi`ah telah banyak berdusta atas Ja`far Ash Shadiq, mereka menasabkan kepadanya banyak sekali dari riwayat-riwayat yang dibuat-buat, hingga pada akhirnya mereka pada perubahan dan penggantian ayat-ayat Al Qur-an.
Mereka menukil dari Ja`far tanpa sanad atau dengan sanad maudhu` (dipalsukan) atau dhaif atau maqthu` (terputus). Dan ini berlaku untuk para imam yang lain. Sudah dimaklumi bersama bahwa Syi`ah sangat kurang dan lemah dalam ilmu sanad, karena mereka tidak berpengalaman di dalam agamanya. Agama mereka adalah agama masyayikh mereka. Apa yang dikatakan oleh masyayikh, mereka menukilnya dari mereka tanpa memilih dan memilah. Salah seorang Syaikh Rafidhah telah mengakui dan dan membenarkan hal ini bahwa mereka menerapkan ilmu al jarh wa at ta`dil sebagaimana ahlus sunnah, maka tidak tersisa sedikitpun dari hadits mereka. Orang Syi`ah telah banyak berdusta atas Ja`far Ash Shadiq, mereka menasabkan kepadanya banyak sekali dari riwayat-riwayat yang dibuat-buat, hingga pada akhirnya mereka pada perubahan dan penggantian ayat-ayat Al Qur-an.
Tidak ada kitab fiqh dikalangan syiah yang
ditulis sendiri oleh imam Ja’far Ash Shodiq rahimahullah atau telah dibukukan
oleh murid-muridnya yang bisa digunakan oleh manusia hingga hari ini.
Sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama-ulama fiqh yang lain. Adapun
penisbatan fiqh kepadanya sesungguhnya itu tertulis ketika ratusan tahun
setelah wafatnya beliau tanpa sanad yang shahih sehingga kita bisa merasa
tenang dengannya.
Diantara kenyataan yang tidak terbetik di
pikiran kaum awam syiah bahwasanya Ja’far ash Shodiq rahimahullah atau salah
seorang dari dua belas imam itsna asyariah sama sekali tidak menulis kitab
dalam bidang fiqh, begitupula dalam bidang hadits. Sebaliknya, imam mazhab yang
empat dan selain mereka, setiap dari mereka meninggalkan kitab yang mereka
tulis dalam bidang fiqh dan hadits yang bisa kita gunakan.
Imam Abu Hanifah an Nu’man ibn Tsabit
rahimahullah, murid-muridnya telah menukil fiqhnya sebagai kabar gembira
untuknya seperti al Qadhi Abu Yusuf rahimahullah dan Muhammad ibn al Hasan asy
Syaibani rahimahullah.
Imam Malik ibn Anas rahimahullah telah
meninggalkan kitabnya al Muwatha’ dalam bidang fiqh dan hadits, dimana ini
ditulis oleh dirinya sendiri. Imam Syafi’i rahimahullah mewariskan kitab al
Musnad dalam bidang hadits dan kitab al Umm dalam bidang fiqh. Dia merupakan
ulama yang menjadi muassis (pendiri) ilmu ushul filq dalam kitabnya ar risalah.
Kitab ini merupakan kiatb pertama dalam sejarah islam yang ditulis dalam
bidangnya.
Imam Ahmad ibn Hanbal asy Syaibani rahimahullah
Musnadnya di bidang hadits merupakan diantara yang paling masyhur dibidangnya.
Adapun fiqhnya terjaga dan terbukukan. Diantara muridnya yang paling terkenal
yang membukukan fiqhnya adalah imam al Khalal rahimahullah.
Bahkan imam Zaid bin ‘Ali rahimahullah fiqhnya
pun dibukukan untuknya dan juga kitab dalam bidang hadits. Adapun Ja’far ibn
Muhammad ash Shadiq rahimahullah, kita belum mendapatkan kitab miliknya dalam
bidang hadits atau dalam bidang fiqh yang ditulis oleh dirinya sendiri atau
dikumpulkan oleh murid-muridnya. Mererka tidak memiliki musnad yang dipakai
untuk berfatwa kecuali riwayat-riwayat yang tidak mungkin bagi mereka
memastikan kesahihannya bahwa itu dinisbatkan kepada Ja’far ash Shodiq, bahkan
mereka berterus terang dengan celaan-celaan mereka pada riwayat-riwayat tersebut
dan ragu akannya.
Sesungguhnya riwayat-riwayat yang dinisbahkan
kepadanya hanyalah muncul setalah kematiannya, yang terjadi setelah berlalunya
zaman yang panjang setelah kematiannya. Kitab yang paling awal dari
riwayat-riwayat itu dalam bidang fiqh, yang mu’tamad dikalangan syiah imamiyah,
yang ada saat ini adalah kitab furu’ul Kaafi karya al Kulaini yang meninggal
pada tahun 359 H atau 180 tahun setalah kematian imam Ja’far ash Shodiq
rahimahullah. Kemudian datang setelahnya Muhammad ibn ‘Ali ibn Babuyah al Qumi
meninggal pada tahun 381 H dalam kitabnya faqih man laa yahdhuruhu al faqiih
yaitu 230 tahun setelah kematian Ja’far ash Shodiq
Sebuah prinsip yang harus kita pegang adalah
kita tidak menerima suatu perkataan pun dari Ja’far ash-Shadiq dan imam-imam
yang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, diriwayatkan dari orang-orang
yang terpercaya, dan didukung dalil, maka baru perkataan tersebut bisa kita
terima. Dan yang perlu diketahui, pada masa hidup Ja’far ash-Shadiq adalah
masa-masa yang kering dari karya tulis (80-148 H).
