Sekali Lagi, Allah سبحانه
و تعالىٰ Bersemayam Di Atas 'Arsy (Bahasan Sangat
Lengkap), Selain Ini Bukan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah !
Bantahan Terhadap Pendengki Murakkab Salafi Dan
KSA, KH Tengku Zulkarnain. Silahkan Bantah Tertulis Dan Ilmiyah Dengan Dalil
Yang Shahih Dan Sharih (No Youtube/Dirty Mouth).
Bahasan Pertama (Rangkuman), Aqidah Ahlus
Sunnah Wal Jamaah MenurutUlama Tiga Abad Pertama Hijriyah Dan Ulama
Al-Syafi‘Iyyah : Allah Di Atas Arsynya (Langit). Bandingkan Dengan Pendapat
Intelektual (Muharrif Dan Mukayyif) Aswaja Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) Dan
Idrus Ramli.
Aqidah Menyerupai Mulhid Atheis, Mereka Yang
Mengatakan Bahwa Dzat Alloh Tidak Bertempat (Ada Tanpa Bertempat).
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/08/aqidah-menyerupai-mulhid-atheis-mereka.html?m=0
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan. Dakwah Bil Youtube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan. Dakwah Bil Youtube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
Dimanakah Allah Subhanahu Wa Ta'ala Menurut
Ustadz Abdul Somad, Lc. MA
Isra Miraj: Sesatkah Aqidah Jika Percaya Allah Bersemayam Di Arsy? Ini Kata Ustaz Abdul Somad.
Salah satu tafsir tertua berdasarkan
hadis Nabi Muhammad SAW; Sidratul Muntaha berakar pada singgasana (Arsy). Itu
menandakan puncak pengetahuan setiap orang yang berpengetahuan baik, termasuk
di dalamnya malaikat dan rasul. Segala sesuatu di atasnya adalah misteri yang
tersembunyi, tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Allah semata. Di sidratul
muntaha, Rasulullah menerima perintah salat.
Lantas muncul pertanyaan, tidakkah sesat aqidah
seseorang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah bersemayam di arsy. Kalimat
ini seolah menyamakan Allah dengan makhluk, dengan membayangkan Allah duduk di
atas singgasana bak raja.
Ustaz Abdul Somad, dalam sebuah ceramahnya
menjelaskan, keliru jika ada yang menyamakan Allah duduk di atas singgasana
bagaikan seorang penguasa (makhuk ciptaannya) sama saja dengan orang kafir
sebab bertentangan dengan 2 ayat.
"Pertama,
ayat yang berbunyi; Allah tak bisa disamakan dengan apapun. Lalu, apa makna
Allah duduk di atas Arsy? datanglah orang menyakanhal itu kalangan salaf soleh,
dan mereka tak mau jawab. Kemudian ditanyakan lagi ke Imam Malik untuk
mendapatkan jawaban itu," jelasnya.
Menurut
penjelasan Ustad Somad, Imam Malik memaknai bahwa kalimat itu merupakan kalimat
perumpamaan. "Duduk di atas kursi" semua orang tahu. Lalu bagaimana
Allah duduk di atas arsy? tak ada orang yang tahu. Namun setiam mukmin wajib
hukumnya beriman kepada ayat itu.
"Sebagian ulama berpendapat bertanya
tentang itu hukumnya bid'ah. Namun sebagian lagi berusaha untuk memaknai bahwa
sesuangguhnya kalimat itu menandakan bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Allah menciptakan arsy untuk menunjukkan kuasanya, bukan untuk menyatakan
tempat duduknya," ungkap Somad.
"Bapak Walikota Herman Abdullah duduk di
atas singgasana Wali Kota selama 2 periode, apakah maknanya dia duduk di atas
kursi itu selama 10 tahun? Bukan. Tapi artinya dia berkuasa selama 10 tahun,
itu maknanya," sambungnya.
Kesimpulannya menurut Ustad Abdul Somad, untuk
memaknai ayat-ayat mutasyabihat ada 2; Pertama, serahkan sepenuhnya kepada
Allah SWT. Kedua, dengan cara ta'wil, tidak bisa disamakan Allah dengan
makhluk. (bpc3) ??????? Allah = Mahkluk
Catatan Tambahan :
Antara
Tengku Zulkarnain, Ingkari Allah DiatasLangit, Lecehkan Ustadz Abdul Hakim bin
Amir Abdat Dengan Menyebut Babi, Mami,dll, Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah
wal Jama’ah =Aqidah Yahudi & Nasrani Sebab Meyakini Allahﺳﺒﺤﺎﻧﻪ
ﻭ ﺗﻌﺎﻟﻰٰ Bersemayam Di Atas ‘Arsy.
Alhamdulillah
Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat-
Allah bersemayam di atas ‘Arsy dan Menjawab syubuhat terkait “DIMANA ALLAH?
Bagian Pertama dalil-dalil dari Al Qur-an
dan Hadits yang menetapkan Allah bersemayam di atas ‘arsy. Sekaligus bantahan kepada
Tengku Zulkarnaen atas pendapatnya yang bertentangan dengan dalil.
Bagian yang kedua berisi kisah dialog
antara dua orang Al Faqih, yaitu al Imam Abu Ja’far Al Hafizh dengan al Imam
Abul Ma’ali Al Juwaini yang terkenal dengan nama Imamul Haramain dari pembesar
Asy’ariyyah
Bagian yang ketiga merupakan perkataan
dari al Imam Abul Hasan Al Asy’ari dalam menetapkan sifat Allah Al’Uluw dan
Istiwa alal ‘Arsy. .
Video ketiga: https://m.youtube.com/watch?v=dZiQSqp5f8U
Tengku Zulkarnain Ingkari Allah
Bersemayam diatas Arsy
Allah سبحانه
و تعالىٰ Bersemayam di atas ‘Arsy.
Muhammad ibn Bundar pernah berkata kepada
al-Imam Ahmad : “Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya saya merasa berat hati untuk
mengatakan ‘si fulan pendusta!!’.” Ahmad menjawab : “Seandainya kamu diam dan
saya juga diam, lantas.kapan orang yang jahil mengetahui mana yang benar dan
mana yang salah?!! (Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah al-Baghdadi hlm. 63 , al-
Abathil wal Manakir al-Jauzaqani 1/133, al-Maudhu’at Ibnul Jauzi 1/43, Syarh
’Ilal Tirmidzi Ibnu Rajab hlm. 88)._
Bangkitlah wahai jiwa untuk membela agama
Allah, walau akan banyak komen negatif yang akan kau hadapi._
Pernah ada seorang berkata kepada Yahya
bin Main : ” Apakah engkau tidak khawatir bila orang-orang yangnengkau
kritik tersebut kelak menjadi musuhmu di hari kiamat ?.
Beliau menjawab : “Bila mereka yang
menjadi musuhku jauh lebih kusenangi daripada Nabi yang menjadi musuhku,
tatkala.beliau bertanya padaku: ” Mengapa kamu tidak membela sunnahku dari
kedustaan?!!! “.(Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah, al-Khathib al Baghdadi hal.
