Al-Manhajus Salaf telah menjelaskan dalam
Islam ini cara² untuk mengenal jati diri & hakekat yang ada pada diri
seseorang seraca umum, yakni mengenalnya berdasarkan apa yang ia tampakkan
secara zhahir, baik melalui ucapannya maupun dengan perbuatannya.
Diantaranya adalah:
➊Lihatlah Bagaimana Awal Pertumbuhan Dan Belajar
Seseorang.
Jika awal pertumbuhannya bersama
Ahlussunnah maka bisa diharapkan darinya kebaikkan² yang banyak, dan jika
sebaliknya maka yang sering terjadi adalah musibah sehingga tidak lagi
diharapkan kebaikkan darinya.
Amru bin Qais al-Mulaiy rahimahullah
berkata:
➡ “Jika kamu lihat seorang pemuda tumbuh
bersama Ahli Sunnah wal Jamaah, harapkanlah dia dan bila ia tumbuh bersama ahli
bid’ah berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena pemuda itu
bergantung di atas apa yang pertama kali ia tumbuh dan dibentuk.” [Al-Ibanah
1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518].
Ia juga mengatakan:
➡ “Seorang pemuda itu benar-benar akan
berkembang maka jika ia lebih mementingkan duduk dengan Ahli Ilmu ia akan
selamat dan jika ia condong kepada yang lain ia akan celaka.”
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
➡ “Jika kamu melihat seorang pemuda tumbuh
bersama Ahli Sunnah wal Jamaah maka harapkanlah (kebaikannya) dan jika kamu
lihat dia tumbuh bersama ahli bid’ah maka berputus-asalah kamu dari (mengharap
kebaikan)nya. Karena sesungguhnya pemuda itu tergantung di atas apa ia pertama
kali tumbuh.” [Al-Adabus Syari’ah Ibnu Muflih 3/77]
Dlamrah bin Rabi’ah berkata, (saya
mendengar) dari Ibnu Syaudzab al-Khurasaniy berkata:
➡ “Sesungguhnya di antara kenikmatan yang
Allah berikan kepada para pemuda ialah ketika ia beribadah dan bersaudara
dengan seorang Ahli Sunnah. Dan ia akan bergabung bersamanya di atas As
Sunnah.” [Al-Ibanah 1/205 nomor 43 dan Ash-Shughra 133 nomor 91 dan al-Lalikai
1/60 nomor 31]
Dari Abdullah bin Syaudzab dari Ayyub ia
berkata:
➡ “Termasuk kenikmatan bagi seorang pemuda
dan orang-orang non Arab ialah jika Allah menurunkan taufiq kepada mereka untuk
mengikuti orang yang berilmu di kalangan Ahli Sunnah.” [Al-Lalikai 1/60 nomor
30].
➋Lihatlah Pertemannya, Dengan Siapa Dia
Berjalan, Ke Mana Tempat Masuk Dan Keluarnya, Siapa Tokoh Yang Dia Nukil
Ucapannya, Yang Dibela Dan Dipujinya.
Jika dia berteman, berkumpul, memuliakan
& membela Ahlussunnah, maka dia termasuk Ahlussunnah bi idznillah. Namun
jika berteman, berkumpul, memuliakan & membela ahli bid'ah, maka itu
menunjukkan dia sejenis (memiliki kasamaan) dengan temannya atau tokoh ahli
bid'ah tersebut -wal'iyyadzubillah-.
➡Menilai seseorang dengan melihat pertemanannya
Abu Hurairah berkata, Rasulullah [ ﷺ] bersabda:
➡ “(Agama) seseorang (dikenal) dari agama
temannya maka perhatikanlah siapa temanmu.” [As-Shahihah, 927]
Ibnu Mas’ud berkata:
➡ “Nilailah seseorang itu dengan siapa ia
berteman karena seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan seorang
fajir akan mengikuti orang fajir yang lainnya.” [Al-Ibanah 2/477 nomor 502 dan
Syarhus Sunnah al-Baghawi 13/70]
Dan ia berkata:
➡ “Seseorang itu akan berjalan dan berteman
dengan orang yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” [Al-Ibanah
2/476 nomor 499].