Sebagaimana mereka menasabkan sebagian kitab kepada Ja`far. Padahal para ahli ilmu bersaksi bahwa kitab-kitab itu dipalsukan atas namanya. Diantara kitab-kitab tersebut adalah:
Kitab Rasail Ikhwan Ash Shafa (zaman
ahmad al muhajir)
Kitab ini dikarang lebih dari dua ratus tahun setelah wafatnya Ja`far, pada
waktu Dinasti Buwaihiyyah (316 H-443 H ???). Pada abad ketiga hijriyah (321 H -
447 H). Sementara Ja`far telah wafat pada tahun 148 H. Kitab ini banyak berisi
kekufuran, kebodohan dan juga filsafat buta yang tidak layak bagi Ja`far Ash
Shadiq dan ilmunya. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas.
Kitab Al Ja`far, yaitu kitab ramalan-ramalan tentang kejadian dan ilmu ghaib.
Kitab Ilm Al Bithaqah.
Kitab Al Jadawil atau Jadawil Al Hilal, telah memalsukan atas nama Abdullah bin
Mu`awiyah salah seorang yang sudah terkenal dengan kebohongan.
Kitab Al Haft.
Kitab Ikhtilaj Al A`dha.
Juga kitab-kitab lain seperti Qaus Qazah (pelangi) dan disebut Qaus Allah,
Tafsir Al Qur-an, Manafi` Al Qur-an, Qira`ah Al Qur-an fi Al Manam, Tafsir
Qira`ah As Surah fi Al Manam dan Al Kalam `ala Al Hawadits.
Tidak ada satu penetapan yang jelas di kalangan
Syi`ah bahwa kitab-kitab ini adalah kitab-kitab Ja`far Ash Shadiq selain oleh
Abu Musa Jabir bin Hayyan Ash Shufi Ath Tharthusi Al Kimai (200 H). Ibnu Hayyan
ini diragukan tentang agama dan amanahnya. Dia memang menjadi teman bagi
Ja`far, tetapi bukan Ja`far Ash Shadiq melainkan Ja`far Al Barmaki. Diantaranya
yang mengukuhkannya adalah Ibnu Hayyan tinggal di Baghdad sementara Ja`far Ash
Shadiq tinggal di Madinah. Juga abad pertama dan abad kedua tidak membutuhkan
kitab-kitab dan risalah-risalah seperti yang telah dinasabkan kepada Ja`far Ash
Shadiq ini.
KLAIM BOHONG SYIAH ATAS JA'FAR ASH SHADIQ
Pada masanya, bid'ah al Ja'd bin Dirham dan
pengaruh al Jahm bin Shafwan telah menyebar. Sebagian kaum Muslimin sudah
terpengaruh dengan aqidah al Qur`an sebagai makhluk. Akan tetapi, Ja'far bin
Muhammad menyatakan: "Bukan Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tetapi
Kalamullah"[2]. Aqidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan
golongan Syi'ah yang mengamini Mu'tazilah, dengan pemahaman aqidahnya, al
Qur`an adalah makhluk.
Artinya, prinsip aqidah yang dipegangi oleh Imam Ja'far ash Shadiq merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para imam Ahli Sunnah wal Jama'ah, dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan RasulNya.
Artinya, prinsip aqidah yang dipegangi oleh Imam Ja'far ash Shadiq merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para imam Ahli Sunnah wal Jama'ah, dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan RasulNya.
Sama dengan manhaj salaf (salafi) !!!!
Ibnu Taimiyyah berkata,"Syi'ah Imamiyah, mereka berselisih dengan Ahli Bait dalam kebanyakan pemahaman aqidah mereka. Dari kalangan imam Ahli Bait, seperti 'Ali bin al Husain Zainal 'Abidin, Abu Ja'far al Baqir, dan putranya, Ja'far bin Muhammad ash Shadiq, tidak ada yang mengingkari ru`yah (melihat Allah di akhirat), dan tidak ada yang mengatakan al Qur`an adalah makhluk, atau mengingkari takdir, atau menyatakan 'Ali merupakan khalifah resmi (sepeninggal Nabi n), tidak ada yang mengakui para imam dua belas ma'shum, atau mencela Abu Bakr dan 'Umar."
Juga Ibnu Taimiyah mengatakan, “Syariat mereka
(Syiah) tumpuannya berasal dari riwayat sebagian ahlul bait seperti Abu Ja’far
al-Baqir, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, dan lainnya. Tidak diragukan lagi,
mereka (yang dijadikan Syiah sebagai tumpuan riwayat) adalah orang-orang
pilihan milik kaum muslimin dan imam-imam umat ini. Ucapan-ucapan mereka
mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan oleh orang-orang seperti
mereka. Namun sayang, banyak nukilan dusta banyak disematkan kepada mereka.
Kaum Syiah tidak memiliki kapasitas dalam hal periwayatan. Mereka layaknya
ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), semua riwayat-riwayat yang mereka jumpai dalam
buku-buku mereka, langsung mereka terima (tanpa selesksi). Berbeda dengan
Ahlussunnah, mereka mempunyai kapasitas yang mumpuni dalam ilmu periwayatan,
sebagai piranti untuk membedakan mana kabar yang benar dan kabar yang dusta.”
(Minhaj as-Sunnah, 5: 162).
Orang-orang Syiah juga berdusta dengan meyakini bahwa Ja’far ash-Shadiq adalah imam yang kekal abadi, tidak akan pernah mengalami kematian. Hingga saat ini, menurut mereka Ja’far ash-Shadiq telah menulis banyak karya untuk mendakwahkan ajaran Syiah. Di antara buku yang diklaim Syiah sebagai karya Imam Ja’far adalah Rasailu Ikhwani ash-Shafa, al-Jafr (buku yang memberitakan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi), ‘Ilmu al-Bithaqah, Ikhtilaju al-A’dha, Qiraatu al-Quran fi al-Manam, dll.