6).
Beredar video KH. Tengku Zulkarnain حفظه
الله تعالىٰ yang mengingkari Allah سبحانه
و تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy, kemudian beliau
mengolok-olok ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti
‘aqidahnya Yahudi dan Nashrani karena meyakini Allah سبحانه
و تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy.
Tak ketinggalan beliau juga
melecehkan kehormatan al-Ustadz ‘Abdul Hakim bin Amir Abdat حفظه
الله تعالىٰ dengan sebutan ‘mami’
yang sebelumnya didahului ungkapan pendusta dan babi…
Saya tak habis pikir mengapa ada
seorang ustadz atau da’i yang bisa mengingkari keberadaan Allah سبحانه
و تعالىٰ di atas langit? Sementara di dalam
menyanggah pendapat (argumentasi) ini tidak ada satu pun dalil yang beliau
berikan kecuali kata-kata umpatan dan cacimaki kepada saudaranya… tidakkah
beliau ingat hadits Nabi ﷺ akan hal ini?
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash رضي
الله تعالىٰ عنهما, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang
muslim, ialah orang yang kaum muslimin selamat dari lidah dan tangannya.”
(Shahiih, HR. Al-Bukhari dalam
Shahiih-nya, kitabul ‘Iimaan, bab Al-Muslimu man salimal muslimuu-na min
lisaanihi wa yadihi, no. 10, 6044, Muslim, no. 40, Abu Dawud, no. 2481, dan
An-Nasaa’i, VIII/105)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud رضي
الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda, “Memaki
(mencela) seorang muslim adalah perbuatan fasiq dan memeranginya (membunuhnya)
adalah kekufuran.”
(Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 11, 48,
6044, 7076, Muslim, no. 42, 64, at-Tirmidzi, no. 1988, 2633, 2639 – 2640, Ibnu
Majah, no. 69, 3939, dan an-Nasaa-i, VII/122)
Dari Abu Hurairah رضي
الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda, “Cukuplah
seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim.
Seorang muslim wajib menjaga darah, harta dan kehormatan muslim lainnya.”
(Shahiih, HR. Muslim, no. 2564)
Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang
muslim bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, melakukan perbuatan keji dan
mencacimaki muslim lainnya.”(Shahiih, HR. At-Tirmidzi, no. 1978)
Kembali kepada topik permasalahan.
KH. Tengku Zulkarnain mengingkari Allah سبحانه
و تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy. Dan menganggap
‘aqidah ini sama persis dengan ‘aqidah Yahudi dan Nashrani sehingga siapa saja
yang mengimami ‘aqidah tersebut sesat karena menyerupai ‘aqidah Yahudi dan
Nashrani.
Baik, disini ada pertanyaan :
“Sesungguhnya yang mengetahui (paham)
tentang Allah itu siapa?”
Al-Jawaab :
“Tentu Allah itu sendiri.”
Benar, jika yang mengetahui tentang Allah
adalah Allah itu sendiri, maka mengapa kita persoalkan (baca : protes)
jika Allah سبحانه و تعالىٰ menyatakan bahwa
Dia bersemayam di atas ‘Arsy? Sebab bukankah Allah sendiri yang menyatakan
Dia bersemayam di atas ‘Arsy dengan segala keagungan dan kemuliaan-Nya? Lantas
kemudian koq bisa beliau menyamakan ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah
wal Jama’ah yang menetapkan Allah سبحانه و
تعالىٰ bersemayam di atas ‘Arsy dengan segala keagungan dan
kemuliaan-Nya sama dengan ‘aqidah Yahudi dan Nashrani kemudian dikatakan sesat
bahkan kafir?
Jikalau kita konsisten dengan pendapat,
‘yang mengetahui tentang Allah adalah Allah itu sendiri’, lantas mengapa kita
harus ribut (baca : komplain)? Cukup bagi kita imani bahwasanya
bersemayamnya Allah سبحانه و
تعالىٰ tidak sama dan tidak serupa dengan makhluk. Dia bersemayam
sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya, sebagaimana kita imani Allah سبحانه
و تعالىٰ Maha Mendengar dan Maha Melihat, pun manusia
juga mendengar dan melihat, akan tetapi kita tidak menyerupakan pendengaran dan
penglihatan Allah dengan makhluk bukan? Kalau demikian begitu juga dengan
semayamnya Allah سبحانه و
تعالىٰ di atas ‘Arsy, bahwasanya Dia bersemayam sesuai dengan
keagungan dan kemuliaan-Nya, berbeda dengan makhluk.
Bukankah Allah سبحانه
و تعالىٰ di dalam al-Qur-an dan Rasulullah ﷺ di dalam banyak
hadits serta keterangan para ‘ulamaa Salaf menunjukkan Allah سبحانه
و تعالىٰ di atas langit, Dia bersemayam di atas ‘Arsy?
Dalil dari al-Qur-an :
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Sungguh, Rabbmu adalah Allah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
‘Arsy.” (QS. Al-A’raaf [7] : 54)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Sesungguhnya Rabb kamu Dia-lah Allah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam
di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.” (QS. Yuunus [10] : 3)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Allah yang meninggikan langit tanpa
tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”
(QS. Ar-Ra’d [13] : 2)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih),
bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thahaa [20] : 5)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Dia yang menciptakan langit dan bumi dan
apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam
di atas ‘Arsy.” (QS. Furqaan [25] : 59)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Allah yang menciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. As-Sajdah [32] : 4)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Al-Hadiid
[57] : 4)
Allah سبحانه
و تعالىٰ berfirman :
“Sudah merasa amankah kamu, bahwa
Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba
berguncang?” (QS. Al-Mulk [67] : 16)
Dalil dari As-Sunnah :
Dari Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami رضي
الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda kepada
seorang budak wanita,
“Di mana Allah?”
Ia menjawab,
“Allah di atas langit.”
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda,
“Siapa aku?”
“Engkau adalah Rasulullah.”
Jawabnya.
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda,
“Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia
seorang wanita mukminah.”
(Shahiih, HR. Muslim, no. 537, Abu
‘Awanah, II/141 – 142, Abu Dawud, no. 930, an-Nasaa-i, III/14 – 16, ad-Darimi,
I/353 – 354, Ibnul Jarud dalam al-Muntaqaa’, no. 212, al-Baihaqi, II/249 – 250,
dan Ahmad, V/447 – 448)
Terdapat dua permasalahan yang terkandung
di dalam hadits ini :
1. Disyari’atkan untuk bertanya
kepada seorang muslim : “Di mana Allah?”
2. Jawabannya yang ditanya adalah :
“Di atas langit.”
Maka, barangsiapa yang memungkiri
dua masalah ini, berarti ia memungkiri Rasulullah Muhammad ﷺ.”