Beliau melanjutkan:
➡ “Nilailah seseorang itu dengan temannya
sebab sesungguhnya seseorang tidak akan berteman kecuali dengan orang yang
mengagumkannya (karena seperti dia).” [Al-Ibanah 2/477 nomor 501].
Beliau juga berkata:
➡ “Nilailah tanah ini dengan nama-namanya
dan nilailah seorang teman dengan siapa ia berteman.” [Al-Ibanah 2/479 nomor
509-510].
Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi
Sulaiman bin Daud Alaihis Salam bersabda:
➡ “Jangan menetapkan penilaian terhadap
seseorang sampai kamu memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” [Al-Ibanah
2/480 nomor 514].
➡Perhatikanlah ke mana tempat masuknya (tempat
yang dituju) & kepada siapa yang berkunjung.
Abu Darda mengatakan:
➡"Tanda keilmuan seseorang (dilihat) dari
jalan yang ditempuhnya, tempat masuknya, dan majelisnya.” [Al-Ibanah 2/464
nomor 459-460]
Musa bin Uqbah ash-Shuriy tiba di Baghdad
dan hal ini disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hanbal lalu beliau berkata:
“➡Perhatikan di mana ia singgah dan kepada siapa
dia berkunjung.” [Al-Ibanah 2/479-480 nomor 511]
Al-A’masy mengatakan:
➡ “Biasanya Salafus Shalih tidak menanyakan
(keadaan) seseorang sesudah (mengetahui) tiga hal yaitu jalannya, tempat
masuknya, dan teman-temannya.” [Al-Ibanah 2/476 nomor 498].
➌Sebuah Pertemanan Menjelaskan Kesepakatan &
Keserupaan Dengan Orang Yang Dia Pilih Menjadi Temannya
Qatadah berkata:
➡ “Sesungguhnya kami, demi Allah belum
pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang
menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba
Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.”
[Al-Ibanah 2/477 nomor 500].
Syu’bah berkata, aku dapati tulisan dalam
catatanku (menyatakan) bahwasanya:
➡ “Seseorang akan berteman dengan orang
yang ia sukai.” [Al-Ibanah 2/452 nomor 419-420].
Utbah al-Ghulam berkata:
➡ “Barangsiapa yang tidak bersama kami maka
dia adalah lawan kami.” [Al-Ibanah 2/437 nomor 487].
◈ Rasulullah [ ﷺ ] bersabda:
➡ “Ruh-ruh itu adalah juga sepasukan
tentara maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang tidak mengenal akan
berselisih.” [HR. al-Bukhary 3158 dan Muslim 2638].
Al-Fudlail bin Iyyadl mengomentari hadits
ini dengan berkata:
➡ “Tidak mungkin seorang Sunniy akan
berbasa-basi kepada ahli bid’ah kecuali jika ia dari kalangan munafiq.” [Lihat
Ar-Rad Alal Mubtadi’ah li Ibni al-Banna].
Ibnu Mas’ud berkata:
➡ “Jika seorang Mukmin memasuki mesjid yang
di dalamnya berkumpul 100 orang dan yang muslim hanya satu ia tentu akan masuk
ke dalamnya lalu duduk di dekatnya dan jika seorang munafiq memasuki mesjid
yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan hanya terdapat satu orang munafiq juga
ia akan tetap masuk dan duduk di dekatnya.”
➍ Ketahuilah Adanya Kebid'ahan Pada Diri
Seseorang Dengan Melihat Pertemanan & Ulfahnya Kepada Ahli Bid'ah
Al-Auza’iy berkata:
➡ “Siapa yang menyembunyikan bid’ahnya dari
kita tidak akan dapat menyembunyikan persahabatannya.” [Al-Ibanah 2/476 nomor
498].