Tokoh-tokoh Syi'ah tempo dulu mengakui, bahwa aqidah tauhid dan takdir (yang mereka yakini) tidak mereka dapatkan, baik melalui Kitabullah, Sunnah atau para imam Ahli Bait. Sebenarnya, mereka mendapatkannya dari Mu'tazilah. Mereka (kaum Mu'tazilah) itulah guru-guru mereka dalam tauhid dan al 'adl".
Klaim kaum Syi'ah yang menyatakan pemahaman aqidah mereka berasal dari Ja'far ash Shadiq atau imam Ahli Bait lainnya, hanyalah merupakan kedustaan, dan mengada-ada belaka. Sehingga tidak salah jika dianggapnya sebagai dongeng-dongeng fiktif, dan bualan kosong yang mereka nisbatkan kepada orang-orang yang mulia itu.
Bentuk kedustaan mereka merambah buku dan
tulisan-tulisan yang diklaim telah ditulis oleh Ja'far ash Shadiq. Para ulama
telah menetapkan kedustaan itu. Ditambah lagi, eranya (80-148 H) termasuk masa
yang kering dengan karya tulis. Yang ada, perkataan-perkataan yang diriwayatkan
dari mereka saja, tidak sampai dibukukan.
Kaidah yang mesti kita pegangi dalam masalah ini, tidak menerima satu perkataan pun dari ash Shadiq dan imam-imam lain, juga dari orang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, berisikan orang-orang yang tsiqah dan dikenal dari kalangan para perawi, atau bersesuaian dengan al Haq dan didukung oleh dalil, maka baru bisa diterima. Selain dari yang itu, tidak perlu dilihat.
Di antara kitab yang dinisbatkan kepadanya dengan kedustaan, yaitu kitab Rasailu Ikhawni ash Shafa, al Jafr (kitab yang memberitakan berbagai peristiwa yang akan terjadi), 'Ilmu al Bithaqah, Ikhtilaju al A'dha` (menjelaskan pergerakan-pergerakan yang ada di bawah tanah), Qira`atu al Qur`an Fi al Manam, dan sebagainya.
Golongan Syi'ah memperkuat kedustaan mereka tentang keotentikan kitab-kitab tersebut, dengan mengambil keterangan dari Abu Musa Jabir bin Hayyan ash Shufi ath Tharthusi. Dia ini adalah pakar kimia yang terkenal, meninggal tahun 200 H. Mereka berdalih, bahwa Abu Musa Jabir bin Hayyan telah menyertai Ja'far ash Shadiq dan menulis berbagai risalah yang berjumlah 500 buah dalam seribu lembar kertas. Namun, pernyataan ini masih sangat diragukan. Sebab, Jabir ini termasuk muttaham (tertuduh, dipertanyakan) dalam agama dan amanahnya, dan juga kesertaannya bersama Ja'far ash Shadiq yang meninggal tahun 148 H. Menurut keterangan yang masyhur, Jabir bukan menyertai Ja'far ash Shadiq, tetapi ia menyertai Ja'far bin Yahya al Barmaki. Dan lagi yang pantas untuk meragukan pernyataan tersebut, karena Imam Ja'far ash Shadiq berada di Madinah, sementara itu Jabir bermukim di Baghdad. Kedustaan tersebut semakin jelas jika melihat kesibukan Jabir dengan ilmu-ilmu alamnya, yang tentu sangat berbeda dengan yang ditekuni Imam Ja'far ash Shadiq.
Oleh karena itu, tulisan-tulisan di atas, tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Ja'far ash Shadiq. Ringkasnya, Syi'ah berdiri di atas kedustaan dan kebohongan. Andaikan benar miliknya, sudah tentu akan diketahui anak-anaknya dan para muridnya, dan kemudian akan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Wallahul Musta'an.
Fakta ini semakin membuktikan bahwa Syiah berdiri di atas gulungan kedustaan dan kebohongan. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyimpulkan:
"Adapun syariat mereka, tumpuannya berasal dari riwayat dari sebagian Ahli Bait seperti Abu Ja'far al Baqir, Ja'far bin Muhammad ash Shadiq dan lainnya".
Tidak diragukan lagi, bahwa mereka adalah orang-orang pilihan milik kaum muslimin dan imam mereka. Ucapan-ucapan mereka mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan orang-orang semacam mereka. Tetapi, banyak nukilan dusta ditempelkan pada mereka. Kaum Syiah tidak memiliki kemampuan penguasaan dalam aspek isnad dan penyeleksian antara perawi yang tsiqah dan yang tidak. Dalam masalah ini, mereka laksana Ahli Kitab. Semua yang mereka jumpai dalam kitab-kitab, berupa riwayat dari pendahu-pendahulu mereka, langsung diterima. Berbeda dengan Ahli Sunnah, mereka mempunyai kemampuan penguasaan isnad, sebagai piranti untuk membedakan antara kejujuran dengan kedustaan. (Minhaju as Sunnah, 5/162).
[1]. Oleh Syi'ah Imamiyah, ia diangkat sebagai imam berikutnya. Dalam masalah ini, Syi'ah Imamiyah berseteru pendapat dengan Isma'iliyah tentang imam setelah Ja'far ash Shadiq, antara Musa yang bergelar al Kazhim dengan Isma'il yang sudah meninggal terlebih dahulu. Perbedaan memang menjadi ciri khas ahli bid'ah, bahkan pada masalah yang prinsip menurut mereka.
[2]. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, bahwa pernyataan itu termasuk sering diriwayatkan dari Ja'far ash Shadiq. (al Minhaj, 2/245).
(almanhaj.or.id/syiahindonesia.com)
Kaidah yang mesti kita pegangi dalam masalah ini, tidak menerima satu perkataan pun dari ash Shadiq dan imam-imam lain, juga dari orang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, berisikan orang-orang yang tsiqah dan dikenal dari kalangan para perawi, atau bersesuaian dengan al Haq dan didukung oleh dalil, maka baru bisa diterima. Selain dari yang itu, tidak perlu dilihat.