(Mukhtasharul ‘Uluw oleh Imam Adz-Dzahabi
رحمه الله تعالىٰ, hal. 81)
Dari Jabir bin ‘Abdillah رضي
الله تعالىٰ عنهما, ia berkata ketika Nabi ﷺ setelah berkhutbah
di Arafah. Lalu Nabi ﷺ mengatakan dengan
mengangkat jari telunjuknya ke atas langit dan mengisyaratkan kepada
manusia dengan bersabda,
“Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah
saksikanlah. Ya Allah saksikanlah.” (Shahiih, HR. Muslim, no. 1218)
Beberapa perkataan para ‘ulamaa Salaf.
Imam Abu Hanifah رحمه
الله تعالىٰ berkata,
“Allah سبحانه
و تعالىٰ ada di langit, tidak di bumi.”
Kemudian ada seseorang yang bertanya,
“Tahukah anda Allah ﷻ berfirman : ‘Wahuwa
ma’akum – Dan Allah bersama kalian?’”
Beliau رحمه
الله تعالىٰ menjawab,
“Ungkapan itu seperti kamu menulis surat
kepada seseorang : ‘Aku akan selalu bersamamu.’ Padahal kamu jauh darinya.”
(Al-Asma’ was Shifat, II/170)
Beliau رحمه
الله تعالىٰ juga berkata,
“Dalam berdo’a kepada Allah سبحانه
و تعالىٰ kita memanjatkan do’a ke atas, bukan ke
bawah.” (al-Fiqh al-Absath, hal. 51)
Beliau رحمه
الله تعالىٰ juga berkata,
“Barangsiapa yang berkata, ‘Aku tidak
tahu Rabbku itu dimana, di langit atau di bumi.’ Maka orang itu kafir. Demikian
pula orang yang berkata, ‘Rabbku di atas ‘Arsy, namun aku tidak tahu ‘Arsy itu
di langit atau di bumi.’” (al-Fiqh al-Absath, hal. 46)
Imam Malik رحمه
الله تعالىٰ pernah ditanya,
“Wahai Abu ‘Abdillah, Allah Yang
Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thahaa [20] : 5)
Maka bagaimana Dia bersemayam?’
Maka mendengar pertanyaan itu Imam Malik رحمه
الله تعالىٰ pun marah seraya menjawab,
“Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah
diketahui maknanya), dan kaifiyat (cara bersemayamnya) tidak dapat dicapai
nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentang hal
tersebut adalah perkara bid’ah.”
Kemudian Imam Malik رحمه
الله تعالىٰ memerintahkan orang itu agar dikeluarkan
dari majelis beliau.”
(Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawi,
I/171, Mukhtasharul ‘Uluw lil Imaam adz-Dzahabi, hal. 141 – 142, no. 104, Abu
Nu’aim dalam al-Hilyah, VI/325 – 326, ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi dalam Ar-Rad
ala al-Jahmiyah, hal. 55, al-Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqaad Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, no. 664, Abu ‘Utsman ash-Shabuni dalam ‘Aqidah Salaf Ash-Shabul
Hadits, hal. 24 – 26, al-Baihaqi dalam al-Asma’ was Shifat, hal. 408, dan
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fat-hul Baari, XIII/406 – 407)
Imam Asy-Syafi’iy رحمه
الله تعالىٰ berkata,
“Berbicara tentang sunnah yang menjadi
pegangan saya, sahabat-sahabat saya, begitu pula para ahli hadits yang saya
lihat dan saya ambil ‘ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik bin Anas dll, adalah
menetapkan seraya bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi selain
Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu di atas ‘Arsy di langit, dan
dekat dengan makhluk-Nya, terserah kehendak Allah, dan Allah itu turun ke
langit terdekat (dunia) kapan Allah berkehendak.”
Imam Ahmad bin Hanbal رحمه
الله تعالىٰ berkata,
“Kami mengimani bahwa Allah سبحانه
و تعالىٰ ada di atas ‘Arsy bagaimana yang Dia
berkehendak dan seperti apa yang Dia kehendaki, tanpa batasan dan sifat yang
dipakai oleh seseorang untuk mensifati dan membatasi sifat itu.”
(Dar’u Ta’arudh Al-‘Aql wan Naql, II/30)
Yaa, Allah Maha Tinggi lagi Maha Mulia.
Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya dan terpisah oleh makhluk-Nya.
Dari Abu Hurairah رضي
الله تعالىٰ عنه, ia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Rabb kita (Allah) turun pada setiap
malam ke langit dunia ketika tinggal sepertiga malam yang akhir, seraya menyeru
:
‘Siapa yang berdo’a kepada-Ku, maka Aku
akan mengabulkan do’anya.
Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku
akan memberinya.
Dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku,
maka Aku akan mengampuninya.’”
(Shahiih, HR. Al-Bukhari, no. 7494,
Muslim, no. 758 [168], at-Tirmidzi, no. 3498, Abu Dawud, no. 1315, 4733, Ibnu
Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, no. 492, dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab at-Tauhid,
I/280)
Abu ‘Utsman ash-Shabuni رحمه
الله تعالىٰ berkata,
“Para ‘ulamaa ahli hadits
menetapkan turunnya Rabb ke langit terendah pada setiap malam tanpa
menyerupakan turun-Nya Allah itu dengan turunnya makhluk (tasybih), tanpa
mengumpamakan (tamtsil) dan tanpa menanyakan bagaimana turun-Nya
(takyif). Tetapi menetapkan sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh
Rasulullah Muhammad ﷺ dengan mengakhiri
perkataan padanya (tanpa komentar lagi), memperlakukan kabar shahiih yang
memuat hal itu sesuai dengan zhahirnya, serta menyerahkan ‘ilmunya
(kaifiyatnya) kepada Allah سبحانه و
تعالىٰ.”
(‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadits, no.
38, hal. 46)
Inilah ‘aqidah Islam, ‘aqidah yang kokoh
karena berdiri di atas Kitabullah dan As-Sunnah Rasulullah ﷺ dan ijma’ para
‘ulamaa serta fitrah manusia yang meyakini Allah سبحانه
و تعالىٰ Maha Tunggi yang bersemayam di atas ‘Arsy
dengan segala keagungan dan kemuliaan-Nya.
Semoga Allah تبارك
وتعالىٰ memberikan hidayah dan taufiq.
✒ Abu ‘Aisyah Aziz Arief_
Menafikan Allah di atas Arsy-Nya, bukan
Akidah Ahlussunnah Waljamaah… karena itu bertentangan dengan Alqur’an,
Assunnah, Ijma’ Sahabat, dan fitrah alami manusia.
=====
Apapun retorika yang dipakai… dan
siapapun yang menjadi rujukan… jika itu menyelisihi Alqur’an, Assunnah,
dan Ijma’ para sahabat = maka tetap saja harus ditinggalkan, karena itu
kebatilan.
Sudah sangat tegas Allah berfirman
{ الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه: 5]
(yang artinya): “Allah yang
maha penyayang itu berada di atas Arsy” [QS. Thaha: 5].
Peristiwa Isra’
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang
sangat masyhur, juga sangat tegas menjelaskanbahwa Nabi -shallallahu
alaihi wasallam- akhirnya di bawa ke atas menghadap Allah, untuk menerima
syariat shalat lima waktu.