Beliau juga berkata:
➡ “Barangsiapa yang tertutup dari kami
kebid'ahannya, maka tidak akan tersamarkan dari kami ulfahnya (kecondongan
hatinya / kecintaannya).” [Kitabu Rodi 'alal Mubtadi'ah, 181, -red]
Muhammad bin Abdullah al-Ghalabiy
mengatakan:
➡“Ahli bid’ah itu akan menyembunyikan segala
sesuatu kecuali persatuan dan persahabatan (di antara mereka).” [Al-Ibanah
1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518].
➎ Manhaj Salaf Dalam Menghukumi Orang Yang
Berteman & Bermajelis Dengan Ahli Bid'ah.
Ayyub As-Sikhtiyani diundang untuk memandikan
jenazah kemudian beliau berangkat bersama beberapa orang. Ketika penutup wajah
jenazah itu disingkapkan beliau segera mengenalinya dan berkata:
➡ “Kemarilah –kepada– temanmu ini, saya
tidak akan memandikannya karena saya pernah melihatnya berjalan dengan seorang
ahli bid’ah.” [Al-Ibanah 2/478 nomor 503].
Ibnu Aun mengatakan:
➡ “Siapa pun yang duduk dengan ahli bid’ah
ia lebih berbahaya bagi kami dibanding ahli bid’ah itu sendiri.” [Al-Ibanah
2/273 nomor 486].
Ketika Sufyan Ats-Tsaury datang ke
Bashrah melihat keadaan Ar Rabi’ bin Shabiih dan kedudukannya di tengah ummat,
Yahya bin Sa’id al-Qaththan berkata:
➡ “Ia bertanya apa madzhabnya?”
Mereka menjawab bahwa madzhabnya tidak
lain adalah As Sunnah, ia berkata lagi:
➡ “Siapa teman baiknya?”
Mereka menjawab:
➡ “Qadary.”
Beliau berkata:
➡ “Berarti ia seorang Qadariy.” [Al-Ibanah
2/453 nomor 421]
Ibnu Baththah berkata:
➡ “Semoga Allah merahmati Sufyan
Ats-Tsauri, ia sungguh telah berbicara dengan al-Hikmah maka alangkah tepat
ucapannya itu dan ia juga telah berkata dengan ilmu yang sesuai dengan al-Quran
dan as-Sunnah serta apa-apa yang sesuai dengan hikmah, realita, dan pemahaman
Ahli Bashirah,
Allah berfirman:
➡ “Hai orang-orang yang beriman, jangan
kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang bukan golonganmu
(sebab) mereka senantiasa menimbulkan bahaya bagi kamu dan mereka senang dengan
apa yang menyusahkanmu.” [QS. Ali Imran : 118]
Imam Abu Daud as-Sijistaniy berkata, saya
berkata kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (jika) saya melihat seorang
Sunniy bersama ahli bid’ah apakah saya tinggalkan ucapannya?
Beliau menjawab:
➡ “Tidak. Sebelum kamu terangkan kepadanya
bahwa orang yang kamu lihat bersamanya itu adalah ahli bid’ah. Maka jika ia
menjauhinya, tetaplah bicara dengannya dan jika tidak mau gabungkan saja
dengannya (anggap saja ia ahli bid’ah). Ibnu Mas’ud pernah berkata, ‘Seseorang
itu (dinilai) siapa teman dekatnya’.” [Thabaqat Hanabilah 1/160 no 216]
Ibnu Taimiyyah mengatakan:
➡ “Dan siapa yang selalu berprasangka baik
terhadap mereka (ahli bid’ah) –dan mengaku belum mengetahui keadaan mereka–
kenalkanlah ahli bid’ah itu padanya maka jika ia telah mengenalnya namun tidak
menampakkan penolakan terhadap mereka, gabungkanlah ia bersama mereka dan
anggaplah ia dari kalangan mereka juga.” [Al-Majmu’ 2/133]
Hammad bin Zaid mengatakan, Yunus berkata
kepadaku:
➡ “Hai Hammad, sesungguhnya jika saya
melihat seorang pemuda berada di atas perkara yang mungkar saya tetap tidak
akan berputus-asa mengharapkan kebaikannya kecuali bila saya melihatnya duduk
bersama ahli bid’ah maka ketika itu saya tahu kalau dia (telah) binasa.” [Al-Kifayah
91, Syarh Ilal At-Tirmidzy 1/349
Dakwah Rasul, Mencabut Jahiliyah Sampai Ke
Akarnya
Rombongan umat Islam yang berlindung ke
Habasyah dihadapkan kepada Najasyi, raja Habasyah. Sang raja duduk di singgasananya
didampingi Amru bin ‘Ash di sebelah kanannya, ‘Ammarah di sebelah kirinya dan
beberapa pemuka kerajaan duduk diam terpaku menyaksikan peristiwa yang terjadi.