Di antara kitab yang dinisbatkan kepadanya dengan kedustaan, yaitu kitab Rasailu Ikhawni ash Shafa, al Jafr (kitab yang memberitakan berbagai peristiwa yang akan terjadi), 'Ilmu al Bithaqah, Ikhtilaju al A'dha` (menjelaskan pergerakan-pergerakan yang ada di bawah tanah), Qira`atu al Qur`an Fi al Manam, dan sebagainya.
Golongan Syi'ah memperkuat kedustaan mereka tentang keotentikan kitab-kitab tersebut, dengan mengambil keterangan dari Abu Musa Jabir bin Hayyan ash Shufi ath Tharthusi. Dia ini adalah pakar kimia yang terkenal, meninggal tahun 200 H. Mereka berdalih, bahwa Abu Musa Jabir bin Hayyan telah menyertai Ja'far ash Shadiq dan menulis berbagai risalah yang berjumlah 500 buah dalam seribu lembar kertas. Namun, pernyataan ini masih sangat diragukan. Sebab, Jabir ini termasuk muttaham (tertuduh, dipertanyakan) dalam agama dan amanahnya, dan juga kesertaannya bersama Ja'far ash Shadiq yang meninggal tahun 148 H. Menurut keterangan yang masyhur, Jabir bukan menyertai Ja'far ash Shadiq, tetapi ia menyertai Ja'far bin Yahya al Barmaki. Dan lagi yang pantas untuk meragukan pernyataan tersebut, karena Imam Ja'far ash Shadiq berada di Madinah, sementara itu Jabir bermukim di Baghdad. Kedustaan tersebut semakin jelas jika melihat kesibukan Jabir dengan ilmu-ilmu alamnya, yang tentu sangat berbeda dengan yang ditekuni Imam Ja'far ash Shadiq.
Oleh karena itu, tulisan-tulisan di atas, tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Ja'far ash Shadiq. Ringkasnya, Syi'ah berdiri di atas kedustaan dan kebohongan. Andaikan benar miliknya, sudah tentu akan diketahui anak-anaknya dan para muridnya, dan kemudian akan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Wallahul Musta'an.
Fakta ini semakin membuktikan bahwa Syiah berdiri di atas gulungan kedustaan dan kebohongan. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyimpulkan:
"Adapun syariat mereka, tumpuannya berasal dari riwayat dari sebagian Ahli Bait seperti Abu Ja'far al Baqir, Ja'far bin Muhammad ash Shadiq dan lainnya".
Tidak diragukan lagi, bahwa mereka adalah orang-orang pilihan milik kaum muslimin dan imam mereka. Ucapan-ucapan mereka mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan orang-orang semacam mereka. Tetapi, banyak nukilan dusta ditempelkan pada mereka. Kaum Syiah tidak memiliki kemampuan penguasaan dalam aspek isnad dan penyeleksian antara perawi yang tsiqah dan yang tidak. Dalam masalah ini, mereka laksana Ahli Kitab. Semua yang mereka jumpai dalam kitab-kitab, berupa riwayat dari pendahu-pendahulu mereka, langsung diterima. Berbeda dengan Ahli Sunnah, mereka mempunyai kemampuan penguasaan isnad, sebagai piranti untuk membedakan antara kejujuran dengan kedustaan. (Minhaju as Sunnah, 5/162).
[1]. Oleh Syi'ah Imamiyah, ia diangkat sebagai imam berikutnya. Dalam masalah ini, Syi'ah Imamiyah berseteru pendapat dengan Isma'iliyah tentang imam setelah Ja'far ash Shadiq, antara Musa yang bergelar al Kazhim dengan Isma'il yang sudah meninggal terlebih dahulu. Perbedaan memang menjadi ciri khas ahli bid'ah, bahkan pada masalah yang prinsip menurut mereka.
[2]. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan, bahwa pernyataan itu termasuk sering diriwayatkan dari Ja'far ash Shadiq. (al Minhaj, 2/245).
(almanhaj.or.id/syiahindonesia.com)
Sumber:
1.Ushturah Mazhab Ja'fari halaman: 14.
Penerjemah: Muhammad Ode Wahyu.
2.Gen Syi`ah, Sebuah Tinjauan Sejarah
Penyimpangan Aqidah dan Konspirasi Yahudi, Mamduh Farhan Al Buhairi, Penerbit
Darul Falah.
7.Diadaptasi dari muqaddimah tahqiq Kitab
al Munazharah. Munazharah Ja'far bin Muhammad ash Shadiq Ma'a ar Rafidhi fi at
Tafdhili Baina Abi Bakr wa 'Ali, karya Imam al Hujjah Ja'far bin Muhammad ash
Shadiq, tahqiq 'Ali bin 'Abdul 'Aziz al 'Ali Alu Syibl, Dar al Wathan Riyadh,
Cet. I, Th. 1417 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M]
Jafar shadiq imam ahlus sunnah, sudah
pasti dia bukan syiah. Anak-anaknya juga memiliki manhaj (aqidah) sama dengan
bapaknya. Kenapa syiah mengklaim anak-anaknya jafar shadiq, Ismail, Musa dan
Ali sebagai tokoh, panutan agama syiah. Mana bukti ilmiyyah anak-anaknya jafar
shadiq berbeda manhaj (aqidah) dengan bapaknya ?
Kedudukan Para Imam Syi’ah Dua Belas
Bagaimanakah kedudukan para imam syi’ah
12 terlebih khusus tokoh-tokoh terkini mereka ?
Kedua:
Telah dijelaskan sebelumnya akan
kebatilan madzhab ini dan penyimpangannya dari ajaran ahlus sunnah wal jama’ah,
dan tidak diterima keyakinan seseorang kepadanya, tidak juga dari para ulama maupun
orang-orang awamnya.