Dan ketika itu beliau melewati langit
pertama hingga langit ketujuh, kemudian naik lagi hingga menemui Rabbnya
-subhanahu wa ta’ala.. ini jelas menunjukkan bahwa Allah berada di atas
makhluk-Nya, tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya.
Sahabat Ibnu Mas’ud -radhiallahu anhu-
juga berkata:
“Jarak antara langit dunia dengan langit
setelahnya adalah jarak perjalanan 500 tahun, jarak antara setiap dua langitnya
adalah 500 tahun, jarak antara langit.ketujuh dengan Alkursi adalah 500 tahun,
jarak antara Al-kursi dengan air adalah 500 tahun, dan Arsy di atas.air itu,
dan Allah -jalla dzikruhu- di atas Arsy, tapi Dia mengetahui apapun
yg antum lakukan”.
[HR. At-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Kabir:
8987, sanadnya hasan].
Bahkan Ibnu Abdil Barr
-rohimahulloh- (wafat 463 H) telah mengatakan, bahwa seluruh ulama
dari generasi Sahabat dan Tabi’in mengatakan bahwa Allah itu di.atas Arsy. [Lihat:
Attamhid 7/138-139].
Jika Anda masih sulit menerima keterangan
ini, cobalah merenung saat Anda berdoa,mengapa tangan Anda menengadah ke atas?
Mengapa juga hati Anda menghadap ke atas? bisakah Anda mengingkari fitrah ini.
Dan masih banyak lagi, dalil-dalil yg
menunjukkan bahwa Allah berada di atas, berada di atas Arsy-Nya… tidak
sepantasnya orang yg mengaku berakidah ahlussunnah waljama’ah menolak
keterangan ini, hanya.karena akalnya tidak mampu memahaminya dg baik dan dg
tetap mensucikan Allah dari menyerupai makhluk- Nya.
Harusnya kita menerima kabar langit yg bersanad
shahih tersebut dg apa adanya, memaknainya sesuai.dengan kemuliaan dan
keagungan Allah ta’ala, dengan tanpa mentakwilnya, atau menyerupakan Allah
dg makhluk-Nya.
Seringkali orang menolak nash syariat,
karena adanya kaidah yg dia anggap bertentangan dg nash tersebut, contoh
mudahnya: sebagian orang menolak ketentuan hukum waris dalam Alquran,
karena membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, hal itu dia anggap
bertentangan dg kaidah keadilan Allah.
Padahal sebenarnya “keadilan” itu tidak
harus berarti persamaan, tapi keadilan adalah memberikan sesuatu sesuai dg
keadaan dan kebutuhan masing-masing.
Tentunya kebutuhan anak laki-laki jauh
lebih banyak daripada kebutuhan anak perempuan.
(Anak laki-laki saat menikah harus
memberikan mahar, sedang yg perempuan malah mendapatkan mahar… saat sudah
menikah, anak laki-laki harus menafkahi isterinya, sedang anak perempuan, malah
mendapatkan.nafkah dari suaminya… saat ada yg terjatuh dalam pembunuhan
secara tidak sengaja, saudara laki-laki harus menanggung diyat-nya, sedang yg
perempuan tidak).
Hal ini juga terjadi dalam bab
sifat-sifat Allah, sebagian orang menolak kabar tentang sebagian sifat Allah,
karena dlm pandangan dia, hal itu tidak sesuai dg kaidah bahwa Allah tidak
menyerupai makhluk-Nya..Padahal kriteria “tidak menyerupai makhluk” itu tidak
berarti harus menafikan atau mentakwil sifat tersebut,
tapi bisa juga dg menetapkan sifat itu
sesuai kemuliaan dan keagungan Allah, yg sangat jauh berbeda dg.makhluk-Nya… Dan
inilah yg harusnya diambil oleh.seorang hamba yg menjunjung tinggi Firman Allah
dan Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- telah
menyebutkan perkataan yg pantas ditorehkan dg tinta emas dalam.hal ini, beliau
mengatakan:
“Adapun kita membuat suatu kaidah, dan
kita katakan itulah hukum asalnya, kemudian kita menolak Assunnah.(Hadits)
karena alasan menyelisihi kaidah itu, maka.sungguh demi Allah, merusak SERIBU
kaidah yg tidak.dibuat Allah dan Rasul-Nya lebih wajib bagi kita, daripada
menolak SATU hadits“. [I’lamul Muwaqqi’in 2/252].
Dan jauh sebelum itu, Imam Syafi’i
-rahimahullah- telah.mengatakan:
“Tidak boleh ada qiyas, bila sudah ada
khabar”. [Ar- Risalah, hal: 599].. dan itu berarti: “Tidak boleh ada
ijtihad, bila sudah ada nash yg menjelaskan”, karena qiyas dan ijtihad menurut
beliau adalah dua kata yg.satu makna. [Ar-Risalah, hal 477].
Sehingga bila sudah ada nash yg
menjelaskan tentang dimana keberadaan Allah dan sifat-sifat Allah lainnya, maka
tunduklah kepada nash-nash itu, dan buanglah.semua ijtihad kita.. lalu nafikan
semua konsekuensi batil.yg berasal dari kepala kita yg lemah ini..Karena nash
yg haq, pasti punya konsekuensi yg haq, dan itulah yg harusnya diambil.
Bila Anda menemukan konsekuensi yg batil
dari nash yg haq, maka yakinlah bahwa konsekuensi yg batil itu pasti dari akal
Anda yg lemah, dan itulah yg harus Anda buang. Nash yg haq tidak mungkin
menunjukkan kebatilan bila.dipahami dg baik dan lurus.
Inilah manhaj ulama salaf kita, manhaj
ahlussunnah waljama’ah dalam bab sifat-sifat Allah ta’ala. wallahu a’lam.
(Lanjut ke halaman 2)
Dimanakah Allah
Yang shahih bahwa Alloh bersemayam
di atas Arsy di atas semua makhlukNya, Al-Qur`an, hadits shahih dan ijma’
menyatakan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy :
Allah Ta’ala berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa`
di atas ‘Arsy.” (Thaahaa:5)
Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas
‘Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: Al-A’raaf:54, Yuunus:3, Ar-Ra’d:2,
Thaahaa:5, Al-Furqaan:59, As-Sajdah:4 dan Al-Hadiid:4.
Para tabi’in menafsirkan istiwa` dengan
naik dan tinggi, sebagaimana diterangkan dalam hadits Al-Bukhariy (Lihat Syarh
Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah, Asy-Syaikh Al-Fauzan hal.73-75 cet. Maktabah
Al-Ma’aarif).
Dan Allah Ta’ala berfirman:
أَأَمِنتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ
بِكُمْ الأَرْضَ
“Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang
di langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?”
(Al-Mulk:16)
Menurut Ibnu ‘Abbas yang
dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah seperti disebutkan dalam
kitab Tafsir Ibnul Jauziy.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang
(ada) di atas mereka.” (An-Nahl:50)
– Rasulullah mi’raj ke langit
ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima
waktu. (Muttafaqun ‘alaih)
– Rasulullah bersabda: “Kenapa kamu tidak
mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?”