Selesai bermajelis, beberapa pemuka kerajaan berkata, “Sujudlah kalian kepada
raja!” Ja’far bin Abi Thalib menyahut, “Kami tidak bersujud selain kepada
Allah.”
Betapa besarnya jiwa sahabat yang dididik
oleh guru terbaik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Moralnya
begitu tinggi, jiwanya tidak bisa dibeli, mata mereka tidak silau dengan
kemewahan dunia dan kehormatan-kehormatannya. Apa yang dilakukan oleh
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, sehingga punggung
mereka tidak bisa tertunduk kecuali kepada Rabbul ‘Alamin?
Melepaskan Pangkal Kejahiliyahan
Revolusi iman yang dilakukan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam merupakan revolusi yang
paling ajaib dalam sejarah manusia. Ajaib dalam segala hal, ajaib dalam
kecepatannya, ajaib dalam cakupannya yang menyeluruh, ajaib dalam kejelasan
konsepnya yang mudah dipahami. Terlebih dalam masalah sifatnya yang mendalam,
seperti sahabat yang pernah berzina, karena dorongan batinnya, ia rela
melaporkan dirinya sendiri kepada beliau supaya dirajam.
Sungguh kondisi yang terbalik daripada
saat mereka masih jahiliyah, keyakinannya tentang Tuhan hanya sebatas pencipta
langit dan bumi. Keyakinannya tentang Tuhan sangat kabur dan samar, tidak
menimbulkan rasa takut dan cinta. Sehingga agama tidak lebih dari sebuah
tradisi, tidak ada urusan dengan perbuatan manusia.
يَظُنُّونَ
بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ
“Mereka menyangka yang tidak benar
terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah.” (QS. Ali Imran: 154)
Karena itu, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam selama tiga belas tahun berdakwah di Makkah menyerukan
iman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari akhir. Dakwah dilakukan secara terus
menerus, apa adanya, tanpa dipoles-poles, tanpa merasa rendah dan tidak
pilih-pilih orang. Beliau memandang bahwa dakwah seperti ini merupakan obat
bagi setiap penyakit masyarakat.
Setelah mendengar seruan untuk beriman
kepada Allah, mereka merasa pengap hidup dalam kubangan Jahiliyah. Hati merasa
resah dan gelisah seolah tak ada yang bisa melegakan dadanya selain beriman
kepada Allah dan Rasul-nya.
وَالَّذِينَ
كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ
إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka
adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun.” (QS. An-Nur : 39)
Dakwah yang apa adanya itu berhasil
menyentuh jantung kejahiliyahan. Terbukti mereka selalu menghalang-halangi,
mengintimidasi dan menindas siapa saja yang menerima dakwah beliau. Namun hal
itu justru semakin menambah kesetiaan terhadap agama Islam dan menguatkan
kebencian terhadap kekufuran. Semangat Islamnya berkobar, sehingga mereka
keluar dari cobaan itu laksana pedang yang habis diasah.