Sedangkan para imam yang dinisbatkan
kepada mereka, maka mereka terbebas dari kebohongan dan kebatilan tersebut, di
antara nama-nama para imam tersebut adalah:
1. Ali bin
Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- meninggal syahid pada tahun 40 H.
2. Al Hasan
bin Ali –radhiyallahu ‘anhu- ( 3 – 50 H.)
3. Al
Husain bin Ali –radhiyallahu ‘anhu- (4 – 61 H. )
4. Ali
Zainal Abidin bin Husain ( 38 – 95 H.) yang diberi gelar As Sajjad.
5. Muhammad
bin Ali Zainal Abidin (57 – 114 H.) yang diberi gelar al Baaqir
6. Ja’far
bin Muhammad al Baaqir (83 – 148 H.) yang diberi gelar ash Shadiq
7. Musa bin
Ja’far ash Shodiq (128 – 183 H. ) yang diberi gelar al Kadzim
8. Ali bin
Musa al Kadzim (148 – 203 H.) yang diberi gelar ar Ridho
9. Muhammad
al Jawwad bin Ali ar Ridho (195 – 220 H) yang diberi gelar at Taqiy
10. Ali al Haadi bin Muhammad al
Jawwad (212 – 254 H.) yang diberi gelar an Naqiy
11. Al Hasan al Askari bin Ali al
Haadi (232 - 260 H.) yang diberi gelar az Zakiy
12. Muhammad al Mahdi bin al Hasan
al Askary, yang diberi gelar al Hujjah al Qaim al Muntadzor.
Mereka mengklaim bahwa imam yang terakhir
telah memasuki sirdab (ruang bawah tanah) di Samra’. Banyak peneliti yang
menyatakan bahwa dia itu aslinya tidak ada dan merupakan hasil rekayasa Syi’ah.
Baca juga Al Mausu’ah al Muyassarah:
1/51.
Ibnu Kastir berkata di dalam Al Bidayah
wan Nihayah (1/177):
“Adapun apa yang mereka yakini tentang
sirdab (ruang bawah tanah) di Samra’ merupakan bentuk stres di kepala, gangguan
pada jiwa, tidak nyata, tidak ada dzat dan jejaknya”.
Ibnu Taimiyah –rahimahullah- membagi 12
imam menjadi empat bagian:
Pertama:
Ali bin Abi Thalib, al Hasan dan al Husain
–radhiyallahu ‘anhum- mereka adalah para sahabat yang agung, tidak diragukan
akan keutamaan dan kepemimpinan mereka, namun yang menyertai keutamaan sebagai
sahabat banyak yang lainnya, dan di antara para sahabat ada yang lebih utama
dari mereka dengan dalil-dalil yang shahih dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-.
Kedua:
Ali bin Husain, Muhammad
bin Ali al Baqir, Ja’far bin Muhammad
as Shadiq dan Musa bin Ja’far, mereka adalah termasuk ulama yang
terpercaya yang diakui. (Minhajus Sunnah: 2/243-244)
Ketiga:
Ali bin Musa ar Ridho, Muhammad bin Ali bin
Musa al Jawwad, Ali bin Muhammad bin Ali al Askari dan Hasan bin Ali bin
Muhammad al Askari, mereka semua sebagaimana yang katakana oleh Ibnu Taimiyah:
“Mereka semua tidak nampak keilmuwannya yang bermanfaat bagi umat, mereka juga
tidak ringan tangan untuk membantu umat, akan tetapi mereka sama saja seperti
Bani Hasyim lainnya, mereka mempunyai kehormatan dan kedudukan, di antara
mereka juga yang mengetahui ajaran Islam yang umum sama dengan orang-orang yang
lainnya, adapun yang rinciannya ajaran Islam yang diketahui oleh para ulama
maka dalam hal ini mereka tidak dikenal demikian, oleh karena itu para ulama
tidak mengambil pendapat mereka sebagaimana mereka telah mengambil pendapat
tiga orang pertama, kalau saja mereka mendapatkan dari mereka sesuatu yang
bermanfaat maka mereka pasti mengambilnya, akan tetapi seorang pencari ilmu
mengetahui tujuannya”. (Minhajus Sunnah: 6/387)
Keempat:
Muhammad bin Hasan al Askari al Muntadzor, maka
orang ini tidak nyata sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Wallahu A’lam.
Kritik Atas Kritik Jalaluddin Rakhmat
terhadap Metode al-Jarh wa al-Ta’dil
Para ulama Jarh tidak mengalami perbedaan
pendapat. Karena itu pernyataan al-Dzahabi itu digunakan Jalaluddin Rakhmat
bukan pada tempatnya
Syiah yang dimaksud ulama-ulama
mutaqaddimin, termasuk di dalamnya Imam Bukhari, berbeda dengan Syiah yang kita
kenal pada era sekarang (Syiah Rafidhi)
Oleh; Umar Hadi
ILMU hadis sebagai sebuah disiplin ilmu
yang telah dianggap matang bahkan sampai gosong (ihtaraqat), tidak banyak orang
yang melakukan kritik terhadap ilmu al-jarh wa at-ta’dil. Karena itu ketika
Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Misteri Wasiat Nabi melakukan kritik dengan
menyampaikan beberapa kelemahan dalam metode ini, tentu perlu kita kritisi
juga, apakakah kritiknya tepat atau tidak.
Menjawab Kritikan Jalal
Beberapa kritik Jalaluddin Rakhmat
terhadap metode ini adalah sebagai berikut:
1. Semua perawi bisa di-jarh. Termasuk
sahabat juga di-jarh. Meskipun dalam kaidah ilmu jarh wa at-ta’dil dikataka
as-s{ahabatu kulluhum ‘udu>l, tetapi faktanya, praktek jarh sudah dimulai
sejak jaman sahabat segera setelah Nabi meninggal dunia. Jalal menguatkan
pendirianya dengan mengutip pendapat Qasim bin Ali dalam bukunya Mabahits fi
‘Ilmi Jarh wa al-Ta’dil.