(Muttafaqun ‘alaih)
– Di dalam Shahih Muslim ( no. 537 )
bahwa ada seorang jariyah ( budak perempuan ) penggembala kambing ditanya oleh
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam : ” Di manakah Allah ? “,
jawab budak perempuan : ” Di atas langit “, beliau bertanya (lagi) :
“Siapakah Aku ..? “, jawab budak itu : “Engkau adalah Rasulullah”. Beliau
bersabda : “Merdekakan ia ! .. karena sesungguhnya ia mu’minah (seorang
perempuan yang beriman)”.
Para Shahabat, para Tabi’in, serta para
Imam kaum Muslimin telah bersepakat atas ketinggian Allah di atas langit-Nya
dan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, ijma’ ini dinukil oleh Imam Abul
Hasan al-‘Asyari dalam kitabnya Risaalah ilaa Ahli Tsaghar (hlm. 232).
Imam Malik, ketika ditanya tentang
masalah istiwa (tingginya) Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas Arsy-Nya berkata,
” Istiwa (Allah) sudah sama dipahami, dan bagaimana (hakikat)nya tidak
diketahui, sementara mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentang bagaimana
(hakikat) Allah ber-istiwa adalah bid’ah” ( Lihat Mukhtasar Al-Uluw oleh Imam
Dzahabi hal.141).
Imam Abdullah bin Mubarak berkata :
” Kita mengetahui bahwa Tuhan kita berada di atas langit yang tujuh ; ber-istiwa
di atas Arsy-Nya ; terpisah dari makhluk-Nya. Kami tidak mengatakan seperti apa
yang dikatakan oleh Jahmiyah ” ( Lihat Mukhtasar Al-Uluw oleh Imam Dzahabi
hal.151).
Imam Al-Auza’iy berkata, ” Kami
dan para Tabi’in mengatakan, ” Sesungguhnya Allah penyebutannya di atas
‘Arsy-Nya dan kami mengimani apa saja yang terdapat di dalam Sunnah ” (
Lihat Mukhtasar Al-Uluw oleh Imam Dzahabi hal.138).
Imam Abu Hanifah berkata, ” Barangsiapa
yang mengatakan, ‘ Saya tidak tahu apakah Tuhan saya berada di langit atau
bumi’, berarti dia telah kafir “ ( Lihat Mukhtasar Al-Uluw oleh Imam
Dzahabi hal.136 ).
Al-Imam Ibnu Khuzaimah berkata :
” Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas
‘Arsy-Nya Ia istiwaa’ di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan
Rabbnya…” ( Diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam kitab Ma’rifah Ulumul Hadits
hal : 84 dengan sanad yang shahih ).
Ditulis di Kediri pada hari Jum’at 10
Jumadal Ula 1439
Akhukum Abu Ahmad Arif Fathul Ulum bin
Ahmad
Kita Serahkan Semuanya kepada Allah Yang
Di Atas!
Iblis Musuh yang Nyata
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا
مُبِينًا
“Sungguh, setan adalah musuh nyata bagi
manusia.” (Q.S. Al-Isra’ 17: 53)
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ
بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ
مُنْتَهُونَ
“Dengan minuman keras dan judi itu, setan
hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan
menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat, maka
tidakkah kamu mau berhenti?” (Q.S. Al-Maidah 5: 90)
Para pembaca yang budiman,
Inilah pengabaran dari Sang Pencipta
Rabbul Alamin bahwasanya musuh Allah yaituIblis akan selalu mengumandangkan
peperangan terhadap manusia. Mereka akan selalu mencari jalan untuk menyesatkan
manusia, berusaha membisikkan berbagai macam kesyirikan pada hati manusia, dan
menghiasi perkara-perkara yang buruk dari berbagai kemaksiatan sehingga
terlihat baik dan indah di mata manusia. Semua itu demi menjauhkan manusia
dari cahaya hidayah Al Qur’an dan Sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sehingga manusia menjadi sesat dan kelak nerakalah tempat penghunjung
akhir manusia sebagaimana mereka para Iblis.
Menjadi bagian dari tipuan Iblis
yaitu Iblis membisikan pada sebagian manusia bahwa akal adalah tolak ukur
suatu kebenaran, akibatnya mereka mulai memahami dalil-dalil syar’i baik Al
Qur’an ataupun Hadist-hadist Nabi yang berkaitan dengan nama dan sifat Allah
Ta’ala dengan akal-akal mereka. Hasilnya, apa-apa yang sesuai dengan akal
mereka maka mereka tetapkan dan apa-apa yang tidak sesuai dengan akal mereka
maka mereka melakukan takwil dengan takwil yang sangat jauh dari hidayah
kebenaran. Alasan mereka melakukan takwil tersebut yaitu agar menyucikan Allah
dari penyerupaan terhadap makhluk.
Sungguh ini adalah perbuatan yang sangat
menyimpang. Mereka tidak sadar bahwa mereka telah pergi menjauh dari suatu
ketetapan kepada peniadaan. Buruknya lagi mereka menyangka perbuatan
mereka adalah perbuatan yang baik. Sampai-sampai sebagian mereka
berfatwa barangsiapa yang mengatakan Allah berada di atas langit maka dia
telah sesat. Padahal sebenarnya fatwa inilah yang sesat karena menyelisihi
dalil-dalil pada Al Qur’an dan Sunnah serta menyelisihi Ijmak Ulama.
Dimanakah Allah?
“Dimanakah Allah?” Seakan sebuah
pertanyaan yang sangat tabu di akhir-akhir ini untuk dilontarkan.
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berkeyakinan
bahwa Allah adalah Yang Maha tinggi dan Yang disifati dengan segala makna
tinggi dalam tiga hal yaitu:
1. Kekuasaan, tidak ada satupun yang
dapat menandingi-Nya dan menentang-Nya bahkan segala sesuatu berada di bawah
kekuasaan-Nya.
2. Kedudukan, Allah Maha Tinggi dari
semua sifat kekurangan dan cacat yang menafikan keesaan Allah pada uluhiyah-Nya
(keesaan Allah dalam ibadah), rububiyah-Nya (keesaan Allah dalam penciptaan,
penguasaaan, dan pengaturan) dan nama-Nya yang indah serta sifat-Nya yang
tinggi dan paling sempurna.
3. Zat, Allah berada diatas segala
sesuatu, baik langit maupun Arsy secara zat.
Dua poin pertama di atas yaitu ketinggian
Allah pada kekuasaan dan kedudukan.Tidaklah satupun seseorang yang mengaku
beragama islam dan menisbatkan diri padanya menyelisihi kedua poin
tersebut. Adapun untuk poin ketiga yaitu ketinggian Allah pada zat-Nya
maka para Ahlul bid’ah menentang dan menyelisihinya. Padahal perkara ini
sangatlah jelas secara fitrah manusia, akal dan syari’at. (Ash-Showa’iqul
Mursalah, 4/1324 dan Ma’arijul Qabuul, 1/146).