Dalam kondisi semangat untuk membalas
kedzaliman, beliau justru menyibukkan umat Islam dengan perintah membaca
al-Qur’an dan mendirikan sholat. Karena tujuan Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam adalah menjauhkan umat Islam dari kebiasaan Jahiliyyah
sejauh-jauhnya. Sehingga mereka tidak tergesa-gesa, tidak pendendam, tidak
tenggelam dalam nafsu dan mampu lapang dada. Mereka kembalikan perintah
berperang kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan nafsu dan hasrat duniawi lainnya.
Sehingga terputuslah jantung dan pangkal kejahiliyahan dari diri mereka, yaitu
syirik dan kufur.
Allah Tujuan Utama
Setelah berhasil mengalahkan pangkal
kejahiliyahan, mereka terus mengalami kemenangan-kemenangan. Hal ini tidak lain
karena ketinggian iman mereka kepada Allah. Sehingga mereka tidak berambisi
terhadap duniawi, hanya Allah tujuan mereka.
Ketika Allah menjadi tujuan mereka,
benar-benar gemerlap dunia tidak ada artinya bagi mereka. Lihatlah Rib’i bin
Amir yang diutus untuk menemui Rustum ketika perang Qadisiyah. Rustum yang
dihias dengan kemewahan, kasur sebagai alas duduknya, permadani sutera,
batu-batu permata dan mutiara besar dan mahal bertebaran di ruangannya. Rib’i
bin Amir turun dan menambatkan kudanya di dekat bantal-bantal sambil menenteng
pedang. Orang-orang menegurnya, ia membalas :
ني لم
آتكم وإنما جئتكم حين دعوتموني فإن تركتموني هكذا وإلا رجعت
“Aku datang kemari tidak lain hanyalah
atas undangan kalian. Jika kalian senang, biarkan aku dalam keadanku, seperti
ini, atau kalau tidak , aku akan pulang.” Akhirnya, Rib’i bin Amir
menghadap Rustum, membawa tombak masuk hamparan karpet merah. Seketika itu pula
karpet terkoyak-koyak. (al-Bidayah wan Nihayah, 7/40)
Ketika umat Islam berhasil memasuki kota
Madain dan mengumpulkan barang-barang ghanimah yang sangat banyak, belum pernah
mereka lihat sebelumnya. Seseorang bertanya kepada Amir bin Abi Qois, “Apakah
engkau telah mengambil sesuatu?” Ia jawab :
أما
والله لو لا الله ما أتيتكم به
“Demi Allah, kalau bukan karena Allah,
barang ini tidak akan kuserahkan kepada kalian.” (Tarikh ath-Thabari, 4/16)
Iman ini benar-benar memberikan kekuatan
kepada umat Islam. Iman kepada akhirat melahirkan keberanian yang luar biasa.
Seperti Umair bin al-Hamam al-Anshari pada saat perang Badar, mendengar
Rasulullah bersabda, “Berangkatlah menuju surga seluas langit dan bumi!”
Kemudian Umair mengeluarkan bekal kurma dari kantongnya, memakannya beberapa
buah dan berkata :
لئن
أنا حييت حتى آكل تمراتي هذه إنها لحياة طويلة
“Jika aku menghabiskan kurma ini, akan
terlalu lama aku hidup.” Ia buang sisa kurmanya, segera maju ke medan laga
dan bertempur hingga syahid. (HR. Muslim)
Sungguh Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam telah merubah masyarakat Jahiliyah menjadi terhormat di mata dunia.
Melalui metode yang tepat, yaitu diawali dengan mencabut kejahiliyahan dari
akarnya. Setelah hati bersih dari jahiliyah, maka ia ibarat tanah yang siap
ditanami padi, beliau menanamkan iman terlebih dahulu. Setelah itu,
memerintahannya untuk sibuk dengan al-Qur’an dan mendirikan sholat. Wallahu
a’lam bish shawab.
Penulis: Zamroni
Editor: Arju