Jalaluddin Menulis:
“Aisyah menyalahkan Umar bin Khattab,
Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Mas’ud,
Abdullah bin Umar bin al-Ahs, Abu Hurairah, Abu Darda, Jabir bin ‘Abdullah dan
lain-lain ….” (Jalaluddin, Misteri Wasiat Nabi, hlm. 30-31)
Pernyataan bahwa para sahabat-pun bisa
di-jarh dengan alasan karena ternyata para sahabat-pun saling men-jarh, menurut
penulis perlu tinjau ulang. Ada beberapa alasan, diantaranya: [1] bahwa
ke-adalah-an para sahabat merupakan konsensus (ijma’) para ulama, baik dalam
kalangan Ahlu sunnah, Mu’tazilah, dan Zaidiyah. (lihat: Nur al-Din ‘Iter, hlm.
122 & Faruq Hammadah, Manhaj al-Islamiy fi al-Jarhi wa al-Ta’dil, hlm. 214)
[2] bahwa apa yang dilakukan oleh para sahabat yang men-jarh sahabat yang lain,
bukanjarh. Tapi aktivitas tersebut adalah ta’lil. Dan secara filosofis itu dua
hal yang berbeda. Tajrih mengacu kepada periwayat, apakah dia tsiqah dan
sebagainya.
Sementara ta’lil mengacu kepada persoalan
kritik atas kecermatan seorang sahabat lainnya, yaitu kecermatan dalam menukil
redaksi sebuah riwayat, bukan dalam hal kejujuran atau seringnya melakukan
kekeliuran.
Itulah sebabnya meskipun Siti Aisyah
melakukan kritik terhadap riwayat Abu Hurairah, Umar dan Abdullah bin Umar, dia
tetap mengakui kejujuran mereka. Aisyah mengatakan “Sesungguhnya kalian
menyampaikan kepadaku bukanlah dari orang yang berdusta dan didustakan. Hanya
saja pendengaran keduanya salah.” (al-Adabi, Manhaj Naqdi al-Matn, hlm.
113-116).
Jadi, praktek jarh di atas bukan dalam
hal adalah, tetapi dalam hal kecermatan meriwayat. Bukan pula dalam hal
kecermatan secara umum (dhabt), melainkan kecermatan untuk hadis tertentu saja.
Berikut penjelasan Imam al-Hakim tentang
perbedaan jarh dan ta’lil:
وَإِنَّمَا يُعَلَّلُ الْحَدِيثُ مِنْ أَوْجُهٍ
لَيْسَ لِلْجَرْحِ فِيهَا مَدْخَلٌ، فَإِنَّ حَدِيثَ الْمَجْرُوحِ سَاقِطٌ وَاهٍ،
وَعِلَّةٌ الْحَدِيثِ يَكْثُرُ فِي أَحَادِيثِ الثِّقَاتِ
“hadis-hadis yang dinilai muallal dengan
berbagai metode tidaklah melibatkan metode jarh didalamnya. Karena hadis yang
majruh adalah hadis yang lemah. Sementara illat hadis banyak terdapat dalam
hadis-hadis yang dinilai tsiqah.
Sementara itu, kaedah semua sahabat
adalah adil dirumuskan oleh para ulama hadis bukan dimaksudkan untuk semua para
sahabat tanpa terkecuali, karena faktanya ada di antara sebagian mereka,
misalnya, ada sahabat yang sholat dalam keadaan mabuk sebagaimana yang
dilaporkan oleh Imam al-Dzahabi dalam kitabnya al-Nubala’. Tetapi patut pula
dicatat bahwa tidak satu laporanpun, ada ulama atau rawi yang meriwayatkan
hadis dari sahabat yang telah tercabut ke-adalah-annya tersebut. Dengan
demikian, kaedah tersebut hanyalah merupakan bentuk ta’mim karena melihat
kepada hukum asal keutamaan sahabat (lihat: Hammadah, al-Jarhi wa al-Ta’dil,
hlm. 219.)
2. Tidak ada kesepakatan di antara para
ahli Jarh wa ta’dil
Dalam hal ini Kang Jalal membawakan
pernyataan dari Imam al-Dzahabi bahwa “Tidak terjadi kesepakatan sama sekali
antara dua orang ulama Jarh dalam mentsiqahkan perawi yang dhaif dan
mendhaifkan perawi yang tsiqah”
Kita katakan bahwa apa yang dinyatakan
oleh Kang Jalal akan menjadi benar jika yang dimaksud adalah bahwa para ulama
seringkali berbeda pendapat mengenai periwayat yang belum masyhur tsiqah dan
tidaknya. Akan tetapi jika periwayat tersebut telah masyhur baik tsiqah atau
kelemahannya, maka para ulama Jarh tidak mengalami perbedaan pendapat. Karena
itu pernyataan al-Dzahabi itu digunakan oleh Kang Jalal bukan pada tempat (fi
ghairi maudhu’ihi).
Disamping itu, pernyataan bahwa para
ulama dalam bidang ini tidak pernah mencapai kesepatan mengenai status
periwayat, jelas melanggar fakta yang ada. Alasannya ada banyak diantara para
rawi yang masyhur ke-tsiqah-annya sehingga tidak ada perbedaan pendapat
penilaian dari kalangan kritikus hadis.
Misalnya, Imam Malik, Syubah, Sufyan
al-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin al-Mubarak, Waki’ dan yang lainnya.
Kita patut bertanya kepada Jalal, pernahkah ada seorang kritikus hadits yang
men-jarh nama-nama tersebut di atas?