Adapun dalil-dalil yang menunjukan akan
ketinggian Allah bersama zat-Nya dalam Al Qur’an dan Hadist-hadist Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah banyak dan bermacam-macam. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Inilah Al Qur’an dari awal sampai
akhir, kemudian Hadist-hadist Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
awal sampai akhir dipenuhi dengan pernyataan bahwa Allah Ta’ala
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah menyebutkan
di dalam kitabnya I’laamul Muwaqiin lebih dari dua puluh macam pendalilan yang
menunjukan akan ketinggian Allah Ta’ala bersama zat-Nya, kemudian juga
ditambahkan juga oleh Syaikh Hafizd Al-Hakami sekitar empat macam pendalilan di
dalam kitabnya Ma’aarijul Qabuul.
Dijumpai banyaknya dalil sebagaimana
diungkapkan oleh para ahli imu dari kalangan salafush shalih baik dari kalangan
sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan ulama-ulama setelahnya termasuk imam 4
madzhab yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad bin Hanbal
Rahimahumullah jami’an atas keberadaan Allah bersama zat-Nya di atas langit dan
merekapun meyakininya, masihkah kita ragu akan keberadaan Allah di atas langit
bersama zat-Nya, belum lagi secara fitrah manusia itu sendiri yang membenarkan
hal itu. Oleh karena itu agar lebih gamblang, mari kita simak beberapa macam
pendalilan yang membuktikan hal tersebut yang terdapat dalam Al Qu’an dan
Hadist.
Macam-macam pendalilan yang menunjukan
ketinggian Allah bersama zat-Nya atas makhluk-Nya.
1. Penyebutan sifat fauqiyyah (keberadaan
Allah di atas) tanpa disandingi dengan kata lain, sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
“Dan Dialah Allah Ta’ala lebih tinggi
dari seluruh hamba-hamban-Nya.” (Q.S. Al-An’am 6: 18)
2. Penyebutan sifat fauqiyyah
(keberadaan Allah diatas) dengan penyandingan huruf tambahan yaitu min (من) yang di dalam
bahasa arab itu memberikan arti pengkhususan keberadaan di atas suatu zat
dari segi posisi, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ
وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“
Mereka takut kepada Tuhan mereka yang
diatas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).”
(Q.S. An-Nahl 16: 50)
3. Penyebutan jelas dengan kata
‘uruuj yang artinya dalam bahasa arab yaitu naik. Dan yang namanya naik
berarti ke atas. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي
يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Malaikat-malaikat dan jibril naik
(menghadap) kepada Allah, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun.”
(Q.S. Al-Ma’arij 70: 4)
4. Penyebutan jelas dengan kata shu’ud
yang dalam bahasa arab artinya semakna dengan kata ‘uruuj yaitu naik,
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan
yang baik dan amal-amal kebajikan Dia akan mengangkatnya.” (Q.S. Fathir
35: 10)
5. Penyebutan diangkatnya sebagian
makhluk oleh Allah kepada-Nya, Allah Ta’ala berfirman:
بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ
عَزِيزًا حَكِيمًا
“tetapi (yang sebenarnya) Allah
telah mengangkatnya (Isa ‘alaihis salam) kepada-Nya Allah Maha
perkasa dan bijaksana.” (Q.S. An-Nisa 4: 158)
6. Penyebutan dengan jelas bahwa
Allah Ta’ala tinggi secara mutlak, Allah Ta’ala berfirman:
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
“Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar” (Q.S. Al-Baqarah 2: 255)
7. Penyebutan jelas akan turunnya Al
Qur’an dari sisi Allah Ta’ala, Allah Ta’ala berfirman:
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ
الْحَكِيمِ
“Kitab ini (Al Qur’an) diturunkan dari
Allah yang maha perkasa.” (Q.S. Al-Ahqaf 46: 2)
8. Pernyataan yang jelas atas
disyariatkannya mengangkat tangan saat berdoa kepada Allah Ta’ala, ini menunjukkan
bahwa Allah berada di atas langit. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ اللهَ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا
رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
“Sesungguhnya Allah itu pemalu bagi
hamba-hamba-Nya apabila hamba-Nya berdoa seraya mengangkat tangan
kepada-Nya, namun dikembalikan tangannya dalam keadaan kosong.” (H.R Abu
Daud di dalam Sunannya no. 1488 dan Ibnu Majah no. 1385)
Hafiz Al-Hakami berkata: “Dalil tentang
mengangkat tangan saat berdoa ditemui lebih dari seratus hadist dalam peristiwa
yang berbeda dan bermacam-macam. Hal ini juga diketahui secara fitrah
manusia. Maka setiap kali seorang mukmin ditimpa kesulitan dalam
urusannya, ia mengadahkan kedua tangannya ke atas, berdoa kepada Allah
Ta’ala.” (Ma’aarijul Qabuul 1/169)
9. Penyebutan jelas dengan
menggunakan kata istiwa’ (استواء) yang disandingkan
dengan huruf ‘alaa (على) yang bermakna
pengkhususan istiwa’ (bersemayam) dengan ‘ Allah Ta’ala berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah yang Maha Pengasih, yang
bersemayam di atas ‘Arsy.” (Q.S. Tha-ha 20: 5)
Perlu diketahui, kata istiwa’ dalam
bahasa arab memiliki banyak makna. Akan tetapi apabila istiwa’ disandingkan
dengan huruf ‘alaa seperti potongan ayat di atas, maka tidak
ada makna lain selain makna “tinggi atau di atas”.
10. Penyebutan jelas dengan lafaz
pertanyaan “di mana Allah”.
Sebagaimana pertanyaan seorang yang
paling fasih diantara manusia yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
seorang budak wanita.
فقال : أين الله قالت : في السماء
“Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata
kepada seorang budak, di mana Allah?Maka budak itupun menjawab, Allah
berada di atas langit.” (H.R Muslim no. 537)
11. Berita dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa beliau pergi bolak-balik naik-turun antara Nabi Musa
‘Alaihissalam dan Rabbnya pada malam Mi’raj karena ingin meminta keringanan
atas kewajiban shalat dari lima puluh waktu menjadi lima waktu. Maka
beliau naik kepada Allah, kemudian kembali lagi kepada Musa ‘Alaihissalam
berkali-kali. (Hadist yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari no. 439).
Dan masih banyak lagi jenis-jenis
pendalilan yang bermacam-macam yang menunjukan keberadaan Allah di atas langit
bersama zat-Nya. Sebagaimana telah kami sebutkan di awal sekitar lebih dari dua
puluh macam pendalilan.
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Inilah
berbagai macam pendalilan yang disebutkan di dalam Al Qur’an dan Hadist-hadist.
Dan apabila dikupas satu persatu maka dalil yang dijumpai akan berjumlah ribuan.”
(I’laamul Muwaqi’iin 4/75)
Renungan !