1. Subjektivitas al-Jarh wa al-Ta’dil
Jalal menilai bahwa ilmu ini mengandung
aroma subjektivitasme yang sangat kuat dalam menilai sebuah riwayat. Misalnya,
seseorang didhaifkan karena mengejar keledai, kencing berdiri, dan yang paling
banyak terjadi pen-jarhan terhadap seseorang karena persaingan di antara para
ulama atau fanatisme mazhab. (Misteri Wasiat Nabi, hlm. 36)
Problem adanya jarh yang tidak relevan
memang ada. Tetapi kritik-kritik yang tidak relevan tidak lantas menjadikan
rawi tersebut kredibilitasnya menjadi gugur. Hal ini seperti yang ditegaskan
oleh al-Khatib al-Bagdhadhi dalam kitabnya al-Kifayah fi al-Riwayah di bawah
Bab
ذكر بعض أخبار من استفسر في الجرح فذكر مالا يسقط
العدالة
Kita bisa mengajukan bukti bahwa para
ulama dalam bidang ini berupaya semaksimal mungkin menghindari biar-bias
subjektivitas. Buktinya, perhatikan ucapan Zaid bin Abi Anisah, “Janganlah
kalian mengambil hadis dari saudaraku, yakni Yahya bin Abi Hanisah. (shahih
Muslim, Syarah Imam Nawawi, al-Muqaddimah, bab al-isnad min al-din,1/181).
Juga ucapan Abu Daud, “Sungguh anakku,
Abdullah, seorang pendusta. (al-Dzhabi, Tahqiq, Siyar ‘a’lam al-Nubala’, juz 3,
hlm. 228). Bukti lain, suatu ketika Abd al-Khaliq bin al-Manshur bertanya
kepada Imam Yahya bin Ma’in tentang Ali bin Qarin, maka Yahnya berkata bahwa
dia seorang pendusta. Lantas Abd al-Khaliq berkata “wahai Abu Zakaria bukankah
dia banyak mengadakan kesepakatan dengan kalian? Imam Yahya menjawab “Benar dia
banyak mengadakan persetujuan dengan kami, hanya saja saya malu kepada Allah
berkata kecuali yang benar. Sungguh dia adalah kadzzab” (al-Bagdhadi, Tarikh
Bagdad, juz 12. Hlm. 51).
2. Fanatisme Mazhab dan penolakan
terhadap rawi dari Mazhab ahlul Bait
Kritik yang sama juga disampaikan oleh
Ahmad Amin dan Mahmud Abu Rayyah. Tapi pertanyaan kritisnya, benarkah kedua hal
di atas membuat para ulama tidak bersikap objektif dalam menilai kualitas dan
kredibilitas seorang rawi?
Salah satu prinsip dalam ilmu ini, bahwa
jarh tidak dilakukan kepada siapapun yang berbeda dengan paham ahlu sunnah
selama bukan bid’ah yang menyebabkan kekafiran, atau mereka mengajak kepada
kebid’ahan mereka. Praktek jarh yang dilakukan terhadap sesama atau di luar
ahlu sunnah, semuanya kembali kepada satu substansi; yaitu apakah rawi tersebut
jujur, adil, dan memiliki akurasi hapalan yang kuat (dhabt), bukan kepada
perbedaan dan fanatisme mazhab.
Itulah sebabnya kita mendapati fakta
bahwa dalam al-kutub al-sittah ada banyak perawi mubtadi’ namun riwayat mereka
diterima selama terpenuhinya syarat-syarat diterimanya sebuah hadis.
Misalnya Imam Bukhari menerima riwayat
‘Ibad bin Ya’qub al-Rawazani yang dalam penilaian Ibnu Khuzaiman dia seorang
yang shaduq namun dicurigai kualiatas agamanya (al-muttahim fi dinihi),
menerima riwayat Aban bin Taglib yang dalam penilaian al-Dzhabi “bagi kita
kejujurannya, dan baginya kebid’ahannya”.
Adapun masalah yang kedua; penolakan
terhadap riwayat Mazhab Ahlul Bait, Pertanyaannya Apa benar ulama ahli Hadis
menolak semua riwayat golongan Syiah?
Jika, misalnya, mengacu kepada kitab
Shahihnya Imam Bukhari, kita mendapat fakta bahwa beliau ternyata masih
menerima riwayat dari kalangan Syiah (tasyayyu’), padahal beliau dikenal
sebagai ulama yang ketat (mutasyaddid). Ibnu Hajar telah mengumpulkan para
narator yang dianggap tasyayyu’ yang diterima riwayatnya oleh Imam Bukhari
dalam kitabnya Hadyu al-Sariy.
Di dalam kitabnya Imam Bukhari
meriwayatkan 29 hadis dari imam Ali, 5 hadis dari Abbas, 2 hadis dari Abdullah
bin Ja’far bin Abi Thalib, 217 hadis dari Abdullah bin Abbas, 1 hadis dari
Sayyidah Fathimah (Ibnu Hajar Hadyu al-Sari Muqaddimah Fathul Bari, hlm.
499-501)
Hanya saja perlu dijelaskan, bahwa Syiah
yang dimaksud dan dipahami oleh ulama-ulama mutaqaddimin, termasuk di dalamnya
adalah Imam Bukhari, berbeda dengan Syiah yang kita kenal pada era sekarang
(Syiah Rafidhi).
Imam Ibnu Hajar menulis “Dalam pandangan
ulama mutaqaddimin tasyayyu’ hanyalah sebatas keyakinan bahwa Ali lebih utama
daripada Utsman, keyakinan bahwa Ali benar peperangannya, yang menyelesihinya
salah. Mereka tetap mengakui keuatamaan Abu Bakar dan Umar, tapi sebagian
mereka meyakini Ali manusia yang paling utama setelah Nabi. Adapun Tasyayyu’
dalam pandangan ulama Muta’khhirin maka mereka adalah Rafidli murni. Tidak
boleh menerima riwayat mereka”(Ibnu Hajar al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib, vol
i, hlm. 53.*
Penulis pengasuh Pesantren Hidayatullah
Berau
Al-Jarh Wa Al-Ta’dil: Upaya Menghindari
Skeptis Dan Hadis Palsu (Bahrul Ma’ani)
Adakah Fiqh Madzhab Ja'fari
? Sikap Syi'ah Dalam Permasalan Fiqh
Abu Hurairah Vs Jabir Al Ju'fi
Apakah Syi'ah Memiliki Kitab Shahih?