Dengan banyaknya dalil baik dari Al
Qur’an maupun Hadist-hadist Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam yang menunjukan
Allah berada di atas langit, haruskah kita menolak itu semua. Jikapun tidak,
haruskah kita melakukan takwil tanpa berdasarkan dalil untuk meniadakan sifat
ketinggian Allah bersama zat-Nya demi mengikuti akal yang terbatas. Padahal
terlalu banyak dalil yang menunjukan hal tersebut.
Secara fitrah manusiapun tidak bisa
menolak akan ketinggian Allah bersama zat-Nya di atas langit. Seseorang jika
ingin berdoa, maka sebelum memulai doa hatinya pasti terpaut ke atas langit
dengan sendirinya, kemudian baru mengangkat tangan ke atas langit seraya
meminta hajatnya yang dibutuhkan kepada Allah Ta’ala. Jika harus menolak
akan ketinggian Allah bersama zat-Nya di langit, bagaimanakah cara untuk
menghilangkan fitrah yang diberikan Allah ini?
Cukuplah pembuktian yang sangat jelas dan
nyata sebagaimana yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang siapapun
dia baik dari kalangan awam maupun para penolak akan keberadaan Allah di atas
langit, biasanya jika terdesak atas sesuatu perkara yang tidak bisa
diselesaikan, maka akan terucap dari mulutnya dengan sendirinya “Kita serahkan
semuanya kepada yang di atas.”
Semoga kita selalu diberi hidayah oleh
Allah dalam memahami aqidah yang benar sesuai dengan pemahaman salafus shalih.
Aamiiin.
Wallahu Ta’ala a’lam..
Ditulis Oleh:
Ustadz Gigih Nugraha حفظه
الله
(Kontributor Bimbinganislam.com)
Sumber Bacaan : Ajwibatu syaikhil islam
ibni taimiyah ‘an syubhaat attafsiiliyyah lilmu’athilah fis sifaati
adz-dzatiyyah, Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
Ya Allah, saksikanlah bahwa
kami telah menjelaskan dalil kepada umat manusia, mengharapkan manusia
mendapatkan hidayah,melepaskan tanggung jawab dihadapan Allah Ta’ala,
menyampaikan dan menunaikan kewajiban kami. Selanjutnya, kepadaMu kami berdoa
agar menampakkan kebenaran kepada kami dan memudahkan kami untuk mengikutinya
Itu saja yang dapat Ana sampaikan, Jika
benar itu datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Kalau ada yang salah itu dari
Ana pribadi, Allah dan RasulNya terbebaskan dari kesalahan itu.
Sebarkan,Sampaikan,Bagikan artikel ini
jika dirasa bermanfaat kepada orang-orang terdekat Anda/Grup Sosmed,dll
“Barangsiapa yang mengajak kepada
petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orangyang
mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.”*
(HR Muslim no. 2674)
101 Perkataan Ulama Salaf Tentang Allah Di Atas
Arsy
https://aslibumiayu.net/7534-apa-kata-para-ulama-tentang-penetapan-istiwanya-allah-di-atas-arsy.html
https://aslibumiayu.net/7534-apa-kata-para-ulama-tentang-penetapan-istiwanya-allah-di-atas-arsy.html
Di Manakah Allah (4),
Empat Imam Madzhab Sepakat Bahwa Allah Berada di Atas Langit
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala
Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in. Para pengunjung
Rumaysho.com yang semoga senantiasa mendapat penjagaan Allah Ta’ala. Pada
kesempatan kali ini kita akan melanjutkan kembali pembuktian mengenai aqidah
Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Yang kita utarakan
nanti adalah perkataan empat imam madzhab mengenai ideologi tersebut. Kita
dapat saksikan bahwa empat imam madzhab sepakat dalam hal ini dan orang-orang
semacam abusalafy yang menganut aqidah Jahmiyah yang melenceng jauh dari aqidah
mereka-mereka ini. Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
Sikap Keras Abu Hanifah[1] Terhadap
Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul
Akbar,
من
انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”[2]
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al
Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar–[3],
beliau berkata,
سألت
أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى
يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش
استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في
السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai
perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku,
di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut
telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[4] Dan
‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata
bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak
mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas
mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia
kafir.”[5]
Imam Malik bin Anas[6],
Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit.
Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika
membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih
bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas
mengatakan,
الله
في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
“Allah berada di atas langit. Sedangkan
ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[7]
Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At
Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,
جاء
رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت
مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن
مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه
بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam
Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[8].
Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah
melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang
ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun
terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
الكَيْفُ
غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ
وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin
digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat
istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah
bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut
diperintah untuk keluar.[9]
Inilah perkataan yang shahih dari Imam
Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah
keyakinan Ahlus Sunnah.
Imam Asy Syafi’i[10] -yang
menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih-
meyakini Allah berada di atas langit.
Syaikhul Islam berkata bahwa telah
mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau
berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al
Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah
memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau
berkata,
القول
في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت
عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول
الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله
تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan
pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan,
Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan
Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas
‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat
dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit
dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan
beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[11]
Imam Ahmad bin Hambal[12] Meyakini
Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya. Adz Dzahabiy rahimahullah
mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[13]
mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[13]
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,
ما
معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه
عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على
العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
“Apa makna firman Allah,
وَهُوَ
مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu
berada.”[14]
مَا
يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[15]
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut
adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah
meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap
menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi
dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi
langit dan bumi.”
Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al
Ghadadiy, beliau berkata,
قيل
لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من
خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan,
“Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya,
terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat
(di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas
‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[16]
Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa
Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad
bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,
كيف
نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb
kami?” Ibnul Mubarok menjawab,
في
السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas
‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا
هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.”[17]
Tidak Perlu Disangsikan Lagi Itulah perkataan empat Imam Madzhab yang
jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit, di
atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu kesepakatan
atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa aqidah ini perlu
diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran?
Ini bukti ijma’ ulama yang dibawakan oleh
Ishaq bin Rohuwyah.
قال
أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود
الخفاف سليمان بن داود قال قال إسحاق بن راهويه قال الله تعالى الرحمن على العرش
استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة
“Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan
kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin
Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al
Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah
Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[18].
Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’
(menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang
terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.[19]
Adz Dzahabi rahimahullah ketika
membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan,
اسمع ويحك إلى هذا الإمام كيف نقل الإجماع على
هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة المذكور
“Dengarkanlah perkataan Imam yang satu
ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai
masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di masanya.”[20]
Sanggahan: Abu Salafy Cuma Asal Nuduh
Kami sedikit mencuplik ucapan beliau
dalam postingan di blognya dengan judul “Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama
Imam Malik”. Beliau membawakan nukilan berikut ini ketika menerangkan ucapan
Imam Malik di atas.
Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan Imam
Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al
Muttaqîn,2/82:
كيف غير معقول أي كيف من صفات الحوادث وكل ما كان
من صفات الحوادث فإثباته في صفات الله تعالى ينافي ما يقتضيه العقل فيجزم بنفيه عن
الله تعالى ، قوله : والاستواء غير مجهول أي أنه معلوم المعنى عند أهل اللغة ،
والإيمان به على الوجه اللائق به تعالى واجب ؛ لأنه من الإيمان بالله وبكتبه ،
والسؤال عنه بدعة ؛ أي حادث لأن الصحابة كانوا عالمين بمعناه اللائق بحسب وضع
اللغة فلم يحتاجوا للسؤال عنه ، فلما جاء من لم يحط بأوضاع لغتهم ولا له نور
كنورهم يهديه لصفات ربه يسأل عن ذلك، فكان سؤاله سببا لاشتباهه على الناس وزيغهم
عن المراد.
“Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk
sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka jika ditetapkan menjadi sifat
–ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan hukum akal sehat,
maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala-. Ucapan beliau,
“Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya.
Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab
ia termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya
adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa
sahabat, mereka sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan
bahasa. Karenanya mereka tidak butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang
orang yang tidak menguasai penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya
seperti cahaya para sahabat yang akan membimbing mereka untuk mengenali
sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu
menjadi sebab kekaburan atas manusia dan penyimpangan mereka dari yang apa yang
dimaksud.”
Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik
berkata:
الرحمن على العرش استوى كما وصف به نفسه ولا يقال
كيف ، وكيف عنه مرفوع…
“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’
sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan
bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as Sâdah,2/82,
Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72)
Pernyataan di atas benar-benar tamparan
keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah!
Penulis berkata, “Perkataan Imam Malik
itu benar adanya. Begitu pula penjelasan dari Ibnu Lubban itu benar. Maksud
perkataan mereka berdua adalah bahwa makna Istiwa’ itu sudah diketahui,
sedangkan bagaimana dan hakekat Allah itu beristiwa’ itu tidak diketahui karena
memang kita tidak diberitahu tentang hal tersebut. Kami khawatir abusalafy
sendiri sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Imam Malik dan Ibnu
Libban. Sampai-sampai dalam tulisan lain abusalafy menuduh yang bukan-bukan.
Dalam tulisan lain yang abusalafy berkata:
Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab
Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah
itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan
kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam,
ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang
lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan Allah
itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya..
Penulis menjawab, “Siapa yang katakan
bahwa sifat Allah itu dapat digambarkan bentuknya? Mana buktinya?” Beliau juga
menuduh kami, “Allah duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing
hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang
menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain”.
Penulis menjawab, “Mana buktinya kami pernah menyatakan demikian? Dalam kitab
mana? Ini sungguh tuduhan dan klaim dusta yang mengada-ada. Beliau pun tidak
berani menunjukkan bukti dari tuduhan yang beliau bawakan.”
Semoga beliau bisa membedakan menetapkan
sifat Allah dan menyebutkan bagaimana hakekat sifat tersebut. Coba renungkan
dengan baik-baik perkataan Ishaq bin Rohuwyah yang pernah kami bawakan di
postingan pertama serial ini. Beliau rahimahullah mengatakan, “Yang
disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), jika kita mengatakan, ‘Tangan
Allah sama dengan tanganku atau pendengaran-Nya sama dengan pendengaranku.’
Inilah yang disebut tasybih. Namun jika kita mengatakan sebagaimana yang
Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki tangan, pendengaran dan
penglihatan; dan kita tidak sebut, ‘Bagaimana hakikat tangan Allah,
dsb?’ dan tidak pula kita katakan, ‘Sifat Allah itu sama dengan sifat
kita (yaitu tangan Allah sama dengan tangan kita)’; seperti ini tidaklah
disebut tasybih. Karena ingatlah Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11)[21]
Jadi ingatlah bahwa menyatakan Allah
beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh bukan berarti
kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun kita yakini sifat Allah itu jauh
berbeda dengan makhluk-Nya, karena itulah perbedaan Allah yang memiliki sifat
kemuliaan dan makhluk yang selalu dipenuhi kehinaan. Itulah memang karakter
busuk dari Jahmiyah, asal menuduh yang bukan-bukan. Bagi setiap orang yang
menetapkan sifat Allah, maka dituduhlah Mujassimah. Jauh-jauh hari, Ahmad bin
Abdul Halim Al Haroni telah mengisyaratkan,
فالمعتزلة
والجهمية ونحوهم من نفاة الصفات يجعلون كل من أثبتها مجسما مشبها ومن هؤلاء من يعد
من المجسمة والمشبهة من الأئمة المشهورين كمالك والشافعي وأحمد وأصحابهم كما ذكر
ذلك أبو حاتم صاحب كتاب الزينة وغيره
“Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang
menolak sifat Allah, mereka menyebut setiap orang yang menetapkan sifat bagi
Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di antara mereka menyebut
para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam
Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah atau musyabbihah (yang
menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Abu
Hatim, penulis kitab Az Zinah dan ulama lainnya.”[22]
Itulah tuduhan Jahmiyah. Kami tutup
tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani,
penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah, “Metode kami (dalam
menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As
Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang
dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan
mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya.
Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat
tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih
(menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan
makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur
dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan
bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.”[23]
Semoga tulisan kali ini bias sebagai
renungan bagi orang yang mencari kebenaran. Nantikan serial selanjutnya. Kami
akan menyebutkan perkataan ulama Ahlis Sunnah yang menyanggah pemahaman
Jahmiyah semacam abusalafy yang menyatakan “Allah itu ada tanpa tempat”. Semoga
Allah mudahkan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat.
Diselesaikan di Pangukan, Sleman, 12
Rabi’ul Akhir 1431 H (27/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu
Rumaysho Al Ambony)
[1] Imam
Abu Hanifah hidup pada tahun 80-150 H.
[2] Lihat Itsbatu
Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait,
cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy,
Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.
[3] Syaikh
Al Albani rahimahullah memberikan pelajaran cukup berharga dalam
Mukhtashor Al ‘Uluw, perkataan Adz Dzahabi di sini menandakan bahwa kitab
Fiqhul Akbar bukanlah milik Imam Abu Hanifah, dan ini berbeda dengan berbagai
anggapan yang telah masyhur di kalangan Hanafiyah. (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw,
hal. 136)
[4] QS.
Thaha: 5.
[5] Lihat Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf,
Riyadh, cetakan pertama, 1995.
[6] Imam
Malik hidup pada tahun 93-179 H.
[7] Lihat Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.
[8] QS.
Thaha: 5.
[9] Lihat Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.
[10] Imam
Asy Syafi’I hidup pada tahun 150-204 H.
[11] Lihat Itsbatu
Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghofar, hal.165
[12] Imam
Ahmad bin Hambal hidup pada tahun 164-241 H.
[13] Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.
[14] QS.
Al Hadiid: 4
[15] QS.
Al Mujadilah: 7
[16] Lihat
Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116
[17] Lihat
Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118
[18] QS.
Thaha: 5.
[19] Lihat
Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.
[20] Idem
[21] Lihat
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 67.
[22] Minhajus
Sunnah Nabawiyah fii Naqdi Kalamisy Syi’ah wal Qodariyah, Ahmad bin Abdul Halim
Al Haroni, 2/44, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.
[23] Dinukil
dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’,
cetakan ketiga, 1426 H.