Apakah Syi'ah Memiliki Kitab Shahih? [2]
Benarkah Ajaran Syi'ah Putus Sanad ? Masihkah Mahluk Syiah
Khumainiyyah Berani Mengaku-Ngaku Sebagai Pewaris Ajaran Ahlul bait?
Benarkah Imam Bukhari Mengambil Riwayat Dari Kaum Syiah?
Bagaimana Mengikuti
Keluarga Nabi ?
Bukti nyata kepalsuan Madzhab Syi’ah
Bantahan Ustadz Firanda : Habib Husain Al-Atas (Pengasuh Radio
RASIL), antara Syi'ah, Sunnah, atau Liberal ?!
Diantara Dusta Syi’ah Atas Nama Al-Imam Al-Bukhariy
Hubungan 12 Imam Syiah
Dengan ImamMazhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Imam Ja’far Bin Muhammad Ash-Shadiq
Menyebut Orang (Hatinya) Tidak Cinta Kepada Abu Bakar RA Dan Umar RA Adalah
Ahli Neraka !
Imam Ja’far Ash-Shadiq
Rahimahullah, Imam Ahli Sunnah, Bukan Milik Syi’ah
Imam Ja'far Ash Shadiq,
Imam Ahli Sunnah, Bukan Milik Syi'ah. Al Bukhari Tidak Meriwayatkan Satu Hadits
Pun Dari Imam Ahlul Bait?
jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis
Shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak adalah perkataan yang batil
Jarh Perawi Syi'ah
Kaum Syiah, Golongan
Pemalsu Hadits Terdepan
Kesepakatan Umat (Ulama) Kitab Shahih Al-Bukhari Dan Muslim,
Kitab Yang Paling Shahih Setelah Al-Qur’an,Kecuali Golongan
Syi’ah/Taqiyaher/Kamuflaser Yang Tidak Mengakui Keberadaan Keduanya.
Keujudan Abdullah Ibn Saba’ Dari Sumber Syiah
Kitab Shahih Mazhab Syi'ah
Konsep Batil Hadits Syiah, dari Cacat Ruwat hingga Cacat Sanad
Kesepakatan Umat (Ulama) Kitab Shahih Al-Bukhari Dan Muslim,
Kitab Yang Paling Shahih Setelah Al-Qur’an,Kecuali Golongan
Syi’ah/Taqiyaher/Kamuflaser Yang Tidak Mengakui Keberadaan Keduanya.
Konsep Batil
(Validitas) Hadits Syiah, dari Cacat Ruwat hingga Cacat Sanad. Kaum Syiah,
Golongan Pemalsu Hadits Terdepan. Syi'ah Percaya Al-Qur'an ?
Kepalsuan Madzhab
Ja’fari
Memahami Kelainan Syiah, Sebuah Nota
Kesepahaman
Mana Riwayat Jabir Al Ju'fi?
Menyoal Validitas Hadits Syi’ah
Metodologi Kritik Hadits Dalam Pandangan Syiah Imamiyah
(Pelengkap)
Mengapa Imam Al-Bukhari Menulis Kitab Shahihnya? Mengenal Sisi
Lain Shahih Al-Bukhari
Masukan Untuk Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin Terkait Risalah Amman
Manuskrip Perdebatan
Imam Ja’far Ash Shadiq Dengan Orang Syiah
Mengenal Ahlus
Sunnah,Imam Ja'far Ash-Shadiq Rahimahullah
Penodaan Syiah Terhadap
Mazhab Fikih Ja’fari
Siapakah Al Imam Ja'Far
Ash Shadiq
Riwayat Hadits Nabi Saw Dari Kitab Sunni Dan Syi'ah
Riwayat Syi’ah dlm Shahihain (Bagian Pertama)
(tanggapan atas Habib Rizieq Shihab)
Riwayat Syi’ah dlm Shahihain (updated !!) (Bagian Kedua)
(tanggapan atas Habib Rizieq Shihab)
Siapakah Al Imam Ja'Far Ash Shadiq
Sanad Hadits, Pentingkah?
Sekilas tentang Perawi Utama Syi’ah : Jaabir Al-Ju’fiy,
Zuraarah, dan Muhammad bin Muslim
Sesatkah Syi’ah Ja’fariyah dan Pantaskah Syi'ah Disebut Mazhab ?
Sumber ajaran syiah seri (satu)
Sumber ajaran syiah
seri (dua)
Syi'ah Percaya Al-Qur'an ? (Tanggapan untuk Kebohongan Haidar
Bagir dalam Harian Republika 27 Januari 2012)
syi'ah termasuk dalam klasifikasi /golongan Kafir Harbi(Klasifikasi Kafirhttp://www.habibrizieq.com/2015/01/klasifikasi-kafir.html)
Syi’ah dan Riwayat Hadits dalam Kitab Mereka [bagian 2]
Syi’ah Itu Sesat Juragan (Sebuah Masukan untuk Bapak Profesor
Umar Syihab dan Bapak Profesor Din Syamsuddin)
Syiah adalah bagian dari madzhab dalam islam? Yang bener saja,
ini lho fatwa-fatwa agama syiah, bagi yang belum pernah membacanya..
Syiah Meminjam Qur’an Sunni
Syiah Mencela Aisyah, Abu Hurairah, Wahabi, Salafi
Web Dungu Syi'ah Recehan (syiahali.wp) Meng-KAFIR-kan Ulamanya
Sendiri
12 Orang yg diklaim
Syiah Imamiyah sbg Imam Ahlu Bait mereka adlh..